• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerangka Berpikir

Menurut Cole et al. (Sumardjo, 1999), pembangunan berkelanjutan (PB) (sustainable development), dan interdependensi ekonomi dan lingkungan (environment) merupakan konsep yang semakin penting di dunia sejak awal tahun 1970 an. Konsep pembangunan berkelanjutan tersebut, merupakan esensi dasar yang menjadi sasaran akhir dari penelitian ini, yaitu tercapainya keseimbangan antara kelestarian alam di satu sisi dan kesejahteraan masyarakat di sisi yang lain.

Dalam laporan World Commission on Environment and Development, UN tahun 1987 berjudul Our Common Future, tercantum konsep pembangunan berkelanjutan yang didefinisikan sebagai “pembangunan yang berusaha untuk memenuhi kebutuhan kita sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.” Selanjutnya Bank Dunia pada tahun 1988 (Sumardjo, 1999) memasukkan proposisi bahwa pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan (the alleviation of poverty) dan manajemen lingkungan hidup (environmental management) harus mendapat perhatian secara konsisten dan terus menerus. Kegiatan tersebut sangat membutuhkan partisipasi dari semua pihak baik, masyarakat, pemerintah maupun stakeholder lainnya. Tentang hal ini, dapat disimak pada uraian berikut :(http// wikipedia/org/wiki/economic/social/environmental/ atural_resources).

“A sustainable approach to development is one which takes account of

programmes which will have results which are not dependent on finite resources. Something which is sustainable will not use more resources than the local community and markets can sustain; and will have the necessary support from the community, government and other stakeholders to carry on indefinitely.”

Pada era tahun 1980 an, istilah keberlanjutan atau sustainable mulai dipopulerkan dan dikaitkan dengan konsep ekologi, kemudian berkembang pada tiga aspek secara integratif yaitu: ekologi, sosial dan ekonomi. Keberlanjutan

sumberdaya alam bermakna kondisi yang memungkinkan terjadinya kelestarian, mendukung kehidupan ekonomi manusia dan terjaganya tatanan kehidupan sosial masayarakat. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan beberapa syarat antara lain: pertama, meningkatkan potensi produksi yang ramah lingkungan hidup. Kedua, menjamin terciptanya kesempatan yang merata dan adil bagi semua orang. Kedua syarat ini pada hakikatnya ialah ramah lingkungan hidup, sosial-ekonomi dan budaya. Di bidang pertanian (Reijntjes et al., 1995) bahkan memperluas cakupan definisi keberlanjutan pada aspek kemanusiaan dan adaptasi (Sumardjo, 1999).

Konsep pembangunan berkelanjutan menjadi semakin penting berkaitan dengan kenyataan bahwa perilaku masyarakat dalam mengembangkan usahanya berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya alam, umumnya tidak sekedar tidak mampu meningkatkan pendapatan usahanya tetapi juga sekaligus merusak lingkungann hidup tempat atau sumber usaha. Siti Amanah (2006) menguraikan dua masalah utama perilaku masyarakat dalam pemanfaatan SDA pesisir, yaitu: (1) usaha yang umumnya bersifat subsisten, keterbatasan modal, bergantung pada satu sektor usaha dan rendahnya kemauan dan kemampuan kegiatan pasca panen atau diversifikasi usaha, dan kesulitan pemasaran; dan (2) perilaku sebagian masyarakat dalam menangkap ikan yang merusak lingkungan dengan menggunakan kompresor, dan zat kimia (potassium cyanide). Sinyalemen ini relatif serupa dengan kejadian yang ada di Kepulauan Togean.

Berbagai upaya untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan terutama dari segi ekologis telah dilakukan, antara lain dengan menetapkan kawasan konservasi. Salah satu bentuk penetapan kawasan konservasi tersebut adalah Tanaman Nasional sebagai upaya mencegah terjadinya kerusakan yang semakin parah. Namun, meskipun konsep Taman Nasional telah dirumuskan dengan tiga fungsi : (1) sebagai kawasan perlindungan; (2) kawasan untuk mempertahankan keragaman jenis tumbuhan dan satwa; dan (3) kawasan pemanfaatan secara lestari potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, tetap masih menimbulkan masalah yang pelik di masyarakat. Hal ini berkaitan dengan adaptasi dan tarnsformasi perilaku tertentu dan respon masyarakat terhadap konsep dan implementasi kawasan konservasi. Wilayah masyarakat yang sebelumnya

terbuka (open access) menjadi tertutup (close access). Masyarakat yang sebelumnya bebas mengeksplotasi SDA menjadi terbatas dengan aturan main tertentu yang disyaratkan sebuah kawasan konservasi.

Hal lain yang mendasar dan sering memperkeruh konflik adalah tidak diikutsertakannya masyarakat dalam perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan serta evaluasi dari penetapan dan operasionalisasi Taman Nasional. Akibatnya hak dan tanggung jawab masyarakat terabaikan serta ketidak jelasan manfaat yang diperoleh. Disamping itu, implementasi konsep Taman Nasional pada masa lalu yang terlalu berorientasi pada kelestarian alam dan mengabaikan aspek kepentingan atau kebutuhan masyarakat lokal.

Menyadari akan hal tersebut maka melalui proses yang cukup panjang sejak tahun 2001, lahirlah satu konsep partisipasi dalam pengelolaan kawasan konservasi termasuk taman nasional. Pada tahun 2004, keluarlah Peraturan menteri kehutanan No.P.19/Menhut-II/2004, tentang kemitraan pengelolaan Taman Nasional yang populer dikenal dengan “pengelolaan kolaboratif.” Konsep ini, sebagaimana tertulis dalam naskah akademik permenhut tersebut, telah mendorong terjadinya pergeseran cara pandang pada bidang pengelolaan kawasan yang dilindungi (protected area), antara lain ;

(1) Dari semata mata kawasan perlindungan keanekaragaman hayati ke perlindungan yang memiliki fungsi sosial-ekonomi jangka panjang untuk pembangunan berkelanjutan.

(2) Beban biaya yang semula hanya pemerintah menjadi pemerintah dan penerima manfaat (beneficery pays principle).

(3) Penentuan Kebijakan dari atas menjadi dari bawah (participatory)

(4) Dari pengelolaan berbasis pemerintah (state base manajement) manjadi berbasis multi-stakeholder (collaborative manajement) atau berbasis masyarakat lokal (local community based)

(5) Perubahan pola pelayanan pemerintah dari birokratis-normatif menjadi profesional-responsif, fleksibel-netral.

(6) Tata pemerintahan dari sentralistis menjadi desentralistis. (7) Peran pemerintah dari provider menjadi enabler dan fasilitator.

Paradigma Partisapsi dan Kemitraan

Perubahan paradigma pengelolaan kawasan konservasi, apalagi termuat secara resmi dalam peraturan menteri, mencerminkan suatu upaya untuk mewujudkan efektivitas pengelolaan kawasan yang dilindungi, terpenuhinya kebutuhan kesetaraan, keadilan sosial dan demokrasi dalam pengelolaan sumberdaya alam, serta terpenuhinya keinginan para pihak untuk mengakhiri konflik tanpa ada pihak yang dikalahkan atau merasa dikalahkan.

Untuk mengukur atau memetakan tingkat peran partisipasi stakeholder dalam kemitraan pengeloaan kawasan konservasi, The International Institute for Environment and Development (IIED) (Meyers, 2001), mengajukan satu pendekatan yang dikenal dengan The four Rs (empat R). Piranti empat R ini berusaha untuk menjadikan istilah “peranan” lebih operasional dengan menerjemahkannya ke dalam Right (hak), Responsibilities (tanggung jawab), Revenue (manfaat yang diterima) dan Relationship (hubungan) di antara stakeholder. Penulis mengadopsi dan memodivikasi piranti empat R tersebut untuk mengukur berpartisipasi atau tidak berpartisipasinya masyarakat kepualaun Togean dalam pengelolaan TNKT. Indikator partisipasi dan non partisipasi dalam pengelolaan TNKT dengan pola kemitraan yang mengacu pada piranti empat R dapat dilihat pada Tabel 2.

Paradigma Kapasitas Masyarakat

Implementasi konsep partisiapsi dan kemitraan hingga kini masih menemui banyak sekali kendala dan belum ada satupun kawasan konservasi yang sukses menerapkan konsep ini dengan memuaskan. Dalam kenyataannya, kelompok yang merasa kalah atau merasa akan dikalahkan adalah masyarakat lokal, karena mereka memiliki keterbatasan kapasitas dalam berbagai hal. Oleh karena itu maka keberpihakan yang nyata sebagai upaya untuk meningkatkan kapasitas masyarakat agar setara dengan stakeholder lain amatlah penting karena merupakan salah satu prinsip mutlak dari kemitraan. Paradigma kapasitas yang dibangun dalam riset ini diadopsi dan dimodivikasi oleh penulis dari konsepsi para ahli dan disesuaikan dengan kondisi lapangan dan semangat kemitraan.

Indikator untuk mengukur paradigma kapasitas individu masyarakat kepulauan Togean disajikan pada Tabel 3.

Tabel 2. Paradigma Partisipasi Masyarakat melalui Pola Kemitraan. Peubah Indi

Kator

Non Partisipatif Pertisipatif

P a rt is ip a si d a la m P ro ses K em it ra a n H a k (Ri g ht)

Pemerintah/instansi terkait atau pihak luar yang menentukan semua hal menyangkut identifikasi kebutuhan, potensi, prioritas masalah, jenis program, pelaku program, sumber/ besar biaya, waktu, lokasi dan sasaran program (pendekatan top down).

* Masyarakat terlibat dalam sosialisasi TNKT

* Masyarakat terlibat meng - identifikasi kebutuhan ( felt and real need).

* terlibat mengidentifikasi potensi. * terlibat menentukan prioritas masalah

* terlibat menentukan jenis program.

* terlibat menentukan pelaku program

* terlibat menentukan sumber/ besar biaya.

* terlibat menentukan waktu,lokasi dan sasaran T a ng g ung ja wa b (Re spo ns ibi li ty ) pemerintah mengalokasikan sumberdaya dan melaksanakan program, masyarakat hanya menonton dan bermasa bodoh pada program yang ada.

* masyarakat terlibat memberikan kontribusi

* terlibat dalam sosialisasi program * terlibat dan pelaksanaan program. * terlibat dalam memelihara hasil Program M a nfa a t (Re v e nue ) Pemerintah mengontrol segalanya dan masyarakat tinggal menerima hasil dan menanggung resiko.

* masyarakat terlibat menentukan manfaat program

* terlibatan memanfaatkan hasil program

* terlibat dalam menanggung resiko program

* terlibat dalam menilai hasil akhir program Re la si (Re la ti o n

) * terjadi hubungan saling curiga

* komunikasi tidak harmonis antar stakeholder.

* tdak ada kepedulian antar stakeholder.

* Terbangun hubungan saling pengertian/serasi antara stakeholder.

* tercipta komunikasi yang setara antar stakeholder

* tercipta kerjasama antar stakeholder (PEMDA, BTNKT, SWASTA).

Tabel 3. Paradigma Kapasitas Individu Masyarakat, Rendah dan Tinggi.. Pe Ubah Indi- kator Rendah Tinggi K ap as it as I n d ivi d u M as y a r ak at P e ng e ta hua

n * pengetahuan terbatas pada apa yg diperoleh secara turun temurun. * tidak mengetahui adanya hal baru yang dapat dimanfaatkan untuk kemajuan usaha.

* tidak faham konservasi

* pengetahuan luas terkait inovasi usaha yang ramah lingkungan

* Memahami pentingnya belajar hal yang baru untuk kemajuan usahanya secara berkelanjutan. * mengerti pentinya konservasi

K e tr a m pi la n.

* Memliki ketrampilan terbatas. * Memakai alat yg merusak * Pengambilan karang berlebihan * konversi bakau berlebihan

* Memiliki variasi ketrampilan * Memakai alat ramah

lingkungan

* Pengendalian dan pemulihan (transplantasi karang) * Pengendalian dan replanting

Si

ka

p m

e

nta

l * sulit menerima perbedaan * sulit menerima perubahan * bereaksi negatif thdp inovasi * selalu curiga dan skeptis * sulit bekerjasama

* mudah menerima perbedaan * mudah menerima perubahan * bereaksi positif terhadap inovasi

* terbuka, dan saling percaya * mudah berkerja sama

K

e

se

tar

aan

* Selalu merasa minder

* Tdk menghargai hak orang lain. * Pasrah kepada keadaan.

* Percaya diri.

* Menghargai hak-hak orang lain

* Selalu berusaha untuk mengatasi keadaan

Paradigma Penyuluhan

Diasumsikan bahwa meningkatnya kapasitas masyarakat sebagai salah satu syarat partisipasi dalam pengelolaan taman nasional dengan pola kemitraan merupakan fungsi pendidikan yang dilaluinya, dalam hal ini adalah penyuluhan. Paradigma penyuluhan yang sesuai dengan kebutuhan saat ini adalah penyuluhan yang bersifat partisipatif baik diukur dari materi, metode, media, frekwensi interaksi klien dengan penyuluh serta kemampuan penyuluhnya. Paradigma penyuluhan partisipatif dan non partisipatif yang dibangun dalam penelitian ini diadopsi dan dimodivikasi dari berbagai ahli. Indikator dari penyuluhan yang partisipatif dan non partisipatif tersebut disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Paradigma Penyuluhan Partisipatif dan non partisipatif. Peu

bah

Indi kator

Non Partisipastif Partisipastif

P r o se s pe n y ul uha n M a teri pe ny ul uha

n * berdasar kebutuhan program yang ditetapkan dari luar. * teknologi diintrodusir dari luar tanpa pertimbangan lokal * ditentukan sepihak dari luar

* menjawab kebutuhan masyarakat setempat

* menggali dari teknologi yg berkembang di masyarakat. * dibicarakan bersama mayarakat Setempat M e to da pe ny ul uha

n * berorientasi pada penyuluh atau pihak luar.

* menggurui dan searah.

* mengacu pada keadaan masyarakat setempat

* dialogis, suasana demokratis dan berbagi pengalaman. M ed ia pe ny ul uha

n * di tentukan oleh penyuluh * tergantung pada alat bantu dari luar

* disesuaikan kebutuhan masyarakat setempat

* dapat memanfaatkan apa yang ada di lapangan. . F rek w en si in tera k si dg npe ny ul uh

* Jarang berkomunikasi dengan penyuluh

* tidak terdapat jadwal pertemuan periodik

* aktif membangun komunikasi dengan penyuluh

* disepakati pertemuan periodik antara masyarakat dengan penyuluh. K e m a m pua n pe ny ul uh

* lemah dalam komunikasi dan motivasi.

* Jarang mengunjungi masyarakat * ikut memecahkan masalah masyarakat

* memiliki kemampuan teknis dan non teknis yang memadai . *mengunjungi masyarakat secara periodik

* sering ikut mencari solusi dari masalah yang dihadapi masyarakat

Hubungan antar Peubah Penelitian

Pendekatan kemitraan (co-management) untuk tujuan eksploitasi sumberdaya alam yang seimbang antara kepentingan ekonomi dan ekologi dapat dipandang sebagai hal yang baru di Indonesia. Secara resmi, pendekatan ini baru diakui Negara pada tahun 2004. Sebagai hal yang baru, konsep tersebut dapat dipandang sebagai sebuah inovasi yang memerlukan persyaratan tertentu bagi masyarakat untuk mengadopsinya. Untuk sampai ketingkat adopsi inovasi tersebut harus melalui transformasi perubahan perilaku atau kesediaan untuk berpartisipasi. Dalam kaitan ini, partisipasi terhadap konsep kemitraan ini dipandang sebagai bentuk dari perilaku (Madrie, 1986 dan Sahidu, 1998).

Pandangan tersebut mengacu pada pandangan Beal (Madrie, 1986) sebagai berikut : “. . . there are manysubtle behavior pattern intern of gestures, attitude, or manner that constute participation.

Untuk dapat berperilaku tertentu, Oppenheim (1966), menerangkan ada dua hal yang mendukungnya, yaitu: (1) ada unsur yang mendorong untuk berperilaku tertentu itu pada diri seseorang (person inner determinant), dan (2) terdapat lingkungan (environmental factor) yang memungkinkan terjadinya perilaku tertentu.

Kedua faktor yang mempengaruhi perilaku partisipasi masyarakat yang dalam penelitian ini dijabarkan sebagai faktor yang bersumber dari dalam diri individu masyarakat, lingkungan sosialnya dan faktor rekayasa atau intervensi dalam bentuk penyuluhan. Faktor-faktor tersebut baik secara langsung maupun melalui peningkatan kapasitas masyarakat, berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat dalam pengelolaan bersama taman nasional Kepulaun Togean. Faktor–faktor ini selanjutnya dijadikan sebagai peubah bebas yang akan diteliti untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah dikemukakan.

Peubah bebas yang diukur dalam penelitian ini terdiri dari tiga faktor yaitu: karakteristik individu masyarakat yang terdiri dari (pendidikan, pengalaman, persepsi, motivasi, kosmopolitan, gender dan status sosial), proses penyuluhan yang terdiri dari (materi penyuluhan, metoda penyuluhan, media penyuluhan, frekwensi interaksi dengan penyuluh dan kemampuan penyuluh). Karakteristik Lingkungan yang terdiri dari (norma yang dianut, kerja sama, akses informasi, peran pemimpin informal dan konflik) dan Peubah terikat terdiri dari dua faktor yaitu : kapasitas individu masyarakat yang terdiri dari (pengetahuan, ketrampilan, sikap mental, dan kesetaraan) dan partisipasi dalam kemitraan yang terdiri dari (hak, tanggung jawab, manfaat, relasi dan solidaritas). Gambaran yang lebih rinci mengenai peubah dan cara mengukurnya, akan disajikan pada bahagian metodologi.

Secara skematis kerangka berpikir dan keterkaitan antar peubah dalam Pengelolaan TNKT untuk kesejahteraan dan konservasi lingkungan, disajikan pada Gambar 2.

Keterangan:

= Hubungan langsung = Hubungan tidak langsung = Hubungan korelasi

Gambar 2 Alur hubungan antar peubah penelitian. KARAKTERISTIK INTERNAL (X1) X11 Pendidikan X12 Pengalaman X13 Persepsi X14 Motivasi X15 Kosmopolitan X16 Gender X15 Status Sosial KAPASITAS DIRI MASYARAKAT (Y1) Y11 Pengetahuan Y12 Ketrampilan Y13 Sikap mental Y14 Kesetaraan PROGRAM PENYULUHAN (X2) X21 Materi X22 Metoda X23 Media X24 Interaksi dengan penyuluh X25 Kemampuan FAKTOR LINGKUNGAN (X3) X31 Norma X32 Kerja sama X33 Akses informasi X34 Pemimpin Informal X35 Potensi Konflik PARTISIPASI MASYARAKAT (Y2) Y21 Hak

Y22 Tanggung jawab Y23 Manfaat

Y24 Relasi Y25 Solidaritas

Gambar 2 menunjukkan adanya hubungan langsung maupun tidak langsung dari karakteristik penyuluh, kompetensi penyuluh dan motivasi penyuluh pada kinerja mereka maupun perilaku petani. Selain itu terdapat pula hubungan korelasi antara karakteristik penyuluh, kompetensi penyuluh dan motivasi penyuluh.

Hipotesis

Berdasarkan kerangka berpikir yang telah dijelaskan, dapat dirumuskan hipotesis kerja penelitian sebagai berikut:

(1) Karakteristik internal, proses penyuluhan, dan faktor lingkungan berpengaruh nyata pada kapasitas diri individu masyarakat dalam pengelolaan TNKT

(2) Karakteristik individu, proses penyuluhan, faktor lingkungan dan kapasitas diri individu masyarakat berpengaruh nyata pada partisipasi mereka dalam pengelolaan TNKT

(3) Terdapat hubungan yang nyata antara peubah karakteristik internal, proses penyuluhan dan faktor lingkungan.

Dokumen terkait