• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 8. Strategi Pengembangan Partisipasi Melalui Proses Penyuluhan dan Kapasitas Masyarakat dalam Pengelolaan TNKT

Strategi penyuluhan terutama berkaitan dengan materi penyuluhan, selain yang berhubungan dengan motivasi dan pengetahuan tentang teknis inovasi dan alternatif usaha, juga aspek keberlanjutan ekologis. Sumber informasi tidak hanya berasal dari penyuluh tetapi juga berasal dari masyarakat sehingga mereka

PROSES :

Kegiatan penyuluhan untuk meningkatkan

Motivasi atau kemauan dan Kapasitas

Masyarakat (Partisipasi rendah)

Identifikasi :

akses ruang dan SDA, akses modal, menjaga kelestarian alam dan

menjalin hubungan sosial

Dukungan Kebijakan penerapan pendekatan kemitraan pengelolaan Kawasan konservasi

MANFAAT (Outcome):

Masyarakat bersedia untuk ikut

berpartisipasi dalam kegiatan pengelolaan TNKT

KELUARAN (Output):

Peningkatan Kapasitas masyarakat terutama berkaitan dengan sikap mental dan kesetaraan

serta motivasi atau kemauan

MASUKAN (Input):

DAMPAK

(Impact):

Masyarakat sejahtera & Lingkungan lestari

penggalian dan penemuan ilmu dan teknologi. Selain itu, materi teknis yang dikembangkan harus diikuti dengan upaya membuka akses permodalan dan pemasaran serta penyediaan sarana dan prasarana yang memadai.

Berdasarkan temuan penelitian ini, semua upaya ini baru akan efektif bila diimbangi dengan pemberian kesempatan (oportunity), kepercayaan (trust) dan penghargaan atau pengakuan akan hak masyarakat lokal (recognition) dan pelibatan dalam proses pengambilan keputusan. Dengan kata lain strategi pendekatan harus bersifat komprehensif berupa penyuluhan (pemberdayaan) partisipatif dalam bentuk pendampingan terpadu. Penyuluhan partisipatif memungkinkan tergalinya kebutuhan real masyarakat dan pendampingan terpadu akan menjadi jembatan bagi terpecahkannya masalah secara holistik atas dukungan semua aktor terkait.

Interaksi dengan penyuluh tergolong sedang maka intervensi penyuluhan harus dilakukan dengan intensitas yang makin meningkat. Komunikasi pada penyuluhan untuk meningkatkan kapasitas haruslah model komunikasi yang konvergen yang menggambarkan partisipasi penyuluh dan masyarakat yang saling bertukar informasi dalam pemahaman, pengertian dan kebutuhan sehingga menemukan kesamaan pandang. Kebalikannya adalah model komunikasi linier yang menyebabkan masyarakat bersifat pasif karena komunikasi hanya berlangsung satu arah. Model dan intensitas komunikasi ini selain diharapkan dapat mengimbangi dan menepis isu negatif juga meyakinkan mereka akan substansi konservasi yang akan membawa manfaat bagi mereka saat ini maupun untuk anak cucu mereka kelak. Hanya bila masyarakat teryakini akan manfaat sebuah ide yang dibawa dan kesempatan yang dibuka maka dengan mudah mereka akan ikut berpartisipasi.

Lembaga penyelenggara penyuluhan baik pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun kalangan NGO harus memilik kesamaan pandang tentang baik paradigma penyuluhan maupun substansi yang akan disuluhkan. Dalam hal status, mekanisme hingga wewenang atau otoritas pengelolaan taman nasional

memperbesar peluang penolakan.

Dengan demikian, analisis akar masalah dapat diarahkan pada peningkatan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya konservasi dan perbaikan kebijakan pengelolaan dan implementasinya. Hal ini sejalan dengan temuan penelitian Amzu (2007), di Taman Nasional Meru Betiri yang mensintesis akar masalah konservasi dengan dua pendekatan, yaitu: (1) membangun sikap masyarakat pro-konservasi dan (2) perbaikan dan penyempurnaan kebijakan pengelolaan. Kalau kita kaitkan dengan teori partisipasi maka pendekatan pertama tersebut mewakili aspek ”kemauan dan kemampuan” sedangkan pendekatan kedua mewakili aspek ”kesempatan.”

Strategi tahap satu dan dua ini juga sejalan dengan Surjadi dan Supriatna (1998) yang mengelompokan tiga hal yaitu ; ”base line data colection, communty development toward environmenttaly sound development and policy outreach.”

Tahap Ketiga : adalah keluaran (output) yaitu terjadi peningkatan motivasi atau kemauan dan kapasitas masyarakat sebagai hasil proses penyuluhan yang benar dan tepat. Ukuran keberhasilan penyelenggaraan penyuluhan adalah perubahan perilaku masyarakat yang ditunjukan oleh kapasitas yang tinggi dalam hal keterbukaan menerima inovasi, pengetahuan dan kemampuan dalam usaha ekonomi yang ramah lingkungan serta tingkat kepedulian pada penyelamatan lingkungan dan sumberdaya alam.

Dalam hal ini dibutuhkan transformasi perilaku dari kebiasaan lama memanfaatkan SDA secara bebas ke kebiasaan baru penggunaan terbatas dengan memperhitungkan daya dukung dan keberlanjutannya. Disadari bahwa akan terjadi dilema antara kepentingan jangka pendek dan jangka panjang. Ide moratorium (istirahat sementara) sebagai instrumen pembatasan misalnya, akan berhadapan dengan terhenti sementara atau hilangnya peluang usaha harian masyarakat (one day fishing) untuk memenuhi nafkah atau ekonomi keluarga (job opportunity). Namun bila tidak dilakukan moratorium maka stok sumberdaya alam makin menipis dan akan punah satu ketika sehingga masyarakat kehilangan

bila sumberdaya alam tersebut termasuk kategori ”endemik” yang amat bernilai tinggi baik ekonomi, sosial maupun ekologi yang sesungguhnya menjadi tanggung jawab universal.

Kondisi ini hanya bisa difahami dan dipatuhi oleh individu masyarakat yang memiliki kapasitas yang tinggi baik berkaitan dengan aspek teknis produksi maupun aspek konservasi lingkungan dan hubungan sosial yang baik. Individu masyarakat dengan kapasitas ini, akan dapat berfungsi sebagai ”aktor sosial.” Aktor sosial dalam hal ini adalah mereka yang mempunyai kapasitas atau pengetahuan dan kemampuan untuk berpartisispasi terutama dalam proses pengambilan keputusan.

Tahap ke empat adalah manfaat (outcome) yang diperoleh sebagai akibat meningkatnya kapasitas masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk partisipasi mereka. Terdapat tiga hal yang menjadi prasyarat bagi lahirnya partisispasi yaitu: kemaun, kemampuan dan kesempatan. Faktor kemauan akan berhubungan dengan motivasi dan motivasi yang kuat selalu berkaitan dengan manfaat yang diperoleh. Hanya masyakarat yang merasa memperoleh manfaat yang akan mau mengikuti suatu anjuran.

Jika tidak ada cara yang berarti untuk memberi keuntungan bagi masyarakat lokal untuk upaya konservasi mereka berarti tidak adil dan sering kali sangat tidak realistis untuk mengharapkan mereka mengorbankan kebutuhan mereka sendiri demi cita cita konservasi. Banyak upaya yang telah dilakukan bahkan dalam bentuk proyek konservasi, tidak memberi manfaat yang berarti bagi masyarakat lokal. Sering kali biaya proyek diinternalisasi di dalam masyarakat tetapi keuntungannya dinikmati di tempat lain.

Oleh karena itu, pendekatan partisipasi dalam bentuk penyuluhan dan pemberdayaan di bidang pembangunan dan konservasi harus diimbangi dengan upaya untuk menyediakan masyarakat lokal dengan insentif ekonomi melalui jaminan akses kepada sumberdaya atau melalui mekanisme kompensasi untuk menggantikan peluang usaha mereka yang hilang, terhalang atau tertangguhkan,

dari dana pemberdayaan baik dari pemerintah daerah, pemerintah pusat, lembaga internasional, maupun dalam bentuk CSR yang bersumber dari perusahaan yang banyak beroperasi di Pulau Togean. Bentuk keikutsertaan institusi baik pemerintah maupun swasta ini bisa dibangun dalam pola kemitraan sebagai model pendekatan dalam pengelolaan TNKT. Sumberdana yang lain dapat diusahakan melalui konsep imbal jasa dan valuasi lingkungan yang penerapannya masih membutuhkan prospek.

Potensi alam dan wisata bisa menjadi satu unsur penunjang atau alternatif usaha dalam bentuk pemanfaatan jasa lingkungan. Temuan penelitian Rahmat (2000), yang mengungkapkan bahwa 70 persen masyarakat Togean menyetujui kegiatan ekoturisme sebagai skala prioritas di Desanya dan 90 persen masyarakat mempercayai bahwa ekoturisme akan membawa perbaikan bagi Desa dan masyarakat Togean. Upaya tersebut dapat secara komplementer menunjang tujuan konservasi di satu sisi dan peningkatan ekonomi dan kesejahteraan di sisi yang lain. Upaya ekoturisme ini sesungguhnya pernah digagas bersama antara masyarakat dengan pihak NGO bahkan hingga pada pembentukan kelembagaan dan memperoleh sukses luar biasa namun tidak berkesinambungan.

Sebagai contoh, pada tahun 1997, Konsorsium Togean yang dibentuk oleh YABSHI dan CII bersama masyarakat setempat membentuk Jaringan Ekowisata Togean (JET). Seluruh anggota JET adalah penduduk lokal yang ingin memperoleh manfaat dari kedatangan wisatawan, seperti nelayan, petani, pemilik penginapan (homestay) dan pengelola atraksi wisata. Mereka mengembangkan beberapa atraksi wisata alam, seperti pembuatan jalur treking di hutan Malenge serta jembatan kayu menyusuri hutan bakau di Desa Lembanato. Bahkan, atraksi jembatan bakau ini sempat menarik keuntungan dari turis yang datang, penetapan tarif masuk sebesar Rp 15.000,- per kepala (belum termasuk sumbangan sukarela) Dari kegiatan-kegiatan tersebut tahun, 1999 JET dianugerahi British Airways Award untuk kategori Highly Recommended Tourism for Tomorrow. Penghargaan

London, Inggris (salah satu responden dalam penelitian ini).

Saat ini, kesuksesan bersama tersebut tinggal kenangan karena tidak ada upaya untuk menjaga sisi keberlanjutannya karena ditinggal pergi lembaga NGO pendamping. Selain itu, bersamaan dengan kerusuhan Poso yang berdampak pada turunnya kunjungan wisata, juga karena tidak dilakukan pengambil alihan

(take over) pembinaan agar masyarakat benar benar mandiri untuk menjalankannya sendiri.

Tahap ke lima adalah dampak (impact) yang merupakan hasil jangka

panjang dari proses penyuluhan, peningkatan kapasitas dan partisipasi. Hasil jangka panjang tersebut dicirikan oleh meningkatnya kesejahteraan masyarakat dan terjaganya lingkungan hidup secara lestari. Pada tahap ini telah muncul pemahaman dan kesadaran pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan.

Untuk menjamin proses dan pencapaian ini secara berkesinambungan, dibutuhkan intervensi berupa dukungan kebijakan karena motivasi dan kapasitas yang dibangun dari proses penyuluhan saja tidaklah menjadi jaminan bagi bangkitnya partisipasi. Motivasi dapat diidentikan dengan kemauan dan kapasitas identik dengan kemampuan, keduanya berasal dari dalam sedangkan kesempatan, dalam hal ini, datangnya dari luar terutama dalam bentuk kebijakan. Kebijakan tersebut berkaitan dengan kemauan politik yang diwujudkan dalam bentuk aturan hukum dan diimplementasikan dalam wujud program. Program ini hendaknya dapat menjamin keharmonisan antara pengembangan ekonomi, kelestarian lingkungan dan hak-hak masyarakat lokal.

Bila masyarakat lokal patut dilindungi hak dan kepentingannya bukan semata karena mereka memiliki kearifan yang positif atau karena saat ini banyak yang berperilaku negatif. Bukan pula sekedar karena mereka merupakan sumberdaya produktif atau sebagai potensi ancaman. Mereka layak dibela karena kehidupannya sangat tergantung pada SDA di sekitarnya. Selain itu, keberadaan mereka secara legal di satu kawasan dan interaksinya dengan SDA jauh lebih awal sebelum negara ada. Oleh karena itu masyarakat lokal itu perlu dipulihkan

itu sering dipinggirkan dan proses ini justru menghilangkan kearifan lokal yang kemudian memunculkan perilaku baru yang merusak. Padahal, berbagai pengalaman menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kemampuan yang memadai untuk mengelola SDA secara produktif dan lestari.

Berdasarkan temuan penelitian, kebijakan yang amat dibutuhkan dapat berupa: (1) penataan tata ruang dengan memperhatikan hak-hak masyarakat, (2) konsistensi penerapan paradigma kemitraan pengelolaan taman nasional, (3) penerapan paradigma penyuluhan konvergen, yang dimulai dengan analisis kebutuhan hingga merancang dan melaksanakan program (4) akses permodalan dan pembangunan sarana prasarana penunjang usaha khususnya di bidang perikanan/kelautan dan pertanian yang merupakan sektor usaha mayoritas masyarakat Togean. Hanya bila langkah langkah ini dilakukan dengan benar maka kita akan optimis mencapai tujuan jangka panjang sebagai dampak (impact) dari proses penyuluhan, peningkatan kapasitas dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT yaitu tercapainya kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan hidup secara simultan.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, maka dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut:

(1) Partisipasi masyarakat kepulauan Togean dalam pengelolaan TNKT berada pada kategori “rendah” karena minimnya peluang untuk turut serta dalam menentukan status dan pengelolaan kawasan TNKT tempat mereka bermukim. Minimnya peluang ini berkait dengan koordinasi dan kolaborasi serta suasana konflik antar aktor baik masyarakat, NGO, pihak swasta dan antar pemerintah.

(2) Kapasitas masyarakat menyangkut sikap mental dan kesetaraan dalam pengelolaan TNKT dipengaruhi secara nyata oleh proses penyuluhan terutama intensitas dan faktor lingkungan dalam hal peran pemimpin informal dan kerjasama.

(3) Faktor-faktor yang berpengaruh nyata pada partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT adalah faktor internal individu dalam hal motivasi dan status sosial serta kapasitas masyarakat dalam hal sikap mental dan kesetaraan. Faktor faktor ini memiliki korelasi dan pengaruh positif yang nyata dengan proses penyuluhan.

(4) Ketiga faktor yang berpengaruh pada kapasitas masyarakat dan partisipasi dalam pengelolaan TNKT, yaitu karakteristik internal, proses penyuluhan dan faktor lingkungan memiliki hubungan yang erat dan positif.

(5) Strategi yang dapat digunakan adalah meningkatan proses penyuluhan yang konvergen dengan memberikan peluang yang luas kepada masyarakat untuk ikut serta dalam proses pengelolaan TNKT. Ikut sertanya masyarakat dalam pengelolaan TNKT diikuti dengan pemberdayaan akan melahirkan pemahaman, kesadaran, komitmen dan tindakan yang membangkitkan rasa memiliki untuk mengelola dan memelihara secara bersama-sama.

Saran temuan ini ditujukan kepada lembaga terkait baik pada tingkat daerah mapun pusat dan para penyuluh guna mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT, sebagai berikut:

(1) Mengingat rendahnya partisipasi adalah akibat dari minimnya peluang dan biasnya informasi yang diterima masyarakat tentang TNKT maka pihak yang berkepentingan perlu meningkatkan intensitas penyuluhan dengan membuka peluang partisipasi yang luas bagi masyarakat untuk ikut memikirkan bahkan menjadi penentu dalam proses pengelolaan TNKT. (2) Agar partisipasi masyarakat dapat efektif, maka pemerintah pusat dan daerah

perlu segera memberikan kepastian status TNKT diikuti penerapan secara konsisten konsep kemitraan (kolaborasi) yang menjamin keterlibatan masyarakat dalam struktur kelembagaan formal/informal untuk memfasilitasi partisipasi mereka dalam pengelolaan TNKT.

(3) Agar terjadi integrasi pembangunan secara berkelanjutan di TNKT maka pihak-pihak berkepentingan mutlak mendorong partisipasi masyarakat dalam hal pembangunan ekonomi, sosial dan konservasi dengan menghormati hak ekologis mereka dan membangun mekanisme yang efektif untuk mengelola manfaat (sharing of benefit) dari pemanfaatan SDA di kawasan konservasi. Dengan kata lain perlu ada jaminan akses kepada sumberdaya atau kompensasi atas akses mereka yang terhambat akibat penetapan kawasan ini sebagai Taman Nasional..

(4) Mengingat keterbatasan penelitian ini yang lebih banyak mengungkap aspek internal yang menyebabkan terjadinya partisipasi, maka perlu penelitian sejenis mengenai faktor lain yang bersifat ekternal yang belum diteliti pada penelitian ini.

132

Abdussamad. 1991. “Partisipasi Petani dalam Kegiatan Penyuluhan Pertanian.” [Tesis]. Bogor : Program Pascasarjana IPB.

Adiwibowo, S, Shohibuddin M, Savitri LA, Sjaf S, Yusuf M. 2009. Analisis Isu Permukiman di Tiga Taman Nasional Indonesia. SAINS Sayogyo Institute.

Aliadi, A, Kismadi B dan Munggoro DW. 2002. Berbagi Pengalaman Pengelolaan SDA Berbasis Masyarakat. Bogor : Pustaka Latin.

Alikodra, HS, dan HR Saukani. 2004. Bumi Makin Panas, Banjir Makin Luas : Menyibak Tragedi Kehancuran Hutan. Cetakan Pertama. Bandung: Nuansa

Amzu, E. 2007. “Sikap Masyarakat dan Konservasi : Suatu Analisis Kedawung (Parkia Timoriana (DC) Merr) sebagai stimulus Tumbuhan Obat bagi Masyarakat, Kasus Taman Nasional Meru Betiri”. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB.

Anantanyu, S. 2009. “Partisipasi Petani dalam Meningkatkan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Tani. Kasus di Privinsi Jawa Barat.” [Disertasi]. Bogor: Sekolah Percasarjana IPB..

Arif, M. 1995. Materi Pokok Organisasi dan Manajemen. Jakarta : Universitas Terbuka.

Arif Satria. 2002. Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakartan: PT Pustaka Cidesindo. Arnstein, Sherrry R. (1969). A leader of Citizen Participation. Journal of the

American Institute of Planners, Vol 35: pp. 216.

Asngari, PS. 2001. Peranan Agen Pembaharuan/Penyuluh dalam Usaha Memberdayakan (Empowerment) Sumberdaya Manusia Pengelola Agribisnis. Orasi Ilmiah. Guru Besar Tetap Ilmu Sosial Ekonomi. Bogor: Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.

________. 2003. “Pentingnya Memahami Falsafah Penyuluhan Pembangunan dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat. Di Dalam Membentuk Pola Prilaku Manusia Pembangunan. Diedit oleh Sudrajat dan Yustina. Bogor: IPB Press.

133

Bermartabat. Diedir oleh Sudrajat dan Yustina. Bogor: Syndex Plus.

Aziz, K. 2008. Kredit Union Bolano. Makalah, disajikan pada Seminar tentang Good Practices. Sulawesi Capacity Development Project,Palu : JICA-Bapedda Sulteng.

Borrini, FG., Farvar MT, Nguinguiri JC, Ndangang VA. 2000. Co-management of Natural resources: Organising, Negotiating and Learning-by-Doing. Heidelberg: GTZ and IUCN.

Buttman, M, Paula E, Folbre N, Liana S, dan Goerge M. 2003. “When does gender trump money: bargainng and the time in household work.” American Journal of Sociology.

Bessete, G. 2004. Involving the Community : A Guide to Participatory Development Comunication Penang : South Bond, International Development Research Centre.

Chamala, Shankariah and PM. Shingi. 1977. “Establishing and Strengthening Farmer Organizations.” Dalam Improving Agricultural Extension: A Reference Manual. Disunting oleh Burton E. Swanson, Robert P. Bentz, dan Andrew J. Sofranko. Roma: FAO.

Cangara. 2000. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta : Raja Grafindo Persada

[CII] Conservation International Indonesia. 2005. Konservasi Berbasis Masyarakat Melalui Daerah Perlindungan Laut Di Kepulauan Togean. Palu : CII Togean Program

[CIDA] Canadian International Development Agency 2002. ”A Capacity Development Experience in the Water Sector in Indonesia”. Manado: The North Sulawesi Water Resources International Project,

Cohen, J., Uphoff N. 1980. Participation place in rural development : seeking clarity trough Specificity. J. World Development Vol 8.

Crawford, M. 2005. Kepemimpinan dan Kerjasama Tim di Dalam Manajemen Kependidikan. Jakarta : Garamedia Widiasarana Indonesia.

Davis K, John WN. 1989. Perilaku dalam Organisasi. Agus Dharma, Penerjemah. Surakarta: Universitas Negeri Surakarta.

134

_______. 2004. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.01/Menhut-II/2004 Tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat di dalam dan atau Sekitar Hutan dalam Rangka Social Forestry. Jakarta :Dephut.

______, 2004. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2004 Tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Jakarta. : Dephut.

[Depdikbud] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka

Eberley, W. 2007. Stakeholder participation in poverty reduction. [INEF Report 86]. Duisburg : Institute For Development and Peace.

Farid, A. 2008. “Kemandirian Petani dalam pengambilan keputusan Pengelolaan usaha tani: kasus petani Sayuran di kabupaten Bondowoso dan Pasuruan Propinsi Jawa Timur.” [Disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana IPB.

Fitzduf, M. 2002. Ketrampilan Komunitas Dalam Menghadapi Konflik. Buku Pegangan untuk Kerja Kelompok di Irlandia Utara. Jakarta: Britis Council. Gagne, RM. 1977. The Condition of Learning. New York : Rinehart and Winson. Gerungan, WA. 1999. Psicologi Sosial. Bandung : Eresco.

Ginting, R. 1999. “Peranan pemimpin informal dalam menggerakan partisipasi masyarakat untuk pembangunan desa.” [Disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana IPB.

Hamalik, O. 1986. Metodologi Pengajaran Ilmu Pendidikan, Berdasarkan Pendekatan Kompetensi. Bandung : Mandar Maju.

Hamundu, M. 1997. Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian. Jakarta : Warna Indonesia.

Herminto, S. 1996. Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengembangan Terpadu Kawasan Kepulauan Togen, Sulawesi Tengah. Editor : Hadi Purnomo dan Cristoverius Hutabarat. Kerja Sama Dirjen Perlindungan Hutan dan PSDA, KLH dan Pemda Sulawesi Tengah.

135

Hutabarat, C. 1996. Potensi dan Ancaman Terhadap ekosistem Terumbu Karang Di kepulauan Togean. Bogor. YABSHI.

Ibrahim, JT, Sudiyono, Harpowo. 2003. Komunikasi dan Penyuluhan Pertanian. Malang : Bayu Media Publising.

Ife, Jim. 1995. Community Development: Creating Community Alternatives. Vision, Analysis and Practice, Australia, Longman.

[IUCN]. 1980. World Conservation Strategy: Living Resource Conservation for Sustainable Development. International Union for Conservation of Nature and Natural Resources - UNEP - WWF. Gland: Switzerland.

________ 1985. United Nations List of National Parks and Protected Area. International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. Gland, Switzerland.

Kartasubrata, J. 1986. “Partisipasi rakyat dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan di jawa: studi kehutanan sosial di daerah hutan produksi, hutan lindung dan hutan konservasi.” [Disertasi]. Bogor : Sekolah Pasca Sarjana, IPB.

Kassa, S. 2009. “Konsep pengembangan co-management untuk melestarikan Taman Nasional Lore Lindu.” [Disertasi]. Bogor : Sekolah Pasca Sarjana, IPB. Katz, D. 1960. “The Functional Approach to the Study of Attitudes.” Di dalam The

Canadian Pespective Consumer Behavior, oleh Kindra, Larose dan Muller. Canada: International Thomson Publishing.

Kaye, H. 1997. Mengambil Keputusan Penuh Percaya Diri. Jakarta. Mitra Utama. Kerlinger, FN. 2004. Asas-Asas Penelitian Behavioral. (Terjemahan). Yogyakarta :

Gajah Mada University.

Kusnendi. 2008. Model-Model Persamaan Struktural:Satu dan Multigroup Sampel dengan LISREL. Bandung: Alfabeta.

Laban, BY. 2002. Prospek Nagatif Penebangan Liar di Taman Nsional lore Lindu (Negatif prospect of Illegal Logging in Lore Lindu Nasional Park) Palu : TNLL.

136

Lowe, C. 2004. Making the monkey : how the Togean macaquue went from new form to endemic speciesin Indonesiaans conservation biology. University of Washinton. Jurnal Cultural Anthropology vol 19 issu 4.

Madrie. 1986. “Beberapa faktor penentu partisipasi anggota masyarakat dalam pembangunan pedesaan.” [Disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana IPB. Mappatoba, M. 2004. Co-management of Protected Areas. The case of Community

Agreement on Concervation in the Lore Lindu National Park, Central Sulawesi-Indonesia. Gottingen : Cuvillier Verlag.

Mar’at. 1981. Sikap Manusia, Perubahan serta Pengukurannya. Jakarta : Ghalia Indonesia.

Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta : Universitas Sebelas Maret.

Moffat, I., Hanley , Wilson MD. 2001. Measuring and Modelling Sustainable Development. New York : The Parteneon Publihing Group.

Muhammad, A. 1995. Komunikasi Organisasi. Jakarta : Bumi Aksara.

Mubyarto. 1984. Prasarana pada Widyakarya Nasional Teknologi Pedesaan.

Jakarta : LIPI.

Mulyasa. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi: Kkonsep, Karakteristik dan Implementasi) . Bandung : Remaja Rosdakarya.

Ndraha, T. 1990. Pembangunan Masyarakat. Jakarta : Rineka Cipta.

[OPC] The Ontario Prevention Clearinghouse. 2002. Capacity Building for Healt Promotion: More than bricks and mortar. Ontario Toronto.

Oppenheim, AN. 1966. Questioner Design, Interiewing and AttitudebMeasurement. New York :Basic Book, Inc.

Padmowihardjo, S. 1999. Perilaku komunikasi, perilaku wirausaha peternak dan penyuluhan sistem agribisnis ayam. [Disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana IPB.

137

Purnaningsih, N. 2006. ”Adopsi Inovasi Pola Kemitraan Agribisnis Sayuran di Provinsi Jawa Barat.” [Disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana IPB. Purwanto, M. 2002. Psikologi Pendidikan. Bandung : Remaja Rosdakarya. Rahmat, A. 2000. “The Present Situation and Potentialof Ecotourism in The

Togean Islan, Central Sulawesi Indonesia.” [Thesis] Ontario : Waterloo University.

Rakhmat, J. 2001. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Ramade, F. 1987. Les catastrophes écologiques. Paris : Mc Graw-Hill.

Ramirez, R. 1999. Stakeholder Analysis and Conflict Management dalam Daniel Buckles, 1999. Cultivating Peace, Conflict and Collaboration in Natural Resource Management WBI Washinton DC USA : WBI

Reijntjes, C. B Haverkort dan A Water-Bayer. 1995. Une agriculture pour demain ; Introduction à une agriculture durable avec peu d’intrants externes. Paris: Edition Kartala et CTA – KARTALA.

Riduwan. 2003. Skala Pengukuran Variabel –Variabel. Bandung: Alfabeta.

Robbins, SP. 2003. Perilaku organisasi: Konsep, Kontroversi, dan Aplikasi. Pudjaatmaka H, Molan B, penerjemah. Jakarta: Prenhallindo.

Roger, EM, dan FF Shoemaker. 1971. Communication of Inovations. A Cross Cultural Approach. New York: A Division of The Macmillan Company. Roger, EM. 1994. The Diffussion Process. Edisi Keempat New York: The Free Press. Ruben, D.B. 1988. Communication and Human Behavior. New York: Macmillan

Dokumen terkait