• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 LANDASAN TEORI

2.5 Kerangka Berfikir

Salah satu cara untuk bisa mempertahankan hidup manusia adalah dengan berkomunikasi. Komunikasi merupakan suatu proses dua arah yang menghasilkan pertukaran informasi dan pengertian antara masing-masing individu yang terlibat (Berko, Aitken & Wolvin, 2010). Komunikasi merupakan dasar dari seluruh interaksi antar manusia. Karena tanpa komunikasi, interaksi antar manusia, baik secara perorangan, kelompok maupun organisasi tidak

mungkin terjadi. Ditinjau dari sudut perkembangan manusia, kebutuhan untuk berinteraksi yang paling menonjol terjadi pada masa remaja.

Agar lebih berhasil dalam menjalin interaksi antar teman sebaya maupun lingkungan sekitar, diperlukan adanya kompetensi atau kemampuan dalam diri remaja untuk menjalin hubungan secara efektif. Kemampuan tersebut adalah kompetensi interpersonal. Kompetensi interpersonal adalah keterampilan atau kemampuan yang dimiliki individu untuk membina hubungan yang baik dan efektif dengan orang lain, kemampuan ini sangat dibutuhkan oleh individu tak terkecuali para remaja (Buhrmesteret al., 1988).

Individu yang mempunyai kompetensi interpersonal yang tinggi akan mampu menjalin komunikasi yang efektif dengan orang lain, mampu berempati secara baik, mampu mengembangkan hubungan yang harmonis dengan orang lain dan dapat dengan cepat memahami temperamen, sifat dan kepribadian orang lain, mampu memahami suasana hati, motif dan niat orang lain semua kemampuan ini akan membuat remaja tersebut lebih berhasil dalam berinteraksi dengan orang lain.

Pentingnya kompetensi interpersonal pada remaja dapat dilihat dari beberapa penelitian salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Chow et al. (2013) yang menjelaskan bahwa dengan kompetensi interpersonal yang tinggi mampu meningkat kualitas hubungan pertemanan pada remaja. Penelitian lain juga menjelaskan bahwa remaja yang mempunyai kompetensi interpersonal yang tinggi mampu meningkatkan kesuksesan dalam bidang pendidikan dan karir.

penelitian yang dilakukan oleh Buhrmester (1990). Dalam penelitiannya Buhrmester (1990) menjelaskan bahwa kompetensi interpersonal sangat penting di miliki oleh para remaja dibandingkan pra-remaja. Karena dibandingkan anak pra-remaja, pada masa remaja lebih di tuntut untuk memiliki hubungan pertemanan yang dekat dan terbuka. Para remaja harus bisa memulai percakapan dan memiliki hubungan pertemanan di luar kelas. Mereka harus memiliki kemampuan untuk membuka diri mengenai informasi pribadi dan dengan bijakasana dapat memberikan dukungan emosional kepada teman-temannya.

Namun, tidak banyak para remaja yang berhasil dalam hubungan interpersonalnya. Banyak remaja yang gagal dalam mengembangkan kemampuan interpersonal sehingga mereka mengalami banyak hambatan dalam dunia sosialnya. Beberapa fenomena yang banyak terjadi saat ini mengenai buruknya hubungan teman sebaya yang diakibatkan rendahnya kompetensi interpersonal pada remaja yaitu bisa dilihat dari kasus kenakalan remaja yang marak terjadi. Salah satunya adalah tawuran. Contoh tawuran yang dilakukan oleh pelajar dari SMA N 6 dengan pelajar dari sekolah lain. Tawuran ini disebabkan aksi saling mengejek di media sosial yang mengakibatkan satu pelajar dari SMA N 6 mengalami luka di bagian keningnya (sindonews.com, 2014). Contoh tawuran lainnya yaitu yang tejadi pada pelajar SMK Budi Murni dengan SMK Pelayaran. Tawuran ini juga disebabkan karena saling mengejek. (megepolitan.kompas.com, 2012). Selain tawuran kasus bullying juga merupakan kasus remaja yang diakibatkan oleh hubungan yang buruk antar teman sebaya. Contoh kasus bullying terjadi pada siswa SD di Bukittinggi.

Kasus tersebut juga terjadi karena aksi saling mengejek. Karena tidak senang orang tuanya di hina, maka pelaku memukul korban (Republika.co.id, 2014).

Dilihat dari beberapa kasus tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada masa remaja sangat penting untuk bisa berinteraksi secara efektif dengan teman sebayanya, karena pada masa tersebut remaja rentan terhadap munculnya konflik. Dengan kompetensi interpersonal, para remaja mampu mengatasi hambatan-hambatan yang terjadi dalam hubungan pertemanan sehingga kasus-kasus seperti tawuran atau bullying dapat dihindarkan. Para remaja akan memiliki interaksi yang efektif, menyenangkan, dan penuh pengalaman yang nyaman.

Terdapat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kompetensi interpersonal seseorang yaitu konsep diri. Menurut Fitts dan Warren (1996) konsep diri merupakan kerangka acuan dalam berinteraksi dengan lingkungan secara fenomenologis dan ketika individu mempersepsikan dirinya, bereaksi terhadap dirinya, berarti ia menunjukkan suatu kesadaran diri dan kemampuan untuk keluar dari dirinya sendiri untuk melihat dirinya seperti ia lakukan terhadap dunia di luar dirinya. Menurut Nashori (2008) konsep diri yang positif membentuk kepribadian yang lebih dapat menerima diri, menerima kekurangan dan kelebihannya, bersikap hangat sehingga sebagai modal menjalin hubungan interpersonal. Adanya konsep diri yang positif dapat melahirkan kemampuan kompetensi interpersonal yang positif pula.

Jika para siswa telah mengenal konsep dirinya dengan baik tentu akan berusaha menyesuaikan dan memposisikan diri dengan orang yang diajak

berbicara dengan menjaga sikap yang baik. Sehingga tidak menimbulkan perdebatan yang memacu timbulnya perkelahian. Siswa yang memiliki konsep diri positif menunjukkan bahwa siswa tersebut memiliki keyakinan bahwa dirinya mampu untuk menciptakan komunikasi interpersonal yang baik, dengam memposisikan diri dengan orang lain agar dapat saling menghargai satu sama lain. Sebaliknya siswa yang memiliki konsep diri yang negatif, tidak memiliki keyakinan dengan kemampuan yang dimiliki sehingga sulit untuk mengkomunikasi apa yang dirasakan dan dipikirkannya (Rakhmat, 2005).

Selain konsep diri, kepribadian juga bisa mempengaruh kompetensi interpersonal. Seperti yang diungkapkan oleh Nashori (2008) kepribadian juga mempengaruhi kompetensi interpersonal. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan trait. Trait kepribadian yang digunakan oleh peneliti adalah model lima faktor oleh Goldberg (dalam Donellan, 2006). Model lima faktor tersebut yaitu, extrversion, agreeableness, conscientiousness,neuroticism, danopenness to experience.

Para remaja yang memiliki sifat extraversion yang tinggi dapat mempengaruhi kompetensi interpersonal yang tinggi pula. Menurut Leary dan Hoyle (2009) individu dengan ciri extraversion tinggi ia senang dalam besosialisasi, aktif berbicara dan asertif, sehingga ia mempunyai pengalaman dan aktif dalam berhubungan dengan orang lain. Selanjutnya seseorang yang memiliki sifat agreeableness yang tinggi juga dapat mempengaruhi kompetensi interpersonal karena menurut Cloninger (2004) individu dengan ciri agreeableness tinggi cenderung suka mengalah ketika menghadapi konflik

dengan teman sebaya, serta baik dalam memperlakukan teman-temannya sehingga individu ini banyak disenangi oleh temannya dan mempunyai hubungan interpersonal yang baik. Kemudian sifat conscientiouness, individu yang memiliki ciri conscientiousness yang tinggi dapat mempengaruhi kompetensi interpersonal tinggi pula, karena individu dengan ciri conscientiouness ini cenderung mampu merespon segala keadaan, individu tersebut cenderung untuk berfikir, merasa dan berperilaku dalam satu waktu di setiap situasi (Leary & Hoyle, 2009). Sehingga individu yang memiliki sifat ini mampu secara efektif menjalin hubungan interpersonal dengan teman-temannya. Selanjutnya pada sifatneuroticism,individu dengan sifat neuroticismyang tinggi cenderung mempunyai kompetensi interpersonal yang rendah. Karena individu yang memiliki ciri ini cenderung merasa cemas, emosional, dan mudah depresi (Leary & Hoyle, 2009). Sehingga ia tidak mempu menjalin hubungan yang baik dengan teman-temannya.

Dan sifat yang terakhir yaitu openness to experience. Individu yang memiliki sifat openness yang tinggi memiliki kompetensi interpersonal yang tinggi pula. Karena individu dengan sifat openness cenderung terbuka, senang mencari pengalaman baru, serta mampu menyesuaikan diri terhadap situasi dan ide yang baru (Leary & Hoyle, 2009). Dengan demikian individu dengan sifat opennessyang tinggi cenderung memiliki hubungan interpersonal yang efektif.

Selain konsep diri dan trait keperibadian big five, peneliti juga ingin melihat pengaruh loneliness terhadap kompetensi interpersonal. Loneliness menurut Peplau dan Perlman (dalam Friedman, 1998). adalah pengalaman yang

tidak menyenangkan yang terjadi ketika seseorang memiliki hubungan sosial yang rendah, baik secara kuantitas maupun kualitas. Sedangkan menurut Salkind (2006) loneliness adalah seseorang yang memiliki kepuasan dalam berinteraksi yang rendah kepada teman dan keluarganya. Dengan demikian seseorang yang miliki loneliness yang tinggi dapat mempengaruhi kompetensi interpersonal yang rendah, hubungan secara negatif ini bisa saja terjadi kepada seseorang yang menarik dirinya dari lingkungan, merasa harga dirinya rendah dan tetap merasa kesepian walapun berada di tempat yang ramai. Terdapat 2 tipe loneliness yang digunakan sebagai variabel penelitian yaitutrait lonelinessdanstate loneliness.

Kompetensi interpersonal juga dipengaruhi oleh faktor demografis yaitu jenis kelamin. Penelitian yang dilakukan oleh Fajri (2013) menjelaskan terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan kompetensi interpersonal.

Untuk lebih jelasnya peneliti membuat kerangka berfikir terkait penelitian yang akan di buat:

Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berfikir Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berfikir

Dokumen terkait