• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN

Letak dan Luasan

Letak dan Luasan

Secara Geografis Kepulauan Togean terletak di tengah Teluk Tomini yang memanjang dari barat ke timur pada posisi koordinat 00°08'21"-00°45'12" LS dan 121°33'36 BT, dengan luas daratan kurang lebih 755,4 Km2,

Gambar 4. Peta Administrasi Kepulauan Togean

, terdiri dari kurang lebih 50 pulau besar dan kecil (CII, 2005) (Gambar 3)..

Kepulauan Togean termasuk dalam wilayah Kabupaten Tojo Una-Una (sejak tahun 2003) yang merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Poso. Pengelolaannya mengacu pada Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kepulauan Togean yang dibuat oleh Kabupaten Poso sebagai kabupaten induk. Berdasarkan SK Gubernur Sulawesi Tengah nomor 136/1028/Bappeda tahun 1996, kawasan hutan Kepulauan Togean dibagi menjadi hutan lindung, Area Penggunaan Lain, Hutan Produksi yang dapat dikonversi, Hutan Produksi dan Hutan Produksi Terbatas. Dengan penunjukan sebagai Taman Nasional, fungsi hutan yang menjadikan pengelolaan yang berbasis pemanfaatan SDA yang terarah.

Kawasan Kepulauan Togean tidak hanya memiliki arti penting bagi Kabupaten Tojo Una-Una, namun bagi ekosistem Teluk Tomini. Kawasan ini

hidrologi serta optimalisasi pemanfaatan SDA laut, sekaligus juga mendukung perkembangan perekonomian daerah khususnya di bidang pariwisata dan perikanan. Bahkan secara nasional Kepulauan Togean menjadi bagian dari Program Pengembangan Perikanan Terpadu Teluk Tomini.

Pada tahun 2004, menteri Kehutanan RI berdasarkan SK No. 418/Menhut/04 menunjuk kawasan ini menjadi TNKT seluas 362.605 ha yang meliputi 25.832 ha wilayah daratan dan 336.773 ha wilayah perairan (CII, 2005). Kondisi Biologi

Kepulauan Togean memiliki berbagai tipe ekosistem flora dan fauna, baik di darat maupun di laut, mulai dari terumbu karang (coral reefs), serta padang lamun (sea-grass bed), mangrove dan hutan dataran rendah:

(1) Terumbu karang

Kepulauan Togean merupakan salah satu bagian ekosistem terumbu karang penting dari ”segitiga terumbu karang” (coral triangle)(Gambar 4)yang merupakan area-area yang memiliki keragaman karang tertinggi di dunia. Coral triangle ini meliputi wilayah Indonesia, Philipina, Malaysia, Papua Nugini, hingga Kepulauan Micronesia. Dalam dokumen Marine Rapid Assessment Program (MRAP) dinyatakan bahwa Togean merupakan

"the heart of coral triangle" (Hutabarat, 1996).

Hasil MRAP di Kepulauan Togean yang dilakukan oleh CII bekerjasama dengan Lembaga Oceanografi LIPI dan Universitas Hasanuddin berhasil mengidentifikasi sedikitnya 262 spesies karang, termasuk jenis endemik Togean, yaitu Acropora togeanensis pada 11 titik pengamatan. Enam jenis karang baru juga ditemukan di Kepulauan Togean.

Studi tersebut juga mencatat jenis ikan terumbu karang di Kepulauan Togean sebanyak 596 species ikan yang termasuk dalam 62 famili. Jenis Paracheilinus togeanensis dan Ecsenius sp diduga kuat merupakan endemik yang hanya bisa ditemukan di Kepulauan Togean.

gastropoda, 211 jenis bivalvia, 2 jenis cephalopoda, 2 jenis scaphopoda dan 4 jenis chiton.

Gambar 5. Segi Tiga Terumbu Karang Yang Meliputi: 1 = Teluk Tomini; 2 = Kalimantan Bagian Utara; Kalimantan; 3 = Sulawesi Tenggara; 4 = Lesser Sunda; 5 = Kepala Burung (Raja Ampat, Teluk Cenderwasi); 6 = Halmahera; 7 = Area Sula Spur (Termasuk Kepulauan Banggai); 8 = Laut Banda; 9 = Regio Fak Fak; 10 = Selat Makassar/Laut Flores; 11 = Laut Sulawesi.

(2) Padang Lamun

Ekosistem padang lamun adalah ekosistem tumbuhan laut yang tumbuh di dasar laut berpasir yang tidak terlalu dalam dan sinar masih dapat menembus sehingga tumbuhan tersebut masih dapat berfotosintesa. Ekosistem padang lamun dan ekosistem mangrove berfungsi sebagai perangkap sedimen dan menstabilkan dasar perairan yang diakibatkan oleh sedimen yang berasal dari daratan sehingga tidak masuk ke ekosistem terumbu karang yang ada di belakangnya.

Ekosistem padang lamun mempunyai produktivitas yang tinggi sehingga dapat menopang kehidupan berbagai organisme, tumbuhan penyusun padang lamun di Perairan Kepulauan Togean berdasarkan hasil pengumpulan data oleh tim pemetaan MCRMP (CII, 2005) dijumpai tujuh species yaitu: Cymodocea rortundata, C. serulata, Enhalus acroides, Thalassia hemprichii, Halodule uninervis, Halophila ovalis dan

tumbuhan yang berbeda-beda. Species Thalassia hemprichii dan Enhalus acroides hampir ditemukan di semua lokasi.

(3) Mangrove

Menurut data BKSDA dan Bappeda Kabupaten Poso, luas hutan mangrove Kepulauan Togean diperkirakan ada sekitar 4.800 ha, tersebar di pulau besar seperti Talatakoh, Togean, Batudaka, dan sebagian Pulau Waleabahi, sedangkan hasil survei yang dilakukan oleh CII dan Yayasan Pijak tahun 2001 mengidentifikasi ada 33 spesies mangrove di Kepulauan Togean yang terdiri dari 19 spesies mangrove sejati (true mangrove) dan 14 spesies mangrove ikutan (associate mangrove). Ke-33 jenis mangrove tersebut dikelompokkan dalam 26 genus dan 21 familia.

Keberadaan hutan mangrove (bakau) di Kepulauan Togean selain menjaga keutuhan garis pantai juga menyokong potensi perikanan dan ekosistem terumbu karang yang menjadi andalan kehidupan masyarakat Kepulauan Togean. Meski tidak terlalu luas, hutan mangrove memiliki fungsi yang sangat penting bagi Kepulauan Togean yang merupakan kawasan pulau-pulau kecil.

(4) Hutan Tropis Dataran Rendah

Hutan tropis dataran rendah di Kepulauan Togean meliputi areal seluas 23.148 ha; keberadaan hutan tropis ini sangat mendukung pengembangan ekowisata, penelitian dan kebutuhan penduduk, karena: (1) merupakan habitat spesies flora dan fauna Togean yang dilindungi, (2) sebagai daerah catchment area (area tangkapan air hujan) dalam pengaturan tata air tanah, dan (3) daerah yang menyediakan laboratorium alam bagi ilmuwan misalnya biologi dan biogeografi karena hewan langka dan dilindungi terdapat di kawasan ini.

Flora dalam kawasan hutan di Kepulauan Togean terdiri dari jenis-jenis pohon, liana berkayu, epifit, paku-pakuan, lumut dan jamur. Jenis pohon komersial yang umum dijumpai antara lain adalah uru (Elmerrillia

(Koordersiodendron pinnatum), Dracontomelon mangifera, Duabanga moluccana, Anthocephalus macrophyllus, Sterculia dan Palquium, serta beberapa jenis Dipterocarpaceae seperti: Shorea sp, Dipterocarpus sp dan

Hopea sp. Kawasan hutan mengalami pembukaan (hutan sekunder) tegakan yang umum dijumpai adalah kole (Alphitonia excelsa), ndolia

(Cananga odorata), Anthocephalus chinensis, Alstonia spectabilis, Mallotus spp., Macaranga spp., Nauclea orientalis dan Octomeles sumatrana.

Kepulauan Togean memiliki keragaman hayati fauna yang tinggi. Di darat (terrestrial) dan di laut (marine) tercatat beberapa jenis fauna endemik dan dilindungi, antara lain: (1) Babi Rusa (Babyrousa babirusa), dapat dijumpai di Batudaka, Togean, Talakatoh, Malenge, Pangempa, Bambu dan Batang yang populasinya mencapai 500 ekor. Babi rusa juga dinyatakan sebagai hewan yang dilindungi oleh IUCN (CII, 2005); (2) Kuskus (Phalanger ursinus); (3) Rusa (Cervus timorensis); (3) Biawak Togean (Varanus salvator togeanus); (4) Tarsius (Tarsius sp); (5) Elang Sulawesi (Spizaetus lanceolatus); (6) Julang Sulawesi atau Alo (Rhyticeros cassidix); (7) monyet Togean (Macaca togeanus); dan (8) Kepiting Kenari (Birgus latro).

Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya

Secara administratif Kepulauan Togean dibagi ke dalam empat wilayah Kecamatan, yaitu Kecamatan Una-una, Kecamatan Togean, dan Kecamatan Walea Kepulauan dan Kecamatan Walea dengan jumlah Desa keseluruhan mencapai 48 Desa yang masing-masing dipimpin oleh Kepala Desa. Selanjutnya dilaporkan bahwa penduduk Kepulauan Togean berjumlah 32.910 jiwa dengan kepadatan penduduk 38 jiwa per kilometer persegi yang menyebar hampir di seluruh Kepulauan Togean.

Penduduk Togean memiliki latar belakang etnik yang beragam, di antaranya adalah: Suku Bobongko, Bajau, Saluan, Togean, Kaili, Bare'e,

dan Suku Togean sering dianggap sebagai etnis asli Kepulauan Togean. Suku Togean banyak mendiami wilayah Kepulauan Togean bagian Barat dan suku Saluan tersebar di beberapa Desa di Kecamatan Walea Kepulauan, sebelah Timur Kepulauan Togean. Adapun Suku Bajau dan Suku Bobongko lebih menyebar tetapi terkonsentrasi pada beberapa Desa tertentu. Jumlah penduduk di Kepulauan Togean berdasarkan pengelompokkan etnis adalah sebagai berikut; Pamona 16 jiwa, Ta'a 1.626 jiwa, Gorontalo 4.256 jiwa, Bare'e 674 jiwa, Bugis 2.395 jiwa, Bada 80 jiwa, Togean 7.238 jiwa, Jawa 910 jiwa dan etnis lain yang tidak teridentifikasi 14.864 jiwa.

Seorang peneliti bahasa asal Belanda yang pernah tinggal di Teluk Kilat pada tahun 1892, mencatat bahwa Suku Bobongko kemungkinan berasal dari daerah Danau Limboto, Sulawesi Utara mengingat akar bahasanya yang sama. Sedangkan Bahasa Suku Togean cenderung menyerupai Bahasa Bare'e dan Taa yang ada di wilayah Ampana dan Tojo. Adapun Suku Saluan lebih menyerupai bahasa yang digunakan di wilayah Balantak, Kabupaten Banggai, jika demikian, maka sesungguhnya Kepulauan Togean sejak lama telah menjadi daerah tujuan migrasi orang-orang dari wilayah daratan Sulawesi dan sekitarnya (CII, 2005).

Berdasarkan latar belakang agama, Penduduk di Togean umumnya beragama Islam, Katholik, Protestan, Hindu dan Budha. Berdasarkan data BPS tahun 2004 diketahui persentase jumlah penduduk berdasarkan agama adalah sebagai berikut; Islam 98.99persen, Protestan 0.86persen, Katolik 0.04persen, Hindu 0.02persen, dan Budha 0.09persen.

Profil Sosial, Ekonomi dan Budaya Masyarakat Desa Sampel

Untuk mendapatkan data terbaru mengenai kodisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat Desa di Kepulauan Togean, peneliti mengumpulkan data Desa melalui kegiatan wawancara mendalam dan FGD dengan pola “Search conference” di tiga Desa yang tersebar di tiga Kecamatan yaitu; Desa Tanjung

Kabalutan Kecamatan Wakai. Secara ringkas hasil survei di tiga Desa tersebut adalah sebagai berikut:

Desa Tanjung Pude, Kecamatan Una-una.

Desa Tanjung Pude terletak di Kecamatan Una-una dengan luas wilayah sebesar 7,26 km2 dan jumlah penduduk sebanyak 572 orang. Etnis yang mendiami Desa Tanjung Pude adalah Gorontalo, Mandar, Togean, Bugis, dan Kaili. Penduduk Desa Tanjung Pude pada umumnya merupakan mantan penduduk pulau Una-una yang mengungsi karena meletusnya gunung Colo pada tahun 1983. Mata pencaharian utama penduduk secara garis besar terbagi atas tiga jenis yaitu berkebun (± 50persen), nelayan (± 40persen) dan tukang kayu/bangunan, pegawai, pelajar dan lain-lain (± 10persen). Nelayan Desa Tanjung Pude menangkap ikan pada malam hari dengan menggunakan perahu bagan dan rompong sedangkan pada pagi dan siang hari mereka ke darat untuk menjual ikan di pasar atau pedagang pengumpul. Selain menangkap ikan untuk konsumsi penduduk lokal, para nelayan juga menangkap ikan hidup jenis kerapu dan sunu yang dijual ke pedagang pengumpul dan perusahaan swasta. Ikan hidup ini kemudian diekspor ke Hongkong, China, Taiwan dan Jepang.

Karena mereka berasal dari pulau Una-una, maka lahan perkebunan petani Desa Tanjung Pude terletak jauh di pulau Una-una yang dapat ditempuh dengan perahu motor ± 3-4 jam perjalanan dari Desa. Jenis-jenis tanaman yang dibudidayakan antara lain adalah cengkeh, kelapa, coklat dan jagung sebagai tanaman sampingan. Hasil-hasil pertanian dan perkebunan ini biasanya dipasarkan di pasar lokal di Wakai dan Ampana atau ke pedagang pengumpul. Karena letak areal perkebunan yang jauh dari Desa, pada umumnya petani menetap dalam jangka waktu beberapa hari di kebun. Setelah menetap dan mengusahakan areal perkebunan di pulau Una-una, petani memasarkan hasil perkebunan di ibukota Kecamatan dan kembali ke rumah. Di waktu senggang mereka turun ke laut untuk mencari ikan untuk konsumsi sendiri.

Mereka pun mengkhawatirkan terjadinya penyempitan ruang gerak masyarakat dalam mengusahakan areal perkebunan dan mencari ikan dengan adanya Taman Nasional. Dalam menentukan zonasi, mereka berharap pemerintah dapat melibatkan masyarakat sehingga tidak terjadi penyempitan areal perkebunan dan pembatasan ruang untuk mencari ikan. Masyarakat mendukung pemerintah dalam penertiban nelayan pengguna bom dan bius. Masyarakat berharap kegiatan destruktif tersebut dapat dikurangi karena aktivitas tersebut menyebabkan berkurangnya hasil tangkapan ikan.

Desa Lembanato, Kecamatan Togean

Desa Lembanato terletak di pulau Togean, Kecamatan Togean dengan luas wilayah 13,83 km2

Masyarakat Desa Lembanato telah mengetahui adanya Taman Nasional, akan tetapi jika ada aturan-aturan baru perlu melibatkan masyarakat dalam pengelolaannya. Di Desa Lembanato dan Matobiai telah ada Daerah Perlindungan Laut (DPL) Teluk Kilat yang didampingi oleh Conservation International

dan jumlah penduduk sebanyak 740 orang. Suku bangsa yang mendiami Desa Lembanato amat homogen, seluruhnya adalah etnis Bobongko. Mata pencaharian utama penduduk secara garis besar terbagi atas dua jenis yaitu berkebun (± 90persen) dan nelayan (± 10persen). Nelayan biasanya menangkap ikan pada malam hari dengan menggunakan perahu bagan dan rompong. Jenis biota laut antara lain adalah ikan, udang, kepiting, cumi-cumi dan teripang.

Penduduk yang memiliki mata pencaharian sebagai petani pada umumnya memiliki lahan pertanian/perkebunan. Jenis-jenis tanaman yang dibudidayakan antara lain adalah cengkeh, kelapa, dan coklat. Hasil-hasil pertanian dan perkebunan ini biasanya dipasarkan di pasar lokal di Wakai dan Ampana atau ke pedagang pengumpul. Kegiatan harian para petani ini dimulai pada pagi hari dan kembali ke rumah pada sore hari. Ada kalanya mereka menginap di areal pertanian pada saat menjelang panen untuk menjaga hasil pertanian dari para pencuri. Di malam hari mereka turun ke laut untuk mencari ikan dengan alat pancing untuk konsumsi sendiri.

dengan baik selama ± 1,5 tahun dan masyarakat Desa telah merasakan manfaatnya. Tokoh masyarakat yang diwawancarai berharap agar pola pengelolaan DPL ini dapat diadopsi oleh pengelola TNKT.

Desa Kabalutan, Kecamatan Walea

Secara historis, pada tahun 1923, ada tiga orang dari kampung Benteng bernama Camba, Peta dan Cati mencari teripang dan rotan di daerah ini. Mereka membangun tempat tinggal sementara (sabua) yang kemudian juga di datangi oleh imigran lainnya. Akhirnya, berkembang menjadi perkampungan yang diberi nama Susunang. Nama ini kemudian berkembang menjadi Kabalutan (Rahmat, 2000). Desa Kabalutan ini didominasi oleh komunitas Bajo.

Kabalutan terletak di pulau Talatako, Kecamatan Walea dengan luas area 1.473 hektar. Sebagian besar areal didominasi oleh tanah berbatu (limestone) sehinga sulit ditumbuhi tanaman. Sebahagian besar penduduk (90 persen) dari total 2027 jiwa bermata pencaharian sebagai nelayan dan sekitar 80 persen pendapatan masyarakat berasal dari sektor perikanan. Hanya bagian kecil penduduk bergerak di bidang pertanian, peternakan, perdagangan, pelayan publik, guru dan manteri, pengumpul kelapa. Penduduk lokal kabalutan juga memiliki perkebunan di beberapa pulau di sekitar kampungnya. Mereka menanam kelapa, kopi, cengkih, dan coklat. Perkebunan merupakan pendapatan alternatife terutama ketika musim melaut sedang sulit (musim angin dan ombak).

Terdapat pasar mingguan dan beberapa kios di mana masyarakat menjual dan membeli barang kebutuhan sehari-hari. Pada tahun 2006 lalu, diprakarsai oleh kepala Desa, penduduk Kabalutan berhasil membongkar gunung, meratakannya dan kemudian membangun sebuah pasar permanen yang saat ini telah berfungsi. Hal ini dapat dikatakan sebagai kegiatan raksasa secara

partsipatif, karena melibatkan semua warga untuk membongkar gunung secara

manual dan membangun gedung pasar secara swadaya. Kegiatan ini layak menjadi contoh bila kemauan keras diikuti kerja sama yang baik, dapat

sebagai ide gila.

Kebanyakan perempuan Desa Kabalutan terlibat dalam penjualan ikan dan hasil laut lainnya, sedangkan kaum prianya, selain melaut, mereka juga membuat perahu, jaring dan berbagai aktivitas terkait untuk mendapatkan tambahan pendapatan. Kajian Saad (2009) tentang masyarakat bajo mempertegas peran strategis kaum perempuan Bajo sebagai pengelola keuangan keluarga. Informasi ini penting berkaitan dengan upaya penyuluhan dan pemberdayaan yang diarahkan pada sasaran yang tepat.

Masyarakat Desa Kabalutan telah mengetahui adanya TNKT dan tidak mempermasalahkannya, asalkan lokasi-lokasi pemancingan dan penangkapan ikan selama ini tetap terbuka untuk diakses. Masyarakat Desa Kabalutan juga telah mengelola Daerah Perlindungan Laut (DPL). Selama ini kegiatan perlindungan terumbu karang telah berjalan dengan baik dan masyarakat Desa telah merasakan manfaatnya.

Karakteristik Demografi Responden

Karakteristik responden menggambarkan responden yang berpartisipasi dalam penelitian. Deskripsi responden diperlukan untuk menunjukkan bahwa responden dalam penelitian benar-benar mewakili kondisi populasi penelitian yang sebenarnya.

Jenis Kelamin Responden

Jenis kelamin dari responden cukup berimbang dengan presentase pria 52.41 persen dan Wanita 47.59 persen (Tabel 14). Di Desa sampel dan di Kepulauan Togean, umumnya pria dan wanita memiliki peran yang sangat penting baik dalam hal urusan domestik maupun mencari nafkah. Temuan melalui kunjungan wawancara maupun FGD dan Searce Conference menunjukkan bahwa kalangan wanita pun mampu melakukan pekerjaan yang umumnya dilakukan oleh kaum laki-laki. Pekerjaan itu antara lain berkebun, menangkap ikan dan membudidayakan rumput laut. Selain itu, keikutsertaan kaum ibu dan wanita

antaranya diikuti oleh peneliti) cukup menonjol, menunjukkan bahwa masalah kesenjangan gender tidak terlalu nampak. Dengan kata lain, pembagian peran dalam relasi gender cukup terlihat. Berkaitan dengan masalah konservasi, hasil penelitian Lowe (2004) di Togean menunjukkan peran kaum ibu amatlah penting. Kaum Ibu sering menolak hasil laut yang diperoleh dengan cara membom atau menggunakan bahan kimia, karena alasan kesehatan untuk dikonsumsi.

Tabel 14 Sebaran Presentase Jenis Kelamin Responden

Faktor

Demografi Group Jumlah Persentase (%)

Jenis Kelamin Pria 87 52,41

Wanita 79 47,59

T o t a l 166 100,00

Tingkat Pendidikan Responden

Dilihat dari tingkat pendidkan responden, jenjang pendidikan formal berkisar antara SD hingga perguruan tinggi dengan presentase terbesar (44.58 persen) berpendidikan SD (Tabel 15). Di Desa sampel terdapat dua sekolah SMA yang memungkinkan lulusan SMP tidak perlu melanjutkan pendidikan ke Ampana (ibu kota Kabupaten) dan Palu (ibu kota Propinsi). Kehadiran lembaga pendidikan yang dapat menciptakan tingkat pendidikan yang relatif tinggi diharapkan ikut dan membentuk pola pikir masyarakat terhadap upaya mengelolaan SDA di Kepulauan Togean secara berkelanjutan.

Tabel 15. Sebaran Presentase Tingkat Pendidikan Responden

Faktor

Demografi Group Jumlah Presentase (%)

PENDIDIKAN SD 75 45,18 SMP/Sederajat 51 30,73 SMA/Sederajat 37 22,29 PT 3 1,80 T o t a l 166 100,00

Jenis pekerjaan responden cukup bervariasi mulai dari petani, nelayan, ibu rumah tangga, pedagang, pegawai dan Pelajar (Tabel 16). Namun sesungguhnya berdasarkan hasil penulusuran melalui wawancara diperoleh kenyataan bahwa umumnya masyarakat Togen memiliki pekerjaan ganda. Seorang petani, umumnya juga adalah nelayan dan sebaliknya bahkan ibu rumah tangga juga berfungsi sebagai petani dan atau nelayan. Seorang pelajar yang sedang aktif sekolah pun adalah petani atau nelayan. Pekerjaan sampingan sebagai petani dan nelayan yang sulit dipisahkan dengan pekerjaan utama sebagai pelajar. Pekerjaan sampingan tersebut mereka lakukan pada saat sore hari atau libur sekolah untuk kegiatan berkebun dan sore atau malam hari dan libur untuk kegiatan melaut sebagai nelayan. Kegiatan berkebun dan melaut dilakukan secara bergantian, baik bersifat substitusi maupun komplementer sesuai dengan kondisi alam.

Tabel 16. Sebaran Presentase Jenis Pekerjaan Responden

Faktor Demografi Group Jumlah Presentase (%)

Pekerjaan TANI 55 32,13 IRT 28 16,87 NELAYAN 48 28,92 PELAJAR 25 15,06 DAGANG 6 3,61 PNS 4 2,41 T o t a l 166 100,00

Tingkat Usia Responden

Usia responden berkisar antara 15 tahun hingga lebih dari 60 tahun dengan presentase terbesar berkisar antara 26-36 tahun (30-72 persen) (Tabel 17). Bila kita kaji lebih jauh, dengan batasan usia produktif adalah kurang dari 56 tahun, maka lebih 90 sampel masih berada dalam kisaran usia produktif. Secara apriori dapat dikatakan bahwa mereka yang masih memiliki usia produktif inilah yang dalam kegiatan sehari harinya lebih banyak memberikan kontribusi terhadap pengelolaan SDA di TNKT. Hasil penelitian Lowe (2004) menginformasikan bahwa anak muda nelayan memiliki kemampuan menyelam yang tinggi dan

destruktif. Lowe juga mengungkapkan bahwa peran orang tua justru sebagai pemasok bahan destruktif tersebut. Tentang mengapa masyarakat menggunakan bahan berbahaya tersebut, menurut Saad (2009), antara lain disebabkan karena mereka terdesak dari wilayah perairan yang selama ini menjadi daerah penangkapan mereka.

Tabel 17. Sebaran Presentase Tingkat Usia Responden

Faktor

Demografi Group Jumlah Presentase (%)

Usia 15-25 38 22,89 26-36 51 30,72 37-47 34 20.48 48-58 27 16,27 58-68 16 9,64 T o t a l 166 100,00

Lama Tinggal Responden

Lama tinggal dari responden di pulau Togean berkisar antara 1 tahun hingga lebih dari 35 tahun dengan presentase terbesar adalah antara 11-20 tahun (35,54 persen) (Tabel 18).

Tabel 18. Sebaran Presentase Lama Tinggal Responden

Faktor

Demografi Group Jumlah Presentase (%)

Lama Tinggal (Tahun) 1 – 10 Tahun 40 24,10 11-20 Tahun 59 35,54 21=30 Tahun 31 18,67 >30 Tahun 36 21,68 T o t a l 166 100,00

Kalau kita mengambil kisaran lebih dari 11 tahun lama tinggal, maka presentase mencapai lebih dari 70 persen. Bila dibandingkan dengan usia responden, dapat disimpulkan banyak responden yang sangat mengenal wilayah mereka bahkan sebagian besar lahir di pulau ini. Lama tinggal ini sangat penting dalam kaitan dengan akurasi rekaman hidup atau pengetahuan terhadap kecenderungan status keberadaan sumber daya alam di kepulaun Togean.

Rataan skor adalah tanggapan yang diberikan responden terhadap pertanyaan yang diajukan berdasarkan indikator dari varibel penelitian. Berikut ini diuraikan tingkat penilaian responsen terhadap peubah karakteristik individu, proses penyuluhan, faktor eksternal, kapasitas dan partisipasi masyarakat.

Karakteristik Individu

Karakteristik internal berada pada kategori tinggi sedangkan motivasi dan status sosial masing-masing berada pada kategori tinggi dan sedang (Tabel 19). Karakteristik Individu yang diteliti meliputi beberapa komponen namun dua komponen yang merefleksikan peubah atau memiliki kecocokan model yang kuat yaitu: motivasi dan status sosial. Kedua komponen tersebut diperoleh melalui analisis model pengukuran (measurement model) atas tujuh komponen yang ditetapkan sebelumnya. Model pengukuran berusaha mengkonfirmasi apakah peubah-peubah teramati tersebut memang merupakan ukuran/refleksi dari peubah latennya sehingga model pengukuran dikenal juga dengan Confirmatory Factor Analisys.. Berdasarkan analisis model pengukuran tersebut, komponen motivasi dan status sosial memiliki keeratan atau validitas, reabilitas dan kecocokan model yang kuat dalam membentuk faktor internal individu masyarakat di kepulauan Togean (Lampiran 1). Untuk melihat penilaian atas motivasi dan status sosial tersebut disajikan pada Tabel 19.

Tabel 19. Rataan Skor Karakteristik Individu (X1) di Kepulauan Togean Peubah Tanjung Pude (n=53 Lemba Nato (n=55) Kabalutan (n=58) Total (166) X1 Karakteristik Individu 57 67 69 65 X1.4 Motivasi 64 80 76 73 X1.7 Status Sosial 49 60 63 56

Keterangan : Kategori penilaian: 0 - ≤20 = sangat rendah; 21- ≤40 = rendah; 41- ≤60 = sedang; 61- ≤80 = tinggi; 81- ≤100 = sangat tinggi.

bahwa masyarakat memiliki hasrat yang tinggi untuk mendapatkan manfaat yang besar baik untuk kepentingan usaha, permodalan, hasil yang meningkat, hubungan sosial dan penyelamatan lingkungan. dalam pengembangan usaha ekonomi yang berkelanjutan. Dengan demikian, penilaian tinggi terhadap motivasi ini menggambarkan bahwa masyarakat Togean menggantungkan usaha mereka pada alam sehingga mereka berkepentingan menjaganya sebagai tempat dan sumber nafkah secara berkelanjutan, namun terkendala dengan permodalan. Selain itu, penilaian tinggi pada motivasi juga bermakna bahwa masyarakat Togean memiliki keinginan kuat untuk saling berkomunikasi dan berhubungan antar sesama dalam ikatan sosial yang harmonis.

Kalau saat ini sering terjadi penyimpangan perilaku disebabkan karena

Dokumen terkait