BAB I PENDAHULUAN
F. Kerangka Teori
1. Pengertian Perjanjian Kredit
Pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata), yaitu: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum16. Pengertian perjanjian mengandung unsur: 1). perbuatan, 2). satu orang atau lebih terhadap satu
16 Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, PT.Citra Adity, Yogyakarta, 1992, hlm. 15
10 orang lain atau lebih, 3). mengikatkan dirinya. Isi dari perjanjian adalah mengenai kaidah tentang apa yang harus dilakukan oleh kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian, berisi hak dan kewajiban kedua belah pihak yang harus dilaksanakan. Jadi perjanjian hanyalah mengikat dan berlaku bagi pihak-pihak tertentu saja.17
Belum terdapat pengaturan organik yang secara jelas mengatur mengenai pengertian perjanjian kredit. Beberapa pendapat mengenai pengertian perjanjian kredit merupakan perluasan terhadap pengertian perjanjian, dan berdasarkan pada yang terjadi di lapangan. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Notaris Agung IIP, seorang notaris dan PPAT di Bantul berpendapat bahwa perjanjian kredit adalah hasil permufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubungan hukum antara keduanya yang didahului penyerahan uang.18 Perjanjian kredit bersifat konsensuil, dan penyerahan uangnya sendiri adalah bersifat riil.19
Pendapat lain mengemukakan pengertian perjanjian kredit adalah perjanjian khusus yang di dalamnya terdapat kekhususan yakni pihak kreditornya selaku bank dan objek perjanjiannya berupa uang.20 Perjanjian ini melahirkan adanya bank sebagai kreditor dan nasabah baik perorangan
17 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1999, hlm. 112
18 Hasil Wawacara di Kantor Notaris & PPAT Agung, pada tanggal 30 Agustus 2015, dikutip dalam Lathifah Hanim, “Penyelesaian Perjanjian Kredit Bank Sebagai Akibat Force
Majeure Karena Gempa di Yogyakarta”, Jurnal Pembaharuan Hukum, Vol. III No. 2, Fakultas
Hukum UNISSULA, 2016, hlm. 166
19 Ibid
20 Gatot Supratomo, Perbankan dan Masalah Kredit, Djambatan, Jakarta, 1995, hlm. 32 dikutip dalam Darmanto, “Asuransi Dan Kredit Perbankan (Studi Tentang Polis Asuransi Sebagai Cover Jaminan Kredit di PT. Asuransi Bumiputeramuda 1967 Surakarta)”, Skripsi, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2008, hlm. 3
11 maupun badan hukum sebagai debitor. Terdapat beberapa unsur yang terkandung dalam perjanjian kredit antara bank dengan nasabah, yaitu kepercayaan, waktu, prestasi dan kontraprestasi, serta risiko.21
2. Dasar Hukum dan Pengertian Hukum Jaminan
Istilah hukum jaminan merupakan terjemahan dari istilah security of law, zekerheidstelling, atau zekerheidrechten.22 Menurut J. Satrio, hukum jaminan itu diartikan peraturan hukum yang mengatur tentang jaminan-jaminan piutang seorang kreditor terhadap seorang debitor. Ringkasnya, hukum jaminan adalah hukum yang mengatur tentang jaminan piutang seseorang23. Sementara itu, Salim HS memberikan perumusan hukum jaminan adalah keseluruhan dari kaidahkaidah hukum yang mengatur hubungan antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit.24
Dasar hukum dari hukum jaminan terbagi menjadi 2 (dua), yaitu di dalam buku II KUHPerdata dan di luar buku II KUHPerdata.25 Ketentuan yang terdapat di luar buku KUHPerdata mengenai hukum jaminan antara lain yaitu:
21 Tarsisius Murwaji, “Paradigma Baru Hukum Jaminan: Penjaminan Hak Pengelolaan Daratan Perairan Kepulauan Melalui Digitalisasi dan e-Cash Collateral”, Jurnal PJIH, Vol. 3 No. 2, 2016, hlm. 228-229
22 Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm.
23 Ibid
24 Salim HS. dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia, PT Raja. Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm.
12 a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria;
b. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah;
c. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia; d. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK).
3. Jaminan dan Jenis Jaminan
Jaminan adalah suatu yang menimbulkan keyakinan atas kesanggupan debitor untuk melunasi kredit sesuai yang diperjanjikan. Menurut M. Bahsan, jaminan merupakan segala sesuatu yang diterima kreditor dan diserahkan debitor untuk menjamin suatu utang piutang dalam masyarakat.26 Selain istilah jaminan, dikenal juga dengan istilah agunan. Istilah agunan dapat dibaca dalam Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitor kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan.
Agunan dalam konstruksi ini merupakan jaminan tambahan (accesoir). Tujuan agunan adalah untuk mendapatkan fasilitas dari bank.
13 Jaminan ini diserahkan oleh debitor kepada bank. Unsur-unsur agunan, yaitu:27
a. Jaminan tambahan;
b. Diserahkan oleh debitor kepada bank;
c. Untuk mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan.
Secara umum, jaminan diartikan sebagai penyerahan kekayaan, atau pernyataan kesanggupan seseorang untuk menanggung pembayaran kembali suatu utang. Jadi pada dasarnya, seluruh harta kekayaan debitor menjadi jaminan dan diperuntukkan bagi pemenuhan kewajiban kepada semua kreditor secara bersama-sama. Jaminan dapat digolongkan menurut hukum yang berlaku di Indonesia dan yang berlaku di luar negeri. Jaminan dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu:28
a. Jaminan materil, yaitu jaminan kebendaan; dan b. Jaminan imateriil, yaitu jaminan perorangan.
Kreditor separatis menurut Undang-Undang Kepailitan dan PKPU dapat mengeksekusi sendiri jaminan yang dimilikinya dengan tetap memperhatikan batasan-batasan yang diatur dalam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, serta dengan memperhatikan aspek keadilan bagi kreditor-kreditor lain. Salah satu batasan bagi kreditor separatis dalam melaksanakan haknya untuk melakukan eksekusi atas jaminan yang dimilikinya yaitu antara lain adanya ketentuan hak tangguh (stay). Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang
27 Ibid
14 Kepailitan, yang menentukan hak kreditor separatis tersebut ditangguhkan selama 90 hari sejak tanggal putusan pailit diucapkan.29 Menurut hukum walaupun pihak pengadilan telah menunjuk kurator yang bertugas melakukan pengurusan terkait boedel pailit, namun kreditor separatis tetap memiliki hak untuk melakukan eksekusi sendiri terhadap jaminan yang dimilikinya. Eksekusi tersebut dapat dilakukan setelah berakhirnya masa penangguhan atau dimulainya keadaan insolvensi. Kreditor separatis diberikan hak untuk mengusahakan sendiri eksekusi atas jaminan yang dimilikinya dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Adapun jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU tersebut merupakan waktu bagi kreditor yang bersangkutan untuk mulai melaksanakan hak-nya (penjelasan Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Kepalilitan dan PKPU). Jika dalam kurun waktu tersebut kreditor separatis tidak segera melaksanakan haknya tersebut, maka pihak kurator berhak untuk menuntut diserahkannya objek jaminan tersebut untuk dijual sesuai dengan tata cara yang dalam Pasal 185 Undang-Undang Kepalitan dan PKPU (Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU). Proses eksekusi jaminan tersebut juga disesuaikan dengan penganturan yang termuat dalam peraturan perundang-undangan lain yang terkait. Ketentuan jangka waktu sebagai diatur dalam Pasal 59 29 Lidya Mahendra, R.A. Retno Murni dan Putu Gede Arya Sumertayasa, “Perlindungan Hak-Hak Kreditur dalam Hal Adanya Pengalihan Benda Jaminan oleh Pihak Debitur”, Jurnal
15 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU serta penjelasan tersebut hanya mengatur mengenai batas waktu bagi kreditor separatis untuk memulai haknya dalam melakukan eksekusi jaminan hak kebendaan. Undang-Undang Kepailitan dan PKPU tidak membatasi lamanya waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan eksekusi tersebut. Hal tersebut lah yang sering kali menimbulkan konflik antara pihak kreditor separatis dengan kurator. Pihak kurator beranggapan jangka waktu selama 2 (dua) bulan tersebut merupakan waktu kreditor separatis untuk menyelesaikan proses eksekusi tersebut. Ketika waktu 2 (dua) bulan telah berakhir dan jaminan belum berhasil terjual maka, objek jaminan tersebut wajib diserahkan kepada kurator untuk dieksekusi30
4. Pengertian Kepailitan
Pengertian kepailitan dapat dilihat dari kacamata Hukum Islam maupun hukum nasional. Salah satu pendapat mengenai pengertian kepailitian, menyatakan bahwa kepailitan adalah kondisi seorang debitor yang tidak dapat membayar utangnya secara lazim. Kepailitan terjadi karena jumlah utangnya jauh melebihi jumlah hartanya atau dengan kata lain seseorang yang seluruh hartanya tidak cukup untuk membayar
16 utangnya.31 Kepailitan juga merupakan larangan yang dikeluarkan oleh hakim terhadap debitor pailit untuk tidak mengelola hartanya.32
Pengertian yang sedikit berbeda dinyatakan dalam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, yang berbunyi:33 “Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.”
Pihak yang menjadi kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitor pailit. Pengertian ini terdapat pada Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Kurator diangkat oleh hakim Pengadilan Niaga pada saat putusan pernyataan pailit dibacakan atau dikeluarkan.34 Kurator dalam menjalankan tugasnya sebagai pengelola harta pailit harus independen, artinya kurator yang diangkat tidak ada kepentingan baik langsung maupun tidak langsung terhadap harta pailit. Karena apabila kurator yang diangkat untuk mengelola harta pailit memiliki hubungan atau ada kepentingan dengan harta pailit, dikhawatirkan akan mengakibatkan pembagian harta pailit tidak adil dan pertimbangan yang diberikan kurator dalam membagi harta pailit 31 “Qalyubiy dan ‘Umairah” dalam Siti Anisah, Perlindungan Kepentingan Kreditor dan
Debitor dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, Ctk. Kedua, Total Media, Yogyakarta, 2008, hlm.
367
32 Ibid
33 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
34 Made Bagoes Wiranegara Wesna, Ngakan Ketut Dunia, dan Ida Ayu Sukihana, “Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan Dan Pemberesan Harta Pailit Di Kabupaten Badung”, Jurnal Kertha Semaya, Vol. 01 No. 03, Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, hlm. 3
17 terganggu dengan hubungan atau kepentingan tersebut. Kurator dituntut untuk memiliki integritas yang berpedoman pada kebenaran dan keadilan serta keharusan untuk menaati standar profesi dan etika, guna menghindari adanya benturan kepentingan antara kreditor dan debitor.35
Hakim pengawas adalah hakim yang ditunjuk oleh Hakim Pengadilan Niaga dalam putusan pailit atau putusan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Pemberesan dan pembagian harta pailit rentan sekali terjadinya kecurangan yang dilakukan oleh kurator. Kurator yang tidak memiliki itikad baik dapat melakukan penyalahgunaan wewenangnya sebagai kurator. Untuk mencegah penyalahgunaan wewenang tersebut, maka diangkat seorang hakim pengawas oleh Pengadilan Niaga. Tugas dari hakim pengawas diatur dalam Pasal 65 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, yaitu mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit. Pengadilan Niaga dalam membuat suatu putusan mengenai pengurusan atau pemberesan harta pailit harus terlebih dahulu mendengar pendapat dari hakim pengawas. Hakim pengawas berhak memperoleh segala keterangan yang diperlukan mengenai kepailitan, mendengar saksi-saksi, ataupun untuk memerintahkan diadakannya penyelidikan oleh ahli-ahli. Kurator berkewajiban untuk melaporkan segala sesuatu terkait harta pailit kepada hakim pengawas.
18 Berdasarkan laporan tersebut, hakim pengawas membuat suatu penetapan atas seluruh tindakan yang dilakukan kurator dalam pemberesan harta pailit. Ketetapan hakim pengawas merupakan bukti otentik dalam proses kepailitan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 68 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU.
5. Prosedur Pengajuan Permohonan Pailit
Kreditor merupakan perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pemberi pinjaman atau utang kepada debitor. Hal ini lazim terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Pemberian pinjaman (kredit) tidak dapat dipisahkan dalam perekonomian baik perdagangan dan bisnis. Kreditor memerlukan perlindungan hukum sebagai upaya antisipasi apabila instansi atau perusahaan debitor mengalami kesulitan dalam usahanya, sehingga belum mampu membayar dan terlambat. Kreditor harus memperoleh jaminan kepastian hukum agar dapat mengeksekusi agunannya. Hasil penjualan agunan atau likuidasi atas aset perusahaan debitor dapat berjalan dengan baik.36
Bila debitor mengalami kesulitan pembayaran, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah permohonan pailit ke Pengadilan Niaga.37 Pengadilan Niaga melalui putusan pernyataan pailit dapat digunakan oleh para kreditor sebagai sumber pelunasan utang-utangnya. Hasil dari
36 DR Hidayat, Perlindungan Hukum bagi Kreditur Dengan Jaminan atas Objek Jaminan Hak Tanggungan Yang Sama, terdapat dalam http://jurnal.untag-sby.ac.id/index.php/dih/article/view/1590, diakses terakhir tanggal 10 Juni 2020
37 Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
19 penjuaan agunan atau likuidasi aset perusahaan yang dinyatakan pailit dapat dipergunakan sebagai sumber pelunasan utang perusahaan (debitor). Sumber pelunasan alternatif ini dalam dunia perbankan disebut second way out.38 Permohonan pernyataan pailit umumnya diajukan oleh salah satu atau lebih kreditor yang memiliki piutang yang telah jatuh tempo. Namun, apabila debitor merasa bahwa dirinya tidak dapat melunasi utang-utang dari para kreditornya yang telah jatuh tempo, permohonan pernyataan pailit juga dapat diajukan oleh debitor itu sendiri.39 Jika yang mengajukan permohonan pailit adalah salah seorang kreditor, maka dalam permohonan yang diajukannya perlu menjelaskan adanya kreditor-kreditor lain yang memiliki piutang terhadap debitor tersebut. Selain itu dalam proses pembuktian, kreditor yang berkedudukan sebagai pemohon pailit, harus dapat mengajukan bukti-bukti terkait piutang-piutang yang ada.40 Debitor yang telah dinyatakan pailit tidak memiliki kewenangan untuk menguasai dan mengurusi kekayaan yang termasuk harta pailit.41
Setelah debitor dinyatakan pailit, namum belum berada pada tahap insolvensi, maka kurator berwenang melanjutkan proses kelola usaha-usaha pada debitor yang mengalami pailit sebagaimana direksi atas ijin rapat kreditor.42 Proses kelola usaha dilakukan jika debitur yang
38 Royke A. Taroreh, “Hak Kreditor Separatis dalam Mengeksekusi Benda Jaminan Debitor Pailit”, Jurnal Hukum Unsrat, Vol. II No. 2, 2014, hlm. 105-116
39 Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
40 Ibid
41 Ivida Dewi dan Herowati Poesoko, Hukum Kepailitan…Loc.Cit.
42 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl738/tugas-tugas-kurator-dan pengawas, diakses terakhir tanggal 20 oktober 2019
20 mengalami kepailitan masih memiliki usaha yang masih beroperasi. Apabila sebaliknya, maka kurator melakukan pemberesan harta pailit yang diawali dengan penjualan harta pailit kemudian diserahkan bagian yang wajib diserahkan kepada kreditor.43
Jika kreditor keberatan dengan pembagian harta pailit yang telah ditentukan oleh kurator, maka kreditor dapat melakukan perlawanan dengan pengajuan permohonan kepada Pengadilan Niaga yang memutus pailit. Perlawanan pada daftar pembagian harta pailit dapat terjadi dikarenakan ketidaksesuaian daftar pembagian dengan piutang yang dimiliki oleh kreditor berdasarkan kedudukannya.
Pada dasarnya kedudukan para kreditor dalam kepailitan adalah sama (paritas creditorium). Oleh karena itu, para kreditor mempunyai hak yang sama atas hasil eksekusi harta pailit sesuai dengan besarnya tagihan mereka masing-masing (pari passu prorata parte).44 Namun, asas paritas creditorium tidak berlaku bagi kreditor yang memegang hak agunan atas kebendaan dan golongan kreditor yang haknya didahulukan (kreditor istimewa) berdasarkan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dengan demikian, asas paritas creditorium berlaku bagi para kreditor konkuren saja.45
43 Titik Tejaningsih, Perlindungan Hukum…Loc.Cit.
44 Ibid
45 Fred. B.G Tumbuan “Pokok-Pokok Undang-Undang tentang Kepailitan sebagaimana
Diubah Oleh PERPU No. 1/1998” Dalam Penyelesaian Utang-Piutang melalui Kepailitan atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Rudhy A. Lontoh ed, Alumni 2001)
21
6. Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit
Kewenangan kurator setelah putusan pernyataan pailit dikeluarkan oleh Pengadilan Niaga adalah melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit. Pengurusan dan pemberesan tersebut mencakup melakukan pengumuman kepailitan, melakukan penyegelan harta pailit, pencatatan/pendaftaran harta pailit, melanjutkan usaha debitor, membuka surat-surat telegram debitor pailit, mengalihkkan harta pailit, melakukan penyimpanan harta pailit, mengadakan perdamaian guna menjamin suatu perkara yang sedang berjalan atau mencegah timbulnya suatu perkara.46
Proses pertama sekali dalam pengurusan harta pailit setelah adanya pernyataan pailit adalah penyelesaian utang debitor dengan mengelompokkan kedudukan kreditor berdasarkan hasil verifikasi piutang. Verifikasi atau pencocokan piutang berarti menguji kebenaran piutang kreditor yang dimasukkan pada kurator.47 Verifikasi diatur dalam Pasal 113 sampai dengan Pasal 143 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Pencocokan piutang dilakukan dalam rapat kreditor untuk mengadakan pencocokan piutang yang dipimpin oleh hakim pengawas. Pemberesan harta pailit dilakukan oleh kurator setelah proses pengurusan telah selesai dilakukan. Pemberesan harta pailit dilakukan akibat dari keadaan insolvensi debitor. Pasal 178 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU menyatakan bahwa insolvensi adalah keadaan tidak mampu
46 Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008
22 membayar, artinya apabila tidak terjadi perdamaian dan harta pailit berada dalam keadaan tidak mampu membayar seluruh utang yang wajib dibayar.
7. Kreditor Separatis
Kreditor separatis merupakan kreditor yang memiliki kedudukan terpisah dari kreditor lainnya. Hal Ini dikarenakan kreditor separatis mempunyai hak-hak yang berbeda dibandingkan kreditor lainnya. Hak kreditor separatis yaitu melakukan penjualan dan mengambil hasil penjualan sendiri terhadap agunan yang menjadi jaminan yang terpisah dengan harta pailit umumnya.48 Hasil dari penjualan tersebut disesuaikan dengan besarnya nilai piutang kreditor separatis. Hasil penjualan yang melebihi besarnya piutang, kelebihannya harus dikembalikan kepada kurator. Namun, jika hasil penjualan kurang dari besarnya nilai piutang, kreditor separatis dapat mengajukan kekurangan tersebut dengan kedudukan sebagai kreditor konkuren. Seperti yang tertuang pada penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU berbunyi:49
“Yang dimaksud dengan "Kreditor" dalam ayat ini adalah baik kreditor konkuren, kreditor separatis maupun kreditor preferen. Khusus mengenai kreditor separatis dan kreditor preferen, mereka dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta Debitor dan haknya untuk didahulukan.”
48 Fuady, Munir, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005
49 Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
23 Bilamana terdapat sindikasi kreditor, maka masing-masing kreditor adalah kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2. Yang dimaksud dengan "utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih" adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase.
8. Eksekusi dalam Kepailitan
Eksekusi adalah penjualan harta yang berada dalam penyitaan. Eksekusi terhadap harta pailit debitor dilakukan oleh kurator dalam kepailitan. Namun, kreditor separatis memiliki hak untuk melakukan eksekusi sendiri. Karena kedudukan kreditor separatis terpisah dari kreditor lainnya. Adapun mengenai kreditor separatis diatur dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU yang menyatakan setiap kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Hak eksekusi yang diberikan kepada kreditor separatis terdapat pada Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Pengaruh kepailitan terhadap hak tanggungan disebutkan dalam Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU bahwa hak eksekusi kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1)
Undang-24 Undang Kepailitan dan PKPU dan hak-hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan debitor pailit atau kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.
Selama jangka waktu penangguhan, kurator dapat menggunakan harta pailit berupa benda tidak bergerak maupun benda bergerak atau menjual harta pailit yang berupa benda bergerak yang berada dalam penguasaan kurator dalam rangka kelangsungan usaha debitor, dalam hal telah diberikan perlindungan yang wajar bagi kepentingan kreditor atau pihak ketiga. Tujuan yang hendak dicapai dalam penangguhan eksekusi hak tanggungan yakni untuk memperbesar kemungkinan tercapainya perdamaian, untuk memperbesar kemungkinan mengoptimalkan harta pailit dan untuk memungkinkan kurator melaksanakan tugasnya secara optimal. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penundaan eksekusi bukanlah semata-mata demi kepentingan kreditor belaka. Tujuan yang dimaksud oleh Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU ini sama artinya bahwa harta debitor yang sebelum kepailitan telah dibebankan dengan hak tanggungan merupakan harta pailit ketika debitor tersebut dinyatakan pailit.50
Kewenangan kreditor separatis pemegang jaminan hak tanggungan yakni dalam masa sebelum jatuhnya putusan pailit (kecuali dilakukan sita jaminan), setelah berakhirnya insolvensi, dan selama dua bulan sejak
50 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi
25 insolvensi. Dalam waktu dua bulan dimaksud bukan berarti kreditor separatis sudah harus selesai melakukan eksekusi melainkan dalam jangka waktu tersebut kreditor separatis sudah mulai melakukan proses eksekusi. Sementara pihak yang berwenang sendiri untuk mengeksekusi dapat kreditor separatis dan dapat juga kurator. Hal ini tergantung pada hubungan aset dengan kreditor (dijaminkan atau tidak) dan bergantung pada waktu kapan eksekusi dilaksanakan.51 Apabila kreditor separatis