• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian Partisipasi

Tidak bisa dipungkiri bahwa keberhasilan pembangunan nasional amat ditentukan oleh partisipasi masyarakat, bahkan menurut Roger (1994), pembangunan itu sendiri adalah partisipasi. Pendapat ini juga didukung oleh Slamet (2003), yang mengemukakan bahwa indikator keberhasilan pembangunan bisa diukur dari ada tidaknya partisipasi masyarakat.

Sudah lama esensi partisipasi dijadikan indikator pembangunan. Mengenai hal ini, Siti Amanah (2006) mengemukakan bahwa partisipasi menjadi indikator dari istilah pembangunan masyarakat yang digunakan pertama kali pada tahun 1930 di AS dan Inggris. Pernyataan-pernyataan ini juga sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Jaringan PBB untuk pembangunan pedesaan dan keamanan pangan sebagai berikut : “... describes participation as one of the ends as well as one of the means of development.”

Menurut Roger dan Shoemaker (1971), partisipasi adalah “the degree in to which of a social system are involved in the decision making process.” Oleh Davis dkk., (1989), partisipasi dianggap sebagai keterlibatan mental dan emosional dalam situasi kelompok yang mendorong mereka berkontribusi kepada tujuan dan berbagi tanggung jawab bagi pencapaian tujuan itu.

Bryant dan White (Ndraha, 1990) membagi partisipasi atas dua macam : (1), partisipasi antara sesama warga atau anggota suatu perkumpulan, dinamakan partisipasi “horizontal.” (2). Partisipasi oleh bawahan dan atasan, antara klien dan patron, atau antara masyarakat dengan pemerintah, diberi nama partisipasi “vertical.” Pada sisi lain, keterlibatan masyarakat dalam kegiatan politik seperti pemberian suara dalam pemilihan, kampanye dan sebagainya, dikenal sebagai partisipasi dalam proses politik. Keterlibatan dalam kegiatan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, disebut partisipasi dalam proses administratif.

PBB sebagaimana dikutip Slamet (2003), mendefinisikan partisipasi sebagai keterlibatan aktif dan bermakna dari penduduk pada tingkatan yang berbeda : (a) dalam proses pembentukan keputusan untuk menentukan tujuan dan

pengalokasian sumber daya untuk mencapai tujuan tersebut; (b) pelaksanaan program secara sukarela, dan. (c) pemanfaatan hasil-hasil dari suatu program.

Asngari (2003) mengiktiarkan makna Partisipasi atas enam point: (1) Partisipasi dalam pengambilan keputusan, (2) Partisipasi dalam pengawasan, (3) Partisipasi mendapatkan manfaat dan penghargaan, (4) Partisipasi sebagai proses pemberdayaan (empowerment), (5) Partisipasi bermakna kerja kemitraan (partnership), (6) Partisipasi akibat pengaruh stakeholder dalam pengambilan keputusan, pengawasan dan penggunaan “resource” yang bermanfaat. Resume tersebut sejalan dengan uraian Yadov (Madrie, 1986) sebagai berikut :

“…..people’s involvement has to be understood in the following foursense ; (1) participation ini decision making (2) participation in implementation of development program and projects (3) participation in monitoring and evaluation of development program and projects (4) participation in sharing the benefit of development (Yadov,, 1980).

Dalam dunia penyuluhan pertanian, van den Ban dan Hawkins (1999), merumuskan partisipasi sebagai berikut: (1) sikap kerja sama petani dalam program penyuluhan dengan cara menghadiri rapat, mendemonstrasikan metoda baru, mengajukan pertanyaan pada penyuluh dll., (2) pengorganisasian kegiatan penyuluhan oleh kelompok petani, 3) menyediakan informasi untuk merencanakan program penyuluhan yang efektif, (4) pengambilan keputusan mengenai tujuan, kelompok sasaran, pesan, metoda, dan dalam evaluasi kegiatan, (5) petani atau organisasinya membayar seluruh atau sebagian biaya yang dibutuhkan untuk jasa penyuluhan, (6) supervisi agen penyuluhan oleh organisasi petani yang mempekerjakanya.

Menurut Asngari (2008), berdasarkan area-area pembangunan maka partisipasi dapat dikelompokkan dalam dua pilahan yaitu: (1) Partisipasi sebagai suatu alat, dimaksudkan untuk menciptakan teknik atau metoda untuk mengiplementasikan partisipasi dalam praktek pembangunan, dan (2) Partisipasi sebagai tujuan, dimaknai sebagai pemberdayaan masyarakat sesuai kemampuan mereka, untuk secara bersama mengambil bagian dan bertanggung jawab atas pembangunan mereka sendiri.

Bentuk dan Derajat Partisipasi Bentuk Partisipasi

Bertolak dari ragam pengertian partisipasi seperti yang telah diuraikan sebelumnya, Slamet (2003) menyederhanakan pemahaman tentang partisipasi dalam pembangunan atas lima jenis : (1) Ikut memberi input proses pembangunan, menerima imbalan atas input tersebut dan ikut menikmati hasilnya, (2) Ikut memberi input dan menikmati hasilnya, (3) Ikut memberi input dan menerima imbalan tanpa ikut menikmati hasil pembangunan secara langsung, (4) Tidak memberi input tetapi menikmati dan memanfaatkan hasil pembangunan, (5) Memberi input tanpa menerima imbalan dan tidak menikmati hasilnya.

Sedangkan Ndraha, (1990) menunjukan bentuk atau tahap partisipasi atas beberapa kategori: (1) Partisipasi melalui kontak dengan pihak lain, (2) Partisipasi dalam menyerap atau memberi tanggapan, (3) Partisipasi dalam perencanaan dan pengambilan keputusan, (4) Partisipasi dalam melaksanakan operasional pembangunan, (5) Partisipasi dalam menerima, memelihara dan mengembangkan hasil pembangunan, dan (6) Partisipasi dalam menilai pembangunan, sesuai rencana dan hasilnya sesuai kebutuhan masyarakat.

Agar partisipasi bisa tumbuh, menurut Slamet (2003), paling tidak ada tiga syarat yang harus dipenuhi yaitu ; (1) adanya kesempatan untuk membangun kesempatan dalam pembangunan, (2) adanya kemampuan untuk memanfaatkan kesempatan itu, (3) adanya kemauan untuk berpartisispasi. Pada era orde baru, Sajogyo (1980) mengatakan bahwa partisipasi masyarakat, khususnya golongan petani, adalah jalan yang paling strategik dalam seperangkat delapan jalur pemerataan pembangunan nasional.

Derajat Partisipasi

Derajad partisipasi digunakan untuk menggambarkan seberapa jauh keterlibatan orang orang atau masyarakat dalam program pembangunan. Arnstein (1969) menyebutnya dengan istilah tangga partisipasi yang terdiri dari; (1) non partisipasi (manipulasi dan terapi), (2) derajad tokenisme (informasi, konsultasi dan kompromi), dan (3) derajad kekuatan (kemitraan, delegasi dan kontrol).

Uraian yang relatif mirip terdapat dalam tulisan Asngari, (2003) sebagai berikut: (1) Manipulasi, pada tahap ini partisipasi tidak lebih dari upaya indoktrinasi. Jadi sesungguhnya disini tak ada partisipasi (non participation), (2)

Informasi, stakeholders diberikan informasi menyangkut hak dan kewajiban, tanggung jawab dan lain lain. (Komunikasi satu arah), (3) consultation, telah terjadi komunikasi dua arah di mana stakeholders sudah dapat mengekspresikan saran/perhatian, namun belum menjamin diterimanya input tersebut, (4) Consencus Building, para stakeholders berinteraksi untuk menciptakan posisi negosiasi, (5). Decision Making, interaksi tersebut diarahkan hingga proses pengambilan keputusan, (6). Risk sharing, stakeholders telah mengambil bagian untuk ikut menanggung resiko dari kegagalan pembangunan, (7). Partnership, telah terbangun kerja sama yang saling menguntungkan dikalangan stakeholders pembangunan, dan (8). Self-Management, stakeholders telah sampai pada tahap di mana segala urusan pembangunan harus dikerjakan secara baik.

Konsep Kemitraan Pengertian Kemitraan

Kata mitra yang banyak digunakan saat ini dapat disamakan dengan “teman” atau “kawan” dalam bahasa sehari hari. Padanan kata kemitraan dalam bahasa inggerisnya yang paling dekat adalah “friendship” atau “partnership”. Dalam American Heritage Dictionary, partnership adalah: “a relationship between individual or groups that is characterized by mutual cooperation and responsibility, as for achievement of a specified goa.” Menurut Kernaghan (Suporahardjo, 2005:9), dalam konteks formal, kemitraaan merupakan “a legal contract entered in to by two or more persons in which each agrees to furnish a part of the capital or labor for a business enterprise, and by which each shares a fixed proportion of profit and losses. Dalam konteks pelayanan kepentingan publik, kemitraan didefinisikan sebagai: “a relationship involving the sharing of power, work, support and or information with other for achievement of joint goals and/or mutual benefit.”

Definisi tersebut mensyaratkan adanya hubungan kerja sama dan tanggung jawab serta berbagi porsi (sharing) dalam hal sumberdaya, keuntungan dan resiko untuk mencapai satu tujuan. Perlu diperhatikan bahwa “joint goals” atau “mutual benefits” adalah elemen penting dari kemitraan”

Secara historis, pendekatan kemitraan (kolaborasi) mulai muncul sebagai respon atas tuntutan kebutuhan mengenai manajemen pengelolaan sumberdaya yang baru. Manajemen tersebut lebih demokratis, mengakui demensi manusia, mengelola ketidak pastian, kerumitan dari potensi keputusan dan membangun kesefahaman atas pilihan pilihan bersama. Oleh karena itu, pendekatan ini sering disebut sebagai jembatan (bridges) untuk meningkatkan pengelolaan sumberdaya. Mengacu pada beberapa literatur, Suporahardjo (2005) mengemukakan bahwa istilah partnership memiliki paling tidak tiga varian atau pola. Pertama, koordinasi : tidak ada interaksi langsung antara organisasi tetapi organisasi mempertimbangkan kegiatan pihak lain dalam perencanaannya. Kedua, ko-operasi : organisasi berinteraksi atau bekerja sama untuk mencapai misisnya dan tujuan yang lebih efektif. Ketiga, kolaborasi : organisasi bekerja bersama untuk mencapai misi bersama, disamping juga berusaha mencapai misi dan tujuan masing-masing.

Di dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam, pola kemitraan dikenal dengan skema “joint mangement” atau “Co-management” atau “collaborative management”. Kemitraan dalam konteks ini biasanya didefinisikan sebagai berbagai peran, tanggung jawab atau kewenangan antara pemerintah dan pengguna sumberdaya lokal dalam mengelola sumberdaya tertentu.

Beberapa Asas Kemitraan

Konsep Kemitraan bersandar pada bentuk interaksi interdependensi berdasarkan beberapa azas (Tadjudin, 2000), yang terdiri dari; kesederajatan, keadilan, saling menghidupkan, keberlanjutan dan keterbukaan :

Kesederajatan, memandang bahwa semua orang memiliki derajat yang sama,

diimplementasi melalui pengakuan yang tegas dan memiliki kekuatan hukum yang tetap terhadap hak-hak setiap stakeholder.

Keadilan, pendayagunaan hasil alam harus melihat aliran manfaat yang terdistribusi secara adil (hak dan kontribusi secara proporsional) kepada setiap stakeholder, diimbangi pembebanan aliran resiko secara adil pula.

Saling membutuhkan, stakeholder harus merasa adanya saling membutuhkan dan

tergantung atas sesamanya. Interaksi yang terbangun tidak atas “rasa kedermawanan” dan “kesetiakawanan” belaka tetapi ditopang kesadaran bahwa interaksi dengan pihak lain akan membawa manfaat.

Saling menghidupkan dan membesarkan, Kehadiran stakeholder yang satu akan

memberikan medium yang sehat bagi stakeholders lain. Bukan saling meniadakan tetapi saling memberi manfaat.

Keberlanjutan, harus ada rancangan pemanfaat jangka panjang bersamaan dengan

upaya kelestariannya. Bila sumberdaya rusak maka aliran manfaat akan terhenti dan aliran resiko akan mingkat.

Keterbukaan, adanya ketersediaan aliran informasi yang lancar dan berimbang

diantara stakeholder yang terlibat.

Azas-azas tersebut akan berjalan baik bila ditunjang kelembagaan yang oleh McKen (Tadjudin, 2000) dirumuskan sebagai dukungan sosial budaya, pemanduan kelembagaan, reduksi konflik, dukungan administrative, dan keuangan untuk admistrasi, bukan untuk imbalan material. Selain azas-azas tersebut, Marsal (Tadjudin, 2000) menyebutkan beberapa nilai-nilai yakni; menghormati orang lain, integritas, kejelasan hak atau aturan main, konsensus, hubungan berbasis kepercayaan, tanggung jawab, keterbukaan dan pengakuan.

Partisipasi dan Kemitraan dalam Pembangunan Masyarakat

Pada bagian pendahuluan dari bukunya yang berjudul “Cummunity Development: Community based alternatives in an age of globalization, ” Ife, (1995) mengemukakan kegagalan masyarakat modern memenuhi dua hal fundamental yaitu; hidup harmoni dengan lingkungan dan dengan sesama manusia, dalam uraian menarik berikut :

It has become clear that the current social, economic, and political order has been unable to meet two of the most basic prerequisites for human civilization: the need for people to be able to live in harmony with their environment and the need for them to be able to live in harmony with each other”.

Berdasarkan pikiran tersebut, pembangunan masyarakat untuk menjamin interaksi sesama manusia dan dengan lingkungan menjadi esensial dan partisipasi mereka adalah mutlak. Menurut Siagian (1996), sedikitnya ada 10 prinsp dalam penyelenggaraan pembangunan masyarakat, di mana salah satunya menekankan pada aspek “partisipasi Masyarakat.” Maksudnya, betapapun dominannya peranan pemerintah dalam pembangunan, tidak mungkin seluruh bebannya dipikul seluruh aparaturnya, betapapun tingginya disiplin dan dedikasinya. Pembangunan masyarakat itu sendiri sesungguhnya adalah suatu gerakan untuk menciptakan tingkat kehidupan yang lebih baik dengan melibatkan (partisipasi) dari mereka.

Dari pengertian yang dikemukakan sebelumnya terlihat bahwa dalam pembangunan masyarakat terkandung tiga hal yang amat kental mensyaratkan pentingnya partisipasi, yaitu : (1) Adanya suatu kegiatan yang dilakukan oleh seluruh anggota masyarakat, (2) Kegiatan tersebut mempunyai tujuan, yaitu menciptakan kehidupan yang lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya, (3) Kegiatan tersebut sangat memerlukan peran serta seluruh anggota masyarakat.

Peran serta yang dimaksud adalah keterlibatan langsung dari warga tanpa adanya dorongan yang kuat dari pihak luar. Dalam hal ini peran serta yang diharapkan tumbuh dan berkembang dari seluruh warga masyarakat hendaknya meliputi: (1) peran serta dalam pemikiran, misalnya identifikasi masalah-masalah yang perlu segera dibangun, membuat perencanaan pembangunan, dan sebagainya (2) peran serta dalam penghimpunan dana, misalnya memberikan sumbangan uang dan bahan-bahan untuk pembangunan (3) peran serta dalam penyelesaian tenaga (4) peran serta menikmati hasil pembangunan.

Proses partisipasi ini bermula dari kesadaran dan pemahaman bersama akan pengertian dan konsensus yang lahir dari pihak-pihak yang terlibat. Adanya kesatuan pengertian dan konsensus ini, menurut Asngari (2008) merupakan titian muhibah bagi terjadinya partisipasi dan kebersamaan langkah dalam suatu agenda atau tindakan. Hal tersebut menyangkut kemauan bertanggung jawab dan kemauan menanggung konsekwensi atau akibat tindakan itu. Berkaitan dengan hal ini, rumusan seminar FAO pada tahun 1975 (Asngari, 2008), menyebutkan bahwa : “Participation is a process of cooperative action in which a group of

individuals share in the responsibilities and consequences of a common understanding or the achievement of a particular task”.

Asngari (2008) selanjutnya mengatakan bahwa kemauan bertanggung jawab (responsibility) dan menanggung akibat dan mendapat manfaat (risk and benefit) dapat tumbuh karena adanya kerja sama (partnership) dilandasi keterbukaan dan saling pengertian dari individu yang terlibat. Ini berarti kebersamaan terjadi oleh interaksi dan komunikasi antar individu secara intim dan komunikatif. Rasa keterdekatan dan kehangatan menghantarkan proses ini.

Ketersedian untuk berpartisipasi ternyata dipengaruhi juga oleh kewenangan atau kedaulatan untuk terlibat dalam suatu program atau kegiatan. Sebuah laporan dalam bentuk artikel yang membahas “praktek partisipasi, sebuah pelajaran dari program FAO mengenai partisipasi masyarakat” menjelaskan bagaimana masyarakat miskin di desa, terdorong untuk berpatisipasi dalam pembangunan oleh adanya kewenangan atau kedaulatan mereka untuk ikut mengontrol melalui organisasi, bahkan sumber pembiayaannya berasal dari mereka sendiri, dengan uraian;

... that of people's participation through organizations controlled and financed by the poor. The article is based on Chapter 1 of "Participation in practice - Lessons from the FAO People's Participation Programme.”

Laporan FAO ini sejalan dengan yang terjadi di Desa Bolano Sulawesi Tengah, di mana sekelompok ibu-ibu membangun lembaga keuangan simpan pinjam desa yang mereka sebut “Kredit Union Bolano” yang sangat partisipatif dengan sumber biayanya berasal dari mereka sendiri. Untuk menjaga spirit partisipasi dan kemandirian anggota, kelompok ini bahkan menolak bantuan keuangan dari pemerintah daerah. Ironisnya, lembaga tersebut semakin berkembang berdampingan dengan lembaga kooperasi yang semakin keahilangan kepercayaan masyarakat setempat (Azis, 2008).

Implemantasi Konsep Partisipasi dan Kemitraan

Pengalaman menunjukan bahwa peran serta hanya dilihat dalam konteks yang sempit, dengan kata lain, masyarakat cukup dipandang sebagai tenaga kasar

untuk mengurangi biaya pembangunan. Dengan kondisi ini, partisipasi masyarakat “terbatas” pada implementasi atau penerapan program; masyarakat tidak didorong dayanya menjadi kreatif dan harus menerima keputusan yang sudah diambil pihak luar. Partisipasi seperti ini menurut Cohen dan Uphoff (1980) adalah bentuk partisipasi pasif dan tidak memiliki kesadaran kritis.

Cohen dan Uphoff (1980) selanjut mengemukakan bahwa konsep partisipasi harus dapat menumbuhkan daya kreatif dalam diri sehingga menghasilkan pengertian partisipasi yang aktif dan kreatif mulai dari tahap pembuatan keputusan, penikmatan hasil dan evaluasi. Pada saat merencanakan kegiatan, menurut Suhandi, (2001) dan Takeda, (2001), banyak stakeholder berkepentingan sehingga partisipasi menjadi isu yang sangat penting. Selanjutnya Warner (1997) menyatakan bahwa stakeholder tersebut berbeda dalam hal keinginan, kebutuhan, tata nilai, pengetahuan serta motivasi dan aspirasi.

Mengurus partisipasi dalam pandangan Cohen dan Uphoff (1980), kadang-kadang melambatkan kemajuan pada tahap tertentu dalam urutan pembangunan, seperti pada tahap perencanaan dan pengambilan keputusan, tetapi mengabaikannya akan mengakibatkan kegagalan dalam pelaksanaan pembangunan. Mengabaikan partisipasi dalam masyarakat pada tahap perencanaan dan pengambilan keputusan mengakibatkan timbulnya "pseudo participation" (partisipasi semu) atau partisipasi terpaksa.

Partisipasi dalam Perencanaan Pembangunan

Secara ideal dapat dikatakan bahwa sebuah program pembangunan, seawal mungkin telah melibatkan warga masyarakat, mulai dari menganalisis masalah, menetapkan kebutuhan dan permasalahan serta merencanakan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Bila masyarakat sejak awal telah dilibatkan maka secara moral akan tumbuh rasa memiliki dan rasa tanggung jawab sebab mereka berpartisipasi dalam memutuskannya. Miller dan Rein (Madrie, 1986) mengemukakan efektifitas partisipasi pada tahap ini amat penting dibandingkan dengan bentuk perencanaan atau keputusan yang dibuat oleh tenaga ahli sekalipun, dengan uraian sebagai berikut : .

Bringing in representatives at an early point in the planning may be much more significant. Making resident aware of the isues involved in planning will be more effective than insisting that these are professional decision which cannot be discussed by untrained persons.”

Bahkan, pendekatan ini dipandang sebagai pendekatan yang paling modern dalam teori pembangunan kontemporer. Hal ini tertuang dalam laporan PBB bidang jaringan pembangunan pedesaan dan keamanan pangan sebagai berikut :

The concept of participation is concerned with ensuring that the intended beneficiaries of development projects and programmes are themselves involved in the planning and execution of those projects and programmes. This is considered important as it empowers the recipients of development projects to influence and manage their own development - thereby removing any culture of

the most important concepts

in modern development theory.

Merencanakan kegiatan merupakan suatu proses yang dimulai dari analisis masalah, potensi dan kebutuhan, menetapkan tujuan, menetapkan alternative-alternatif kegiatan yang akan dikerjakan, dan bagaimana melakukan kegiatan-kegiatan itu. Partisipasi pada tahap ini menurut Cohen dan Uphoff (1980), disebut sebagai “participation in decission making.”

Partisipasi dalam Pelaksanaan Pembangunan

Dalam siklus program, setelah tahapan perencanaan akan dilanjutkan dengan pelaksanaan. Cohen dan Uphoff (1980) menyebutkan macam partisipasi ini sebagai “participation in implementation”. Kegiatan yang dilakukan dapat berupa menyumbang uang, menyumbang tenaga, benda dan lsebagainya.

Hal penting yang perlu digaris bawahi adalah upaya melaksanakan kegiatan yang telah ditetapkan bersama sebelumnya dengan semandiri mungkin dan memanfaatkan sumberdaya di masyarakat sendiri. Tentang hal ini, Bhattacharya (Madrie, 1986) menguraikan sebagai berikut : the people of community organize themselves for planning and action define their common and individual needs and problems, make group and individual plans to meets their needs and solve their problems, execute those with a maximum reliance upon

Partisipasi dalam Memanfaatkan Hasil Pembangunan

Sebuah program pembangunan harus mempunyai manfaat dan kegunaan bagi masyarakat. Masyarakat harus bisa berpartisipasi dalam memanfaatkan atau berpeluang untuk beraktivitas sehubungan dengan kegunaan program yang telah selesai dikerjakan. Sebagai gambaran misalnya, bila jaringan irigasi telah selesai dikerjakan maka masyarakat petani mau atau memanfaatkannya untuk menanam padi di sawah dan mau memelihara jaringan irigasinya untuk menjamin kelancaran air yang mengalir ke sawah. Cohen dan Uphoff (1980) menyebut tahapan ini dengan “Participation in benefict” dan Yadov (Madrie, 1986) menyebutkannya dengan “participation in sharing the benefit of development.”

Partisipasi dalam Evaluasi Pembangunan

Keluaran dari program pembangunan baik berupa fisik maupun non fisik yang terlihat dalam proses maupun setelah selesai program akan dapat dinilai atau dievaluasi. Bila masyarakat ikut berpartisipasi dalam menilai sebuah program pembangunan, maka kisarannnya adalah sejauh mana proyek itu memenuhi kebutuhan kelompoknya, komunitasnya dan masyarakatnya, sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan bersama sebelumnya. Cohen dan Uphoff (1980) menyebut tahapan ini dengan “Participation in evaluation” dan Yadov (Madrie, 1986) menyebutkannya dengan “participation in monitoring and evaluation of development program and projects.”

Partisipasi dalam menilai hasil hasil pembangunan tersebut amatlah bermanfaat karena akan berimplikasi pada dua hal sekaligus yaitu (1), bagi masyarakat akan menjadi pelajaran tentang kekurangan dan kelebihan sehingga berguna dalam merancang kegiatan serupa pada masa akan dating dengan lebih baik. (2) bagi pemerintah akan menjadi imput yang sangat berharga untuk penyempurnaan program pada masa akan datang.

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Partisipasi dan Kemitraan Keberadaan kemauan, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi sebagaimana dikemukakan Slamet (2003) akan dipengaruhi

oleh beberapa faktor di seputar kehidupan manusia yang saling berinteraksi satu dengan yang lainnya, terutama faktor-faktor: psikologis individu (kebutuhan, harapan, motif, penghargaan), terpaan informasi, pendidikan (formal maupun informal), struktur dan stratifikasi sosial, budaya lokal (norma dan adat-istiadat), serta pengaturan dan pelayanan atau kebijakan pemerintah.

Soekanto (1983) menyebutkan beberapa faktor yang mengakibatkan masyarakat tidak berpartisipasi dalam pembangunan, di antaranya :

• Faktor sosial budaya, yaitu adanya kebiasaan atau adat istiadat yang bersifat tradisional statis dan tertutup terhadap suatu perubahan. Hal ini terjadi karena masih rendahnya pengetahuan masyarakat yang berimplikasi pada rendahnya kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan.

• Faktor sosial ekonomi, yaitu adanya ketimpangan distribusi pendapatan masyarakat khususnya di pedesaan, menyebabkan ketidak mampuan masyarakat untuk berpartisipasi.

• Faktor sosial politik, yaitu masih adanya birokrasi politik yang ketat dan kokoh yang menyebabkan masyarakat semakin tidak berdaya.

Keseluruhan faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam proses pembanguan tersebut, oleh Oppenheim (1966) diformulasikan sebagai faktor dalam diri individu atau karakteristik individu (person inner determinant) dan faktor di luar diri individu atau faktor lingkungan (environmental factor).

Karakteristik Individu

Samson (Rahmat, 2001), mengemukakan bahwa Karakteristik individu merupakan sifat yang dimiliki seseorang yang berhubungan dengan aspek kehidupan dan lingkungannya. Terdapat tiga teori yang menjelaskan perkembangan individu hingga membentuk perilaku yaitu: nativisme (Plato), emperisme (Locke) dan konvergensi (Stern) (Siti Amanah, 2006). Menurut Mardikanto (1993), karakteristik individu adalah sifat yang melekat pada diri seseorang dan berhubungan dengan aspek kehidupan, antara lain : umur, jenis kelamin, posisi, jabatan, status sosial dan agama.

Masyarakat desa dalam mengadopsi suatu inovasi, tidak terlepas dari fakor individu warga masyarakat serta faktor lingkungan dimana ia tinggal. Faktor individu merupakan karakteristik warga masyarakatnya maupun karakteristik individunya. Rogers dan Shoemaker (1971) menyatakan bahwa, dalam

Dokumen terkait