• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

C. Definisi Operasional

1. Kepribadian Ekstravert

Kepribadian merupakan salah satu faktor paling berpengaruh terhadap subjective well-being. Hal tersebut didukung oleh penelitian-penelitian yang menunjukkan bahwa kepribadian terbentuk karena faktor genetis dan lingkungan. Individu akan memiliki kecenderungan genetis untuk merasa bahagia atau tidak bahagia sehingga faktor genetis menjadi salah satu faktor pendukung subjective well-being.

Kepribadian yang mempengaruhi kebahagiaan individu adalah dimensi ekstravert. Eysenck (1997) berpendapat bahwa kepribadian tersebut memiliki perbedaan pada tingkat stimulasi otak, yaitu kondisi fisiologis yang diwarisi bukan dipelajari. Costa dan McCrae (1980) menemukan bahwa orang yang ekstravert memiliki emosi positif, sedangkan orang yang introvert memiliki emosi yang negatif. Di dalam penelitiannya, Larsen dan Ketelaar (1991) menambahkan bahwa kepribadian ekstravert memberikan respon emosi positif lebih banyak daripada kepribadian introvert dengan stimulus dan kejadian yang sama.

2. Kesehatan

Kondisi yang sehat berhubungan positif dengan subjective well-being. Semakin sehat seseorang maka tingkat subjective well-being

akan semakin tinggi. Dengan kata lain, individu yang sehat secara fisik sudah tentu akan merasa nyaman dan bebas untuk melakukan suatu hal yang diinginkan. Namun, sehat secara fisik tidak cukup menunjukkan tingkat subjective well-being yang tinggi. Mehnert et al. (1990) menemukan bahwa 68% individu yang disable merasa puas dengan kehidupannya. Singkatnya, pengaruh kesehatan tergantung pada persepsi individu terhadap situasi yang mereka alami. Kondisi yang tidak sehat akan mengganggu pencapaian tujuan penting di dalam hidup.

3. Penghasilan

Diener et al. (1999) mengungkapkan bahwa uang merupakan faktor cukup penting dalam mempengaruhi tingkat subjective well-being di beberapa negara. Haring, Stock dan Okun juga menambahkan adanya hubungan yang seimbang antara penghasilan dan well-being. Namun, banyak peneliti lain yang menemukan bahwa uang tidak selalu menjadi faktor utama. Faktor budaya menjadi dasar akan adanya perbedaan hasil penelitian tersebut. Di negara kaya banyak ditemukan responden yang memiliki tingkat subjective well-being tinggi, sedangkan di negara yang miskin kebanyakan responden memiliki subjective well-being yang rendah. Pada dasarnya bukanlah kekayaan yang dijadikan sebagai sumbangan terhadap subjective well-being, tetapi terpenuhinya kebutuhan dasar seperti makan, tempat tinggal, air bersih dan jaminan kesehatan. Menurut Richins dan Dawson, 1992 (Diener et al., 1999)

individu yang menilai uang lebih tinggi daripada tujuan hidup yang lainnya merasa kurang puas dengan standard hidupnya.

4. Agama/kepercayaan

Myers & Diener (1995) mengungkapkan bahwa orang yang aktif secara religius memiliki tingkat kebahagiaan yang tinggi. Pengalaman religius dapat membantu individu untuk merasakan makna hidup dengan baik selama melewati krisis. Orang yang religius biasanya tidak mudah depresi karena mereka memiliki pengalaman spiritual yang dipercaya sebagai sesuatu yang paling berpengaruh dalam hidup. Myers juga mengungkapkan bahwa meningkatnya kebahagiaan dan kepuasan hidup diikuti dengan frekuensi ibadah. Individu yang memiliki kepercayaan yang lebih kuat juga menunjukkan kondisi yang lebih baik setelah perceraian, pengangguran, penyakit serius, atau kehilangan orang yang dicintai.

5. Pernikahan

Survei yang dilakukan Wilson menunjukkan akan adanya hubungan yang positif antara pernikahan dan subjective well-being. Orang yang sudah menikah memiliki kebahagiaan yang lebih tinggi daripada orang yang tidak menikah, atau bercerai, tinggal terpisah, atau janda. Orang dewasa yang tidak menikah dan tinggal bersama sebagai suami-istri lebih bahagia daripada mereka yang tinggal sendiri. Para peneliti masih mendebatkan tentang kepuasan pernikahan terletak

pada kesejahteraan hidup secara keseluruhan baik pada pria maupun wanita.

Kepuasan pernikahan juga didukung oleh faktor-faktor seperti interaksi, ekspresi emosi, dan saling berbagi. Karakteristik budaya juga dapat mempengaruhi subjective well-being dan status pernikahan. Pada budaya individual pasangan yang tidak menikah akan lebih bahagia dan puas terhadap hidupnya daripada orang yang menikah atau single.

Sebaliknya, pada budaya kolektivisme, kepuasan hidup orang yang tinggal bersama lebih rendah dan memiliki emosi yang negatif daripada orang yang menikah atau single.

6. Usia

Kaum muda diprediksikan sebagai usia yang bahagia (Diener, et al.). Studi yang dilakukan oleh Herzog & Rodgers (1981) menunjukkan bahwa kepuasan hidup meningkat seiring dengan usia. Penemuan ini didukung pula oleh Butt (1987) bahwa di beberapa negara kepuasan hidup tidak menurun seiring dengan bertambahnya usia. Diener juga menemukan bahwa dari tiga komponen (kepuasan hidup, afeksi positif dan afeksi negatif) hanya afeksi positif atau afeksi yang menyenangkan menurun seiring dengan bertambahnya usia. Dengan kata lain, usia dewasa akhir/lanjut usia memiliki kepuasan hidup yang lebih tinggi daripada kaum muda, tetapi mereka memiliki respon emosi dan suasana hati yang negatif. Inglehart (dalam Myers et

al.) menyatakan bahwa usia tidak mempengaruhi tingkat kebahagiaan individu.

7. Jenis kelamin

Robin & Reiger (1991, Myers & Diener, 1995) menemukan bahwa wanita dua kali lebih mudah terkena depresi dan kecemasan daripada pria. Selain itu, pria dan wanita sama-sama memiliki kecenderungan untuk menjadi alkoholik dan orang yang antisosial. Walaupun demikian, pada dasarnya wanita sudah terbiasa mengungkapkan emosinya pada orang lain sedangkan pria ketika mengalami hari yang buruk, mereka cenderung tidak mengungkapkan emosinya pada orang lain. Tidak ada perbedaan yang mendasar akan adanya perbedaan kebahagiaan antara pria dan wanita jika faktor demografi dikontrol. 8. Pekerjaan

Pekerjaan cukup mempengaruhi tingkat subjective well-being

seseorang. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Bretz dan Judge (seperti dikutip dalam Diener et.al, 1999) karakteristik pekerjaan yang memuaskan berhubungan dengan kecocokan dengan organisasi yang ada di dalamnya dan keuntungan sosial. Namun, beberapa peneliti lain (Diener et.al) memprediksikan bahwa lima tahun ke depan, ada hubungan yang signifikan antara kepuasan terhadap pekerjaan dan kepuasan hidup. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya proses top-down yaitu individu yang memiliki kepuasan hidup yang tinggi cenderung menemukan kepuasan pada pekerjaan mereka. Penelitian

membuktikan bahwa orang yang tidak memiliki perkerjaan akan memiliki tingkat stres yang tinggi, kepuasan hidup rendah, dan memiliki tingkat bunuh diri yang tinggi daripada mereka yang bekerja. 9. Pendidikan

Ada hubungan yang rendah tetapi cukup signifikan antara pendidikan dan subjective well-being. Tingkat kepuasan hidup individu dinilai tinggi ketika faktor pendidikan diikuti dengan pendapatan dan status pekerjaan yang baik. Pendidikan memiliki kontribusi terhadap

subjective well-being ketika individu membuat kemajuan terhadap target atau tujuan hidup atau untuk menyesuaikan diri terhadap tantangan yang ada di sekeliling mereka. Selain itu, Clark dan Oswald (Diener,et.al) menemukan bahwa orang yang berpendidikan akan lebih mudah terkena stres ketika mereka kehilangan pekerjaan. Hal tersebut disebabkan karena mereka memiliki harapan yang tinggi terhadap keberlangsungan hidup mereka.

B. Kepribadian

1. Pengertian Kepribadian

Berdasarkan arti katanya, kepribadian berasal dari bahasa Yunani yaitu persona, yang berarti topeng (mask), karena pengertian kepribadian secara umum dianggap berkaitan dengan penampilan (Purwanto, dalam Abidin, 2003). Kepribadian seseorang akan tampak dalam berbagai bentuk sikap, cara berpikir, dan cara berperilaku. Sikap, cara berpikir, dan cara

berperilaku tersebut berbeda antara individu yang satu dengan yang lainnya.

Setiap individu memiliki kepribadian yang unik. Keunikan individu inilah yang membedakan satu dengan yang lainnya. Kepribadian tersebut dimunculkan melalui perilaku yang biasanya sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Kepribadian merupakan kumpulan dari gaya hidup individu atau cara serta karakteristik individu untuk bereaksi termasuk masalah-masalah hidup serta tujuan hidup (dalam Hall & Lindzey, 1993). Kepribadian yang ada di dalam diri individu dipengaruhi oleh dua faktor, antara lain faktor biologis atau keturunan dan faktor lingkungan. Kepribadian secara langsung berhubungan bagaimana individu menyesuaikan diri dengan lingkungannya serta mengandung unsur yang dinamis, karena kepribadian akan memiliki suatu perubahan menuju satu integrasi baru. Eysenck menambahkan bahwa kepribadian merupakan sejumlah pola perilaku potensial organisme yang dibedakan berdasarkan keturunan dan lingkungan.

Sedangkan Cattell (dalam Hall dan Lindzey, 1993) berpendapat bahwa kepribadian adalah sesuatu yang memungkinkan prediksi tentang apa yang akan dikerjakan seseorang adalam situasi tertentu. Dalam penelitian psikologis, masih menurut Cattell yaitu menetapkan hukum-hukum tentang apa yang akan dikerjakan oleh orang-orang yang berbeda dalam segala macam situasi sosial dan situasi lingkungan pada umumnya.

2. Struktur Kepribadian

Banyak ilmuwan yang melakukan penelitian untuk mengukur kepribadian dengan berbagai teknik. Eysenck menggunakan pendekatan analisis faktor untuk mempelajari sifat-sifat pribadi. Teori kepribadian Hans Eysenck (Feist, 2006) memiliki komponen psikometris dan biologis yang kuat. Metode pendekatan analisis faktor yang digunakan Eysenck tersusun atas tindakan-tindakan, disposisi-disposisi yang terorganisasi dalam susunan hirarkis berdasarkan atas keumuman dan kepentingannya. Pendekatan faktor terdiri atas sifat (trait) dan tipe. Eysenck memiliki landasan penelitian yang cukup ilmiah sehingga hasilnya lebih dapat dipertanggung-jawabkan dibandingkan pendekatan yang hanya menggunakan spekulasi atau intuisi klinis saja.

Eysenck (Hall & Gardner,1993) menambahkan bahwa kepribadian berkembang melalui interaksi antara empat faktor yang mempengaruhi pola perilaku antara lain faktor kognitif (inteligensi), faktor konatif (karakter), faktor afektif (temperamen), dan faktor somatik (konstitusi).

3. Dimensi Ekstravert menurut Eysenck

Salah satu dimensi kepribadian mendasar yang dikemukakan Eysenck adalah mengenai dimensi ekstraversi dan intraversi (Corsini dan Marsella, 1983). Eysenck mempercayai bahwa setiap individu pasti berada di antara kedua kontinum tersebut. Setiap dimensi memiliki ciri-ciri atau karakteristik masing-masing, begitu pula dengan kepribadian ekstravert

dan introvert. Masing-masing memiliki minat, sikap, pikiran serta perasaan yang berbeda antara individu yang satu dengan yang lainnya. Selain itu, terdapat karakteristik lain menurut Edi Ikhsan (2002) yaitu bahwa manusia cenderung memiliki perkembangan yang berbeda dengan orang lain yang ditentukan oleh sejauh mana mereka memiliki sifat ekstravert atau introvert. Menurut Eysenck (seperti dikutip dalam Feist, 2006), perbedaan utama ekstraversi dan introversi bukan terletak pada aspek behavioral, melainkan lebih pada tataran biologis dan genetik. Eysenck juga meyakini jika sebab utama perbedaan antara ekstraversi dan introversi adalah pada tingkat stimulasi kulit otak, sebuah kondisi fisiologis yang diw arisi bukan dipelajari.

Menurut Eysenck (Feist, 2006) berdasarkan kondisi fisiologisnya, pribadi yang ekstravert memiliki tingkat stimulasi kulit otak lebih rendah daripada pribadi introvert. Mereka memiliki ambang indrawi lebih rendah dan mengalami reaksi lebih besar terhadap stimulasi indrawi sehingga mereka terlihat mudah menyesuaikan diri dalam masyarakat dan tertarik pada orang banyak. Eysenck mengemukakan bahwa seseorang yang memiliki kecenderungan ekstravert memiliki karakteristik yaitu tergolong orang yang ramah, suka bergaul, menyukai pesta, memiliki banyak teman, selalu membutuhkan orang lain untuk diajak berbicara, serta tidak menyukai belajar, membaca atau melakukan kegiatan sendirian.

Selain itu, mereka juga suka keramaian, dan secara umum termasuk individu yang meledak-ledak. Mereka juga tidak ssegan-segan

mengambil kesempatan yang datang kepadanya, tidak jarang mereka suka menonjolkan diri, dan seringkali bertindak tanpa dipikir terlebih dulu atau spontan. Individu ekstravert juga menyukai lelucon, mereka cepat tanggap dalam memberikan jawaban atas pertanyan yang dilontarkan kepadanya serta menyukai perubahan. Mereka merupakan individu yang periang dan tidak terlalu memusingkan suatu masalah, optimis serta ceria. Mereka lebih suka melakukan suatu kegiatan daripada harus berdiam diri, cenderung agresif, mudah hilang kesabaran, kadang-kadang kurang dapat mengontrol perasaannya dengan baik, kadang-kadang mereka juga kurang dapat dipercaya.

Sedangkan pribadi yang introvert, untuk mempertahankan tingkat stimulasi yang optimal dan dengan ambang indrawi yang tercipta rendah, mereka menghindari situasi-situasi yang akan menyebabkan terlalu banyak kesenangan. Oleh karena itu, pribadi ini cenderung menghindari aktivitas-aktivitas sosial seperti pertemuan dengan orang lain, memimpin organisasi, atau melontarkan komentar-komentar lucu sehingga mereka tampak segan bergaul, suka mengucilkan diri serta senang pada perasaan-perasaan atas perbuatannya sendiri.

Seseorang dengan kecenderungan introvert juga memiliki karakteristik antara lain mereka tidak banyak bicara, malu-malu, mawas diri, lebih menyukai membaca dibandingkan bergaul dengan orang lain. mereka juga cenderung menjaga jarak kecuali dengan teman-teman dekat merekam memiliki rencana sebelum melakukan sesuatu serta tidak

percaya akan faktor kebetulan. Mereka tidak menyukai situasi keramaian, memikirkan masalah kehidupan sehari-hari secara serius, serta menyukai keteraturan dalam hidup mereka. Individu introvert dapat mengontrol perasaan mereka dengan baik, jarang berperilaku agresif, serta tidak mudah hilang kesabaran. Mereka juga merupakan orang yang dapat dipercaya, sedikit pesimis, dan menempatkan standar etis yang tinggi dalam hidup mereka.

4. Aspek-Aspek Kepribadian Ekstravert

Aspek-aspek kepribadian ekstravert menurut Eysenck dalam

Eysenck Personality Inventory adalah (Eysenck, 1969): 1. Sociability

Aspek sociability menunjukkan penyesuaian diri dengan orang lain yang baik. Sociability yang baik biasanya dimiliki pada individu dengan kepribadian ekstravert. Mereka merasa nyaman dan suka berinteraksi dengan orang lain sehingga memiliki banyak teman, ramah dan pemberani. Sebaliknya individu yang introvert biasanya memiliki kecenderungan sociability yang buruk. Mereka lebih menyukai kesendirian dan cenderung menarik diri dari pergaulan sosial daripada bertemu dengan orang lain. Individu ini juga merasa kurang dapat menarik hati orang lain sehingga mereka cenderung sukar bergaul.

2. Liveliness

Aspek ini menunjukkan kegembiraan, hidup, aktif dan penuh energi atau energik. Individu yang ekstravert mampu membuat suasana yang dingin menjadi lebih hidup atau hangat dan akrab. Mereka juga sering merasa riang gembira dan menyukai suasana yang ramai. Sedangkan individu yang introvert cenderung jarang merasa riang gembira. Mereka juga menyukai kesunyian dan ketenangan, bukan suasana yang ramai sehingga mereka cenderung kurang mampu membuat suasana menjadi hangat dan akrab. Individu yang introvert juga kurang suka beraktivitas atau bergerak.

3. Jocularity

Aspek jocularity menunjukkan sifat yang suka bercanda atau humoris dan spontan sehingga suka mengungkapkan kata-kata atau komentar yang lucu. Individu dengan kepribadian ekstravert cenderung memiliki jocularity yang baik. Mereka mampu membuat orang lain tertawa dengan lelucon-leluconnya yang lucu. Sebaliknya individu dengan kecenderungan introvert lebih suka mengontrol tindakan dan kata-kata yang akan diucapkannya. Mereka juga kurang memiliki inisiatif untuk mengungkapkan komentar lucu sehingga terlihat menahan diri dan tampak kaku.

4. Impulsiveness

Aspek impulsiveness merupakan sifat individu dengan perilaku yang sesuai dengan dorongan yang ada dalam diri. Dorongan yang ada

di dalam diri dapat dengan mudah dikeluarkan individu yang ekstravert. Mereka juga kurang teliti dan bertindak tanpa berpikir dulu. Hal ini yang menyebabkan mereka terkesan agresif. Individu dengan kepribadian introvert akan berusaha memikirkan dan mempertimbangkan segala tindakan yang akan dilakukan sehingga dorongan yang ada di dalam diri kurang dapat diungkapkan dengan baik.

C. Remaja

1. Pengertian Remaja

Istilah remaja atau adolescene berasal dari kata latin adolescere

yang berarti tumbuh menjadi dewasa yang mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik (Hurlock, 1999). Masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional (Santrock, 2003). Remaja tidak memiliki posisi yang jelas, mereka tidak dapat dikategorikan sebagai anak-anak, tetapi belum tepat untuk dikategorikan sebagai orang dewasa.

Di dalam setiap rentang kehidupan, masa remaja merupakan saat-saat yang membingungkan, mereka mulai melepaskan dunia anak-anak dan mencoba untuk bersikap lebih dewasa. Hubungan dengan keluarga dan teman-teman mempengaruhi remaja untuk melakukan evaluasi, mengambil keputusan, dan berkomitmen. Remaja awal pada umumnya

belum mampu melepaskan ketergantungan dari orang tua. Sedangkan masa remaja akhir memiliki keinginan yang besar untuk lepas dari orang tua karena minat yang tinggi terhadap karir, berpacaran, dan eksplorasi identitas.

2. Batasan usia

Masa remaja biasanya diawali pada usia 12 atau 13 tahun sampai dengan usia belasan akhir atau awal usia dua puluhan. Di dalam masyarakat Indonesia, menurut Sarwono (2003) definisi remaja adalah individu yang berusia antara 11 sampai dengan 24 tahun dan belum menikah. Beberapa peneliti sosial yang mempelajari tentang remaja biasanya membedakan remaja menjadi tahap-tahap berikut ini: (1) Early adolescene, yaitu individu yang berada dalam periode usia 10 sampai dengan 13 tahun; (2) Middle adolescene, yaitu individu yang berada dalam periode usia 14 sampai dengan 18 tahun; (3) Late adolescene atau disebut juga dengan istilah youth, berada dalam periode usia 19 sampai 23 tahun. (Puspasari, 2005)

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tersebut, peneliti ingin membatasi usia remaja yang berusia 18-22 tahun yang merupakan tahap remaja akhir sebagai subyek penelitian. Pada dasarnya remaja akhir adalah usia ketika seseorang menyelesaikan sekolah menengah atas (SMA) dan kemudian dilanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu universitas atau langsung bekerja. Pada masa ini, remaja akhir memiliki tuntutan-tuntutan untuk mandiri secara ekonomi dan mandiri dalam membuat keputusan.

3. Perkembangan remaja a. Perkembangan fisik

Perkembangan fisik yang menandai bahwa seorang anak sudah menjadi remaja adalah masa pubertas. Ciri-ciri masa pubertas ditandai dengan kematangan kerangka tubuh dan seksual pada masa awal remaja (Santrock,2003). Remaja awal akan mengalami kegelisahan terhadap perubahan fisik yang terjadi pada dirinya. Sedangkan masa remaja akhir memiliki gambaran tubuh yang lebih positif daripada remaja awal sehingga mereka cenderung menerima kondisi fisik apa adanya. Perhatian terhadap perubahan ini tidak menjadi fokus yang utama bagi remaja akhir, mereka lebih mengembangkan apa yang bisa mereka lakukan untuk menjaga kondisi fisiknya agar tetap sehat. Pada masa ini, mereka lebih berminat terhadap karir, berpacaran, dan eksplorasi identitas (Santrok, 2003).

b. Perkembangan Kognitif

Perkembangan kognitif remaja meliputi perubahan dalam berpikir, inteligensi dan bahasa (Santrok, 2003). Piaget memberikan penjelasan bahwa perkembangan kognitif remaja berada pada tahap operasional formal. Tahap ini dicirikan dengan pemikiran yang abstrak, idealis dan logis. Remaja sudah mulai mampu melakukan analisis dengan kemampuan membayangkan situasi dengan ide-idenya yang logis. Sekolah memiliki peranan yang penting dalam kehidupan remaja.

Mereka mendapatkan pendidikan dan mulai mengarahkan apa yang menjadi minat mereka.

Prestasi bagi remaja merupakan salah satu kebutuhan untuk mengembangkan dirinya. Emmons dan Diener (dalam Diener et al., 1997) juga menambahkan bahwa kepuasan pada prestasi akademik merupakan prediktor yang kuat untuk memprediksi kepuasan hidup mahasiswa. Perubahan dari usia remaja menuju dewasa juga berdampak pada sisi psikologis individu. Lingkungan yang berbeda di universitas akan membuat individu beradaptasi terhadap kegiatan-kegiatan baru yang menuntut mereka untuk bertahan.Mahasiswa baru di universitas biasanya lebih banyak mengalami tekanan dan depresi daripada masa SMA atau masa sebelum menjadi mahasiswa.

c. Perkembangan Sosio-emosi

Hubungan interpersonal dikatakan sebagai faktor yang memiliki peranan penting bagi perkembangan psikologis remaja (Puspasari, 2005). Bagi remaja akhir, pertemanan berfungsi sebagai wadah atau sarana untuk mengembangkan identitas diri dan mendapatkan dukungan atas segala permasalahan yang dialami. Remaja melakukan interaksi dengan teman lebih banyak daripada dengan orangtua atau keluarganya. Dalam pertemanan atau persahabatan, remaja membutuhkan ketrampilan sosial yang baik agar diterima di lingkungannya. Selain pertemanan atau persahabatan, remaja juga menjalin hubungan khusus dengan lawan jenis. Menurut Sullivan

(Santrok, 2003) pertemanan dan persahabatan memiliki peranan yang cukup penting dalam pencapaian identitas remaja.

Remaja yang berhasil mengembangkan identitasnya dengan baik akan mengetahui siapa dirinya dan apa tujuan hidupnya. Proses menemukan identitas ini tidak lepas dari peran orangtua dan teman-temannya. Pada masa remaja akhir, eksplorasi terhadap peran dalam dunia kerja dan peran menjadi mahasiswa di universitas merupakan titik pusat dari perkembangan identitas.

D. Hubungan antara Kecenderungan Kepribadian Ekstravert dan Subjective Well-being pada Remaja Akhir

Kesejahteraan subyektif atau subjective well-being merupakan evaluasi individu terhadap keseluruhan hidupnya. Suatu kondisi yang dikatakan sejahtera atau well-being adalah ketika individu berada dalam kondisi yang bahagia, merasa senang, rendahnya tingkat depresi, sehat secara mental dan fisik, atau memiliki kualitas hidup yang baik. Subjective well-being terdiri atas dua komponen. Pertama yaitu evaluasi kognitif terdiri atas kepuasan hidup secara global dan kepuasan di setiap aspek kehidupan seperti pekerjaan atau pernikahan. Kedua yaitu evaluasi afektif, terdiri atas emosi positif dan emosi negatif.

Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being, kepribadian merupakan salah satu prediktor yang cukup menentukan tinggi rendahnya tingkat subjective well-being. Kepribadian terbentuk karena adanya

faktor biologis dan lingkungan. Kedua faktor tersebut tidak bisa dipisahkan satu sama lain karena keduanya saling melengkapi. Para ahli telah melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh kepribadian terhadap subjective well-being. Berdasarkan penelitian tersebut itulah ditemukan bahwa kepribadian yang paling berpengaruh adalah dimensi kepribadian ekstravert/introvert dan neurotisme/stabilitas. Namun, di antara kedua dimensi tersebut karakteristik ekstravert/introvert diasumsikan sebagai karakter yang paling berpengaruh. Tokoh yang menelaah kepribadian tersebut dengan pendekatan faktornya adalah Eysenck. Setiap individu diyakini berada dalam kedua kontinum tersebut. Namun, biasanya individu akan memiliki kecenderungan pada salah satunya.

Remaja dengan kecenderungan kepribadian ekstravert memiliki ciri perasaan sosial dan keimpulsifan dan juga rasa humor, kegairahan hidup, kepekaan terhadap hal-hal yang lucu, optimisme, dan sifat lain yang

Dokumen terkait