• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

E. Pembahasan

Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan teknik korelasi Product Moment Pearson, diperoleh koefisien korelasi sebesar 0,550. Korelasi tersebut signifikan dengan taraf signifikansi 0,00 (p<0,01). Hal tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara kecenderungan kepribadian ekstravert dengan subjective well-being. Artinya subyek yang memiliki kecenderungan kepribadian ekstravert akan memiliki tingkat subjective well-being yang tinggi. Sebaliknya, subyek yang memiliki

kecenderungan kepribadian ekstravert yang rendah akan memiliki tingkat

subjective well-being yang rendah. Maka hipotesis penelitian yang diajukan yaitu ada hubungan yang positif antara kecenderungan kepribadian ekstravert dan subjective well-being dapat diterima.

Variabel subjective well-being terdiri atas dua komponen, yaitu evaluasi kognitif dan evaluasi afektif. Evaluasi kognitif terdiri atas evaluasi secara global dan evaluasi dalam domain khusus. Masing-masing komponen tersebut dikorelasikan dengan kecenderungan kepribadian ekstravert. Hasil analisis menunjukkan adanya hubungan yang signifikan dan positif antara kecenderungan kepribadian ekstravert dan masing-masing komponen

subjective well-being. Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa hubungan yang paling tinggi diantara komponen-komponen subjective well-being adalah komponen afektif.

Hasil penelitian ini mengukuhkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Diener, Suh, Lucas, Smith (1999) yang menemukan bahwa individu dengan kepribadian ekstravert memiliki tingkat subjective well-being yang cenderung tinggi. Semakin ekstravert subyek maka akan memiliki tingkat

subjective well-being yang tinggi dan sebaliknya semakin introvert subyek akan memiliki tingkat subjective well-being yang rendah.

Kepribadian ekstravert-introvert memiliki peranan yang cukup penting dalam menentukan tinggi rendahnya subjective well-being. Kepribadian merupakan kumpulan sifat yang ada di dalam diri individu dan terakumulasi melalui perilaku sehari-hari. Kepribadian ekstravert mengarahkan energi

psikisnya pada dunia luar atau obyek eksternal sehingga dapat dikatakan subyek cenderung suka mengkuti aktivitas sosial misalnya kegiatan kemahasiswaan. Selain itu mereka juga mengekspresikan emosi yang positif seperti rasa senang dan bangga dalam menghadapi situasi apapun. Sedangkan subyek yang introvert lebih mengarahkan energi psikisnya pada dunia dalam dirinya sehingga mereka cenderung suka melakukan aktivitas seorang diri, tidak suka bergaul dengan orang lain dan suka mengekspresikan emosi yang negatif seperti rasa sedih, cemas dan kecewa. Kepuasan hidup terkait dengan hal-hal yang telah dicapai oleh subyek melalui kegiatan yang dilakukan sehari-harinya. Dengan demikian, perbedaan kepribadian subyek berimplikasi pada bagaimana mereka mengevaluasi kepuasan hidup melalui perilaku sehari-hari.

Subjective well-being merupakan evaluasi terhadap kepuasan hidup seseorang yang terdiri atas evaluasi kognitif dan evaluasi afektif. Individu yang mengevaluasi hidupnya dengan baik akan memiliki kualitas hidup yang baik. Dalam aitem-aitem secara global, subyek menilai bahwa mereka memiliki kepuasan hidup secara global yang cukup tinggi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Diener (1999) yang mengatakan bahwa kaum muda diprediksikan sebagai usia yang bahagia. Secara umum, subyek penelitian merasa puas terhadap kepuasan hidupnya. Hal ini dapat terjadi karena subyek merasa sudah mencapai apa yang diinginkan. Selain itu, faktor dalam diri dan lingkungan di mana subyek berada juga mempengaruhi bagaimana subyek mengevaluasi kehidupannya.

Selain itu, ada hubungan antara kecenderungan kepribadian ekstravert dengan evaluasi dalam domain khusus sehingga dapat dikatakan subyek merasa puas terhadap hubungannya dengan keluarga dan teman-teman, diri sendiri, serta prestasi. Hal tersebut sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa dalam usia remaja akhir, mereka menerima apapun keadaan fisiknya dan lebih fokus pada pencapaian prestasi dan pertemanan. Selain itu subyek juga memiliki kepuasan yang tinggi di dalam keluarga. Hal ini dapat terjadi karena adanya lingkungan keluarga yang kondusif sehingga subyek merasa nyaman tinggal berada dalam di rumah. Selain lingkungan keluarga, subyek juga memberikan pendapat bahwa mereka juga merasa nyaman dengan lingkungan di kampus saat ini karena teman-teman yang menyenangkan. Sedangkan dalam hal prestasi, subyek memiliki rata-rata IPK di atas 2,75. Hal tersebut mengindikasikan bahwa subyek penelitian memiliki kepuasan yang cukup tinggi dalam prestasi.

Komponen terakhir yaitu komponen afektif memiliki hubungan yang paling tinggi di antara komponen-komponen yang lain. Aitem-aitem dalam komponen ini mengungkap respon emosi subyek penelitian terhadap kejadian tertentu. Data menunjukkan bahwa semakin ekstravert maka subyek akan merespon secara positif kejadian-kejadian yang dialaminya. Sebagian besar subyek menyatakan bahwa mereka lebih sering memiliki emosi yang positif seperti merasa senang, gembira, optimis, percaya diri, dan bersemangat. Hal ini sesuai dengan penelitian Larsen dan Ketelaar (1991) yang menyatakan bahwa seseorang yang memiliki kecenderungan kepribadian ekstravert akan

memberikan respon emosi positif lebih banyak daripada kepribadian introvert dengan stimulus dan kejadian yang sama. Diener et al. (1999) juga mengemukakan bahwa orang yang ekstravert tampak lebih bahagia daripada orang yang introvert karena mereka mampu mengekspresikan emosi-emosi positif yang ada pada dirinya.

Berdasarkan analisis deskripsi data penelitian ditemukan bahwa mean empirik lebih tinggi daripada mean teoritik sehingga dapat dikatakan rata-rata subyek memiliki kepribadian ekstravert. Setiap individu tidak ada yang murni ekstravert atau murni introvert sehingga diyakini bahwa individu pasti memiliki kedua sifat tersebut. Hal ini sejalan dengan teori Eysenck yang mengatakan bahwa setiap individu pasti berada diantara kedua kontinum ekstravert dan introvert. Faktor lingkungan di mana subyek berada juga mempengaruhi subyek untuk berperilaku. Lingkungan kampus yang mendukung melalui kegiatan perkuliahan ataupun unit kegiatan mahasiswa (UKM) juga mempengaruhi subyek untuk bersosialisasi.

Sedangkan perbandingan mean pada deskripsi data subjective well-being

menunjukkan bahwa mean empirik lebih tinggi daripada mean teoritik. Hal ini menunjukkan bahwa subyek penelitian rata-rata memilki tingkat

subjective well-being yang relatif tinggi. Selain itu, hasil perbandingan antara mean teoritik dan mean empirik pada komponen subjective well-being yaitu evaluasi kognitif (secara global dan dalam domain khusus) dan evaluasi afektif juga menunujukkan hasil yang lebih tinggi. Hal ini dapat terjadi karena beberapa faktor yaitu dari dalam diri dan lingkungan. Secara umum,

dapat dikatakan mereka merasa puas terhadap apa yang sudah dicapai pada saat ini. Sedangkan faktor lingkungan juga mempengaruhi subyek untuk mengaktualisasikan dirinya melalui berbagai macam aktivitas di kampus. Kepribadian ekstravert dalam diri subyek juga didukung oleh lingkungan kampus yang nyaman, sehingga mereka dapat berinteraksi dengan teman-teman maupun dosen dengan baik.

Di dalam penelitian ini diketahui bahwa koefisien determinasi (r2) sebesar 0,303. Angka tersebut menunjukkan sumbangan efektif kepribadian ekstravert terhadap tingkat subjective well-being. Hasil tersebut menunjukkan bahwa 30,3% tingkat subjective well-being yang dimiliki subyek dipengaruhi oleh kepribadian apakah ekstravert atau introvert. Sedangkan sumbangan 69,7% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti kesehatan, penghasilan, religiusitas, status pernikahan, usia, pekerjaan dan tingkat pendidikan.

Keterbatasan penelitian ini terletak pada perumusan teori subjective well-being yang didapatkan dari jurnal penelitian di luar Indonesia. Hal ini sangat memungkinkan untuk memunculkan kondisi yang berbeda dengan orang Indonesia. Selain itu, penelitian ini menggunakan skala laporan diri sehingga kejujuran subyek penelitian tidak dapat dipastikan. Peneliti juga tidak dapat mengontrol faktor-faktor lain yang menjadi faktor variabel subjective well-being.

Dokumen terkait