• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA KECENDERUNGAN KEPRIBADIAN EKSTRAVERT DAN SUBJECTIVE WELL-BEING PADA REMAJA AKHIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA KECENDERUNGAN KEPRIBADIAN EKSTRAVERT DAN SUBJECTIVE WELL-BEING PADA REMAJA AKHIR"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

PADA REMAJA AKHIR

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh: Fanni Anindyati NIM : 049114038

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

The grand essential of

happiness

are

something to do,

something to love,

and something to hope for..

(Allan K. Chalmers)

Happiness is a choice that requires effort at times.

(anonim)

Empat hal untuk dicamkan dalam kehidupan:

Berpikir jernih tanpa bergegas atau bingung,

Mencintai setiap orang dengan tulus,

Bertindak dalam segala hal dengan motif termulia,

Percaya kepada Tuhan tanpa ragu sedikitpun.

(5)

Karya ini kupersembahkan…

Teruntuk kedua orangtuaku

yang dengan tulus memberiku

kasih sayang tak berujung

Teruntuk eyang putri

yang selalu sabar mendukung dan mendoakanku

Teruntuk mbah kakung di sana,

Teruntuk kakak dan adik-adikku,

(6)
(7)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara kecenderungan kepribadian ekstravert dan subjective well-being. Subyek dalam penelitian ini adalah mahasiswa-mahasiswi Universitas Sanata Dharma yang berusia 18-22 tahun dengan karakteristik remaja akhir yang berjumlah 100 mahasiswa. Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan positif antara kecenderungan kepribadian ekstravert dan subjective well-being pada remaja akhir. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode skala modifikasi dari skala model Likert yang terdiri dari dua bagian, yaitu: 1) Skala kecenderungan kepribadian ekstravert, 2) Skala subjective well-being. Skala kecenderungan kepribadian ekstravert memiliki koefisien reliabilitas Alpha Cronbach sebesar 0,869 dari 30 aitem. Skala subjective well-being memiliki koefisien reliabilitas

Alpha Cronbach sebesar 0,920 dari 48 aitem. Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis Product Moment Pearson. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang positif antara tipe kepribadian ekstravert-introvert dan subjective well-being. (r = 0,550 dengan p = 0,000; p < 0,01)

(8)

ABSTRACT

The aim of this research was to find out the positive correlation between extravert personality tendency and subjective well-being in late adolescents. The subjects are 100 students of Sanata Dharma University who has characteristic late adolescents. The ages of subjects are about 18-22 years old. The proposed hypothesis is as follow there is a positive relationship between extravert personality tendency and subjective well-being in late adolescents. The data collected in this research was conducted two scales using modification scale from Likert scale model. First, the extravert personality tendency scale. Second, the subjective well-being scale. The reliability of extravert-introvert personality types scale tested by using reliability coefficient Alpha Cronbach and obtained result for 0,869 of 30 items. The reliability coefficient Alpha Cronbach for subjective well-being scale was 0,920 of 48 items. The research data were analyzed using Pearson’s Product Moment analysis. The result showed that there was a positive correlation between extravert-introvert personality types and subjective well-being (r coefficient was 0,550 with p=0,000; p < 0,01).

(9)
(10)

perlindungan serta kasih yang berkelimpahan sehingga penulis dapat menyelesaikan satu tahap dalam proses kehidupan, yaitu skripsi. Penulis menyadari bahwa karya ini tidak lepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak yang dengan tulus membantu penulis. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya dan setulusnya kepada:

1. Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria yang selalu memberi berkat kekuatan, dan kasih yang tiada hentinya. Terima kasih atas kepercayaan yang Engkau berikan.

2. My biggest sponsorship in my life, Mama Sri Satiti Suci Rahayu dan Papa Didi Suhardi, thank you for giving me unconditional love. Terima kasih untuk doa, kasih sayang dan semua yang diberikan untuk penulis.

3. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani selaku Dekan Fakultas Psikologi yang telah memberikan berbagai kemudahan dalam menyelesaikan skripsi dan kegiatan akademik.

(11)

6. Bapak Y. Heri Widodo, M.Psi. Terima kasih atas masukan dan arahan yang sangat berarti untuk karya tulis ini. Terima kasih juga untuk bimbingannya selama di P2TKP.

7. Ibu P. Henrietta PDADS., S.Psi., M.A. Terima kasih untuk masukan dan arahan yang sangat berarti untuk karya tulis ini.

8. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si. Terima kasih untuk arahan dan bimbingan selama di P2TKP.

9. Semua Bapak/Ibu Dosen Fakultas Psikologi yang telah mengajari banyak hal tentang psikologi.

10. Mas Gandung, Mba Nanik, Mas Muji, Mas Doni, Pak Gi’. Terima kasih untuk bantuan-bantuannya selama ini.

11. My sisters Suci Ardiani n Clara Ivana, my brother Krisna Ardian, terima kasih untuk dukungan, canda tawa, dan kejahilan kalian yang telah membuatku tersenyum. Semoga kita segera kumpul jadi satu ya.

(12)

pada waktunya.

14. Sahabatku Aurelia Tyas Reneng Ayomi, terima kasih untuk dukungan dan doanya. Akhirnya aku bisa nyusul kamu Yas. Kapan kita bisa ngobrol panjang seperti dulu lagi ya.

15. Sahabat-sahabatku di Psikologi, Elisabeth Ruri Suryani (makasih mba Rur untuk semuanya, akhirnya!), Lusia Wiji Astuti (ayo cepetan lulus, doaku menyertaimu), Gregoria Rosarheina (Ochaaa….kangen kowe!), Siska (akhirnya kita lulus juga,hehe), Ditha (makasih untuk bantuannya), Wulan dan Tinul (terus berjuang ya temans), Indra, Kadek, Ita, Yetty.

16. Sahabat-sahabat Foodlovers, Elisabeth Kartikasari (terima kasih untuk kecerewetan’mu, akhirnya aku lulus juga), Tri Sumaryati (terima kasih untuk semuanya), Novera Pamian (ayo ve, kamu pasti bisa), dan Gracy Sondang Marpaung (semangat ya Son. Terus berjuang!).

(13)

Vicky, Vincent, Elly, Ari, Tina, Mela, Frada, Ita, Viti. Terima kasih atas kenangan-kenangan yang telah kita lalui bersama.

19. Keluarga KKN Kuliner Pinggir 2007 Pak Dukuh, Ibu, serta Dek Ivan yang bersedia membagikan kehangatannya untuk kita. Mb Poppy ‘Imbing’, Ririn ‘Kebaw’, Inne ‘Inyul’, De’Ayoe, Mb Prima ‘Beserwaty’, ‘Pakle’ Darwin, Krisna ‘Pooh’, Angga ‘Jewel’ terima kasih atas kenangan-kenangan indah selama KKN. Semoga suatu hari nanti kita bisa kumpul ber-9 lagi.

20. Teman-teman yang menjadi subyek dalam penelitian penulis, terima kasih atas kerjasama dan dukungannya.

21. Teman-temanku Mba Melati, Mba Dhanie, Mba Mia, Mba Gothe’, Mba Ocha, Mba Ana, Mas Yovie’01. Pupung, Mas Iyus Atma (makasih atas pinjaman Oxfordnya). Mas Feri, Mas Teguh, Mas Toto (Ikom’03), Mas Diaz (P.Fis’03). Reagen, Dias, Nita, Dion, Once (Akakom).

22. Teman-teman EEC (English Extention Course) Sanata Dharma: Dini (kapan kita kemana?), Mba Murni, Mba Anty, Mba Iin, Helen, Fafa, Mas Benny, Fajar (ayo Chacha lagi, haha..), Mas Adi, Stephan, Mba Reta, Mba Ana, Mba Ros, Widuri, Nisa, Mba Asih, Mba Lia.

(14)

Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik, koreksi dan saran yang membangun dalam penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini berguna bagi semua pihak dan dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut.

(15)

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING………..…… ii

HALAMAN PENGESAHAN………..………..………… iii

HALAMAN MOTO…………. ………..……….. iv

HALAMAN PERSEMBAHAN …………..………...……….. v

HALAMAN KEASLIAN KARYA………..……….……… vi

ABSTRAK…..………..………..………..….… vii

ABSTRACT………..………..………... viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS……… ix

KATA PENGANTAR………..………..………... x

DAFTAR ISI………..………..………..……… xv

DAFTAR TABEL………..………..……….. xviii

DAFTAR GAMBAR………..………...………... xix

DAFTAR LAMPIRAN………..………..………... xx

(16)

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Subjective Well-Being...

B. Kepribadian……….

1. Pengertian Kepribadian………. 2. Struktur Kepribadian………. 3. Dimensi Ekstravert menurut Eysenck………. 4. Aspek-aspek Kepribadian Ekstravert………...……….

C. Remaja……….

1. Pengertian Remaja………. 2. Batasan Usia……….. 3. Perkembangan Remaja……….. D. Hubungan antara Kecenderungan Kepribadian Ekstravert dan

Subjective Well-Being pada Remaja Akhir……….

E. Skema Dinamika……….

F. Hipotesis Penelitian Subjective Well-Being………. 12 BAB III. METODE PENELITIAN………..……….

A. Jenis Penelitian……….………... B. Identifikasi Variabel……… C. Definisi Operasional……… 1. Kepribadian Ekstravert………..

2. Subjective Well-Being………

(17)

G. Uji Validitas, Seleksi Aitem dan Reliabilitas ………. 1. Uji Validitas………..

2. Seleksi Aitem………

3. Reliabilitas………

H. Metode Analisis Data………. 1. Uji Asumsi Data Penelitian………... 2. Uji Hipotesis Penelitian……….

43 BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……….

A. Pelaksanaan Penelitian……… B. Deskripsi Subyek Penelitian……… C. Deskripsi Data Penelitian……… D. Analisis Data Penelitian………..

(18)

TABEL 2. Blue Print Skala Kepribadian Ekstravert………... TABEL 3. Skor Penilaian Skala Kepuasan Hidup secara Global... TABEL 4. Blue Print Skala Kepuasan Hidup secara Global... TABEL 5. Skala Kepuasan hidup dalam domain khusus... TABEL 6. Blue Print Skala Kepuasan hidup dalam domain khusus... TABEL 7. Skor Penilaian Skala Afeksi-positif dan Afeksi-negatif... TABEL 8. Blue Print Skala Afeksi-positif dan Afeksi-negatif... TABEL 9. Sebaran Aitem Skala Kepribadian Ekstravert (setelah uji coba). TABEL 10. Sebaran Aitem Skala Subjective well-being (setelah uji coba) .. TABEL 11. Deskripsi Subyek Penelitian Berdasarkan Usia... TABEL 12. Deskripsi Subyek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin... TABEL 13. Deskripsi Subyek Penelitian Berdasarkan IPK... TABEL 14. Deskripsi Data Penelitian... TABEL 15. Hasil Uji Normalitas Sebaran... TABEL 16. Hasil Uji Linearitas... TABEL 17. Hasil Uji Korelasi Kepribadian Ekstravert dan Subjective

well-being... TABEL 18. Hasil Uji Korelasi Kepribadian Ekstravert dan Aspek-aspek

(19)

Kepribadian Ekstravert dan Subjective Well-Being pada

(20)

LAMPIRAN 2.

Uji Reliabilitas Skala Kepribadian Ekstravert……… Uji Reliabilitas Skala Subjective Well-being……….. Uji Asumsi Normalitas dan Linieritas……… Uji Korelasi Kepribadian Ekstravert dan Subjective

Well-being………

Uji Korelasi Kepribadian Ekstravert dan Komponen

Subjective Well-being……….

Mean Empirik Kepribadian Ekstravert dan Subjective

Well-being………

Distribusi Data Subyek Penelitian……….. Data Demografi Subyek Penelitian………..

(21)

A. Latar Belakang Masalah

Kehidupan yang bahagia merupakan keinginan setiap manusia pada umumnya. Banyak peristiwa yang terjadi setiap harinya yang menunjukkan akan adanya kebutuhan manusia untuk mencapai keinginannya dengan cara masing-masing. Ada tukang becak yang rela bekerja dari pagi sampai malam sepanjang hari untuk bisa menafkahi anak dan istrinya, kemudian ada pedagang di pasar yang selalu bangun subuh setiap harinya, dan ada seorang guru yang menjual bajunya untuk membeli sebuah buku yang akan digunakan untuk mengajar. Selain itu ada pula masyarakat miskin yang rela mengantri dan bahkan berkelahi satu sama lain untuk mendapatkan sembako gratis, ada banyak pejabat pemerintahan yang korupsi, ada konflik yang memperebutkan kursi kepemimpinan di lembaga negara, dan masih banyak lagi peristiwa terjadi setiap harinya. Menurut Howard Cutler, MD fenomena atau gejala tersebut merupakan gerak hidup manusia menuju kebahagiaan (Kompas, 5 Mei 2008). Para filsuf berpendapat bahwa kebahagiaan merupakan tujuan akhir keberadaan atau eksistensi manusia di dunia. Oleh karena itu, kebahagiaan dinilai sebagai keinginan setiap orang.

(22)

dicapai selama ini. Maslow menyatakan bahwa manusia akan mengalami pengalaman puncak (peak experience) yang salah satu cirinya adalah sering mengalami letupan emosi bahagia yang mendalam, yaitu ketika telah terpenuhinya lima kebutuhan mendasar manusia (Widyarini, M. M. N, 2004). Maka dari itu, kebahagiaan sering disangkut-pautkan dengan kepuasan hidup. Akankah kepuasan hidup mempengaruhi tingkat kebahagiaan seseorang? Kepuasan hidup terkait pula dengan segala aspek di dalam kehidupan. Kesehatan, keluarga, uang, pekerjaan, persahabatan, dan lain sebagainya. Selain itu, seseorang yang merasa bahagia akan memiliki emosi yang positif. Salah satunya adalah dengan tersenyum dan selalu berpikir positif.

(23)

saat bisa memberi yang terbaik untuk orang yang disayangi, demikian yang diungkapkan oleh Rio, seorang karyawan swasta (komunikasi pribadi, 09 September, 2008). Ia pun menambahkan bahwa saat bahagia adalah saat ia merasa dicintai, saat bisa membantu orang lain yang kesusahan, saat bisa mensyukuri sesuatu dan saat lepas dari masalah. Selain itu, adapula orang yang sudah merasa bahagia hanya dengan membantu orang lain (Seligman, 2005). Pengalaman internal inilah yang dirasakan oleh individu dapat digambarkan melalui istilah yang disebut dengan subjective well-being atau SWB (dalam Diener, Suh, dan Oishi, 1997).

Menurut Park (dalam Puspasari, Rostiana, & Nisfian, 2004), subjective well-being atau kebahagiaan (happiness) merupakan komponen inti dari hidup yang baik (good of life). Individu dengan tingkat subjective well-being yang tinggi pada umumnya memiliki kualitas yang mengagumkan (Diener et al., 1997). Individu ini juga akan merasa puas akan hidupnya dan sering mengalami perasaan senang atau gembira serta jarang mengalami emosi yang tidak menyenangkan seperti kesedihan dan kemarahan. Suatu keadaan yang membahagiakan akan menimbulkan perasaan yang menyenangkan dan ditunjukkan dengan emosi yang positif. Sebaliknya individu dengan tingkat

(24)

Dalam Myers dan Diener (1995), individu yang merasa bahagia memiliki ciri-ciri sebagai berikut. Pertama, orang yang bahagia menyukai diri mereka sendiri. Mereka merasa nyaman dengan diri mereka sendiri, jarang berprasangka buruk, mampu bekerja sama, memiliki harga diri yang positif dan lebih sehat dibandingkan yang lain. Kedua, orang yang bahagia memiliki kendali atas dirinya sendiri. Mereka merasa lebih merasa berdaya ketika di sekolah, melakukan strategi coping lebih baik terhadap stres, dan hidup dengan lebih bahagia. Ketiga, orang yang bahagia biasanya optimis. Keempat, orang yang bahagia biasanya memiliki kepribadian ekstravert. Diener, Sandvik, Pavot, dan Fujita (1992) menambahkan bahwa dibandingkan dengan introvert, orang yang ekstravert lebih bahagia baik ketika sendiri maupun bersama dengan orang lain, bekerja pada pekerjaan non-sosial atau sosial, tinggal di daerah pedesaan atau perkotaan.

(25)

keterbatasan penelitian sehingga disarankan untuk penelitian selanjutnya agar lebih memperhatikan faktor budaya. Subjek penelitian ini terdiri atas rentang usia antara 18 tahun sampai 38 tahun.

Dimensi kepribadian ekstraversi seperti yang diungkapkan Eysenck (1969, dalam Pervin, Daniel, dan Oliver 2005) merupakan perbedaan dalam reaksi-reaksi terhadap lingkungan dan tingkah laku sosial. Menurut Eysenck keunikan kepribadian ekstravert dan introvert terletak pada tingkah laku terhadap stimulus sebagai perwujudan karakter, temperamen, fisik, dan intelektual individu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Eysenck juga mempercayai bahwa setiap individu pasti berada di antara kedua kontinum tersebut.

Eysenck (dalam Lina Abidin, 2003) mengemukakan bahwa seseorang yang memiliki kecenderungan ekstravert akan memiliki karakteristik sebagai orang yang ramah, suka bergaul, menyukai pesta, memiliki banyak teman, selalu membutuhkan orang lain untuk diajak berbicara, serta tidak menyukai belajar, membaca atau melakukan kegiatan sendirian. Sebaliknya, kepribadian introvert memiliki karakter yang tidak banyak bicara, malu-malu, mawas diri, lebih menyukai membaca dibandingkan dengan bergaul dengan orang lain. Berdasarkan karakteristik-karakteristik tersebut dapat dilihat bahwa ada perbedaan kecenderungan dalam menghadapi situasi sosial.

(26)

menambahkan bahwa kepribadian ekstravert-intravert merupakan dua dimensi dasar kepribadian yang memiliki peran penting dalam emosi positif dan negatif. Individu yang ekstravert biasanya memiliki banyak teman karena mereka merasa lebih nyaman ketika berinteraksi dengan orang lain daripada orang yang introvert. Menurut Myers dan Diener (1995) kebahagiaan biasanya menghasilkan perilaku yang ramah. Misalnya, orang yang ramah akan memiliki semangat yang tinggi dan merasa tenang atau santai dalam berhubungan dengan orang lain. Hal ini juga dapat menjelaskan mengapa mereka menikah lebih cepat, mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan memiliki banyak teman.

Berdasarkan hal-hal yang telah disampaikan di atas, menjadi ketertarikan peneliti untuk mengetahui apakah ada hubungan antara kecenderungan kecenderungan kepribadian ekstravert dengan tingkat

subjective well-being pada remaja akhir.

B. Rumusan Masalah

(27)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan yang positif antara kecenderungan kepribadian ekstravert dan subjective well-being

pada remaja akhir.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan memperluas konsep serta pandangan pengetahuan dalam ilmu Psikologi khususnya dalam hal subjective well-being (kesejahteraan subyektif) atau sering juga disebut dengan kebahagiaan dan kepribadian ekstravert. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk menambah wacana mengenai kepribadian sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat subjective well-being.

2. Manfaat Praktis

(28)

A. Subjective Well-Being

1. Pengertian Subjective well-being

Subjective well-being atau kesejahteraan subyektif menurut Diener, Suh, & Oishi (1997) adalah suatu bentuk evaluasi terhadap kehidupan yang terdiri dari evaluasi terhadap kepuasan hidup dan respon emosional. Kepuasan hidup kemudian dibagi menjadi kepuasan hidup secara global dan kepuasan dalam domain khusus seperti pekerjaan, persahabatan dan perkawinan. Sedangkan respon emosional terhadap suatu kejadian terdiri dari respon emosi yang positif misalnya perasaan gembira atau senang dan respon emosi negatif seperti merasa sedih dan marah.

Individu yang memiliki tingkat subjective well-being tinggi menunjukkan adanya kepuasan hidup disertai dengan perasaan senang dan jarang memiliki emosi yang negatif seperti kemarahan atau kecemasan. Sebaliknya, individu dengan tingkat subjective well-being rendah biasanya merasa tidak puas dengan hidupnya, jarang merasa senang dan sering merasa sedih, kecewa ataupun marah dalam menyikapi suatu keadaan.

(29)

kebersamaan dengan orang lain, dan bermeditasi (Myers & Diener, 1995). Selain itu, menurut Vanden Bos (2007) subjective well-being

diartikan sebagai berikut:

“A judgment that people make about the overall quality of their lives by summing emotional ups and downs to determine how well their actual life circumstances match their wishes or espectations concerning how they should or might feel.”

(Vanden Bos, 2007; h. 904)

Pengertian di atas mengungkapkan bahwa kualitas hidup seseorang ditentukan berdasarkan apakah keadaan yang sebenarnya sesuai dengan apa yang diharapkan atau apa yang seharusnya dirasakan serta pengalaman emosional baik positif maupun negatif. Masih menurut VandenBos, istilah

well-being merupakan suatu keadaan yang bahagia, senang, rendahnya tingkat stres, kondisi fisik dan mental baik serta memiliki kualitas hidup yang baik.

Berdasarkan pemahaman tersebut, dapat disimpulkan bahwa

subjective well-being merupakan evaluasi atau penilaian terhadap kepuasan hidup individu dimana kepuasan hidup tersebut terdiri dari evaluasi kognitif dan evaluasi afektif.

2. Komponen Subjective well-being

(30)

1. Evaluasi Kognitif

Bentuk evaluasi kognitif merupakan evaluasi terhadap kepuasan hidup individu yang kemudian dibagi lagi menjadi kepuasan hidup secara global dan kepuasan hidup dalam domain khusus. Kepuasan hidup secara global menggambarkan tentang ada atau tidaknya keinginan individu untuk mengubah kondisi hidupnya, kepuasan hidup saat ini, kepuasan hidup masa lalu, kepuasan hidup masa depan, dan pandangan orang lain tentang kehidupan seseorang yang bersangkutan (Diener, Suh, Lucas & Smith, 1999). Kepuasan hidup merupakan bagaimana individu mengevaluasi kehidupannya secara menyeluruh (Diener, 2005). Hal tersebut dimaksudkan untuk menjelaskan tentang sesuatu yang luas, dimana individu melakukan refleksi terhadap apa yang telah dilakukan sepanjang hidupnya.

(31)

2. Evaluasi Afektif

Evaluasi afektif merupakan evaluasi individu terhadap suatu kejadian. Menurut Diener (2003, Puspasari, Rostiana & Nisfian, 2005) emosi dan suasana hati, yang keduanya disebut afeksi, menggambarkan evaluasi seseorang tentang kejadian-kejadian yang terjadi di dalam hidupnya. Afeksi positif ditandai dengan adanya emosi dan suasana hati yang menyenangkan seperti perasaan senang, gembira, bangga, kasih sayang, dan kebahagiaan. Emosi positif atau menyenangkan merupakan bagian dari subjective well-being karena emosi-emosi ini menggambarkan cara yang dilakukan individu untuk merespon suatu kejadian.

(32)

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi sSbjective Well-Being

Myers & Diener (1995) dan Diener et al. (1999) mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being yaitu:

1. Kepribadian

Kepribadian merupakan salah satu faktor paling berpengaruh terhadap subjective well-being. Hal tersebut didukung oleh penelitian-penelitian yang menunjukkan bahwa kepribadian terbentuk karena faktor genetis dan lingkungan. Individu akan memiliki kecenderungan genetis untuk merasa bahagia atau tidak bahagia sehingga faktor genetis menjadi salah satu faktor pendukung subjective well-being.

Kepribadian yang mempengaruhi kebahagiaan individu adalah dimensi ekstravert. Eysenck (1997) berpendapat bahwa kepribadian tersebut memiliki perbedaan pada tingkat stimulasi otak, yaitu kondisi fisiologis yang diwarisi bukan dipelajari. Costa dan McCrae (1980) menemukan bahwa orang yang ekstravert memiliki emosi positif, sedangkan orang yang introvert memiliki emosi yang negatif. Di dalam penelitiannya, Larsen dan Ketelaar (1991) menambahkan bahwa kepribadian ekstravert memberikan respon emosi positif lebih banyak daripada kepribadian introvert dengan stimulus dan kejadian yang sama.

2. Kesehatan

(33)

akan semakin tinggi. Dengan kata lain, individu yang sehat secara fisik sudah tentu akan merasa nyaman dan bebas untuk melakukan suatu hal yang diinginkan. Namun, sehat secara fisik tidak cukup menunjukkan tingkat subjective well-being yang tinggi. Mehnert et al. (1990) menemukan bahwa 68% individu yang disable merasa puas dengan kehidupannya. Singkatnya, pengaruh kesehatan tergantung pada persepsi individu terhadap situasi yang mereka alami. Kondisi yang tidak sehat akan mengganggu pencapaian tujuan penting di dalam hidup.

3. Penghasilan

(34)

individu yang menilai uang lebih tinggi daripada tujuan hidup yang lainnya merasa kurang puas dengan standard hidupnya.

4. Agama/kepercayaan

Myers & Diener (1995) mengungkapkan bahwa orang yang aktif secara religius memiliki tingkat kebahagiaan yang tinggi. Pengalaman religius dapat membantu individu untuk merasakan makna hidup dengan baik selama melewati krisis. Orang yang religius biasanya tidak mudah depresi karena mereka memiliki pengalaman spiritual yang dipercaya sebagai sesuatu yang paling berpengaruh dalam hidup. Myers juga mengungkapkan bahwa meningkatnya kebahagiaan dan kepuasan hidup diikuti dengan frekuensi ibadah. Individu yang memiliki kepercayaan yang lebih kuat juga menunjukkan kondisi yang lebih baik setelah perceraian, pengangguran, penyakit serius, atau kehilangan orang yang dicintai.

5. Pernikahan

(35)

pada kesejahteraan hidup secara keseluruhan baik pada pria maupun wanita.

Kepuasan pernikahan juga didukung oleh faktor-faktor seperti interaksi, ekspresi emosi, dan saling berbagi. Karakteristik budaya juga dapat mempengaruhi subjective well-being dan status pernikahan. Pada budaya individual pasangan yang tidak menikah akan lebih bahagia dan puas terhadap hidupnya daripada orang yang menikah atau single.

Sebaliknya, pada budaya kolektivisme, kepuasan hidup orang yang tinggal bersama lebih rendah dan memiliki emosi yang negatif daripada orang yang menikah atau single.

6. Usia

(36)

al.) menyatakan bahwa usia tidak mempengaruhi tingkat kebahagiaan individu.

7. Jenis kelamin

Robin & Reiger (1991, Myers & Diener, 1995) menemukan bahwa wanita dua kali lebih mudah terkena depresi dan kecemasan daripada pria. Selain itu, pria dan wanita sama-sama memiliki kecenderungan untuk menjadi alkoholik dan orang yang antisosial. Walaupun demikian, pada dasarnya wanita sudah terbiasa mengungkapkan emosinya pada orang lain sedangkan pria ketika mengalami hari yang buruk, mereka cenderung tidak mengungkapkan emosinya pada orang lain. Tidak ada perbedaan yang mendasar akan adanya perbedaan kebahagiaan antara pria dan wanita jika faktor demografi dikontrol. 8. Pekerjaan

Pekerjaan cukup mempengaruhi tingkat subjective well-being

(37)

membuktikan bahwa orang yang tidak memiliki perkerjaan akan memiliki tingkat stres yang tinggi, kepuasan hidup rendah, dan memiliki tingkat bunuh diri yang tinggi daripada mereka yang bekerja. 9. Pendidikan

Ada hubungan yang rendah tetapi cukup signifikan antara pendidikan dan subjective well-being. Tingkat kepuasan hidup individu dinilai tinggi ketika faktor pendidikan diikuti dengan pendapatan dan status pekerjaan yang baik. Pendidikan memiliki kontribusi terhadap

subjective well-being ketika individu membuat kemajuan terhadap target atau tujuan hidup atau untuk menyesuaikan diri terhadap tantangan yang ada di sekeliling mereka. Selain itu, Clark dan Oswald (Diener,et.al) menemukan bahwa orang yang berpendidikan akan lebih mudah terkena stres ketika mereka kehilangan pekerjaan. Hal tersebut disebabkan karena mereka memiliki harapan yang tinggi terhadap keberlangsungan hidup mereka.

B. Kepribadian

1. Pengertian Kepribadian

(38)

berperilaku tersebut berbeda antara individu yang satu dengan yang lainnya.

Setiap individu memiliki kepribadian yang unik. Keunikan individu inilah yang membedakan satu dengan yang lainnya. Kepribadian tersebut dimunculkan melalui perilaku yang biasanya sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Kepribadian merupakan kumpulan dari gaya hidup individu atau cara serta karakteristik individu untuk bereaksi termasuk masalah-masalah hidup serta tujuan hidup (dalam Hall & Lindzey, 1993). Kepribadian yang ada di dalam diri individu dipengaruhi oleh dua faktor, antara lain faktor biologis atau keturunan dan faktor lingkungan. Kepribadian secara langsung berhubungan bagaimana individu menyesuaikan diri dengan lingkungannya serta mengandung unsur yang dinamis, karena kepribadian akan memiliki suatu perubahan menuju satu integrasi baru. Eysenck menambahkan bahwa kepribadian merupakan sejumlah pola perilaku potensial organisme yang dibedakan berdasarkan keturunan dan lingkungan.

(39)

2. Struktur Kepribadian

Banyak ilmuwan yang melakukan penelitian untuk mengukur kepribadian dengan berbagai teknik. Eysenck menggunakan pendekatan analisis faktor untuk mempelajari sifat-sifat pribadi. Teori kepribadian Hans Eysenck (Feist, 2006) memiliki komponen psikometris dan biologis yang kuat. Metode pendekatan analisis faktor yang digunakan Eysenck tersusun atas tindakan-tindakan, disposisi-disposisi yang terorganisasi dalam susunan hirarkis berdasarkan atas keumuman dan kepentingannya. Pendekatan faktor terdiri atas sifat (trait) dan tipe. Eysenck memiliki landasan penelitian yang cukup ilmiah sehingga hasilnya lebih dapat dipertanggung-jawabkan dibandingkan pendekatan yang hanya menggunakan spekulasi atau intuisi klinis saja.

Eysenck (Hall & Gardner,1993) menambahkan bahwa kepribadian berkembang melalui interaksi antara empat faktor yang mempengaruhi pola perilaku antara lain faktor kognitif (inteligensi), faktor konatif (karakter), faktor afektif (temperamen), dan faktor somatik (konstitusi).

3. Dimensi Ekstravert menurut Eysenck

(40)

dan introvert. Masing-masing memiliki minat, sikap, pikiran serta perasaan yang berbeda antara individu yang satu dengan yang lainnya. Selain itu, terdapat karakteristik lain menurut Edi Ikhsan (2002) yaitu bahwa manusia cenderung memiliki perkembangan yang berbeda dengan orang lain yang ditentukan oleh sejauh mana mereka memiliki sifat ekstravert atau introvert. Menurut Eysenck (seperti dikutip dalam Feist, 2006), perbedaan utama ekstraversi dan introversi bukan terletak pada aspek behavioral, melainkan lebih pada tataran biologis dan genetik. Eysenck juga meyakini jika sebab utama perbedaan antara ekstraversi dan introversi adalah pada tingkat stimulasi kulit otak, sebuah kondisi fisiologis yang diw arisi bukan dipelajari.

Menurut Eysenck (Feist, 2006) berdasarkan kondisi fisiologisnya, pribadi yang ekstravert memiliki tingkat stimulasi kulit otak lebih rendah daripada pribadi introvert. Mereka memiliki ambang indrawi lebih rendah dan mengalami reaksi lebih besar terhadap stimulasi indrawi sehingga mereka terlihat mudah menyesuaikan diri dalam masyarakat dan tertarik pada orang banyak. Eysenck mengemukakan bahwa seseorang yang memiliki kecenderungan ekstravert memiliki karakteristik yaitu tergolong orang yang ramah, suka bergaul, menyukai pesta, memiliki banyak teman, selalu membutuhkan orang lain untuk diajak berbicara, serta tidak menyukai belajar, membaca atau melakukan kegiatan sendirian.

(41)

mengambil kesempatan yang datang kepadanya, tidak jarang mereka suka menonjolkan diri, dan seringkali bertindak tanpa dipikir terlebih dulu atau spontan. Individu ekstravert juga menyukai lelucon, mereka cepat tanggap dalam memberikan jawaban atas pertanyan yang dilontarkan kepadanya serta menyukai perubahan. Mereka merupakan individu yang periang dan tidak terlalu memusingkan suatu masalah, optimis serta ceria. Mereka lebih suka melakukan suatu kegiatan daripada harus berdiam diri, cenderung agresif, mudah hilang kesabaran, kadang-kadang kurang dapat mengontrol perasaannya dengan baik, kadang-kadang mereka juga kurang dapat dipercaya.

Sedangkan pribadi yang introvert, untuk mempertahankan tingkat stimulasi yang optimal dan dengan ambang indrawi yang tercipta rendah, mereka menghindari situasi-situasi yang akan menyebabkan terlalu banyak kesenangan. Oleh karena itu, pribadi ini cenderung menghindari aktivitas-aktivitas sosial seperti pertemuan dengan orang lain, memimpin organisasi, atau melontarkan komentar-komentar lucu sehingga mereka tampak segan bergaul, suka mengucilkan diri serta senang pada perasaan-perasaan atas perbuatannya sendiri.

(42)

percaya akan faktor kebetulan. Mereka tidak menyukai situasi keramaian, memikirkan masalah kehidupan sehari-hari secara serius, serta menyukai keteraturan dalam hidup mereka. Individu introvert dapat mengontrol perasaan mereka dengan baik, jarang berperilaku agresif, serta tidak mudah hilang kesabaran. Mereka juga merupakan orang yang dapat dipercaya, sedikit pesimis, dan menempatkan standar etis yang tinggi dalam hidup mereka.

4. Aspek-Aspek Kepribadian Ekstravert

Aspek-aspek kepribadian ekstravert menurut Eysenck dalam

Eysenck Personality Inventory adalah (Eysenck, 1969): 1. Sociability

(43)

2. Liveliness

Aspek ini menunjukkan kegembiraan, hidup, aktif dan penuh energi atau energik. Individu yang ekstravert mampu membuat suasana yang dingin menjadi lebih hidup atau hangat dan akrab. Mereka juga sering merasa riang gembira dan menyukai suasana yang ramai. Sedangkan individu yang introvert cenderung jarang merasa riang gembira. Mereka juga menyukai kesunyian dan ketenangan, bukan suasana yang ramai sehingga mereka cenderung kurang mampu membuat suasana menjadi hangat dan akrab. Individu yang introvert juga kurang suka beraktivitas atau bergerak.

3. Jocularity

Aspek jocularity menunjukkan sifat yang suka bercanda atau humoris dan spontan sehingga suka mengungkapkan kata-kata atau komentar yang lucu. Individu dengan kepribadian ekstravert cenderung memiliki jocularity yang baik. Mereka mampu membuat orang lain tertawa dengan lelucon-leluconnya yang lucu. Sebaliknya individu dengan kecenderungan introvert lebih suka mengontrol tindakan dan kata-kata yang akan diucapkannya. Mereka juga kurang memiliki inisiatif untuk mengungkapkan komentar lucu sehingga terlihat menahan diri dan tampak kaku.

4. Impulsiveness

(44)

di dalam diri dapat dengan mudah dikeluarkan individu yang ekstravert. Mereka juga kurang teliti dan bertindak tanpa berpikir dulu. Hal ini yang menyebabkan mereka terkesan agresif. Individu dengan kepribadian introvert akan berusaha memikirkan dan mempertimbangkan segala tindakan yang akan dilakukan sehingga dorongan yang ada di dalam diri kurang dapat diungkapkan dengan baik.

C. Remaja

1. Pengertian Remaja

Istilah remaja atau adolescene berasal dari kata latin adolescere

yang berarti tumbuh menjadi dewasa yang mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik (Hurlock, 1999). Masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional (Santrock, 2003). Remaja tidak memiliki posisi yang jelas, mereka tidak dapat dikategorikan sebagai anak-anak, tetapi belum tepat untuk dikategorikan sebagai orang dewasa.

(45)

belum mampu melepaskan ketergantungan dari orang tua. Sedangkan masa remaja akhir memiliki keinginan yang besar untuk lepas dari orang tua karena minat yang tinggi terhadap karir, berpacaran, dan eksplorasi identitas.

2. Batasan usia

Masa remaja biasanya diawali pada usia 12 atau 13 tahun sampai dengan usia belasan akhir atau awal usia dua puluhan. Di dalam masyarakat Indonesia, menurut Sarwono (2003) definisi remaja adalah individu yang berusia antara 11 sampai dengan 24 tahun dan belum menikah. Beberapa peneliti sosial yang mempelajari tentang remaja biasanya membedakan remaja menjadi tahap-tahap berikut ini: (1) Early adolescene, yaitu individu yang berada dalam periode usia 10 sampai dengan 13 tahun; (2) Middle adolescene, yaitu individu yang berada dalam periode usia 14 sampai dengan 18 tahun; (3) Late adolescene atau disebut juga dengan istilah youth, berada dalam periode usia 19 sampai 23 tahun. (Puspasari, 2005)

(46)

3. Perkembangan remaja a. Perkembangan fisik

Perkembangan fisik yang menandai bahwa seorang anak sudah menjadi remaja adalah masa pubertas. Ciri-ciri masa pubertas ditandai dengan kematangan kerangka tubuh dan seksual pada masa awal remaja (Santrock,2003). Remaja awal akan mengalami kegelisahan terhadap perubahan fisik yang terjadi pada dirinya. Sedangkan masa remaja akhir memiliki gambaran tubuh yang lebih positif daripada remaja awal sehingga mereka cenderung menerima kondisi fisik apa adanya. Perhatian terhadap perubahan ini tidak menjadi fokus yang utama bagi remaja akhir, mereka lebih mengembangkan apa yang bisa mereka lakukan untuk menjaga kondisi fisiknya agar tetap sehat. Pada masa ini, mereka lebih berminat terhadap karir, berpacaran, dan eksplorasi identitas (Santrok, 2003).

b. Perkembangan Kognitif

(47)

Mereka mendapatkan pendidikan dan mulai mengarahkan apa yang menjadi minat mereka.

Prestasi bagi remaja merupakan salah satu kebutuhan untuk mengembangkan dirinya. Emmons dan Diener (dalam Diener et al., 1997) juga menambahkan bahwa kepuasan pada prestasi akademik merupakan prediktor yang kuat untuk memprediksi kepuasan hidup mahasiswa. Perubahan dari usia remaja menuju dewasa juga berdampak pada sisi psikologis individu. Lingkungan yang berbeda di universitas akan membuat individu beradaptasi terhadap kegiatan-kegiatan baru yang menuntut mereka untuk bertahan.Mahasiswa baru di universitas biasanya lebih banyak mengalami tekanan dan depresi daripada masa SMA atau masa sebelum menjadi mahasiswa.

c. Perkembangan Sosio-emosi

(48)

(Santrok, 2003) pertemanan dan persahabatan memiliki peranan yang cukup penting dalam pencapaian identitas remaja.

Remaja yang berhasil mengembangkan identitasnya dengan baik akan mengetahui siapa dirinya dan apa tujuan hidupnya. Proses menemukan identitas ini tidak lepas dari peran orangtua dan teman-temannya. Pada masa remaja akhir, eksplorasi terhadap peran dalam dunia kerja dan peran menjadi mahasiswa di universitas merupakan titik pusat dari perkembangan identitas.

D. Hubungan antara Kecenderungan Kepribadian Ekstravert dan Subjective Well-being pada Remaja Akhir

Kesejahteraan subyektif atau subjective well-being merupakan evaluasi individu terhadap keseluruhan hidupnya. Suatu kondisi yang dikatakan sejahtera atau well-being adalah ketika individu berada dalam kondisi yang bahagia, merasa senang, rendahnya tingkat depresi, sehat secara mental dan fisik, atau memiliki kualitas hidup yang baik. Subjective well-being terdiri atas dua komponen. Pertama yaitu evaluasi kognitif terdiri atas kepuasan hidup secara global dan kepuasan di setiap aspek kehidupan seperti pekerjaan atau pernikahan. Kedua yaitu evaluasi afektif, terdiri atas emosi positif dan emosi negatif.

(49)

faktor biologis dan lingkungan. Kedua faktor tersebut tidak bisa dipisahkan satu sama lain karena keduanya saling melengkapi. Para ahli telah melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh kepribadian terhadap subjective well-being. Berdasarkan penelitian tersebut itulah ditemukan bahwa kepribadian yang paling berpengaruh adalah dimensi kepribadian ekstravert/introvert dan neurotisme/stabilitas. Namun, di antara kedua dimensi tersebut karakteristik ekstravert/introvert diasumsikan sebagai karakter yang paling berpengaruh. Tokoh yang menelaah kepribadian tersebut dengan pendekatan faktornya adalah Eysenck. Setiap individu diyakini berada dalam kedua kontinum tersebut. Namun, biasanya individu akan memiliki kecenderungan pada salah satunya.

(50)
(51)

E. Skema Dinamika

Gambar 1.

Skema Dinamika Hubungan antara Kecenderungan Kepribadian Ekstravert dan Subjective Well-Being

F. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan hipotesis sebagai berikut yaitu ada hubungan yang positif antara kecenderungan kepribadian ekstravert dan subjective well-being. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi kecenderungan kepribadian ekstravert subyek maka semakin tinggi pula tingkat subjective well-being-nya. Sebaliknya, semakin rendah kecenderungan kepribadian ekstravert subyek maka semakin rendah pula tingkat subjective well-being-nya.

3. Suka berinteraksi dengan

orang lain sehingga memiliki banyak teman

4. Memiliki positive affect

(emosi yang menyenangkan) seperti merasa gembira, senang, dan bangga.

(52)

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian korelasional yang bertujuan untuk melihat ada atau tidaknya hubungan antara kecenderungan kepribadian ekstravert dan subjective well-being pada remaja akhir.

B. Identifikasi Variabel

Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: Variabel bebas : kepribadian ekstravert

Variabel tergantung : subjective well-being

C. Definisi Operasional

Definisi operasional merupakan penjabaran suatu konsep teoritik ke dalam bentuk yang bisa diukur. Definisi-definisi operasional dalam penelitian ini adalah:

1. Kepribadian ekstravert

(53)

menurut Eysenck. Aspek-aspeknya antara lain sociability (menunjukkan bagaimana individu dapat menyesuaikan diri dengan orang lain), liveliness

(menunjukkan suatu kehidupan yang aktif dan energik), jocularity

(menunjukkan sifat suka bercanda dan spontan), dan impulsiveness

(menunjukkan perilaku individu yang sesuai dengan dorongan dalam diri).

Keempat aspek tersebut akan digunakan dalam skala kepribadian ekstravert. Skala ini disusun oleh peneliti dengan acuan EPI format A

(Eysenck Personality Inventory format A) yang dibuat oleh Hans Eysenck. Perolehan skor atau nilai pada skala ini akan menunjukkan kecenderungan kepribadian subyek. Semakin tinggi skor totalnya, maka subyek diasumsikan memiliki kepribadian ekstravert. Sebaliknya, semakin rendah skor totalnya, maka subyek diasumsikan memiliki kepribadian introvert.

2. Subjective well-being

Subjective well-being merupakan evaluasi tentang seluruh aspek di dalam kehidupan, dimana individu yang memiliki kepuasan hidup tinggi akan memiliki tingkat subjective well-being yang tinggi dan demikian pula sebaliknya. Evaluasi terhadap aspek kehidupan meliputi:

a. Evaluasi kognitif: berupa evaluasi terhadap kepuasan hidup secara global dan dalam domain khusus.

(54)

(Satisfaction With Life Scale) yang dibuat oleh Ed Diener, dkk dengan pengembangan oleh peneliti. Perolehan skor pada skala ini menunjukkan tingkat kepuasan hidup secara global pada subyek. Semakin tinggi skor totalnya, maka subyek diasumsikan memiliki tingkat kepuasan hidup secara global yang tinggi. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah skor total, subyek diasumsikan memiliki tingkat kepuasan hidup secara global yang rendah.

Kepuasan hidup dalam domain khusus mencakup kepuasan dalam hubungan interpersonal dengan keluarga dan teman-teman, kepuasan individu akan diri sendiri, serta kepuasan akan prestasi. Skor total yang diperoleh menunjukkan tingkat kepuasan hidup dalam domain khusus. Semakin tinggi skor total, maka semakin tinggi pula tingkat kepuasan hidup dalam domain khusus. Sebaliknya, semakin rendah skor total, maka semakin rendah pula tingkat kepuasan hidup dalam domain khusus.

b. Evaluasi afektif: berupa evaluasi terhadap respon emosional tentang kejadian-kejadian yang dialami sepanjang hidup.

(55)

total menunjukkan afeksi yang sering dirasakan dan dialami oleh subyek. Semakin tinggi skor total, maka subyek semakin memiliki afeksi positif. Sebaliknya, semakin rendah skor totalnya, maka subyek semakin memiliki afeksi negatif.

D. Subyek Penelitian

Subyek penelitian adalah remaja akhir, yaitu dengan rentang usia 18-22 tahun berjumlah 100 orang di Universitas Sanata Dharma. Pada usia ini merupakan usia dimana individu melanjutkan pendidikannya di universitas sehingga peneliti akan menggunakan mahasiswa pada tahun pertama, kedua dan ketiga sebagai subyek penelitian. Selain itu, menurut peneliti, mahasiswa masih memiliki karakteristik usia remaja yang pada dasarnya merupakan transisi dari anak-anak menuju dewasa. Pada dasarnya, usia remaja akhir khususnya mahasiswa yang memiliki pendidikan sudah dituntut untuk memiliki karakteristik orang dewasa yaitu menjadi bijaksana dalam membuat keputusan, tetapi pada kenyataannya banyak di antara mahasiswa yang masih bersikap seperti remaja. Karakteristik subyek penelitian adalah individu yang memiliki karakteristik kepribadian ekstravert dan introvert.

(56)

E. Prosedur Penelitian

1. Peneliti membuat skala kepribadian ekstrovert dan skala subjective well-being dengan metode skala Likert untuk diujicobakan pada subyek penelitian.

2. Melakukan uji validitas, seleksi aitem dan uji reliabilitas pada kedua skala untuk mendapatkan aitem yang valid dan reliabel.

3. Menganalisis data dengan uji korelasi statistik untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara kecenderungan kepribadian ekstravert dan

subjective well-being pada remaja akhir.

4. Membuat kesimpulan berdasarkan analisis tersebut.

F. Metode dan Alat Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dengan menggunakan skala yang disebar kepada subyek penelitian. Terdapat dua buah skala yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu skala kepribadian ekstravert dan skala subjective well-being. Kedua skala tersebut disusun dengan menggunakan metode rating

yang dijumlahkan (Likert) yaitu metode penskalaan yang menggunakan distribusi respons sebagai penentuan nilai skala. Kedua skala tersebut antara lain:

1. Skala pengukuran kepribadian ekstravert

Skala ini disusun oleh peneliti sendiri dengan mengacu pada skala yang sudah pernah dibuat oleh Hans Eysenck yaitu skala EPI format A

(57)

mengungkap kecenderungan kepribadian ekstravert-introvert pada remaja akhir. Metode yang digunakan dalam menyusun skala ini adalah metode

rating yang dijumlahkan (summated rating method) dengan empat kategori respon, yaitu “Sangat Setuju” (SS), “Setuju” (S), “Kurang Setuju” (KS), “Tidak Setuju” (TS).

Aitem-aitem dalam skala kepribadian ekstravert terdiri atas pernyataan

favorabel dan unfavorabel. Aitem favorabel merupakan aitem yang bersifat positif atau mendukung aspek-aspek dari variabel kepribadian ekstravert. Sedangkan aitem unfavorabel merupakan aitem yang bersifat negatif atau tidak mendukung aspek-aspek dari variabel kepribadian ekstravert. Altenatif jawaban dan nilai atau skor dalam pernyataan

favorabel dan unfavorabel dapat dilihat dalam tabel berikut ini: Tabel 1

Skor Penilaian Skala Kepribadian Ekstravert Alternatif Jawaban

Skor

Favorabel Unfavorabel

“Sangat Setuju” (SS) 4 1

“Setuju” (S) 3 2

“Tidak Setuju” (TS) 2 3

“Sangat Tidak Setuju” (STS) 1 4

(58)

Tabel 2

Blue Print Skala Kepribadian Ekstravert

No. Aspek-aspek Nomor aitem Total

Favorabel Unfavorabel

2. Skala pengukuran tingkat Subjective well-being

Skala pengukuran tingkat subjective well-being terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian pertama terdiri dari skala kepuasan hidup secara global, bagian kedua adalah skala kepuasan hidup dalam domain khusus, dan bagian ketiga skala afeksi positif dan negatif.

a. Skala Kepuasan Hidup secara Global

(59)

yaitu, “Sangat Setuju” (SS), “Setuju” (S), “Tidak Setuju” (TS), “Sangat Tidak Setuju” (STS).

Aitem-aitem dalam skala tersebut terdiri atas pernyatan favorabel

dan unfavorabel. Aitem favorabel merupakan aitem yang bersifat positif atau mendukung aspek-aspek dari tingkat kepuasan hidup subyek secara global. Sedangkan aitem unfavorabel merupakan aitem yang bersifat negatif atau tidak mendukung aspek-aspek dari tingkat kepuasan hidup subyek. Altenatif jawaban dan nilai atau skor dalam pernyataan favorabel dan unfavorabel dapat dilihat dalam tabel berikut ini:

Tabel 3

Skor Penilaian Skala Kepuasan Hidup secara Global Alternatif Jawaban

Skor

Favorabel Unfavorabel

“Sangat Setuju” (SS) 4 1

“Setuju” (S) 3 2

“Tidak Setuju” (TS) 2 3

“Sangat Tidak Setuju” (STS) 1 4

(60)

Tabel 4

Blue Print Skala Kepuasan Hidup secara Global

Aspek-aspek Nomor aitem Total

Favorabel Unfavorabel

Kepuasan hidup

secara global 1, 3, 5, 7, 9 2, 4, 6, 8, 10 10

Total 5 5 10

b. Skala Kepuasan Hidup dalam Domain Khusus

Skala ini mengungkap kepuasan hidup remaja akhir yang befokus pada kepuasan akan hubungan interpersonal dengan teman-teman dan keluarga (orang tua dan saudara kandung), kepuasan akan diri sendiri, serta kepuasan akan prestasi. Skala ini dibuat oleh peneliti sendiri. Metode yang digunakan dalam menyusun skala ini adalah dengan metode skala rating yang dijumlahkan (summated rating method)

dengan empat kategori respon yaitu, “Sangat Setuju” (SS), “Setuju” (S), “Tidak Setuju” (TS), “Sangat Tidak Setuju” (STS).

Aitem-aitem dalam skala tersebut terdiri atas pernyatan favorabel

dan unfavorabel. Aitem favorabel merupakan aitem yang bersifat positif atau mendukung aspek-aspek dari tingkat kepuasan hidup subyek dalam domain khusus. Sedangkan aitem unfavorabel

merupakan aitem yang bersifat negatif atau tidak mendukung aspek-aspek dari tingkat kepuasan hidup subyek dalam domain khusus. Altenatif jawaban dan nilai atau skor dalam pernyataan favorabel dan

(61)

Tabel 5

Skala Kepuasan Hidup dalam Domain Khusus Alternatif Jawaban

Skor total yang diperoleh menunjukkan tingkat kepuasan hidup dalam domain khusus. Semakin tinggi skor total, maka semakin tinggi pula tingkat kepuasan hidup dalam domain khusus. Sebaliknya, semakin rendah skor total, maka semakin rendah pula tingkat kepuasan hidup dalam domain khusus.

Tabel 6

Blue Print Skala Kepuasan Hidup dalam Domain Khusus

No. Aspek-aspek Nomor aitem Total

Favorabel Unfavorabel

c. Skala Afeksi-positif dan Afeksi negatif

(62)

bertujuan untuk mengungkap evaluasi afektif atau emosi dan suasana hati subyek. Metode yang digunakan dalam menyusun skala ini adalah dengan metode skala rating yang dijumlahkan (summated rating method) dengan empat kategori respon yaitu, “Sangat Setuju” (SS), “Setuju” (S), “Tidak Setuju” (TS), “Sangat Tidak Setuju” (STS).

Aitem-aitem dalam skala tersebut terdiri atas pernyatan favorabel

dan unfavorabel. Aitem favorabel merupakan aitem yang bersifat positif atau mendukung aspek-aspek dari afeksi positif. Sedangkan aitem unfavorabel merupakan aitem yang bersifat negatif atau tidak mendukung aspek-aspek dari afeksi positif. Altenatif jawaban dan nilai atau skor dalam pernyataan favorabel dan unfavorabel dapat dilihat dalam tabel berikut ini:

Tabel 7

Skor Penilaian Skala Afeksi-positif dan Afeksi-negatif Alternatif Jawaban

Skor

Favorabel Unfavorabel

“Sangat Setuju” (SS) 4 1

“Setuju” (S) 3 2

“Tidak Setuju” (TS) 2 3

“Sangat Tidak Setuju” (STS) 1 4

(63)

Tabel 8

Blue Print Skala Afeksi-positif dan Afeksi-negatif

No. Aspek-aspek Nomor aitem Total

1.

Afeksi positif

(emosi dan suasana hati yang menyenangkan)

41, 42. 44, 45, 48, 49,

51, 53, 59, 60 10

2.

Afeksi negatif

(emosi dan suasana hati yang tidak menyenangkan)

43, 46, 47, 50, 52, 54,

55, 56, 57, 58 10

Total 20 20

G. Uji Validitas, Seleksi Aitem dan Reliabilitas 1. Uji Validitas

Validitas menunjuk pada sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya (Azwar, 2004). Validitas yang digunakan dalam alat ukur penelitian ini adalah validitasi isi. Validitas isi menunjuk pada sejauh mana aitem-aitem dalam alat ukur mencakup keseluruhan kawasan isi objek yang hendak diukur atau sejauh mana isi alat ukur mencerminkan ciri atribut yang hendak diukur. Kemudian, pengujian validitas isi akan diperoleh melalui pendapat orang yang dianggap ahli (professional judgment) yaitu dosen pembimbing selama proses bimbingan skripsi. Tujuan dari pengujian validitasi isi adalah untuk mengetahui apakah aitem-aitem tersebut mewakili seluruh aspek yang hendak diukur (Azwar, 1997).

2. Seleksi Aitem

(64)

dari data hasil uji coba pada subyek sesuai dengan aitem-aitem yang telah dibuat berdasarkan blue-print. Seleksi aitem dilakukan dengan cara membuang aitem dengan alpha yang lebih besar daripada alpha aitem total sehingga diperoleh korelasi aitem total tertinggi. Bila korelasi aitem total yang diperoleh tinggi maka dapat dikatakan bahwa aitem tersebut memiliki indeks daya beda aitem yang dianggap memuaskan (Azwar, 2003).

Peneliti melakukan proses ini dengan program SPSS versi 12 for windows. Aitem-aitem dipilih dengan melihat kolom output “alpha if

aitem deleted”, jika koefisien aitem pada kolom ini lebih besar daripada koefisien alpha secara keseluruhan, maka aitem tersebut harus dibuang. Proses ini dilakukan berkali-kali sehingga didapatkan taraf koefisien alpha yang maksimal, artinya koefisien dalam kolom “alpha if aitem deleted”

tidak ada yang lebih besar daripada koefisien alpha skala secara keseluruhan.

(65)

Tabel 9

Sebaran Aitem Skala Kepribadian Ekstravert (setelah uji coba)

Keterangan:

*) Aitem gugur

Sedangkan pada skala subjective well-being, didapat 48 aitem sahih dari 60 aitem dengankoefisien konsistensi internal alpha = 0,920.Tabel 10 menunjukkan penyebaran aitem skala subjective well-being setelah uji coba.

No. Aspek-aspek

Nomor aitem Total

Item sahih

Favorable Unfavorable

1. Sociability 5, 9*, 17, 25*, 29*,

36*, 40*

11, 14, 20*, 26*,

32, 42*, 47 6 2. Liveliness 1, 10, 23*, 30, 46 3, 13, 16, 27, 33 9 3. Jocularity 2, 8*, 18*, 34*, 41 7, 24*, 31*, 37, 43 5 4. Impulsiveness 6, 12*, 19, 22, 39,

45, 48*

4, 15, 21*, 28*, 35,

38, 44 10

(66)

Tabel 10

Sebaran Aitem Skala Subjective well-being

(setelah uji-coba)

Keterangan: *) Aitem gugur

3. Reliabilitas

Reliabilitas adalah sejauh mana hasil pengukuran dapat dipercaya. pengukuran dalam penelitian ini akan dilihat dengan menggunakan pendekatan konsistensi internal, dimana hanya akan memerlukan satu kali pengukuran (single trial administration) kepada sekelompok individu sebagai subyek penelitian (Azwar, 2004). Adapun estimasi terhadap reliabilitas hasil pengukuran ini akan dihitung dengan menggunakan koefisien alpha cronbach.

No. Aspek-aspek Nomor aitem Total

Favorable Unfavorable

1. Kepuasan hidup secara

global 1, 3*, 5*, 7, 9 2, 4, 6, 8*, 10* 6

2.

(67)

Reliabilitas skala kepribadian ekstravert sebesar 0,869 dari 30 aitem, sedangkan reliabilitas skala subjective well-being sebesar 0,920 dari 48 aitem. Hasil tersebut berarti bahwa reliabilitas kedua skala reliabel.

H. Metode Analisis Data

1. Uji Asumsi Data Penelitian a. Uji Normalitas

Uji normalitas data digunakan untuk mengetahui apakah data yang akan dianalisis dalam penelitian ini berdistribusi normal atau tidak (Sugiyono,2008). Uji normalitas dengan motode Kolmogorov-Smirnov

dalam program SPSS versi 12.00 for windows dapat dilakukan dengan melihat sig. Apabila sig lebih dari 0,05 maka distribusinya adalah normal (Trihendradi, 2005).

b. Uji Linearitas

Uji linearitas dilakukan untuk mengetahui apakah hubungan antara variabel bebas dengan variabel tergantung membentuk garis lurus atau tidak (Sugiyono,2008). Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan

(68)

2. Uji Hipotesis Penelitian

(69)

A. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 13 Juli 2009 sampai dengan 25 Juli 2009. Peneliti menyebar skala kepribadian ekstravert dan subjective well-being secara acak pada subyek penelitian secara langsung di daerah Yogyakarta. Subyek adalah mahasiswa yang berusia 18-22 tahun yang berada di Yogyakarta. Kedua skala tersebut diujicobakan secara langsung kepada 110 subyek. Berdasarkan 110 eksemplar skala yang dibagikan terdapat 10 eksemplar skala yang tidak kembali. Oleh karena itu ada 100 eksemplar skala yang kembali dan dapat diteliti.

Skala yang berjumlah 100 eksemplar tersebut digunakan untuk analisis uji coba alat. Hasil uji coba tersebut digunakan untuk analisis aitem, estimasi validitas dan reliabilitas sehingga alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini valid dan reliabel. Setelah digunakan untuk analisis aitem dan estimasi validitas serta reliabilitas, data uji coba ini digunakan untuk membuat deskripsi dan analisis data penelitian.

B. Deskripsi Subyek Penelitian

(70)

1. Deskripsi Subyek Berdasarkan Usia Tabel 11

Deskripsi Subyek Penelitian Berdasarkan Usia Usia Frekuensi Presentase

18 4 4% 19 29 29% 20 17 17% 21 36 36% 22 14 14% Total 100 100

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa subyek yang berusia 18 tahun sebanyak 4 orang dengan presentase 4%, subyek berusia 19 tahun sebanyak 29 orang dengan presentase 29%, subyek berusia 20 tahun sebanyak 17 orang dengan prsesentase 17%, subyek berusia 21 tahun sebanyak 36 orang dengan presentase 36%, dan subyek berusia 22 tahun sebanyak 14 orang dengan presentase 14%.

2. Deskripsi Subyek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin Tabel 12

Deskripsi Subyek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Frekuensi Presentase

Pria 35 35% Wanita 65 65%

(71)

Berdasarkan tabel 13 diketahui bahwa subyek yang berjenis kelamin pria sebanyak 35 orang dengan presentase 35% dan subyek yang berjenis kelamin wanita sebanyak 65 orang.

3. Deskripsi Subyek Penelitian Berdasarkan IPK Tabel 13

Deskripsi Subyek Penelitian Berdasarkan IPK Rentang IPK Frekuensi Presentase

2,00 – 2,75 25 25%

2,76 – 3,50 59 59%

3,51 – 4,00 8 8%

Tidak diketahui 8 8%

Total 100 100

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa subyek yang memiliki rentang IPK 2,00 – 2,75 sebanyak 25 orang dengan presentase 25%, subyek yang memiliki rentang IPK 2,76 – 3,50 sebanyak 59 orang dengan presentase 59%, subyek yang memiliki rentang IPK 3,51 – 4,00 sebanyak 8 orang dengan presentase 8%, sedangkan ada 8 subyek yang tidak diketahui nilai IPKnya.

C. Deskripsi Data Penelitian

(72)

Langkah selanjutnya yaitu analisis penelitian secara deskriptif untuk mengetahui deskripsi secara umum dari tiap-tiap variabel penelitian. Hal ini dilakukan dengan membandingkan antara keadaan teoritik (kemungkinan terjadi) dan keadaan empirik (didapatkan dari dari hasil penelitian). Deskripsi data dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 14

Deskripsi Data Penelitian

Keterangan:

Skor minimum = (skor terkecil dalam skala) x (jumlah aitem) Skor maksimum = (skor terbesar dalam skala) x (jumlah aitem) Mean = skor minimum + skor maksimum

2

Peneliti membandingkan antara mean empirik dan mean teoritik untuk mendapatkan informasi umum mengenai skor yang diperoleh subyek penelitian pada tiap-tiap variabel penelitian.

Tabel 11 menunjukkan bahwa jumlah mean empirik keseluruhan dari skala kepribadian ekstravert sebesar 86,91. Nilai tertinggi yang diperoleh dari skala kepribadian ekstravert sebesar 119 sedangkan untuk nilai terendah

(73)

sebesar 68. Apabila melihat perbandingan antara mean teoritik dengan mean empirik terlihat bahwa mean empirik lebih besar dari mean teoritik (86,91>65), sehingga terdapat perbedaan yang signifikan dengan jarak perbedaan mean sebesar 21,91. Maka dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa rata-rata kepribadian pada subyek penelitian relatif tinggi. Hal ini berarti bahwa subyek memiliki kecenderungan kepribadian ekstravert.

Selain itu dari tabel 11 juga menunjukkan bahwa jumlah mean empirik keseluruhan dari skala subjective well-being total sebesar 147,79. Nilai tertinggi yang diperoleh dari subjective well-being total sebesar 188 sedangkan untuk nilai terendah sebesar 113. Apabila melihat perbandingan antara mean teoritik dengan mean empirik terlihat bahwa mean empirik lebih besar dari mean teoritik (147,79>120), sehingga terdapat perbedaan yang signifikan dengan jarak perbedaan mean sebesar 27,79. Maka dari data di atas dapat disimpulkan bahwa rata-rata subjective well-being pada subyek penelitian relatif tinggi.

D. Analisis Data Penelitian 1. Uji Asumsi

(74)

a. Uji normalitas

Tujuan melakukan uji normalitas adalah untuk mengetahui apakah bentuk sebaran dari skor jawaban subyek normal atau tidak. Kaidah yang digunakan untuk mengetahui normal atau tidaknya data adalah jika p>0,05 maka sebarannya normal, jika p<0,05 maka sebarannya tidak normal. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan teknik

Kolmogorov-Smirnov Z test. Hasilnya dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

Tabel 15

Hasil Uji Normalitas Sebaran

Variabel Nilai K-SZ p>0,05 Keterangan

Kepribadian

Ekstravert 1,196 0,114 Normal

Subjective well being 0,865 0,443 Normal

Berdasarkan tabel di atas, didapatkan bahwa skala kepribadian ekstravert dan skala subjective well being memenuhi distribusi normal. Pada skala kepribadian ekstravert, koefisien Kolmogorov-Smirnov Z (K-SZ) sebesar 1,196 denngan p=0,114 (p>0,05). Kemudian pada skala subjective well-being, koefisien Kolmogorov-Smirnov Z (K-SZ) sebesar 0,865 dengan p=0,443 (p>0,05).

b. Uji linearitas

(75)

signifikansi linieritas lebih kecil dari 0,05 (p<0,05). Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan tert for linieratity. Berikut hasil uji linieritas yang dapat dilihat pada tabel 16.

Tabel 16 Hasil Uji Linearitas

Variabel F P P Keterangan

Subjective well

being*Kepribadian ekstravert 41,363 0,000 <0,05 Linier

Berdasarkan hasil uji linieritas diketahui bahwa taraf signifikansi menunjukkan nilai F sebesar 41,363 dengan p=0,000 sehingga dapat dikatakan bahwa hubungan antara skor variabel skala kepribadian ekstravert dan skor variabel skala subjective well-being bersifat linier. Dengan demikian, kedua variabel tersebut dapat dianalis dengan menggunakan korelasi product moment dari Pearson.

2. Uji Hipotesis

Berdasarkan hasil analisis korelasi product moment dari Pearson melalui program SPSS for windows versi 12, maka didapatkan angka koefisien korelasi atau r=0,550 dengan taraf signifikansi 0,000 (p<0,05). Analisis data ini membuktikan bahwa ada hubungan yang signifikan dan positif antara kepribadian ekstravert dan subjective well-being.

(76)

disebut dengan koefisien determinasi yang besarnya adalah kuadrat dari koefisien korelasi (r2). Sumbangan subjective well-being terhadap kepribadian ekstravert dapat dilihat dari koefisien determinasinya (r2) yaitu sebesar 0,303. Artinya bahwa sumbangan efektif variabel kepribadian ekstravert sebesar 30,3% terhadap subjective well-being.

Dengan demikian diketahu bahwa masih ada sumbangan sebesar 69,7% yang berasal dari aspek lain.

Tabel 17

Hasil Uji Korelasi Kecenderungan Kepribadian Ekstravert dan Subjective well-being

Correlation 1 .550(**)

Sig. (1-tailed) . .000

N 100 100

Subjective Well Being

Pearson

Correlation .550(**) 1

Sig. (1-tailed) .000 .

N 100 100

(77)

Tabel 18

Hasil Uji Korelasi Kepribadian Ekstravert dan Aspek-aspek Subjective well-being

Kepribadian

Correlation 1 .405(**)

Sig. (1-tailed) . .000

N 100 100

Subjective Well Being (Global)

Pearson

Correlation .405(**) 1

Sig. (1-tailed) .000 .

Correlation 1 .398(**)

Sig. (1-tailed) . .000

Correlation .398(**) 1

Sig. (1-tailed) .000 .

Correlation 1 .628(**)

Sig. (1-tailed) . .000

N 100 100

Subjective Well Being (Afeksi)

Pearson

Correlation .628(**) 1

Sig. (1-tailed) .000 .

N 100 100

(78)

membuktikan bahwa aada hubungan yang signifikan dan positif antara kedua variabel tersebut.

Sedangkan koefisien korelasi pada variabel kepribadian ekstravert dan komponen subjective well-being dalam domain khusus adalah 0,398 dengan taraf signifikansi 0,000 (p<0,05). Analisis ini membuktikan bahwa ada hubungan yang signifikan dan positif antara kedua variabel tersebut.

Kemudian koefisien korelasi pada variabel kepribadian ekstravert dan komponen afektif subjective well-being adalah 0,628 dengan taraf signifikansi 0,000 (p<0,05). Analisis ini membuktikan bahwa aada hubungan yang signifikan dan positif antara kedua variabel tersebut. Dari ketiga komponen tersebut dapat disimpulkan bahwa komponen afektif

subjective well-being memiliki koefisien korelasi paling tinggi dibandingkan dengan aspek lain.

E. Pembahasan

(79)

kecenderungan kepribadian ekstravert yang rendah akan memiliki tingkat

subjective well-being yang rendah. Maka hipotesis penelitian yang diajukan yaitu ada hubungan yang positif antara kecenderungan kepribadian ekstravert dan subjective well-being dapat diterima.

Variabel subjective well-being terdiri atas dua komponen, yaitu evaluasi kognitif dan evaluasi afektif. Evaluasi kognitif terdiri atas evaluasi secara global dan evaluasi dalam domain khusus. Masing-masing komponen tersebut dikorelasikan dengan kecenderungan kepribadian ekstravert. Hasil analisis menunjukkan adanya hubungan yang signifikan dan positif antara kecenderungan kepribadian ekstravert dan masing-masing komponen

subjective well-being. Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa hubungan yang paling tinggi diantara komponen-komponen subjective well-being adalah komponen afektif.

Hasil penelitian ini mengukuhkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Diener, Suh, Lucas, Smith (1999) yang menemukan bahwa individu dengan kepribadian ekstravert memiliki tingkat subjective well-being yang cenderung tinggi. Semakin ekstravert subyek maka akan memiliki tingkat

subjective well-being yang tinggi dan sebaliknya semakin introvert subyek akan memiliki tingkat subjective well-being yang rendah.

(80)

psikisnya pada dunia luar atau obyek eksternal sehingga dapat dikatakan subyek cenderung suka mengkuti aktivitas sosial misalnya kegiatan kemahasiswaan. Selain itu mereka juga mengekspresikan emosi yang positif seperti rasa senang dan bangga dalam menghadapi situasi apapun. Sedangkan subyek yang introvert lebih mengarahkan energi psikisnya pada dunia dalam dirinya sehingga mereka cenderung suka melakukan aktivitas seorang diri, tidak suka bergaul dengan orang lain dan suka mengekspresikan emosi yang negatif seperti rasa sedih, cemas dan kecewa. Kepuasan hidup terkait dengan hal-hal yang telah dicapai oleh subyek melalui kegiatan yang dilakukan sehari-harinya. Dengan demikian, perbedaan kepribadian subyek berimplikasi pada bagaimana mereka mengevaluasi kepuasan hidup melalui perilaku sehari-hari.

(81)

Selain itu, ada hubungan antara kecenderungan kepribadian ekstravert dengan evaluasi dalam domain khusus sehingga dapat dikatakan subyek merasa puas terhadap hubungannya dengan keluarga dan teman-teman, diri sendiri, serta prestasi. Hal tersebut sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa dalam usia remaja akhir, mereka menerima apapun keadaan fisiknya dan lebih fokus pada pencapaian prestasi dan pertemanan. Selain itu subyek juga memiliki kepuasan yang tinggi di dalam keluarga. Hal ini dapat terjadi karena adanya lingkungan keluarga yang kondusif sehingga subyek merasa nyaman tinggal berada dalam di rumah. Selain lingkungan keluarga, subyek juga memberikan pendapat bahwa mereka juga merasa nyaman dengan lingkungan di kampus saat ini karena teman-teman yang menyenangkan. Sedangkan dalam hal prestasi, subyek memiliki rata-rata IPK di atas 2,75. Hal tersebut mengindikasikan bahwa subyek penelitian memiliki kepuasan yang cukup tinggi dalam prestasi.

Gambar

Gambar 1.
Tabel 1
Tabel 2 Blue Print Skala Kepribadian Ekstravert
Tabel 3
+7

Referensi

Dokumen terkait

•• !euron aferen : neuron sensorik, mengirim !euron aferen : neuron sensorik, mengirim impuls dari sistem perifer ke dalam !S. impuls dari sistem perifer ke

Prinsip dan sasaran dalam penetapan struktur dan besarnya tarif Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah adalah dengan memperhatikan biaya investasi, biaya

Hal ini berarti, bahwa jika dana itu dipakai untuk investasi dalam suatu proyek, umpamanya proyek irigasi, maka pada waktu pengeluaran untuk investasi itu

( Pak Basar: waktu ke Tongar, secara nggak langsung masih ada budaya suriname yang dibawa, minuman karena disini ndak ada orang jual ya jarang, di kapal ndak

Atas izin-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pemerolehan Bahasa Indonesia pada Anak Tunagrahita Ringan Kelas III SDLB Melalui Kegiatan Membaca Buku

Kedepannya, penelitian ini dapat dikembangkan lagi dengan teknik kontrol keseimbangan yang lebih kompleks pada semua gerakan robot baik pada saat masa

Pada prinsipnya, analisis penetapan signifikan bahaya pada proses produksi wafer roll coklat terdapat pada tahap magnetting adonan dan cream serta deteksi sinar

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan pengaruh variasi konsentrasi crosslinker glutaraldehid terhadap parameter-parameter dalam kecepatan release asam