• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keragaman dan Tingkat Parasitisasi Parasitoid yang Berasosiasi dengan Lalat Buah

HASIL PENELITIAN

5.4 Keragaman dan Tingkat Parasitisasi Parasitoid yang Berasosiasi dengan Lalat Buah

5.4 Keragaman dan Tingkat Parasitisasi Parasitoid yang Berasosiasi dengan Lalat Buah

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan 2 spesies parasitoid yang menyerang lalat buah di lapangan yaitu Fopius spp. Tingkat parasitasi kedua parasitoid tersebut tergolong rendah, tetapi Fopius sp pada buah belimbing memiliki tingkat parasitasi yang lebih tinggi yaitu sebesar 56%, sedangkan tingkat parasitasi dari parasitoid Fopius sp. pada cabai besar hanya sebesar 33% (Tabel 5.7).

Persentase Serangan

Tabel. 5.7

Tingkat Parasitasi Parasitoid Terhadap Lalat Buah

Tanaman Jumlah

Kedua parasitoid tersebut bersifat endoparasit yang dapat dibedakan dari posisi lubang tempat keluarnya parasitoid dewasa di dalam kokon. Fopius sp.

pada buah Belimbing memiliki ciri-ciri panjang tubuh 3,5-4,5 mm, abdomen berwarna coklat dengan 2/3 perut bagian depan berwarna coklat kehitaman.

Panjang ovipositor yaitu 2,5-3,5 mm dan pada ujungnya terdapat setae berbeda dengan parasitoid jantan berwarna hitam, kecuali bagian abdomen berwarna coklat (Gambar 5.4 A,B) sedangkan Fopius sp. dengan ciri-ciri abdomen berwarna kuning kehitaman, panjang tubuh 3,5-5,0 mm, ovipositor kecil dan runcing ujungnya tidak bersetae dan panjang ovipositor 4,0-5,5 mm ditemukan pada cabai besar (Gambar 5.4 C).

A B C

Gambar 5.4 Spesies Parasitoid Fopius sp. Betina (A), Fopius sp. Jantan (B) dan Fopius sp. Jantan (C)

BAB VI PEMBAHASAN

Ada enam spesies lalat buah yang ditemukan melalui perangkap di lokasi Pasar buah-buahan di Bali. Keenam spesies lalat buah tersebut adalah Bactrocera papayae Drew & Hancock, Bactrocera carambolae Drew & Hancock, Bactrocera umbrosa Fabricius, Bactrocera cucurbitae Coquillete, Bactrocera caudata Fabricius dan Bactrocera albistrigata de Maijere (Diptera:Tephritidae) Hasil analisis terhadap indeks keragaman lalat buah tersebut di setiap lokasi pasar menunjukkan nilai yang tergolong rendah yaitu < 1,5 (Tabel 5.1). Rendahnya nilai indeks keragaman tersebut disebabkan oleh rendahnya jumlah spesies (jenis) lalat buah dan individu per jenis yang ditemukan selama pengamatan di semua lokasi (pasar buah-buahan) di Bali. Dibandingkan dengan jumlah spesies lalat buah yang ditemukan sebelumnya di Indonesia yaitu 66 spesies oleh Hardy (1985); 47 spesies Balai Karantina Indonesia Pusat (1994); 90 spesies oleh Orr (2002) dan 63 spesies oleh AQIS (2008) maka jumlah spesies yang ditemukan di semua lokasi penelitian tergolong sangat rendah. Rendahnya jumlah spesies dan individu pada masing-masing spesies disebabkan oleh terbatasnya jenis jumlah jenis dan volume buah-buahan yang dipasarkan selama pengamatan di Bali.

Selain itu pula rentang waktu pengamatan sangat singkat sehingga tidak semua jenis lalat buah yang kemungkinan ada di Bali, dapat diamati melalui perangkap di semua lokasi Pasar buah-buahan di Bali.

Walaupun demikian ada variasi nilai indeks keragaman di masing-masing lokasi Pasar yaitu 0,59 adalah nilai indeks tertinggi yang ditemukan di Pasar

Klungkung dan 0,38 adalah nilai indeks terendah yang ditemukan di Pasar Badung. Adanya variasi nilai indeks tersebut disebabkan oleh perbedaan jumlah spesies lalat buah dan jumlah individu per spesies di setiap lokasi pasar buah-buahan. Data pengamatan menunjukkan bahwa jumlah spesies dan individu per spesies lalat buah yang ditemukan selama pengamatan di lokasi Pasar Klungkung lebih tinggi di bandingkan dengan lokasi pasar buah-buahan di tempat lain (Tabel 5.1). Jumlah jenis yang menjadi inang lalat buah lebih banyak dan lebih beragam di Pasar Klungkung daripada pasar lainnya. Demikian juga volume masing-masing buah yang dijual relatif lebih tinggi daripada pasar lain. Selain itu, masing-masing buah yang dipasarkan di Pasar Klungkung sisanya disimpan di pasar sehingga dapat menjadi inang yang baik bagi perkembangan lalat buah yang ada di lokasi tersebut. Berbeda dengan keragaman jenis buah-buahan yang dipasarkan di Pasar Badung dan Pasar Kreneng jumlahnya lebih terbatas dan pendistribusian buah-buahan lebih cepat ke tempat-tempat lainnya.

Sama seperti kejadian pada lokasi Pasar buah-buahan di Bali, indeks keragaman lalat buah yang ditemukan di sentra buah-buahan di Bali juga tergolong rendah yaitu >1,5 (Tabel 4.2). Indeks keragaman spesies tertinggi ditemukan di Sentra mangga berbeda dengan Sentra jeruk yang memiliki indeks keragaman paling rendah. Kejadian tersebut disebabkan oleh jumlah individu dan jumlah individu spesies lalat buah lebih tinggi daripada sentra lainnya. Selain itu, terdapat tanaman buah-buahan lainnya yang menjadi inang spesies-spesies yang ditemukan pada Sentra mangga seperti yang tersaji pada Lampiran 7. Selain itu, faktor lingkungan di sentra mangga lebih sesuai bagi kehidupan lalat buah karena terhindar dari perlakuan insektisida. Petani mangga sangat jarang melakukan

penyemprotan insektisida pada tanamannya dibandingkan dengan petani lainnya seperti petani jeruk, cabai, semangka, tomat dan lain sebagainya. Perlakuan insektisida secara umum sangat berpengaruh buruk terhadap penuruan jumlah individu pada masing-masing spesies lalat buah di sentra tersebut.

Menurut McPheron & Steck (1996), rendahnya keragaman lalat buah diduga kuat karena ekosistem lalat buah terkendali secara fisik oleh tindakan budidaya yang dilakukan petani, seperti penggunaan insektisida, pestisida, atraktan, dan juga lem perekat LEILA. Aktifitas serta keberadaan manusia juga mempengaruhi keragaman spesies dalam suatu ekosistem (Ricklefs & Schulter 1993). Menurut Oka (1995) semakin beragam spesies yang ditemukan di suatu areal, maka semakin besar atau tinggi tingkat keragaman komunitasnya.

Keragaman cenderung tinggi bila ekosistem tanaman tersebut diatur secara alami oleh manusia atau berlangsung secara alami, sedangkan keragaman akan cenderung menjadi rendah apabila ekosistem atau lokasi tersebut terkendali secara fisik oleh kegiatan budidaya yang dilakukan petani.

Nilai indeks keragaman tidak sesuai dengan jumlah individu yang ada di tiap lokasi penelitian. Seperti misalnya di Pasar Badung yang memiliki jumlah individu yang lebih besar jika dibandingkan dengan Pasar Anyar, namun memiliki indeks keragaman yang paling rendah (Tabel 5.1). Menurut Magurran (1988), perhitungan indeks keragaman Shannon tidak hanya jumlah individu yang menentukan besarnya nilai indeks, tetapi kekayaan jenis (species richness) juga sangat menentukan. Nilai indeks keragaman Shannon (H’) dipengaruhi oleh kemerataan jenis dalam suatu komunitas. Nilai kemerataan jenis akan cenderung rendah apabila komunitas tersebut didominasi oleh satu spesies.

Menurut Oka (1995), semakin beragam spesies yang ditemukan di suatu areal, maka semakin besar atau tinggi tingkat keragaman komunitasnya. Pada saat keragaman spesies tinggi, maka suatu spesies tidak dapat menjadi dominan begitu pula sebaliknya pada saat keragaman rendah, maka suatu spesies dapat menjadi dominan. Spesies lalat buah yang non dominan merupakan spesies yang sangat jarang ditemukan dan mempunyai kelimpahan yang kecil. Jenis spesies yang jarang tersebut dapat merupakan spesies yang menetap dan mencari makan di suatu habitat atau mungkin hanya merupakan penjelajah eksidental (tidak tetap) dari habitat yang berdekatan atau bahkan jenis migran (Ricklefs 1978; Odum 1983). Sedangkan spesies dominan adalah spesies dengan kelimpahan yang sangat besar karena jenis ini memiliki jumlah individu, biomassa serta nilai penting yang besar sehingga mendominasi komunitas (Ricklefs, 1978 & Odum, 1983).

Pada Tabel 5.4, B. carambolae dan B. papayae merupakan spesies lalat buah yang populasinya paling melimpah hampir di semua lokasi pengambilan sampel. Menurut Ginting (2007), spesies B. carambolae dan B. papayae merupakan spesies lalat buah yang populasinya paling melimpah di suatu daerah.

Hal ini disebabkan kedua spesies tersebut bersifat polifag yang dapat memanfaatkan berbagai jenis tanaman buah-buahan sebagai inang yang ketersediaan berlimpah sepanjang waktu serta menyebar luas dalam populasi yang sangat tinggi. Selain itu, kemampuan adaptasi kedua lalat buah tersebut lebih tinggi daripada spesies lalat buah lainnya karena memiliki kisaran inang yang paling banyak. Menurut White dan Hancock (1997) serta CABI (2007), tanaman inang B. carambolae adalah belimbing, belimbing waluh, jambu air, jambu biji,

tomat, cabe, nangka, cempedak, sukun, jeruk lemon, sawo, manggis, mangga, aren, ketapang dan lain lain. Tanaman inang B. papayae antara lain pisang, pepaya, jambu biji, jeruk manis, sawo, belimbing, sirsak, manggis, rambutan, nangka, mangga, duku, rambai, kolang-kaling, cabe, terong, markisa dan lain lain.

Sedangkan B. cucurbitae mendominasi pada sentra semangka. Kelimpahan populasi lalat buah berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya karena berkaitan dengan keberadaan inang (buah), jumlah inang dan adaptasinya dengan lingkungannya, seperti B. caudata yang hanya ditemukan di Pasar Klungkung dan di sentra Semangka, kelimpahan B. umbrosa yang tertinggi di sentra mangga serta kelimpahan B. albistrigata tertinggi di sentra Semangka. Suatu area yang luas akan mendukung pertambahan populasi spesies karena tersedianya sumber makanan dan habitat yang sesuai (MacArthur dan Wilson, 1967).

Semua jenis spesies lalat buah yang ditemukan di pasar sama dengan spesies yang ditemukan di lapang walaupun distribusinya berbeda. Kesamaan jenis spesies yang ditemukan di pasar dan di masing-masing Sentra buah-buahan, ditunjukkan oleh indeks kesamaan masing-masing spesies yang sangat tinggi antara lokasi Pasar dengan Sentra buah-buahan yang ada di Bali, kecuali di Pasar Klungkung, Sentra semangka dan Sentra jeruk (Tabel 5.6). Kejadian tersebut disebabkan oleh perbedaan jumlah spesies yang ditemukan pada tiap lokasi.

Jumlah spesies yang ditemukan yaitu 6 jenis di Pasar Klungkung dan Sentra Semangka, sedangkan hanya 4 jenis lalat buah yang ditemukan di Sentra jeruk sehingga indeks kesamaan dengan lokasi lainnya hanya 80-91%. Rendahnya indeks kesamaan terutama di sentra Jeruk, diduga karena ekosistem tanaman jeruk

tersebut di dominansi oleh tanaman jeruk dan jarang ditemukan jenis tanaman lain yang menjadi inang alternative lalat buah.

Berdasarkan Gambar 5.3, kelimpahan populasi lalat buah mempunyai korelasi kuat dengan persentase serangannya. Semakin tinggi kelimpahan maka semakin tinggi pula persentase serangan, begitupula sebaliknya semakin rendah kelimpahan lalat buah maka semakin rendah pula persentase serangannya di lapangan. Kelimpahan lalat buah yang dominan menimbulkan persentase serangan yang dominan pula pada tanaman tertentu. Persentase serangan bergantung pada kondisi lingkungan dan kerentanan jenis buah yang diserangnya (Gupta & Verma 1978, Dhilton et al., 2005a, 2005b dan 2005c).

Melimpahnya suatu populasi organisme, selain disebabkan oleh faktor inang dan lingkungan juga dipengaruhi oleh musuh alaminya. Musuh alami mempunyai peranan penting dalam pengaturan populasi lalat buah di lapang.

Walaupun demikian jenis musuh alami yang ditemukan pada penelitian ini sangat rendah yaitu 2 spesies parasitoid . Jumlah tersebut tentu kurang efektif dalam mengendalikan lalat buah di lapang.

Pada Tabel 5.7, keefektifan parasitoid dalam mengendalikan populasi hama dapat diukur dari daya parasitisasinya. Tingkat parasitasi kedua parasitoid yang ditemukan yaitu 33-56%. Tingkat parasitasi Fopius sp. pada Belimbing yaitu 56% dan tingkat parasitasi Fopius sp. pada Cabai besar adalah 33%. Berdasarkan daya parasitisasi tersebut dapat dinilai kemampuan musuh alami dalam mengatur populasi lalat buah di dalam mengatur keseimbangan populasi lalat buah di lapangan. Parasitisasi Fopius sp. pada lalat buah B.carambolae pada buah

belimbing lebih besar dari parasitisasi Fopius sp. pada lalat buah B.papayaee dan B.carambolae pada buah cabai besar.

Rendahnya tingkat parasitasi tersebut salah satunya diduga karena pengaruh buruk perlakuan insektisida dan cara bertanam yang tidak sesuai dengan kaidah lingkungan sehingga berdampak buruk dengan keberadaan dan tingkat parasitasi parasitoid di lapang. Menurut Clark et al., (1976) dan Berryman (1981), faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan parasitoid adalah faktor luar (ekstrinsik) dan faktor dalam (intrinsik). Faktor luar terdiri dari (a) faktor makanan seperti jumlah makanan, kecocokan makanan, kandungan gizi, kadar air yang sesuuai dan tanaman inang yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangannya, (b) Faktor iklim seperti suhu, kelembaban, cahaya dan aerasi yang baik untuk pembiakan masal, (c) Faktor biologis, termasuk di dalamnya adalah musuh alami lainnya seperti parasite dan predatr, (d) Faktor manusia, yang dimaksud disini adalah sejauh mana tindakan pengendalian serangga hama yang telah dilakukan dengan manipulasi tanaman inang, pergiliran tanaman ataupun pengendalian dengan pestisida. Faktor dalam adalah (a) ketahanan genetik, dimana serangga mampu menciptakan ketahanan secara alami sehingga serangga mampu menyesuaikan diri dengan perubahan fisiologis inang atau makanannya sehingga seranga mampu mempertahankan hidupnya (b) Nisbah Kelamin yaitu perbandingan jumlah serangga betina dan jantan yang menentukan banyak tidaknya jumlah keturunan yang dihasilkan, (c) Kemampuan beradaptasi yaitu sejauh mana serangga mampu beradaptasi dengan perubahan-perubahan iklim pada lingkungan sekitarnya.

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN