DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH
MUHD NUR SANGADJI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN
TAMAN NASIONAL DENGAN POLA KEMITRAAN
DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH
MUHD NUR SANGADJI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Taman Nasional dengan Pola Kemitraan di Kepulauan Togean Provinsi Sulawesi Tengah” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka pada bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Maret 2010
Park with Partnership Patern in Togean Island of Central Sulawesi Province. Advisory committee by SUMARDJO, PANG S. ASNGARI and SOENARMO
The aim of this research are : (1) to analyze the level of community participation on management of Togean Island National Park, (2) to analyze the factors that influence the community participation, (3) to analyze the correlation of the factors that influence the community participation, and (4) to formulate a strategy of extension to increase the effectiveness of community participation on management of Togean Island National Park. The research was conducted in Togean Island National Park in Central Sulawesi on August to September 2008 and March to April 2009. Five variables are used to measure the community participation by using Structural Equation Model (SEM) and LISREL 8.30. Those variables are internal individu, extension process, external factors, community capacity and community participation. The result of research shown that participation of community is on the low level. Internal characteristic and community capacity have a significant effect on community participation. The independent variables such as internal characteristics, extension process and external factors have positive significant correlation. The strategy that can be used to increase the community participation is to improve the process of extension by giving the opportunity to community for involving on management of Togean Island National Park. This strategy should be supported by government policy to apply consistently, the partnership approach on management of National Park in the local level.
Nasional dengan Pola Kemitraan di Kepulauan Togean Sulawesi Tengah”. Dibimbing oleh SUMARDJO, PANG S ASNGARI dan SOENARMO
Pada bulan Oktober 2004 Kepulauan Togean yang terletak di Provinsi Sulawesi Tengah, ditunjuk oleh Menteri Kehutanan RI melalui SK. No.418/Menhut-II/2004 sebagai taman nasional dengan nama Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT). Pulau tersebut memiliki luasan 362.605 ha, meliputi sebagian hutan dan perairannya. Secara otomatis penunjukan tersebut mengubah pula status Kepulauan Togean menjadi kawasan pelestarian alam yang fungsi pelestarian dan pemanfaatan harus dilakukan secara seimbang sesuai UU No. 5 tahun 1990.
Penetapan TNKT didasari pada potensi sumberdaya alam dengan nilai keragaman hayati, baik untuk obyek wisata maupun kekayaan Flora dan Fauna Endemik Sulawesi. Kepulauan tersebut telah mendapat perhatian pada tingkat nasional, ditunjukkan oleh Bappenas dalam dokumen Biodiversity Action Plan for Indonesia (CII, 2005). Kekayaan alam ini sekarang menghadapi ancaman karena berbagai kegiatan ekonomi terutama dengan memanfaatkan teknologi destruktif.
Penunjukan TNKT melahirkan reaksi beragam dari berbagai pihak. Sebagian merasa pembentukan TNKT hanya akan menimbulkan konflik. Sebagian lainnya merasa bahwa TNKT bisa menciptakan upaya pelestarian dan pengelolaan sumberdaya alam yang lebih baik, asal dilakukan secara partisipatif. Mereka yang optimis melihat adanya peluang kerjasama (kemitraan) atau kolaborasi dalam mengelola TNKT. Apalagi hal ini diperkuat dengan keluarnya Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2004 tentang Pedoman Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam di Indonesia.
Dari uraian ini muncul pertanyaan, seperti apakah partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT saat ini, dan faktor-faktor apakah yang berpengaruh serta bagaimana hubungan faktor-faktor tersebut dalam pengelolaan TNKT ? Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut, perlu dilakukan telaah dalam bentuk penelitian.
Tujuan penelitian ini adalah(1) menganalisis tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT, (2) menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh pada partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT, (3) menganalisis hubungan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT, dan (4) merumuskan strategi penyuluhan yang efektif untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT.
Proses penyuluhan dan lingkungan ekternal memberikan pengaruh nyata terhadap kapasitas masyarakat, sedangkan karakteristik internal dan kapasitas masyarakat memberikan pengaruh yang nyata terhadap partisipasi masyarakat. Kapasitas masyarakat dalam pengelolaan SDA adalah tergolong tinggi, namun partisipasi mereka dalam pengelolaan TNKT adalah tergolong rendah. Hal ini disebabkan pendekatan penyuluhan yang kurang partisipatif, lebih monolitik dan ”top down” tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berperanserta. Pendekatan ini tidak mampu meyakinkan masyarakat tentang manfaat kehadiran taman nasional di daerah mereka.
Kesimpulan penelitian ini adalah sebagai berikut: (1). Partisipasi masyarakat kepulauan Togean dalam pengelolaan TNKT berada pada kategori “rendah” karena minimnya peluang untuk turut serta dalam menentukan status dan pengelolaan kawasan TNKT tempat mereka bermukim, (2). Faktor-faktor yang berpengaruh nyata pada partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT adalah faktor internal individu dalam hal motivasi dan status sosial serta kapasitas masyarakat dalam hal sikap mental dan kesetaraan. Faktor faktor ini memiliki korelasi dan dipengaruhi secara nyata oleh proses penyuluhan, (3). Ketiga faktor yang berpengaruh pada kapasitas masyarakat dan partisipasi dalam pengelolaan TNKT, yaitu peubah karakteristik internal, proses penyuluhan dan faktor lingkungan memiliki hubungan yang erat, dan (4). Strategi yang dapat digunakan adalah meningkatan proses penyuluhan yang konvergen dengan memberikan peluang yang luas kepada masyarakat untuk ikut serta dalam proses pengelolaan TNKT.
Kata kunci : Partisipasi, komunitas, kapasitas, proses penyuluhan dan taman nasional.
© Hak Cipta adalah milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkansumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
MUHD NUR SANGADJI
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Fakultas Ekologi Manusia
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nama : Muhd Nur Sangadji
NIM : P061050031
Disetujui Komisi Pembimbing
K e t u a
Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS.
Prof. Dr. Pang S. Asngari, M.Ed
Anggota Anggota
Dr. Soenarmo, H.Soewito, M.Ed
Diketahui
Koordinator Program Mayor, Dekan Sekolah Pascasarjana,
Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
ridho-Nya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2008 ini ialah partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi (Taman Nasional).
Untuk berbagai hal yang amat berarti dalam penyelesaian studi dan penulisan disertasi ini, penulis memperoleh banyak bimbingan dan masukan dari banyak pihak. Atas segalanya, penulis menghaturkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Sumardjo, M.S, Prof. Dr. Pang S. Asngari dan Dr. Soenarmo H Soewito yang telah memberikan bimbingan selama perkuliahan dan penulisan disertasi ini.
Penghargaan yang sama juga disampaikan kepada semua guru-guru di IPB khusunya kepada Prof Dr Margono Slamet yang pikiran dan teorinya tentang partisipasi yang penulis dapatkan selama mengikuti perkuliahan beliau, telah menjadi inspirasi bagi penelitian ini. Kepada Prof Dr Khairil Anwar, Prof Dr Djoko Susanto, Dr Suryo Adiwibowo dan Dr Siti Amanah, penulis sampaikan terima kasih atas dukungannya selama ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Dr Sudirmaan Saad dan Dr Basita Ginting Sugihen, MA atas kesediaan menjadi penguji ujian terbuka ditengah kesibukan beliau.. Penulis juga amat berterima kasih kepada Dr Aji Hermawan dan Teti Haryati, M.Si. yang sering penulis bertanya dan berdiskusi.
Terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada Dirjen Dikti atas dukungan beasiswa BPPS serta program sandwich di Australia. Ucapan yang sama disampaikan kepada Dr Mulyoto Pangestu atas kesediaan beliau untuk membimbing selama mengikuti program sanwich di Monash University, Melbourne Australia.
Damandiri atas bantuan beasiswa yang amat berguna.
Kepada mereka yang berjasa ikut melapangkan jalan bagi terselanggaranya penelitian ini antara lain: Dekan Fakultas Partanian Universitas Tadulako, Ketua Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) dan Ketua Pusat Penelitian Pendugaan Konflik (P4K) Universitas Tadulako, penulis sampaikan terima kasih. Terima kasih juga disampaikan kepada mereka yang secara individu memberikan berkontribusi yang sangat berarti: Kanda Taslim DP dan Kanda Dahlan H. Hasan yang membuka jalan menuju pulau Togean untuk penelitian ini. Kepada para sahabat, Abd Wahid, Tomy Tampubolon, Muzakir Tawil, Ramadanil, Irwan Lakani, Zulkifli, Nur Edy dan Cristo Hutabarat serta anggota CII Palu, bantuannya terlalu berarti.
Ucapan terimakasih dikhususkan kepada Desi, Kodir dan Syafruddin selaku staf PPN-IPB atas sokongan administratif yang sangat penting. Kepada kawan-kawan di PPN terutama Rozi, George, Mutu, Wignyo, Agus, Mappa, Hatta, Ikbal, Johanes, Puji, Yumi dan Yunita, terima kasih atas persahabatan selama ini. Juga kepada kawan-kawan dari Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Sulteng (HIMPAST) dan Forum Mahasiswa Pascasarjana (WACANA) IPB atas kekompakan selama ini.
Secara khusus penulis mengungkapan rasa terima kasih kepada almarhum Ayahanda KA Sangadji, pamanda Hasan Sangadji, Ali Sangadji dan Maulud Sangadji, Bunda Hj Hadidjah A Rahman, Bunda Hj. Mahani Abdullah dan Bunda Hj Sarlota Lapanjang, istri Rostiati Dg Rahmatu dan anak Moh Reza Sangadji serta saudara (adik dan kakak), atas segala dukungan dan doa serta kasih sayangnya.
08 September 1962 sebagai anak kedua dari pasangan Bapak Hasanuddin Sangadji dan Bunda Hj. Hadidjah A. Rahman. Pendidikan sarjana ditempuh pada Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, lulus pada tahun 1989. Pada tahun 1994, penulis diterima di Program Magister atau DEA L’home et Nature
(Ekologi Manusia) Program Pascasarjana Universitas Lyon 3 Perancis dan selesai pada tahun 1997. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor diperoleh tahun 2005 pada Program Pascasarjana IPB, Fakultas Ekologi Manusia, Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan dengan fokus disertasi penyuluhan konservasi.
Penulis pernah mengikuti Training Managemen Kolaboratif/Kemitraan di Jepang selama satu bulan pada tahun 2004, Sandwich program di Monash University Australia tentang konservasi dan komunitas selama lebih tiga bulan pada tahun 2008-2009 dan mempresentasikan makalah pada Internasional Round Table Discussion di dua universitas di Malaysia (UPM dan IIUM) pada tahun 2009.
Pengantar, Kumpulan Esay : menggagas Partisipasi, Palu: Kota Dua Wajah, Di Kaki Menara Eiffel, Helai-Helai Daun Sakura, Catatan Pagi: 3 Tahun Merangkai Cerita di Kampus IPB, Menoreh Asa di Punggung Bumi Tadulako, Catatan Sore di Negeri Kanguru, dan Palajaran Dari Negeri Jiran. Sejumlah aritkel jurnal yang ditulis selama kuliah S3 antara lain: tentang partisipasi dan pemberdayaan di jurnal “Agroculture” Himpast Bogor dan jurnal Forhimapast Bandung. Dua judul dari penelitian disertasi akan diterbitkan pada Jurnal Penyuluhan PPN IPB.
Beberapa artikel yang ditulis dan telah terbit di berbagai media masa antara lain : “The Silen Voice”: Makna Keajaiban Demokrasi, Bom Palu dan Bahaya
“Civil Disobidiences.” “Good Governance” : Teori ataukah Realita, Ketika Pohon bercabang Partai, Kuncinya Ternyata adalah Komunikasi, Pemimpin Amanah, Mencari Rektor yang Berkualitas, Mengukur Leadership dari Bencana, Indonesia Menangis, Sumber daya Air dan Hutan, Pembangunanan Partisiptif, Pariwisata Kita, Amin Rais dan Makna Pengakuan Dosa, Reshafel Kabinet dan Logika Publik, Pemberdayaan dan Resolusi Konflik, Palu: “Northern Gate Indonesia,” Pelajaran Dari Negeri yang musnah, Dll, sejumlah lebih kurang 50 an artikel
Penguji pada Ujian Tertutup : Prof Dr. Ign. Djoko Susanto, SKM Dr. Ir. Suryo Adiwibowo, MS.
Halaman
DAFTAR TABEL ………... xiii
DAFTAR GAMBAR………. xiv
DAFTAR LAMPIRAN……….. xv
PENDAHULUAN……….………. 1
Latar Belakang ……… 1
Masalah Penelitian ……….. 4
Tujuan Penelitian………... 5
Kegunaan Penelitian ……….……….. 5
Pengertian Konsep dan Istilah………. 5
TINJAUAN PUSTAKA………. 8
Pengertian Partisipasi... ... 8
Bentuk dan Derajat Partisipasi... 10
Konsep Kemitraan... 11
Partisipasi dan Kemitraan Pembangunan Masyarakat... 13
Implementasi Konsep Partisipasi... 16
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Partisipasi... 18
Karakteristik Individu... 19
Proses Penyuluhan... 26
Faktor Lingkungan... 36
Kapasitas Individu Masyarakat...…... 43
Partisipasi Pengelolaan Taman Nasional ... 49
Pengertian Taman Nasional... ... 49
Partisipasi dan Kemitraan Pengelolaan Taman Nasional... 51
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS... 55
Kerangka Berpikir... 55
Hipotesis Penelitian... 64
METODE PENELITIAN... 65
Rancangan Penelitian... 65
Lokasi Penelitian... 65
Populasi dan Sampel... 66
Instrumentasi... 68
Definisi Operasional dan Pengukuran Peubah... 69
Profil Sosial, Ekonomi dan Budaya Desa Sampel………... 86
Karakteristik Demografi Responden ... 90
Rataan Skor peubah Penelitian... 94
Analisis Pendugaan Parameter Model Kapasitas dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan TNKT... 104 Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kapasitas Masyarakat dalam Pengelolaan TNKT... 110 Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Partisipasi Masyarakat alam Pengelolaan TNKT... 113 Hubungan antar Faktor yang Berpengaruh... 120
Strategi Penyuluhan... 121
KESIMPULAN DAN SARAN... 131
Kesimpulan... 131
Saran... 132
DAFTAR PUSTAKA... 133
1. Hubungan antara metode penyuluhan, tahap-tahap ... ... 32
2. Paradigma Partisipasi Masyarakat melalui Pola Kemitraan... 59
3. Paradigma Kapasitas Individu Masyarakat, Rendah dan Tinggi... 60
4 Paradigma Penyuluhan Partisipatif dan non partisipatif... 61
5. Rincian Sampel Penelitian di Wilayah Penelitian... 68
6. Hasil Uji Validitas dan Reabilitas Instrument Penelitian... 69
7. Indikator dan pengukuran karakteristik individu masyarakat... 71
8. Indikator dan pengukuran proses penyuluhan... 72
9. Indikator dan pengukuran Karakteristik Lingkungan Sosial... 73
10. Indikator dan pengukuran Kapasitas Individu Masyarakat... 74
11. Indikator dan pengukuran Partisipasi Masyarakat ... 75
12 Rancangan pengujian model penelitian partisipasi masyarakat... 79
13. Peubah dan sub peubah model persamaan struktural... 80
14. Sebaran Prosentase Jenis Kelamin Responden... 91
15 Sebaran Prosentase Tingkat Pendidikan Responden... 91
16 Sebaran Prosentase Jenis Pekerjaan Responden... 92
17. Sebaran Prosentase Tingkat Usia Responden... 93
18. Sebaran Prosentase Lama Tinggal Responden... 93
19. Rataan Skor Karakteristik Individu... 94
20. Rataan Skor Proses Penyuluhan... 96
21. Rataan Skor Faktor Lingkungan ... 98
22. Rataan Skor Kapasitas Masyarakat ... 100
23 Rataan Skor Partisipasi Masyarakat ... 102
24. Koefisien dan t-hitung pengaruh karakteristik internal, ... 106
25. Koefisien dan t-hitung pengaruh karakteristik internal, proses ... 108
26. Arah, koefisien dan t-hitung dari hubungan peubah ... 109
30. Rangkuman Validitas dan Reliabilitas Proses Penyuluhan... 148
31. Uji Kecocokan Model Faktor Lingkungan... 150
32 Rangkuman Validitas dan Reliabilitas Faktor Lingkungan... 150
33. Hasil Uji Kecocokan Model Konstruk Kapasitas Masyarakat ... 152
34. Rangkuman Validitas dan Reliabilitas Konstruk Kapasitas ... 152
35. Hasil Uji Kecocokan Model Konstruk Partisipasi... 154
1. Kategori atau susunan dari bentuk Co-manajemen ... 53
2. Alur hubungan antar peubah penelitian... 63
3. Kerangka hipotetik model struktural peubah penelitian ... 77
4. Peta Administrasi Kepulauan Togean... 81
5. Segi Tiga Terumbu Karang... 83
6. Estimasi parameter model struktural partisipasi masyarakat... 105
7. Statistik t-hitung parameter model struktural partisipasi... 106
8. Strategi Pengembangan Partisipasi Melalui Proses Penyuluhan.... 124
9. Path Diagram Nilai-tKarakteristik Internal... 145
10 Path Diagram Standardized Loading Factor Karakteristik Internal 145 11. Path Diagram Nilai-t Proses Penyuluhan ………. 147
12. Path Diagram Standardized Loading Factor Proses Penyuluhan.. 147
13. Path Diagram Nilai-t Faktor Lingkungan Modifikasi... 149
14. Path Diagram Standardized Loading Factor Faktor Lingkungan 149 15. Path Diagram Nilai-t Kapasitas Masyarakat Modifikasi... 151
16. Path Diagram Standardized Loading Factor Kapasitas ……….. 151
17. Path Diagram Nilai-t Partisipasi Modifikasi... 153
18. Path Diagram Standardized Loading Factor Partisipasi ………. 153
19. Potensi ekonomi di kepulauan Togean... 178
20. Panorama indah di kepulauan Togean ... 179
21. Bentuk partisipasi masyarakat di kepualaun Togean... 180
22. Infra struktur di kepulauan Togean……… 181
23. Potensi kecerdasan anak-anak di kepulauan Togean……….. 182
Halaman
1. Analisis Model Pengukuran ( Confirmatory Factor
Analysis/CFA)... 144
2. Output lisrel parameter model struktural partisipasi... 156
3. Hasil Uji validitas dan reabilitas ... 169
4. Foto-foto lokasi dan proses penelitian... 178
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara megabiodiversity jenis hayati
dan mega center keanekaragaman hayati. Keanekaragaman ekosistem di
Indonesia juga sangat mengagumkan, ditunjukkan dengan adanya kurang lebih 50
tipe ekosistem alam dan termasuk salah satu dari tiga negara pemilik hutan tropis
terbesar di dunia (Ramade, 1987). Indonesia juga dikenal memiliki wilayah
terumbu karang terluas di kawasan Indo-Malaya dan bersama Philipina, Papua
Nugini dan Australia dijuluki segitiga terumbu karang, dengan keanekaragaman
jenis ikan hias laut terbesar dibanding Negara lain (Herminto, 1996).
Kondisi sumberdaya alam seperti diungkapkan di atas, dalam beberapa
tahun terakhir ini mengalami kerusakan yang semakin meluas. Antara tahun 1976
dan 1980, kerusakan hutan yang terjadi diperkirakan seluas 550.000 ha. Angka
ini berkembang menjadi rata-rata 1,6 juta hingga tahun 2000, bahkan data yang
dikemukakan Alikodra dan Syaukani (2004), sudah mencapai 3,8 juta ha per
tahun. Mekipun data pada 2007 terjadi penurunan menjadi 2,8 juta partahun,
namun total kerusakan telah mencapai 59 juta hektar dari luas hutan Indonesia
sebesar 120,3 juta hektar (Purnama, 2009). Butler (Mahmuddin, 2009)
menyebutkan antara tahun 1990–2005, Indonesia kehilangan lebih dari 28 juta
hektar hutan hujan tropis, termasuk 21,7 persen hutan perawan.
Di sektor kelautan, saat ini terdapat 5,30 % terumbu karang di Indonesia
yang masih dalam keadaan sangat baik ; 21,70 % dalam keadaan baik ; 33,50 %
sedang dan 39, 50 % rusak. Padahal setiap tahun diperoleh 9 juta ton hasil laut
dari terumbu karang dan angka ini merupakan 23 % perolehan hasil laut dunia
(Herminto, 1996).
Kerusakan sumberdaya hutan selain berdampak negatif terhadap
keanekaragaman hayati dan ekosistem sekitar hutan juga terhadap ekosistem laut.
Kerusakan ekosistem hutan dan laut secara langsung akan mengancam kehidupan
manusia baik sekarang maupun yang akan datang. Berbagai bencana yang
maupun tidak langsung dari kerusakan tersebut. Bila hal ini tidak segera disadari
dan ditangani secara serius, akan menjadi malapetaka dimudian hari.
Salah satu upaya mencegah terjadinya kerusakan adalah dengan
menetapkan kawasan konservasi dalam bentuk Taman Nasional. Menurut
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam
Hayati dan Ekosistemnya, Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang
mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan
untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,
pariwisata dan rekreasi alam. Selain itu, Taman Nasional berfungsi: (1) sebagai
kawasan perlindungan, (2) kawasan untuk mempertahankan keragaman jenis
tumbuhan dan satwa, dan (3) kawasan pemanfaatan secara lestari potensi
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.
Pada bulan Oktober 2004 Kepulauan Togean yang terletak di Provinsi
Sulawesi Tengah, telah ditunjuk oleh Menteri Kehutanan RI melalui SK.
No.418/Menhut-II/2004 sebagai taman nasional dengan nama Taman Nasional
Kepulauan Togean (TNKT). Pulau tersebut memiliki luasan 362.605 ha terdiri
dari hutan dan perairan. Secara otomatis penunjukan tersebut mengubah status
Kepulauan Togean menjadi kawasan pelestarian alam yang fungsi pelestarian dan
pemanfaatan harus dilakukan secara seimbang sesuai UU No. 5 tahun 1990.
Penetapan TNKT didasari pada potensi sumberdaya alam dengan nilai
keragaman hayati yang sangat besar, baik untuk obyek wisata maupun kekayaan
berbagai jenis Flora dan Fauna Endemik Sulawesi yang perlu dilestarikan.
Kepulauan tersebut telah mendapat perhatian pada tingkat nasional, ditunjukkan
oleh Bappenas dalam dokumen Biodiversity Action Plan for Indonesia (CII, 2005). Daya tarik ini menjadi lebih besar lagi dengan kekayaan kemajemukan
budaya penduduk dan pola hidup, termasuk dalam pengelolaan sumberdaya
alam. Kekayaan alam ini sekarang menghadapi ancaman karena berbagai
kegiatan ekonomi berskala besar maupun kecil terutama dengan memanfaatkan
teknologi destruktif yang merusak sumberdaya alam.
Namun, penunjukan TNKT melahirkan reaksi beragam dari berbagai
menimbulkan konflik, baik di tingkat masyarakat maupun kebijakan. Hal ini
berdasarkan pengalaman pada beberapa taman nasional di Indonesia, termasuk
yang terdekat Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) yang juga terletak di Sulawesi
Tengah. Oleh karenanya, sikap penolakan sempat muncul sebagai reaksi atas
kekhawatiran tersebut. Sebagian lainnya merasa bahwa TNKT bisa menciptakan
upaya pelestarian dan pengelolaan sumberdaya alam yang lebih baik, asal
dilakukan secara bersama dan partisipatif. Mereka yang optimis melihat adanya
peluang kerjasama (kemitraan) atau kolaborasi dalam mengelola TNKT. Apalagi
hal ini diperkuat dengan keluarnya Peraturan Menteri Kehutanan No.
P.19/Menhut-II/2004 tentang Pedoman Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka
Alam dan Kawasan Pelestarian Alam di Indonesia.
Taman Nasional Kepulauan Togean dihuni oleh masyarakat dari berbagai
suku bangsa antara lain, Suku Bobongko, Togean, Saluan dan Suku Bajau. Selain
itu, juga terdapat suku-suku yang relatif baru seperti Ta’a-Ampana, Gorontalo,
Bugis, Makasar, Jawa, Kaili-Palu. Kehadiran berbagai etnik tersebut telah
menambah kaya khasanah kebudayaan dan tradisi di Kepulauan Togean dan
mempengaruhi pola interaksi baik interen masyarakat maupun antara masyarakat
dengan lingkungan (SDA). Interaksi tersebut pada beberapa tahun terakhir ini
memperlihatkan perkembangan yang mengkuatirkan, ditandai dengan
meningkatnya ekploitasi SDA dengan cara yang bertentangan dengan prinsip
konservasi akibat desakan kebutuhan.
Berdasarkan pengalaman dari banyak taman nasional di indonesia,
terdapat berbagai cara ekploitasi SDA di antaranya penyerobotan kawasan,
perambahan dan pendudukan seperti yang terjadi di TNLL. Sejak Juli 2001 ada
sekitar 2060 ha Kawasan TNLL dirambah dan diduduki oleh 1030 KK yang
berasal dari beberapa desa yang ada di sekitarnya (Laban, 2002).
Penyerobotan kawasan taman nasional seperti yang dilansir Mappatoba
(2004), diakibatkan oleh: (1) kurang perhatian pada proses melibatkan masyarakat
(partisipasi) dalam manajemen dan pengambilan keputusan berkait taman
nasional, (2) desakan kebutuhan bagi terutama masyarakat yang bermukim di
bangunan, tanaman obat, dan areal perburuan. Tentang kebutuhan lahan, Sangadji
(1997) mengungkapkan bahwa tradisi berladang masyarakat lokal yang
mensyaratkan luasan lahan dan jumlah populasi tertentu untuk siklus rotasi,
berbentur dengan konsesi lahan oleh berbagai pihak untuk tujuan ekonomi
maupun konservasi.
Guna menjembatani hal ini, pengelolaan taman nasional sebaiknya
melibatkan secara aktif masyarakat lokal agar kebutuhan mereka dapat
diakomodasi. Namun, kesuksesan pengelolaan ini akan sangat dipengaruhi oleh
partisipasi dan kemitraan semua pihak yang dalam penelitian ini difokuskan pada
masyarakat. Konsep partisipasi dan kemitraan sesungguhnya sudah banyak dikaji
namun dalam konteks pengelolaan kawasan konservasi masih relatif baru. Sejak
pemerintah berupaya merubah paradigma pengelolaan kawasan konservasi dengan
keluarnya Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2004, belum ada
kawasan konservasi yang dapat dijadikan contoh. Penelitian tentang partisipasi
dalam pengelolaan kawasan konservasi pasca perubahan paradigma ini pun relatif
belum banyak. Pola pengelolaan ini diharapkan dapat mendukung tujuan
konservasi yang berintikan perlindungan, kelestarian dan pemanfaatan SDA baik
secara ekonomi, sosial maupun ekologi sehingga berdampak pada kesejahteraan
masyarakat terutama di sekitar kawasan TNKT.
Masalah Penelitian
Secara khusus masalah yang ditelaah sebagai pertanyaan penelitian
(question research) ialah:
(1) Bagaimana tingkat partisipasi masyarakat saat ini dalam pengelolaan
TNKT?
(2) Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh pada partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan TNKT?
(3) Bagaimana hubungan antara faktor-faktor yang berpengaruh pada
partisipasi?, dan
(4) Bagaimana alternatif desain strategi penyuluhan yang efektif untuk
Tujuan Penelitian
(1) Menganalisis tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT.
(2) Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh pada partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan TNKT.
(3) Menganalisis hubungan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan TNKT, dan
(4) Merumuskan strategi penyuluhan yang efektif untuk mendorong partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan TNKT.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun secara
prktis sebagai berikut :
(1) Secara teoritis, penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi bagi
pengembangan ilmu penyuluhan pembangunan, khususnya yang berkaitan
dengan pengembangan partisipasi masyarakat dalam mengelola sumberdaya
alam di kawasan konservasi (taman nasional).
(2) Secara praktis, penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi
pemikiran bagi pengambil kebijakan dalam merumuskan strategi
penyuluhan yang tepat untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam
mengelola sumberdaya alam secara lestari terutama yang berkaitan dengan
pengelolaan kawasan konservasi.
Pengertian Baberapa Konsep dan Istilah
Beberapa pengertian dari sejumlah kata kunci dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut;
• Partisipasi memiliki konotasi yang beda-beda dalam pandangan para ahli. Mubyarto (1984) mendefinisikan partisipasi sebagai kesediaan membantu
berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa
mengorbankan diri sendiri. Slamet (2003) memaknai partisipasi
masyarakat dalam pembangunan sebagai ikut sertanya masyarakat dalam
kegiatan pembangunan, dan ikut serta memanfaatkan dan menikamati
• Kemitraan memiliki kata dasar ”mitra” yang dapat diartikan sebagai
“teman” atau “kawan.” Padanan kata kemitraan dalam bahasa Inggeris
adalah “friendship” atau “partnership.” Dalam kaitan dengan pengelolaan
Taman Nasional, kemitraan dapat dimaknai sebagai Pengelolaan bersama atau Co-management, berintikan partisipasi, komitmen dan kerja sama dari seluruh stakeholders (Aliadi, et al, 2002).
• Individu berasal dari bahasa latin yaitu individum yang berarti satuan
terkecil yang tidak dapat dibagi lagi. Merujuk pada Siti Amanah (2006),
Individu merupakan unit terkecil dari masyarakat dan dalam konsep
sosiologi merupakan akumulasi pengalaman, pandangan, tindakan
seseorang dan membentuk ciri-ciri pribadi. Ketika berhadapan dengan
suatu persoalan, individu akan melewati tiga fase yaitu ; fase persepsi, fase
penafsiran dan fase pengambilan keputusan.
• Masyarakat manurut Cristenson dkk. (Siti Amanah, 2006), orang-orang
yang hidup dalam batas geografis, integrasi sosial, memiliki ikatan
psikologis dan ikatan dengan tempat tinggal. Soekanto (1983)
mengemukakan bahwa masyarakat memiliki ciri hidup bersama,
berintegrasi dan bekerja sama untuk waktu yang lama dan sadar sebagai
suatu kesatuan dan satu sistem hidup bersama. Waren dan Cottrel (Ndraha,
1990) membedakan masyarakat (society) dan komunitas (community).
Komunitas adalah sekelompok manusia yang mendiami wilayah tertentu
dimana seluruh anggotanya berinteraksi satu sama lain, mempunyai
pembagian peran dan status yang jelas. Masyarakat adalah sekumpulan
orang yang mendiami wilayah tertentu dan anggotanya saling berinteraksi
namun bisa juga tidak saling mengenal, masing-masing anggotanya
menduduki status dan peranan tertentu yang sudah disediakan.
• Stakeholder adalah pihak-pihak yang terkait dengan suatu. Bessete (2004)
mendefinisikan stekeholder sebagai orang dengan suatu kepentingan atau perhatian pada permasalahan. Individu dan institusi yang diidentifikasi
dikelompokkan kedalam stakeholder utama (primer), stakeholder pendukung (sekunder), dan stakeholder kunci (Ramirez, 1999).
• Pembangunan berkelanjutan atau sustainable development, didefinisikan
berdasarkan Laporan World Commission on Environment and Development (WCED) tahun 1987, UN (PBB) berjudul “Our Common Future” (Moffat et al, 2001) adalah pembangunan yang berusaha untuk memenuhi kebutuhan kita sekarang tanpa mengurangi kemampuan
generasi yang akan datang.
• Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk
tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,
pariwisata dan rekreasi alam. Selain itu taman nasional berfungsi: (1)
sebagai kawasan perlindungan, (2) sebagai kawasan untuk
mempertahankan keragaman jenis tumbuhan dan satwa, dan (3) sebagai
kawasan pemanfaatan secara lestari potensi sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya (Menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Partisipasi
Tidak bisa dipungkiri bahwa keberhasilan pembangunan nasional amat
ditentukan oleh partisipasi masyarakat, bahkan menurut Roger (1994),
pembangunan itu sendiri adalah partisipasi. Pendapat ini juga didukung oleh
Slamet (2003), yang mengemukakan bahwa indikator keberhasilan pembangunan
bisa diukur dari ada tidaknya partisipasi masyarakat.
Sudah lama esensi partisipasi dijadikan indikator pembangunan.
Mengenai hal ini, Siti Amanah (2006) mengemukakan bahwa partisipasi
menjadi indikator dari istilah pembangunan masyarakat yang digunakan
pertama kali pada tahun 1930 di AS dan Inggris. Pernyataan-pernyataan ini
juga sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Jaringan PBB untuk
pembangunan pedesaan dan keamanan pangan sebagai berikut : “... describes participation as one of the ends as well as one of the means of development.”
Menurut Roger dan Shoemaker (1971), partisipasi adalah “the degree in to which of a social system are involved in the decision making process.” Oleh Davis dkk., (1989), partisipasi dianggap sebagai keterlibatan mental dan
emosional dalam situasi kelompok yang mendorong mereka berkontribusi
kepada tujuan dan berbagi tanggung jawab bagi pencapaian tujuan itu.
Bryant dan White (Ndraha, 1990) membagi partisipasi atas dua macam :
(1), partisipasi antara sesama warga atau anggota suatu perkumpulan, dinamakan
partisipasi “horizontal.” (2). Partisipasi oleh bawahan dan atasan, antara klien dan
patron, atau antara masyarakat dengan pemerintah, diberi nama partisipasi
“vertical.” Pada sisi lain, keterlibatan masyarakat dalam kegiatan politik seperti
pemberian suara dalam pemilihan, kampanye dan sebagainya, dikenal sebagai
partisipasi dalam proses politik. Keterlibatan dalam kegiatan perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan, disebut partisipasi dalam proses administratif.
PBB sebagaimana dikutip Slamet (2003), mendefinisikan partisipasi
sebagai keterlibatan aktif dan bermakna dari penduduk pada tingkatan yang
pengalokasian sumber daya untuk mencapai tujuan tersebut; (b) pelaksanaan
program secara sukarela, dan. (c) pemanfaatan hasil-hasil dari suatu program.
Asngari (2003) mengiktiarkan makna Partisipasi atas enam point: (1)
Partisipasi dalam pengambilan keputusan, (2) Partisipasi dalam pengawasan, (3)
Partisipasi mendapatkan manfaat dan penghargaan, (4) Partisipasi sebagai proses
pemberdayaan (empowerment), (5) Partisipasi bermakna kerja kemitraan (partnership), (6) Partisipasi akibat pengaruh stakeholder dalam pengambilan keputusan, pengawasan dan penggunaan “resource” yang bermanfaat. Resume tersebut sejalan dengan uraian Yadov (Madrie, 1986) sebagai berikut :
“…..people’s involvement has to be understood in the following foursense ; (1) participation ini decision making (2) participation in implementation of development program and projects (3) participation in monitoring and evaluation of development program and projects (4) participation in sharing the benefit of development (Yadov,, 1980).
Dalam dunia penyuluhan pertanian, van den Ban dan Hawkins (1999),
merumuskan partisipasi sebagai berikut: (1) sikap kerja sama petani dalam
program penyuluhan dengan cara menghadiri rapat, mendemonstrasikan metoda
baru, mengajukan pertanyaan pada penyuluh dll., (2) pengorganisasian kegiatan
penyuluhan oleh kelompok petani, 3) menyediakan informasi untuk
merencanakan program penyuluhan yang efektif, (4) pengambilan keputusan
mengenai tujuan, kelompok sasaran, pesan, metoda, dan dalam evaluasi kegiatan,
(5) petani atau organisasinya membayar seluruh atau sebagian biaya yang
dibutuhkan untuk jasa penyuluhan, (6) supervisi agen penyuluhan oleh organisasi
petani yang mempekerjakanya.
Menurut Asngari (2008), berdasarkan area-area pembangunan maka
partisipasi dapat dikelompokkan dalam dua pilahan yaitu: (1) Partisipasi sebagai
suatu alat, dimaksudkan untuk menciptakan teknik atau metoda untuk
mengiplementasikan partisipasi dalam praktek pembangunan, dan (2) Partisipasi
sebagai tujuan, dimaknai sebagai pemberdayaan masyarakat sesuai kemampuan
mereka, untuk secara bersama mengambil bagian dan bertanggung jawab atas
Bentuk dan Derajat Partisipasi Bentuk Partisipasi
Bertolak dari ragam pengertian partisipasi seperti yang telah diuraikan
sebelumnya, Slamet (2003) menyederhanakan pemahaman tentang partisipasi
dalam pembangunan atas lima jenis : (1) Ikut memberi input proses
pembangunan, menerima imbalan atas input tersebut dan ikut menikmati hasilnya,
(2) Ikut memberi input dan menikmati hasilnya, (3) Ikut memberi input dan
menerima imbalan tanpa ikut menikmati hasil pembangunan secara langsung, (4)
Tidak memberi input tetapi menikmati dan memanfaatkan hasil pembangunan, (5)
Memberi input tanpa menerima imbalan dan tidak menikmati hasilnya.
Sedangkan Ndraha, (1990) menunjukan bentuk atau tahap partisipasi atas
beberapa kategori: (1) Partisipasi melalui kontak dengan pihak lain, (2)
Partisipasi dalam menyerap atau memberi tanggapan, (3) Partisipasi dalam
perencanaan dan pengambilan keputusan, (4) Partisipasi dalam melaksanakan
operasional pembangunan, (5) Partisipasi dalam menerima, memelihara dan
mengembangkan hasil pembangunan, dan (6) Partisipasi dalam menilai
pembangunan, sesuai rencana dan hasilnya sesuai kebutuhan masyarakat.
Agar partisipasi bisa tumbuh, menurut Slamet (2003), paling tidak ada
tiga syarat yang harus dipenuhi yaitu ; (1) adanya kesempatan untuk membangun
kesempatan dalam pembangunan, (2) adanya kemampuan untuk memanfaatkan
kesempatan itu, (3) adanya kemauan untuk berpartisispasi. Pada era orde baru,
Sajogyo (1980) mengatakan bahwa partisipasi masyarakat, khususnya
golongan petani, adalah jalan yang paling strategik dalam seperangkat
delapan jalur pemerataan pembangunan nasional.
Derajat Partisipasi
Derajad partisipasi digunakan untuk menggambarkan seberapa jauh
keterlibatan orang orang atau masyarakat dalam program pembangunan. Arnstein
(1969) menyebutnya dengan istilah tangga partisipasi yang terdiri dari; (1) non
partisipasi (manipulasi dan terapi), (2) derajad tokenisme (informasi, konsultasi
Uraian yang relatif mirip terdapat dalam tulisan Asngari, (2003) sebagai
berikut: (1) Manipulasi, pada tahap ini partisipasi tidak lebih dari upaya indoktrinasi. Jadi sesungguhnya disini tak ada partisipasi (non participation), (2)
Informasi, stakeholders diberikan informasi menyangkut hak dan kewajiban, tanggung jawab dan lain lain. (Komunikasi satu arah), (3) consultation, telah terjadi komunikasi dua arah di mana stakeholders sudah dapat mengekspresikan
saran/perhatian, namun belum menjamin diterimanya input tersebut, (4)
Consencus Building, para stakeholders berinteraksi untuk menciptakan posisi negosiasi, (5). Decision Making, interaksi tersebut diarahkan hingga proses pengambilan keputusan, (6). Risk sharing, stakeholders telah mengambil bagian untuk ikut menanggung resiko dari kegagalan pembangunan, (7). Partnership, telah terbangun kerja sama yang saling menguntungkan dikalangan stakeholders
pembangunan, dan (8). Self-Management, stakeholders telah sampai pada tahap di mana segala urusan pembangunan harus dikerjakan secara baik.
Konsep Kemitraan Pengertian Kemitraan
Kata mitra yang banyak digunakan saat ini dapat disamakan dengan
“teman” atau “kawan” dalam bahasa sehari hari. Padanan kata kemitraan dalam
Definisi tersebut mensyaratkan adanya hubungan kerja sama dan
tanggung jawab serta berbagi porsi (sharing) dalam hal sumberdaya, keuntungan dan resiko untuk mencapai satu tujuan. Perlu diperhatikan bahwa “joint goals” atau “mutual benefits” adalah elemen penting dari kemitraan”
Secara historis, pendekatan kemitraan (kolaborasi) mulai muncul sebagai
respon atas tuntutan kebutuhan mengenai manajemen pengelolaan sumberdaya
yang baru. Manajemen tersebut lebih demokratis, mengakui demensi manusia,
mengelola ketidak pastian, kerumitan dari potensi keputusan dan membangun
kesefahaman atas pilihan pilihan bersama. Oleh karena itu, pendekatan ini sering
disebut sebagai jembatan (bridges) untuk meningkatkan pengelolaan sumberdaya. Mengacu pada beberapa literatur, Suporahardjo (2005) mengemukakan
bahwa istilah partnership memiliki paling tidak tiga varian atau pola. Pertama, koordinasi : tidak ada interaksi langsung antara organisasi tetapi organisasi mempertimbangkan kegiatan pihak lain dalam perencanaannya. Kedua, ko-operasi : organisasi berinteraksi atau bekerja sama untuk mencapai misisnya dan tujuan yang lebih efektif. Ketiga, kolaborasi : organisasi bekerja bersama untuk mencapai misi bersama, disamping juga berusaha
mencapai misi dan tujuan masing-masing.
Di dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam, pola kemitraan dikenal
dengan skema “joint mangement” atau “Co-management” atau “collaborative management”. Kemitraan dalam konteks ini biasanya didefinisikan sebagai berbagai peran, tanggung jawab atau kewenangan antara pemerintah dan
pengguna sumberdaya lokal dalam mengelola sumberdaya tertentu.
Beberapa Asas Kemitraan
Konsep Kemitraan bersandar pada bentuk interaksi interdependensi
berdasarkan beberapa azas (Tadjudin, 2000), yang terdiri dari; kesederajatan,
keadilan, saling menghidupkan, keberlanjutan dan keterbukaan :
Kesederajatan, memandang bahwa semua orang memiliki derajat yang sama,
Keadilan, pendayagunaan hasil alam harus melihat aliran manfaat yang terdistribusi secara adil (hak dan kontribusi secara proporsional) kepada setiap stakeholder, diimbangi pembebanan aliran resiko secara adil pula.
Saling membutuhkan, stakeholder harus merasa adanya saling membutuhkan dan
tergantung atas sesamanya. Interaksi yang terbangun tidak atas “rasa kedermawanan” dan “kesetiakawanan” belaka tetapi ditopang kesadaran bahwa interaksi dengan pihak lain akan membawa manfaat.
Saling menghidupkan dan membesarkan, Kehadiran stakeholder yang satu akan
memberikan medium yang sehat bagi stakeholders lain. Bukan saling meniadakan tetapi saling memberi manfaat.
Keberlanjutan, harus ada rancangan pemanfaat jangka panjang bersamaan dengan
upaya kelestariannya. Bila sumberdaya rusak maka aliran manfaat akan terhenti dan aliran resiko akan mingkat.
Keterbukaan, adanya ketersediaan aliran informasi yang lancar dan berimbang
diantara stakeholder yang terlibat.
Azas-azas tersebut akan berjalan baik bila ditunjang kelembagaan yang
oleh McKen (Tadjudin, 2000) dirumuskan sebagai dukungan sosial budaya,
pemanduan kelembagaan, reduksi konflik, dukungan administrative, dan
keuangan untuk admistrasi, bukan untuk imbalan material. Selain azas-azas
tersebut, Marsal (Tadjudin, 2000) menyebutkan beberapa nilai-nilai yakni;
menghormati orang lain, integritas, kejelasan hak atau aturan main, konsensus,
hubungan berbasis kepercayaan, tanggung jawab, keterbukaan dan pengakuan.
Partisipasi dan Kemitraan dalam Pembangunan Masyarakat
Pada bagian pendahuluan dari bukunya yang berjudul “Cummunity Development: Community based alternatives in an age of globalization, ” Ife, (1995) mengemukakan kegagalan masyarakat modern memenuhi dua hal
fundamental yaitu; hidup harmoni dengan lingkungan dan dengan sesama
manusia, dalam uraian menarik berikut :
Berdasarkan pikiran tersebut, pembangunan masyarakat untuk menjamin
interaksi sesama manusia dan dengan lingkungan menjadi esensial dan partisipasi
mereka adalah mutlak. Menurut Siagian (1996), sedikitnya ada 10 prinsp dalam
penyelenggaraan pembangunan masyarakat, di mana salah satunya menekankan
pada aspek “partisipasi Masyarakat.” Maksudnya, betapapun dominannya peranan
pemerintah dalam pembangunan, tidak mungkin seluruh bebannya dipikul
seluruh aparaturnya, betapapun tingginya disiplin dan dedikasinya. Pembangunan
masyarakat itu sendiri sesungguhnya adalah suatu gerakan untuk menciptakan
tingkat kehidupan yang lebih baik dengan melibatkan (partisipasi) dari mereka.
Dari pengertian yang dikemukakan sebelumnya terlihat bahwa dalam
pembangunan masyarakat terkandung tiga hal yang amat kental mensyaratkan
pentingnya partisipasi, yaitu : (1) Adanya suatu kegiatan yang dilakukan oleh
seluruh anggota masyarakat, (2) Kegiatan tersebut mempunyai tujuan, yaitu
menciptakan kehidupan yang lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya, (3)
Kegiatan tersebut sangat memerlukan peran serta seluruh anggota masyarakat.
Peran serta yang dimaksud adalah keterlibatan langsung dari warga tanpa
adanya dorongan yang kuat dari pihak luar. Dalam hal ini peran serta yang
diharapkan tumbuh dan berkembang dari seluruh warga masyarakat hendaknya
meliputi: (1) peran serta dalam pemikiran, misalnya identifikasi
masalah-masalah yang perlu segera dibangun, membuat perencanaan pembangunan, dan
sebagainya (2) peran serta dalam penghimpunan dana, misalnya memberikan
sumbangan uang dan bahan-bahan untuk pembangunan (3) peran serta dalam
penyelesaian tenaga (4) peran serta menikmati hasil pembangunan.
Proses partisipasi ini bermula dari kesadaran dan pemahaman bersama
akan pengertian dan konsensus yang lahir dari pihak-pihak yang terlibat. Adanya
kesatuan pengertian dan konsensus ini, menurut Asngari (2008) merupakan titian
muhibah bagi terjadinya partisipasi dan kebersamaan langkah dalam suatu
agenda atau tindakan. Hal tersebut menyangkut kemauan bertanggung jawab dan
kemauan menanggung konsekwensi atau akibat tindakan itu. Berkaitan dengan
hal ini, rumusan seminar FAO pada tahun 1975 (Asngari, 2008), menyebutkan
individuals share in the responsibilities and consequences of a common understanding or the achievement of a particular task”.
Asngari (2008) selanjutnya mengatakan bahwa kemauan bertanggung
jawab (responsibility) dan menanggung akibat dan mendapat manfaat (risk and benefit) dapat tumbuh karena adanya kerja sama (partnership) dilandasi keterbukaan dan saling pengertian dari individu yang terlibat. Ini berarti
kebersamaan terjadi oleh interaksi dan komunikasi antar individu secara intim dan
komunikatif. Rasa keterdekatan dan kehangatan menghantarkan proses ini.
Ketersedian untuk berpartisipasi ternyata dipengaruhi juga oleh
kewenangan atau kedaulatan untuk terlibat dalam suatu program atau kegiatan.
Sebuah laporan dalam bentuk artikel yang membahas “praktek partisipasi, sebuah pelajaran dari program FAO mengenai partisipasi masyarakat” menjelaskan bagaimana masyarakat miskin di desa, terdorong untuk berpatisipasi dalam
pembangunan oleh adanya kewenangan atau kedaulatan mereka untuk ikut
mengontrol melalui organisasi, bahkan sumber pembiayaannya berasal dari
mereka sendiri, dengan uraian;
... that of people's participation through organizations controlled and financed by the poor. The article is based on Chapter 1 of "Participation in practice - Lessons from the FAO People's Participation Programme.”
Laporan FAO ini sejalan dengan yang terjadi di Desa Bolano Sulawesi
Tengah, di mana sekelompok ibu-ibu membangun lembaga keuangan simpan
pinjam desa yang mereka sebut “Kredit Union Bolano” yang sangat partisipatif
dengan sumber biayanya berasal dari mereka sendiri. Untuk menjaga spirit
partisipasi dan kemandirian anggota, kelompok ini bahkan menolak bantuan
keuangan dari pemerintah daerah. Ironisnya, lembaga tersebut semakin
berkembang berdampingan dengan lembaga kooperasi yang semakin keahilangan
kepercayaan masyarakat setempat (Azis, 2008).
Implemantasi Konsep Partisipasi dan Kemitraan
Pengalaman menunjukan bahwa peran serta hanya dilihat dalam konteks
untuk mengurangi biaya pembangunan. Dengan kondisi ini, partisipasi
masyarakat “terbatas” pada implementasi atau penerapan program; masyarakat
tidak didorong dayanya menjadi kreatif dan harus menerima keputusan yang
sudah diambil pihak luar. Partisipasi seperti ini menurut Cohen dan Uphoff
(1980) adalah bentuk partisipasi pasif dan tidak memiliki kesadaran kritis.
Cohen dan Uphoff (1980) selanjut mengemukakan bahwa konsep
partisipasi harus dapat menumbuhkan daya kreatif dalam diri sehingga
menghasilkan pengertian partisipasi yang aktif dan kreatif mulai dari tahap
pembuatan keputusan, penikmatan hasil dan evaluasi. Pada saat merencanakan
kegiatan, menurut Suhandi, (2001) dan Takeda, (2001), banyak stakeholder berkepentingan sehingga partisipasi menjadi isu yang sangat penting. Selanjutnya
Warner (1997) menyatakan bahwa stakeholder tersebut berbeda dalam hal
keinginan, kebutuhan, tata nilai, pengetahuan serta motivasi dan aspirasi.
Mengurus partisipasi dalam pandangan Cohen dan Uphoff (1980),
kadang-kadang melambatkan kemajuan pada tahap tertentu dalam urutan
pembangunan, seperti pada tahap perencanaan dan pengambilan keputusan, tetapi
mengabaikannya akan mengakibatkan kegagalan dalam pelaksanaan
pembangunan. Mengabaikan partisipasi dalam masyarakat pada tahap
perencanaan dan pengambilan keputusan mengakibatkan timbulnya "pseudo participation" (partisipasi semu) atau partisipasi terpaksa.
Partisipasi dalam Perencanaan Pembangunan
Secara ideal dapat dikatakan bahwa sebuah program pembangunan, seawal
mungkin telah melibatkan warga masyarakat, mulai dari menganalisis masalah,
menetapkan kebutuhan dan permasalahan serta merencanakan kegiatan untuk
memenuhi kebutuhan tersebut. Bila masyarakat sejak awal telah dilibatkan maka
secara moral akan tumbuh rasa memiliki dan rasa tanggung jawab sebab mereka
berpartisipasi dalam memutuskannya. Miller dan Rein (Madrie, 1986)
mengemukakan efektifitas partisipasi pada tahap ini amat penting dibandingkan
dengan bentuk perencanaan atau keputusan yang dibuat oleh tenaga ahli
Bringing in representatives at an early point in the planning may be much more significant. Making resident aware of the isues involved in planning will be more effective than insisting that these are professional decision which cannot be discussed by untrained persons.”
Bahkan, pendekatan ini dipandang sebagai pendekatan yang paling modern
dalam teori pembangunan kontemporer. Hal ini tertuang dalam laporan PBB
bidang jaringan pembangunan pedesaan dan keamanan pangan sebagai berikut :
The concept of participation is concerned with ensuring that the intended beneficiaries of development projects and programmes are themselves involved in the planning and execution of those projects and programmes. This is considered important as it empowers the recipients of development projects to influence and manage their own development - thereby removing any culture of
the most important concepts
in modern development theory.
Merencanakan kegiatan merupakan suatu proses yang dimulai dari analisis
masalah, potensi dan kebutuhan, menetapkan tujuan, menetapkan
alternative-alternatif kegiatan yang akan dikerjakan, dan bagaimana melakukan
kegiatan-kegiatan itu. Partisipasi pada tahap ini menurut Cohen dan Uphoff (1980), disebut
sebagai “participation in decission making.”
Partisipasi dalam Pelaksanaan Pembangunan
Dalam siklus program, setelah tahapan perencanaan akan dilanjutkan
dengan pelaksanaan. Cohen dan Uphoff (1980) menyebutkan macam partisipasi
ini sebagai “participation in implementation”. Kegiatan yang dilakukan dapat berupa menyumbang uang, menyumbang tenaga, benda dan lsebagainya.
Hal penting yang perlu digaris bawahi adalah upaya melaksanakan
kegiatan yang telah ditetapkan bersama sebelumnya dengan semandiri mungkin
dan memanfaatkan sumberdaya di masyarakat sendiri. Tentang hal ini,
Bhattacharya (Madrie, 1986) menguraikan sebagai berikut : the people of community organize themselves for planning and action define their common and individual needs and problems, make group and individual plans to meets their needs and solve their problems, execute those with a maximum reliance upon
Partisipasi dalam Memanfaatkan Hasil Pembangunan
Sebuah program pembangunan harus mempunyai manfaat dan kegunaan
bagi masyarakat. Masyarakat harus bisa berpartisipasi dalam memanfaatkan
atau berpeluang untuk beraktivitas sehubungan dengan kegunaan program yang
telah selesai dikerjakan. Sebagai gambaran misalnya, bila jaringan irigasi telah
selesai dikerjakan maka masyarakat petani mau atau memanfaatkannya untuk
menanam padi di sawah dan mau memelihara jaringan irigasinya untuk menjamin
kelancaran air yang mengalir ke sawah. Cohen dan Uphoff (1980) menyebut
tahapan ini dengan “Participation in benefict” dan Yadov (Madrie, 1986) menyebutkannya dengan “participation in sharing the benefit of development.”
Partisipasi dalam Evaluasi Pembangunan
Keluaran dari program pembangunan baik berupa fisik maupun non fisik
yang terlihat dalam proses maupun setelah selesai program akan dapat dinilai atau
dievaluasi. Bila masyarakat ikut berpartisipasi dalam menilai sebuah program
pembangunan, maka kisarannnya adalah sejauh mana proyek itu memenuhi
kebutuhan kelompoknya, komunitasnya dan masyarakatnya, sesuai dengan tujuan
yang telah ditetapkan bersama sebelumnya. Cohen dan Uphoff (1980) menyebut
tahapan ini dengan “Participation in evaluation” dan Yadov (Madrie, 1986) menyebutkannya dengan “participation in monitoring and evaluation of development program and projects.”
Partisipasi dalam menilai hasil hasil pembangunan tersebut amatlah
bermanfaat karena akan berimplikasi pada dua hal sekaligus yaitu (1), bagi
masyarakat akan menjadi pelajaran tentang kekurangan dan kelebihan sehingga
berguna dalam merancang kegiatan serupa pada masa akan dating dengan lebih
baik. (2) bagi pemerintah akan menjadi imput yang sangat berharga untuk
penyempurnaan program pada masa akan datang.
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Partisipasi dan Kemitraan Keberadaan kemauan, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat
oleh beberapa faktor di seputar kehidupan manusia yang saling berinteraksi satu
dengan yang lainnya, terutama faktor-faktor: psikologis individu (kebutuhan,
harapan, motif, penghargaan), terpaan informasi, pendidikan (formal maupun
informal), struktur dan stratifikasi sosial, budaya lokal (norma dan adat-istiadat),
serta pengaturan dan pelayanan atau kebijakan pemerintah.
Soekanto (1983) menyebutkan beberapa faktor yang mengakibatkan
masyarakat tidak berpartisipasi dalam pembangunan, di antaranya :
• Faktor sosial budaya, yaitu adanya kebiasaan atau adat istiadat yang
bersifat tradisional statis dan tertutup terhadap suatu perubahan. Hal ini
terjadi karena masih rendahnya pengetahuan masyarakat yang
berimplikasi pada rendahnya kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi
dalam pembangunan.
• Faktor sosial ekonomi, yaitu adanya ketimpangan distribusi pendapatan masyarakat khususnya di pedesaan, menyebabkan ketidak mampuan
masyarakat untuk berpartisipasi.
• Faktor sosial politik, yaitu masih adanya birokrasi politik yang ketat dan
kokoh yang menyebabkan masyarakat semakin tidak berdaya.
Keseluruhan faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat
dalam proses pembanguan tersebut, oleh Oppenheim (1966) diformulasikan
sebagai faktor dalam diri individu atau karakteristik individu (person inner determinant) dan faktor di luar diri individu atau faktor lingkungan (environmental factor).
Karakteristik Individu
Samson (Rahmat, 2001), mengemukakan bahwa Karakteristik individu
merupakan sifat yang dimiliki seseorang yang berhubungan dengan aspek
kehidupan dan lingkungannya. Terdapat tiga teori yang menjelaskan
perkembangan individu hingga membentuk perilaku yaitu: nativisme (Plato),
emperisme (Locke) dan konvergensi (Stern) (Siti Amanah, 2006). Menurut
Mardikanto (1993), karakteristik individu adalah sifat yang melekat pada diri
seseorang dan berhubungan dengan aspek kehidupan, antara lain : umur, jenis
Masyarakat desa dalam mengadopsi suatu inovasi, tidak terlepas dari fakor
individu warga masyarakat serta faktor lingkungan dimana ia tinggal. Faktor
individu merupakan karakteristik warga masyarakatnya maupun karakteristik
individunya. Rogers dan Shoemaker (1971) menyatakan bahwa, dalam
penyebaran suatu ide baru atau difusi inovasi dalam suatu sistem sosial, pelakunya
minimal memiliki tiga karakteristik yaitu status sosial, kepribadian dan
kemampuan berkomunikasi.
Pendidikan
Pendidikan merupakan suatu faktor internal individu yang
memungkinkan seseorang dapat memperoleh berbagai ilmu pengetahuan dan
keterampilan. Saharuddin (1987) mengatakan bahwa tingkat pendidikan
seseorang mempengaruhi partisipasinya pada tingkat perencanaan, oleh
karena itu semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang dapat diharapkan
semakin baik pula cara berpikir dan cara bertindaknya. Slamet (2003)
mendefinisikan pendidikan sebagai usaha untuk menghasilkan perubahan
pada perilaku manusia. Sejalan dengan itu, Soeitoe (1982) mengemukakan
bahwa pendidikan adalah suatu proses yang diorganisir dengan tujuan
mencapai sesuatu hasil yang nampak sebagai perubahan dalam tingkah laku.
Menurut Bloom (Mulyasa, 2002), kognitif merupakan perilaku yang
berkenaan dengan aspek pengetahuan seseorang, sedangkan afektif berkenaan
dengan perasaan dan emosi terhadap suatu obyek, keadaan atau terhadap orang
lain, dan psikomotor merupakan perilaku yang berkenaan dengan keterampilan
seseorang mengerjakan sesuatu. Pendidikan akan membuat seseorang menjadi
modern, sebagaimana dilansir Asngari, (2001) dari pikiran Inkeles bahwa salah
satu ciri orang modern adalah menempatkan pendidikan formal ditunjang
pendidikan non formal dan informal sebagai sesuatu yang sangat tinggi nilainya.
Pendidikan formal menurut Winkel (1987), adalah pendidikan sekolah
yang dalam penyelenggaraannya menempuh serangkaian kegiatan terencana dan
terorganisir. Sedangkan, pendidikan non formal lebih dikenal sebagai bentuk
adalah kegiatan pendidikan di luar sistem pendidikan formal dan bertujuan
merubah perilaku masyarakat dalam arti luas. Sasarannya mencakup semua
kelompok umur dan semua sektor kehidupan masyarakat. Bentuk nyatanya dapat
berupa penyuluhan, penataran, kursus, mapun ketrampilan teknis lainnya yang
bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan dan ketrampilan peserta didik.
Secara umum dapat dikatakan bahwa pendidikan akan meningkatkan
kemampuan kapasitas rasional dari masyarakat. Masyarakat yang rasional
sebelum memutuskan untuk berpartisipasi dalam pembangunan, didahului oleh
masa belajar dan menilai manakala partisipasi itu mendatangkan manfaat bagi
dirinya. Jika bermanfaat, akan berpartisipasi, dan jika tidak, masyarakat tidak
tergerak untuk berpartisipasi.
Pengalaman
Salah satu faktor yang turut menunjang perilaku seseorang adalah
pengalaman yang juga diukur dalam karakteristik individu. Menurut Gagne
(1977) pengalaman adalah akumulasi dari proses belajar mengajar yang dialami
oleh seseorang. Kecenderungan seseorang untuk berbuat, tergantung dari
pengalamannya, karena menentukan minat dan kebutuhan yang dirasakan.
Hal-hal yang telah dialami akan ikut membentuk dan mempengaruhi penghayatan
terhadap stimulus sosial. Menurut Padmowihardjo (1999), secara psikologis
seluruh pemikiran manusia, kepribadian dan temperamen ditentukan oleh
pengalaman indera. Menurut Rahmat (2001), faktor pengalaman dapat menambah
wawasan berpikir semakin luas, mempengaruhi cara bertindak dan memberi corak
pada kepribadian seseorang.
Persepsi
Persepsi adalah proses yang berkaitan dengan petunjuk inderawi dan
pengalaman masa lampau yang relevan untuk memberi gambaran terstruktur dan
bermakna pada suatu situasi tertentu. Menurut Walgito (2002) persepsi adalah
suatu proses yang didahului oleh pengindraan dalam bentuk stimulus ke kesyaraf
persepsi sebagai proses pengamatan individu dari komponen kognisi, yang
dipengaruhi oleh pengalaman dan proses belajar, cakrawala dan pengetahuan.
Litterer (Asngari, 2003) mengemukakan bahwa persepsi adalah “the understanding or view people have of things in the world around them.” Adanya persepsi berimplikasi terhadap munculnya motivasi, kemauan, tanggapan dan
perasaan dari stimulus yang diterima. Ada tiga rangkaian proses yang membentuk
persepsi, yaitu: seleksi, organisasi dan interpretasi. Dalam konteks ini, persepsi
individu masyarakat adalah pandangan mereka terhadap suatu obyek yaitu
partisipasi sehingga memberikan reaksi tertentu yang dihasilkan dari kemampuan
menyeleksi, mengorganisasikan dan menginterpretasikan stimulus dan
merubahnya dalam bentuk penerimaan atau penolakan.
Setiap orang memiliki perbedaan dalam hal kebutuhan, motif dan minat
sehingga persepsi mereka tentang sesuatupun berbeda menurut kebutuhan, motif,
minat dan latar belakang masing-masing. Persepsi dua orang dalam melihat
obyek yang sama bisa berbeda. Karena itu persepsi seseorang terhadap suatu
obyek bisa tepat, dan bisa pula keliru, atau mendua. Faktor penting untuk
mengatasi kekeliruan tersebut adalah pengertian yang tepat mengenai obyek yang
dipersepsikan. Berkaitan dengan partisipasi, bila masyarakat memiliki pengertian
yang sama tentang obyek partisipasi serta manfaat yang ditimbulkannya, mereka
akan dengan kesadaran untuk ikut mengambil bagian.
Motivasi
Istilah motivasi berasal dari bahasa latin movere yang berarti bergerak. Crowford (2005) mengemukakan bahwa motivasi adalah proses yang dapat
menyebabkan orang bertindak atau berperilaku dengan cara tertentu. Oppenheim
(1966) mengemukakan bahwa untuk berperilaku tertentu atau berpartisipasi, ada
dua hal yang mendukung yaitu adanya unsur yang bersumber dari diri seseorang
dan terdapat lingkungan yang memungkinkan untuk berperilaku tertentu. Unsur
dalam diri dan lingkungan tersebut yang memotivasi seseorang untuk berperilaku
tertentu. Dengan kata lain, unsur yang bersumber dari diri seseorang disebut
lingkungan atau motivasi ekstrinsik tersebut dapat bersumber dari upaya untuk
meningkatkan daya dalam apa yang disebut “pemberdayaan.”
Dalam kaitannya dengan motivasi berpartisipasi, terdapat pandangan
yang mengatakan bahwa terwujudnya partisipasi dalam pembangunan dapat
disebabkan oleh adanya paksaan atau sanksi, ajakan pihak lain, ataupun
kesadaran sendiri. Namun, unsur paksaan atau sanksi ditolak oleh Malhotra
(Kartasubrata, 1986) yang menyatakan bahwa partisipasi dapat tercipta karena
kehendak sendiri, sukarela, spontan atau digerakan (induce), akan tetapi tidak
dipaksa sebagaimana diuraikan berikut : and by people’s participation, we mean willing and voluntary participation, it may be spontaneous or induced, but certainly not “coerced,” for that is not participation.”
Pendapat Malhotra tersebut disempurnakan oleh Slamet (2003) yang
mengemukakan bahwa partisipasi rakyat dalam pembangunan bukanlah berarti
pengarahan tenaga rakyat secara sukarela, tetapi justru yang lebih penting adalah
tergeraknya kesadaran rakyat untuk mau memanfaatkan kesempatan-kesempatan
memperbaiki kualitas kehidupan diri, keluarga dan masyarakatnya. Pandangan ini
lebih menekankan pada kesadaran kritas masyarakat akan manfaat dari partisipasi
mereka bagi kepentingan mereka sendiri, sebab boleh jadi masyarakat ikut
berpartisipasi secara sukarela tetapi mereka tidak menyadari manfaatnya. Proses
menuju pada penyadaran inilah, peranan penyuluhan sangat esensial sebagai
bentuk intervensi yang humanis.
Kosmopolitan
Kosmopolitan adalah tingkat hubungan seseorang dengan dunia luar di luar
sistem sosialnya sendiri (Mardikanto, 1993). Sifat kekosmopolitan dicirikan oleh
frekuensi dan jarak perjalanan yang dilakukan, serta pemanfaatan media massa.
Warga masyarakat yang relatif lebih kosmopolit, adopsi inovasi dapat
berlangsung cepat, sedangkan warga yang “localite” (terkungkung dalam sistem
sosialnya sendiri), adopsi inovasi sangat lamban karena tidak adanya keinginan
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (Farid, 2008), kosmopolitan
diartikan sebagai orang yang mempunyai wawasan dan pengetahuan yang luas.
Sifat kekosmopolitan individu dicirikan oleh sejumlah atribut yang membedakan
mereka dari orang lain, yaitu memiliki status sosial yang lebih tinggi, partisipasi sosial yang lebih tinggi, lebih banyak berhubungan dengan pihak luar, lebih
banyak menggunakan media massa dan memiliki hubungan lebih banyak dengan
orang lain maupun lembaga yang berada di luar komunitasnya.
Rogers dan Shoemaker (1971) mengemukakan bahwa orang yang sifat
kekosmopolitan tinggi biasanya mencari informasi di luar lingkungannya.
Sebaliknya, orang yang sifat kekosmopolitannya rendah cenderung mempunyai
ketergantungan pada tetangga atau teman dalam lingkungan yang sama.
Seseorang yang mempunyai pergaulan luas dan cepat mencari informasi yang
diperlukan, dapat diartikan mempunyai kekosmopolitan tinggi.
Gender
Bessette (2004) mengatakan bahwa dalam banyak kasus, sangat penting
untuk memberikan perhatian spesial pada isu gender. Dalam setiap pengaturan,
kebutuhan, peran social dan tanggung jawab, posisi perempuan dan laki-laki
selalu dibedakan. Derajat akses terhadap sumber daya dan partisipasi dalam
proses pengambilan keputusan juga berbeda antara laki-laki dan perempuan. Cara
mereka untuk memandang masalah umum dan solusinya juga berbeda. Hal yang
sama juga terjadi pada kaum muda dengan jenis kelamin yang berbeda. Sangat
sering terjadi perbedaan tajam antara peran dan kebutuhan dari anak-anak
perempuan dan perempuan dewasa, atau antara laki-laki dewasa dan anak muda
dalam persepsi melihat suatu masalah yang sama.
Konsekwensinya, menurut Bessette (2004) kepentingan dan kebutuhan
mereka menjadi berbeda dan kontribusi mereka kepada pembangunan juga
berbeda. Dijelaskan lebih lanjut bahwa dahulu, fokus perhatian lebih kepada
“kumunitas”, tanpa memperhatikan aspek gender. Hasilnya adalah, wanita dan
kaum muda sering tidak dipandang dalam proses pembangunan walaupun