• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan memperluas konsep serta pandangan pengetahuan dalam ilmu Psikologi khususnya dalam hal subjective well-being (kesejahteraan subyektif) atau sering juga disebut dengan kebahagiaan dan kepribadian ekstravert. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk menambah wacana mengenai kepribadian sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat subjective well-being.

2. Manfaat Praktis

Bagi mahasiswa pada umumnya, hasil penelitian dapat digunakan sebagai informasi mengenai subjective well-being sehingga lebih memahami perilaku sehari-hari sebagai cara untuk mencapai kebahagiaan. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi bagi mahasiswa yang akan melakukan penelitian serupa.

A. Subjective Well-Being

1. Pengertian Subjective well-being

Subjective well-being atau kesejahteraan subyektif menurut Diener, Suh, & Oishi (1997) adalah suatu bentuk evaluasi terhadap kehidupan yang terdiri dari evaluasi terhadap kepuasan hidup dan respon emosional. Kepuasan hidup kemudian dibagi menjadi kepuasan hidup secara global dan kepuasan dalam domain khusus seperti pekerjaan, persahabatan dan perkawinan. Sedangkan respon emosional terhadap suatu kejadian terdiri dari respon emosi yang positif misalnya perasaan gembira atau senang dan respon emosi negatif seperti merasa sedih dan marah.

Individu yang memiliki tingkat subjective well-being tinggi menunjukkan adanya kepuasan hidup disertai dengan perasaan senang dan jarang memiliki emosi yang negatif seperti kemarahan atau kecemasan. Sebaliknya, individu dengan tingkat subjective well-being rendah biasanya merasa tidak puas dengan hidupnya, jarang merasa senang dan sering merasa sedih, kecewa ataupun marah dalam menyikapi suatu keadaan.

Subjective well-being dalam bahasa sehari-hari juga sering disebut dengan kebahagiaan (happiness). Para ahli filsafat mengungkapkan bahwa kebahagiaan berarti mengetahui kebenaran dan menjaga kesehatan; menahan diri dan menyingkirkan diri dari perasaan yang tertekan;

kebersamaan dengan orang lain, dan bermeditasi (Myers & Diener, 1995). Selain itu, menurut Vanden Bos (2007) subjective well-being

diartikan sebagai berikut:

“A judgment that people make about the overall quality of their lives by summing emotional ups and downs to determine how well their actual life circumstances match their wishes or espectations concerning how they should or might feel.”

(Vanden Bos, 2007; h. 904) Pengertian di atas mengungkapkan bahwa kualitas hidup seseorang ditentukan berdasarkan apakah keadaan yang sebenarnya sesuai dengan apa yang diharapkan atau apa yang seharusnya dirasakan serta pengalaman emosional baik positif maupun negatif. Masih menurut VandenBos, istilah

well-being merupakan suatu keadaan yang bahagia, senang, rendahnya tingkat stres, kondisi fisik dan mental baik serta memiliki kualitas hidup yang baik.

Berdasarkan pemahaman tersebut, dapat disimpulkan bahwa

subjective well-being merupakan evaluasi atau penilaian terhadap kepuasan hidup individu dimana kepuasan hidup tersebut terdiri dari evaluasi kognitif dan evaluasi afektif.

2. Komponen Subjective well-being

Menurut Diener et al. (1997) komponen subjective well-being terdiri atas evaluasi kognitif dan evaluasi afektif. Berikut penjelasan masing-masing komponen.

1. Evaluasi Kognitif

Bentuk evaluasi kognitif merupakan evaluasi terhadap kepuasan hidup individu yang kemudian dibagi lagi menjadi kepuasan hidup secara global dan kepuasan hidup dalam domain khusus. Kepuasan hidup secara global menggambarkan tentang ada atau tidaknya keinginan individu untuk mengubah kondisi hidupnya, kepuasan hidup saat ini, kepuasan hidup masa lalu, kepuasan hidup masa depan, dan pandangan orang lain tentang kehidupan seseorang yang bersangkutan (Diener, Suh, Lucas & Smith, 1999). Kepuasan hidup merupakan bagaimana individu mengevaluasi kehidupannya secara menyeluruh (Diener, 2005). Hal tersebut dimaksudkan untuk menjelaskan tentang sesuatu yang luas, dimana individu melakukan refleksi terhadap apa yang telah dilakukan sepanjang hidupnya.

Sedangkan kepuasan dalam domain khusus di dalam hidup antara lain pekerjaan, keluarga, waktu luang, kesehatan, finansial, diri sendiri dan persahabatan. Diener menambahkan bahwa hal ini mengindikasikan seberapa puas individu pada masing-masing domain, seberapa besar mereka menyukai hidup, apakah kehidupan yang sekarang sudah mendekati ideal, berapa banyak kenikmatan yang mereka alami, dan seberapa besar keinginan untuk mengubah hidup mereka.

2. Evaluasi Afektif

Evaluasi afektif merupakan evaluasi individu terhadap suatu kejadian. Menurut Diener (2003, Puspasari, Rostiana & Nisfian, 2005) emosi dan suasana hati, yang keduanya disebut afeksi, menggambarkan evaluasi seseorang tentang kejadian-kejadian yang terjadi di dalam hidupnya. Afeksi positif ditandai dengan adanya emosi dan suasana hati yang menyenangkan seperti perasaan senang, gembira, bangga, kasih sayang, dan kebahagiaan. Emosi positif atau menyenangkan merupakan bagian dari subjective well-being karena emosi-emosi ini menggambarkan cara yang dilakukan individu untuk merespon suatu kejadian.

Sedangkan afeksi negatif terdiri dari emosi-emosi yang tidak menyenangkan seperti perasan bersalah, malu, kesedihan, kecemasan, kemarahan, stres, depresi dan merasa cemburu atau iri hati. Diener menambahkan keadaan yang negatif lainnya seperti kesepian dan tidak berdaya juga menjadi indikator rendahnya subjective well-being. Frekuensi yang tinggi akan adanya emosi negatif juga dapat mengindikasikan bahwa individu percaya hidupnya akan berjalan dengan buruk. Akibatnya, emosi tersebut dapat mengganggu efektivitas keberfungsian hidup.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi sSbjective Well-Being

Myers & Diener (1995) dan Diener et al. (1999) mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being yaitu:

1. Kepribadian

Kepribadian merupakan salah satu faktor paling berpengaruh terhadap subjective well-being. Hal tersebut didukung oleh penelitian-penelitian yang menunjukkan bahwa kepribadian terbentuk karena faktor genetis dan lingkungan. Individu akan memiliki kecenderungan genetis untuk merasa bahagia atau tidak bahagia sehingga faktor genetis menjadi salah satu faktor pendukung subjective well-being.

Kepribadian yang mempengaruhi kebahagiaan individu adalah dimensi ekstravert. Eysenck (1997) berpendapat bahwa kepribadian tersebut memiliki perbedaan pada tingkat stimulasi otak, yaitu kondisi fisiologis yang diwarisi bukan dipelajari. Costa dan McCrae (1980) menemukan bahwa orang yang ekstravert memiliki emosi positif, sedangkan orang yang introvert memiliki emosi yang negatif. Di dalam penelitiannya, Larsen dan Ketelaar (1991) menambahkan bahwa kepribadian ekstravert memberikan respon emosi positif lebih banyak daripada kepribadian introvert dengan stimulus dan kejadian yang sama.

2. Kesehatan

Kondisi yang sehat berhubungan positif dengan subjective well-being. Semakin sehat seseorang maka tingkat subjective well-being

akan semakin tinggi. Dengan kata lain, individu yang sehat secara fisik sudah tentu akan merasa nyaman dan bebas untuk melakukan suatu hal yang diinginkan. Namun, sehat secara fisik tidak cukup menunjukkan tingkat subjective well-being yang tinggi. Mehnert et al. (1990) menemukan bahwa 68% individu yang disable merasa puas dengan kehidupannya. Singkatnya, pengaruh kesehatan tergantung pada persepsi individu terhadap situasi yang mereka alami. Kondisi yang tidak sehat akan mengganggu pencapaian tujuan penting di dalam hidup.

3. Penghasilan

Diener et al. (1999) mengungkapkan bahwa uang merupakan faktor cukup penting dalam mempengaruhi tingkat subjective well-being di beberapa negara. Haring, Stock dan Okun juga menambahkan adanya hubungan yang seimbang antara penghasilan dan well-being. Namun, banyak peneliti lain yang menemukan bahwa uang tidak selalu menjadi faktor utama. Faktor budaya menjadi dasar akan adanya perbedaan hasil penelitian tersebut. Di negara kaya banyak ditemukan responden yang memiliki tingkat subjective well-being tinggi, sedangkan di negara yang miskin kebanyakan responden memiliki subjective well-being yang rendah. Pada dasarnya bukanlah kekayaan yang dijadikan sebagai sumbangan terhadap subjective well-being, tetapi terpenuhinya kebutuhan dasar seperti makan, tempat tinggal, air bersih dan jaminan kesehatan. Menurut Richins dan Dawson, 1992 (Diener et al., 1999)

individu yang menilai uang lebih tinggi daripada tujuan hidup yang lainnya merasa kurang puas dengan standard hidupnya.

4. Agama/kepercayaan

Myers & Diener (1995) mengungkapkan bahwa orang yang aktif secara religius memiliki tingkat kebahagiaan yang tinggi. Pengalaman religius dapat membantu individu untuk merasakan makna hidup dengan baik selama melewati krisis. Orang yang religius biasanya tidak mudah depresi karena mereka memiliki pengalaman spiritual yang dipercaya sebagai sesuatu yang paling berpengaruh dalam hidup. Myers juga mengungkapkan bahwa meningkatnya kebahagiaan dan kepuasan hidup diikuti dengan frekuensi ibadah. Individu yang memiliki kepercayaan yang lebih kuat juga menunjukkan kondisi yang lebih baik setelah perceraian, pengangguran, penyakit serius, atau kehilangan orang yang dicintai.

5. Pernikahan

Survei yang dilakukan Wilson menunjukkan akan adanya hubungan yang positif antara pernikahan dan subjective well-being. Orang yang sudah menikah memiliki kebahagiaan yang lebih tinggi daripada orang yang tidak menikah, atau bercerai, tinggal terpisah, atau janda. Orang dewasa yang tidak menikah dan tinggal bersama sebagai suami-istri lebih bahagia daripada mereka yang tinggal sendiri. Para peneliti masih mendebatkan tentang kepuasan pernikahan terletak

pada kesejahteraan hidup secara keseluruhan baik pada pria maupun wanita.

Kepuasan pernikahan juga didukung oleh faktor-faktor seperti interaksi, ekspresi emosi, dan saling berbagi. Karakteristik budaya juga dapat mempengaruhi subjective well-being dan status pernikahan. Pada budaya individual pasangan yang tidak menikah akan lebih bahagia dan puas terhadap hidupnya daripada orang yang menikah atau single.

Sebaliknya, pada budaya kolektivisme, kepuasan hidup orang yang tinggal bersama lebih rendah dan memiliki emosi yang negatif daripada orang yang menikah atau single.

6. Usia

Kaum muda diprediksikan sebagai usia yang bahagia (Diener, et al.). Studi yang dilakukan oleh Herzog & Rodgers (1981) menunjukkan bahwa kepuasan hidup meningkat seiring dengan usia. Penemuan ini didukung pula oleh Butt (1987) bahwa di beberapa negara kepuasan hidup tidak menurun seiring dengan bertambahnya usia. Diener juga menemukan bahwa dari tiga komponen (kepuasan hidup, afeksi positif dan afeksi negatif) hanya afeksi positif atau afeksi yang menyenangkan menurun seiring dengan bertambahnya usia. Dengan kata lain, usia dewasa akhir/lanjut usia memiliki kepuasan hidup yang lebih tinggi daripada kaum muda, tetapi mereka memiliki respon emosi dan suasana hati yang negatif. Inglehart (dalam Myers et

al.) menyatakan bahwa usia tidak mempengaruhi tingkat kebahagiaan individu.

7. Jenis kelamin

Robin & Reiger (1991, Myers & Diener, 1995) menemukan bahwa wanita dua kali lebih mudah terkena depresi dan kecemasan daripada pria. Selain itu, pria dan wanita sama-sama memiliki kecenderungan untuk menjadi alkoholik dan orang yang antisosial. Walaupun demikian, pada dasarnya wanita sudah terbiasa mengungkapkan emosinya pada orang lain sedangkan pria ketika mengalami hari yang buruk, mereka cenderung tidak mengungkapkan emosinya pada orang lain. Tidak ada perbedaan yang mendasar akan adanya perbedaan kebahagiaan antara pria dan wanita jika faktor demografi dikontrol. 8. Pekerjaan

Pekerjaan cukup mempengaruhi tingkat subjective well-being

seseorang. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Bretz dan Judge (seperti dikutip dalam Diener et.al, 1999) karakteristik pekerjaan yang memuaskan berhubungan dengan kecocokan dengan organisasi yang ada di dalamnya dan keuntungan sosial. Namun, beberapa peneliti lain (Diener et.al) memprediksikan bahwa lima tahun ke depan, ada hubungan yang signifikan antara kepuasan terhadap pekerjaan dan kepuasan hidup. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya proses top-down yaitu individu yang memiliki kepuasan hidup yang tinggi cenderung menemukan kepuasan pada pekerjaan mereka. Penelitian

membuktikan bahwa orang yang tidak memiliki perkerjaan akan memiliki tingkat stres yang tinggi, kepuasan hidup rendah, dan memiliki tingkat bunuh diri yang tinggi daripada mereka yang bekerja. 9. Pendidikan

Ada hubungan yang rendah tetapi cukup signifikan antara pendidikan dan subjective well-being. Tingkat kepuasan hidup individu dinilai tinggi ketika faktor pendidikan diikuti dengan pendapatan dan status pekerjaan yang baik. Pendidikan memiliki kontribusi terhadap

subjective well-being ketika individu membuat kemajuan terhadap target atau tujuan hidup atau untuk menyesuaikan diri terhadap tantangan yang ada di sekeliling mereka. Selain itu, Clark dan Oswald (Diener,et.al) menemukan bahwa orang yang berpendidikan akan lebih mudah terkena stres ketika mereka kehilangan pekerjaan. Hal tersebut disebabkan karena mereka memiliki harapan yang tinggi terhadap keberlangsungan hidup mereka.

Dokumen terkait