• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 2. Tinjauan Pustaka

2.9. Kerangka Konsep

Gambar 2.3. Kerangka Konseptual

EPILEPSI POLITERAPI

USIA ONSET

FREKUENSI KEJANG SETELAH MENDAPAT OAE

RIWAYAT KELUARGA EPILEPSI

KEPATUHAN TERAPI GANGGUAN NEUROLOGIS

PENYERTA JENIS KEJANG

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang untuk mengetahui faktor-faktor pemberian politerapi OAE pada anak dengan epilepsi.

3.2. Tempat dan waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Rawat Jalan Divisi Neurologi Anak RSUP Haji Adam Malik antara bulan November 2017 sampai Oktober 2018.

3.3 Populasi dan Sampel

Populasi target adalah anak dengan epilepsi yang berobat di RSUP Haji Adam Malik. Populasi terjangkau adalah anak dengan epilepsi yang berobat di RSUP Haji Adam Malik dan mendapat OAE pada bulan November 2017 sampai Oktober 2018. Pengambilan sampel pada penelitian ini dengan menggunakan teknik consecutive sampling.

3.4 Perkiraan besar sampel

Perhitungan besar sampel dalam penelitian ini menggunakan rumus sebagai berikut :30

n = besar sampel minimum

P1 = perkiraaan proporsi epilepsi yang mendapat politerapi = 52%31 P2 = perkiraan proporsi epilepsi yang mendapat monoterapi = 78,4%6 P = ½(P1+P2) = odds ratio based on clinical judgement = 0,82 10 Zα = nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada α tertentu

Zß = nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada ß tertentu

Berdasarkan perhitungan besar sample yang akan diteliti, maka besar sampel penelitian ini adalah 38,5 orang = 40 orang untuk masing-masing kelompok.

3.5 Kriteria Inklusi

1. Anak penderita epilepsi usia <18 tahun 2. Mendapat terapi OAE minimal 1 macam obat

3. Mendapat izin dari orang tua atau wali untuk ikut dalam penelitian

3.6 Persetujuan setelah penjelasan / informed consent

Semua subyek penelitian diberi penjelasan mengenai hal yang akan dilakukan dan telah disetujui orangtua sebelum dilakukan wawancara.

3.7 Etika Penelitian

Penelitian ini telah disetujui oleh Komite Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan RSUP Haji Adam Malik.

3.8 Cara Kerja dan Alur Penelitian 3.8.1 Cara Kerja

Anak penderita epilepsi yang memenuhi kriteria inklusi serta bersedia ikut serta dalam penelitian mengisi formulir penelitan. Kemudian dilakukan pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner yang memuat pertanyaan sesuai dengan variabel penelitian.

3.8.2 Alur Penelitian

Gambar 3.1 Alur Penelitian

Anak penderita epilepsi di Poliklinik Neurologi anak RSUP Haji Adam malik

Inklusi Penggunaan OAE

Faktor Risiko:

- Usia onset - Jenis kejang

- Gangguan neurologis penyerta - Riwayat keluarga menderita epilepsi - Kepatuhan terapi

- Frekuensi kejang setelah mendapat OAE Pengumpulan data dengan menggunakan

kuesioner dan rekam medis

3.9 Identifikasi variabel

Variabel bebas Skala

Usia onset kategorik

Jenis kejang kategorik

Gangguan neurologis penyerta kategorik Riwayat keluarga menderita epilepsi kategorik

Kepatuhan terapi kategorik

Frekuensi kejang setelah OAE monoterapi kategorik Variabel tergantung Skala

Terapi OAE kategorik

3.10 Definisi operasional 1. Epilepsi

Kejang berulang dan tanpa provokasi yang terjadi dua kali atau lebih dengan interval waktu lebih dari 24 jam.12 Diagnosis epilepsi ditegakkan oleh dokter spesialis anak subdivisi neurologi Ilmu Kesehatan Anak RSUP Haji Adam Malik. Diagnosis secara klinis dikonfirmasi dengan EEG yang diinterpretasi oleh seorang dokter neurologi anak.

2. Terapi OAE

Terapi OAE dibagi menjadi monoterapi dan politerapi.

- Monoterapi OAE adalah penggunaan obat epilepsi yang diberikan kepada subjek penelitian menggunakan satu jenis obat.

- Politerapi OAE adalah penggunaan obat epilepsi yang diberikan kepada subjek penelitian menggunakan lebih dari satu jenis obat.

3. Usia onset kejang

Usia saat kejang tanpa provokasi pertama kali terjadi.

- Usia saat pertama kali kejang kurang dari 1 tahun - Usia saat pertama kali kejang lebih dari 1 tahun.

4. Jenis epilepsi

Karakteristik epilepsi berdasarkan International League Against Epilepsy (ILAE) 2016 sesuai dengan hasil EEG berupa epilepsi fokal dan epilepsi umum.

5. Gangguan neurologis penyerta

Kelainan fungsi neurologis yang menyertai epilepsi meliputi mikrosefal, makrosefal, gambaran dismorfik, dan kelainan refleks neurologis serta kondisi yang ditemukan bersamaan dengan onset epilepsi, meliputi gangguan perkembangan, serebral palsi, retardasi mental, gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktifitas dan gangguan belajar. Kelainan ini diukur dengan melakukan anamnese, pemeriksaan fisik dan dari rekam medis.

6. Riwayat keluarga menderita epilepsi

Anggota keluarga yang menderita epilepsi, meliputi ayah, ibu, saudara kandung, kakek, nenek, paman, bibi dan sepupu.

7. Kepatuhan terapi

Kepatuhan pasien untuk mendapat pengobatan secara rutin, mengkonsumsi OAE sesuai dosis dan minum obat sesuai anjuran dokter.

Dibagi atas dua kelompok yaitu patuh dan tidak patuh.

8. Frekuensi kejang setelah mendapat OAE monoterapi

Frekuensi serangan kejang setelah pasien mendapat terapi OAE yang pertama.

- Dikatakan sering bila mengalami bangkitan ≥ 5 kali/ bulan setelah mendapat OAE pertama

- Dikatakan jarang bila mengalami bangkitan < 5 kali/ bulan setelah mendapat OAE pertama.

3.11 Pengolahan dan analisa data

Pengolahan data yang terkumpul dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak statistik. Variabel tergantung yaitu penggunaan politerapi OAE dan variabel bebas yaitu onset usia, jenis kejang, jumlah dan frekuensi kejang, gangguan neurologis penyerta, riwayat keluarga menderita epilepsi, kepatuhan terapi dan frekuensi kejang setelah mendapat OAE dalam skala

kategorik akan dianalisis untuk melihat proporsi dan ditampilkan dalam bentuk persentase.

Untuk melihat hubungan masing-masing variabel bebas terhadap variabel tergantungnya dilakukan uji bivariat yaitu uji kai kuadrat, kemudian dilakukan uji analisis regresi logistik ganda untuk melihat hubungan ke enam variabel bebas terhadap varibel tergantung bila hasil uji bivariat bermakna.

Pada analisis ini akan ditentukan prevalence ratio (PR). Nilai PR akan disertai dengan nilai convidence interval 95% (CI 95%). Hasil dinyatakan bermakna dengan nilai p<0.05.

30

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Penelitian dilakukan di poli Neurologi Ilmu Kesehatan Anak RSUP Haji Adam Malik. Terdapat 80 anak penderita epilepsi yang memenuhi kriteria inklusi.

Dari hasil penelitian yang didapatkan dari analisa bivariat, didapatkan satu variabel yang memiliki nilai p<0,05 yang mempengaruhi pemberian politerapi OAE pada anak dengan epilepsi di poli Neurologi SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUP Haji Adam Malik sehingga tidak dilakukan anlisa multivariat. Data karakteristik dasar seluruh pasien epilepsi tertera pada Tabel 4.1. Dalam penelitian ini diperoleh jumlah sampel masing-masing 40 anak untuk monoterapi dan politerapi Berdasarkan onset usia kejang, usia ≥ 1 tahun dijumpai sebanyak 61 (76,25%). Jenis epilepsi umum dijumpai lebih banyak dibandingkan epilepsi fokal yaitu sebanyak 64 (80%). Riwayat keluarga menderita epilepsi tidak ada dijumpai sebanyak 72 (90%). Dan kepatuhan konsumsi obat sebanyak 78 (97,5%) dan sebanyak 2 (2,5%) yang tidak patuh. Frekuensi kejang yang berkurang dijumpai lebih banyak yaitu sebanyak 52 (65%).

Tabel 4.1. Karakteristik subjek penelitian

Jumlah, n (%) Pendidikan orang tua, n (%)

SD Gangguan neurologis penyerta n (%)

Ada Riwayat keluarga epilepsi, n (%)

Ada Tidak ada

8 (10) 72 (90) Kepatuhan konsumsi obat, n (%)

Patuh Tidak patuh

78 (97,5) 2 (2,5 Frekuensi kejang setelah OAE, n (%)

Sering

Kombinasi OAE diberikan pada pasien yang masih dijumpai kejang setelah mendapatkan OAE monoterapi, dimana asam valproat + topiramat dan asam valproat + carbamazepin merupakan obat politerapi yang paling

banyak digunakan yaitu sebanyak 45% dan 37,5%. Lama pemberian monoterapi sebelum menjadi politerapi selama ≤ 6 bulan sebanyak 62,5%.

Tabel 4.2. Karakteristik OAE politerapi

Karakteristik N %

Kombinasi OAE Asam valproat+phenobarbital Asam valproat+carbamazepine Analisis bivariat dilakukan untuk mencari faktor yang berkaitan dengan luaran epilepsi. Hasil analisis univariat masing-masing variabel tertera pada tabel 4.3. Keenam variabel tersebut adalah usia onset > 1 tahun (PR 0,495; IK 0.172-1.428; p=0,189), jenis epilepsi umum (PR 1,889; IK 0.613-5.818;

p=0,264), adanya gangguan neurologis (PR 0,441; IK 0.179-1.084; p=0,072), tidak adanya riwayat keluarga (PR 1,000; IK 0.232-4.310; p=0,644), kepatuhan konsumsi obat (PR 0,487; IK 0.388-0.6128; p=0,494) dan frekuensi kejang setelah mendapat OAE (PR 0,231; IK 0.14-0.379; p=0,000)

Tabel 4.3 Faktor risiko pemberian politerapi pada anak penderita epilepsi Faktor risiko yang mempengaruhi pemberian politerapi adalah usia onset, jenis epilepsi, gangguan neurologis, riwayat eluarga, kepatuhan konsumsi obat dan frekuensi kejang setelah mendapa OAE. Dari faktor tersebut yang bermakna adalah frekuensi kejang setelah OAE dengan p < 0,005 dan PR 0,231 (95% IK).

BAB 5 PEMBAHASAN

Semua pasien yang telah didiagnosa dengan penyakit epilepsi akan mendapatkan obat antiepilepsi yang dipilih secara tepat dengan mempertimbangkan jenis kejang, efektifitas obat, efek samping obat, dan interaksi dari obat yang tersedia.32 Sekitar 50-70% pasien dengan epilepsi yang baru didiagnosis mencapai remisi setelah memulai obat antiepilepsi sebagai pengobatan monoterapi. Bila masih dijumpai kejang, dapat diberikan dua pilihan yaitu monoterapi alternatif (substitusi) atau terapi kombinasi (tambahan), yang umumnya melibatkan penambahan obat kedua ke monoterapi saat ini.31 Sehingga diperlukan identifikasi sedini mungkin bagi anak yang mempunyai risiko tinggi mengalami kegagalan monoterapi.9

Pada hasil penelitian ini didapatkan satu faktor yang bisa dijadikan sebagai faktor risiko pemberian politerapi OAE pada anak dengan epilepsi.

Variabel tersebut adalah frekuensi kejang ≥ 5 kali/ bulan setelah pemberian OAE monoterapi. Penelitian yang dilakukan di Finlandia, menunjukkan respon awal yang baik terhadap terapi merupakan petanda prognosis yang baik. Jika kejang tidak terkontrol di tahun pertama pengobatan setelah didiagnosis, hanya 60% pasien yang mencapai remisi. Kegagalan fase awal

terapi sangat mempengaruhi keberhasilan terapi berikutnya dan prognosis epilepsi.33

Pada penelitian ini, subjek dengan frekuensi kejang ≥ 5 kali/ bulan setelah pemberian OAE monoterapi dalam penelitian ini berpeluang menjadi politerapi sebesar 0,231 kali dengan nilai p = 0,000. Hal ini diduga penyebab kegagalan monoterapi melalui mekanisme pembentukan fokus epileptogenik baru. Serangan epilepsi diperkirakan dapat memicu terjadi serangan berikutnya melalui fenomena fasilitasi. Konsep pembentukan epileptogenesis (fokus epileptogenik baru) akibat serangan epilepsi berulang disebut sebagai kindling hypothesis.9

Penelitian di Indiadan studi prospektif tentang prognosis kejang yang terjadi pada tahun pertama kehidupan.34 Penelitian di Kanada menemukan bahwa 38% dari 40 anak dengan serangan kejang pada tahun pertama kehidupan memiliki kejang yang sulit terkontrol pada pemantauan selanjutnya. Prognosis pada anak yang datang dengan kejang tanpa demam pada tahun pertama kehidupan sering buruk karena dalam banyak kasus, kejang mencerminkan kelainan otak serius yang mendasarinya.35 Penelitian yang dilakukan di Bali mendapatkan hasil kejadian epilepsi paling banyak ditemukan pada anak dengan onset usia di bawah 1 tahun.3 Hasil ini berbeda dengan hasil pada penelitian ini, dimana pada penelitian ini didapatkan hasil dengan onset usia yang paling banyak adalah > 1 tahun. Hasil serupa

dijumpai pada penelitian di Surabaya36, hal ini disebabkan oleh karena populasi yang digunakan pada penelitian kami adalah kasus rumah sakit bukan populasi komunitas.

Pada bayi dengan kejang, perkembangan saraf yang abnormal dapat terjadi oleh karena kelainan struktural otak, bukan karena serangan kejang berulang seperti pada kebanyakan pasien, namun dapat juga terjadi secara bersamaan dengan penyebab gejala kejang akut, seperti infeksi sistem saraf pusat, trauma, atau gangguan pembuluh darah. Cedera otak akibat kejang berulang diyakini sangat jarang terjadi, bahkan dengan status epileptikus yang berkepanjangan.35

Pada penelitian ini, gangguan neurologis penyerta tidak menjadi faktor risiko pemberian politerapi OAE. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Yogyakarta9 menemukan bahwa adanya kelainan penyerta menyebabkan kegagalan monoterapi melalui adanya lesi struktural pada otak yang menyebabkan farmakoresisten. Namun hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian di Yogyakarta yang melaporkan adanya kelainan penyerta tidak merupakan prediktor kuat untuk terjadinya epilepsi refrakter.10 Hal ini mungkin disebabkan adanya kelainan penyerta yang variasinya sangat luas, seperti gangguan perkembangan, retardasi mental, gangguan pemusatan perhatian, hiperaktifitas, gangguan belajar, dan

lain – lain. Dan setiap kelainan penyerta tersebut tidak harus disertai dengan adanya kelainan struktural pada otak.

Peran keluarga sangat penting dalam proses penyesuaian diri anak maupun keluarga terhadap penyakit kronis. Pemahaman pasien dan orangtua tentang manfaat dan pentingnya obat – obat yang diberikan serta tingkat pendidikan merupakan hal penting yang mempengaruhi kepatuhan berobat. Oleh karena itu dokter anak perlu mengetahui tingkat pengetahuan pasien dan orangtua serta menentukan apakah ada kesalahan informasi atau perbedaan sudut pandang.

Pada penelitian yang dilakukan di Medan, ditemukan hasil dengan skor tingkat pengetahuan orang tua yang rendah yaitu dengan rerata 6,73 (±

2,31) dimana paling banyak merupakan tamatan SMU sebesar 47,7%.

Sebanyak 79.4% menyatakan rutin/ selalu membawa anaknya berobat ke dokter.37 Hasil ini serupa dengan hasil penelitian ini dimana tingkat kepatuhan pasien sebesar 97,5% dengan pendidikan orang tua yang paling banyak adalah SMP sebesar 42,5% dan SMA sebesar 33,75%.

Pada hasil penelitian ini, riwayat keluarga menderita epilepsi tidak menjadi faktor risiko dalam pemberian politerapi pada anak yang menderita epilepsi. Hasil ini sesuai dengan penelitian terbaru dalam analisis genetik mengungkapkan bahwa sebagian besar bentuk epilepsi dihasilkan dari kombinasi faktor genetik dan faktor yang didapat, dimana hanya sebagian

kecil dari semua gangguan kejang disebabkan oleh epilepsi genetik. Pada penelitian oleh Arab Saudi menemukan bahwa adanya riwayat keluarga yang menderita epilepsi mempunyai dampak yang signifikan pada klasifikasi epilepsi dan etiologi yang mendasarinya.38 Pada riwayat keluarga yang menderita epilepsi, pelepasan gelombang epileptiform di daerah temporal menjadi prediktor terbaik yang mungkin menunjukkan adanya epilepsi lobus temporal. Hasil akhir pengamatan jangka panjang pada epilepsi lobus temporal dipengaruhi oleh etiologi yang mendasarinya dan dari hasil penelitian yang dilakukan di Australia39 menemukan bahwa lebih dari sebagian anak-anak dengan epilepsi lobus temporal dijumpai etiologi kriptogenik. Pada penelitian jangka panjang berbasis populasi baru-baru ini tentang hasil epilepsi fokal nonidiopatik pada anak-anak dengan etiologi kriptogenik mempunyai prognosa yang lebih baik daripada kelompok simtomatik, dengan angka kejadian epilepsi intraktabel yang lebih rendah.40

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa frekuensi kejang setelah pemberian OAE merupakan faktor risiko bermakna yang memengaruhi pemberian politerapi OAE, yaitu sebesar 0,23 kali. Dari 40 sampel yang mendapatkan politerapi, OAE yang paling banyak digunakan adalah kombinasi asam valproat dengan topiramat.

6.2 Saran

Dari penelitian ini hanya didapatkan frekuensi kejang setelah pemberian OAE yang memiliki hasil bermakna yang memengaruhi pemberian politerapi sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut menggunakan desain penelitian kohort agar dapat menilai hubungan yang lebih akurat terhadap faktor risiko lainnya.

BAB 7 RINGKASAN

Epilepsi adalah suatu kondisi yang ditandai dengan kejang berulang dan tanpa provokasi yang terjadi dua kali atau lebih dengan interval waktu lebih dari 24 jam. Prevalensi epilepsi meningkat dua kali di negara miskin dan berkembang dibandingkan negara maju dengan data yang diperoleh dari rekam medik Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM selama 5 tahun terakhir tercatat pasien epilepsi yang dirujuk 526 kasus baru. Pengobatan epilepsi merupakan pengobatan jangka panjang yang bertujuan membuat penderita epilepsi terbebas dari serangan epilepsinya dengan efek samping yang minimal. Serangan kejang yang berlangsung lama mengakibatkan kerusakan sampai kematian sejumlah sel-sel otak. Faktor risiko kegagalan monoterapi pada penelitian lain adalah frekuensi kejang yang sering, status epileptikus, gangguan neurologis penyerta, ketidakpatuhan dalam meminum obat, onset usia dan dosis yang tidak sesuai.

Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat faktor risiko yang memengaruhi pemberian politerapi OAE pada anak penderita epilepsi. Faktor risiko tersebut berupa frekuensi kejang setelah pemberian OAE (p < 0,001).

Kombinasi politerapi yang paling banyak digunakan pada penelitian ini adalah

kombinasi asam valproat dan topiramat. Masih diperlukan penelitian lanjutan untuk menilai hubungan yang lebih akurat terhadap faktor risiko lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Aydin A, Ergor A, Ergor G, Dirik E. The prevalence of epilepsy amongst school children in Izmir, Turkey. Seizure 2002;11:392-6.

2. Harsono, Endang K, Suryani G. Pedoman tatalaksana epilepsi. Edisi Ke-3.

Perdossi.2006;62:1-43.

3. Suwarba, I Gusti Ngurah Made. Insiden dan Karakteristik Epilepsi pada Anak. Bagian / SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Udayana RSUP Sanglah, Denpasar, Bali. Sari Pediatri, Agustus 2011.

4. World Health Organization (WHO). Epilepsy in the WHO Eastern Mediterranean Region.Kairo: WHO Library. 2010: 10-21.

5. Major P, Thiele EA. Seizure in children: laboratory, diagnosis, and management. Pediatr Rev 2007;28:405-14.

6. Dudley RW, Penney SJ, Buckley DJ. First-drug treatment failures in children newly diagnosed with epilepsy. Pediatr Neurol 2009;40:71–7.

7. Cavazos JE, Lum F, Spitz M. Seizure and epilepsy : Overview and classification. 2003. Diakses tanggal 18 Januari 2014.

8. Kwan P, Brodie MJ. Potential role of drugs transporters in the pathogenesis of medically intractable epilepsy. Epilepsia 2005;46:224-35.

9. Triono A, Herini ES. Faktor prognostik Kegagalan Terapi Epilepsi pada Anak dengan Monoterapi. Universitas Gadjah Mada (Tesis). Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, 2014.

10. Ramzi, Soenarto Y, Sunartini, Hakimi M. Prognostic factors of refractory epilepsy in children. Pediatrica Indonesiana; 2008(48) 269-73.

11. Panayiotopoulos CP. The Epilepsies Seizure. Syndrome and Management.London. Blondom Medical Publishing; 2005;1- 26.

12. Mangunatmadja I, Handryastuti S, Risan NA, Epilepsi pada anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia.2016;1:5-6.

13. Vera R, Dewi MAR, Nursiah. Sindrom Epilepsi Pada Anak. Palembang.

Rumah sakit Moehammad Hoesin.2014.

14. Ngugi AK, Bottomley C, Kleinschimdt I, Sander JW, Newton CR. Estimation of the burden of active and life-time epilepsy. J Pediatr Child Health 2010;51:883-90.

15. Wishwadewa WN, Mangunatmadja I, Said M, Firmansyah A, Soedjatmiko, Tridjaja B. Kualitas Hidup Anak Epilepsi dan Faktor–Faktor yang Mempengaruhi di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta.

Sari Pediatri 2008;10(4):272-9.

16. Kusumastuti K, Gunadharma S, Kustiowati E. Pedoman Tatalaksana Epilepsi, Kelompok Studi Epilepsi PERDOSSI. Surabaya: Airlangga University Press; 2014.

17. Stafstrom CE. The pathophysiology of epileptic seizure: a primer for pediatricians. Pediatrics in Review. 1998;19(10):342-51.

18. Hendry TR. Seizures and epilepsy: pathophysiology and principles of diagnosis. American board of pyschiatry and neurology. 2012;1(1):1-26.

19. Fisher RS, Cros JH, French JA, Higurashi N, Hirsch E, Jansen FE, et al.

Operational classification of seizure types by international league againts epilepsy. Stanford Department of Neurology & Neurological Sciences.

2016:1-26.

20. Scheffer IE, French J, hirsch E, Jain S, Mathern GW, Mosche SL, et al.

Classification of the epilepsies: New concepts for discussion and debate-Special report of the ILAE Classification Task Force of the Commission for Classification and Terminology. Epilepsia open. 2016;2(1):1-8.

21. Nordli DR. Focal and multifocal seizures. Dalam: Swaiman KH, Ashwal S, Ferreiro DM, Schor NF. Pediatric neurology “principles and practice”. Edisi ke-5. Inggris; 2012.h.751-66.

22. Lazuardi S. Pengobatan epilepsi. Dalam: Soetomenggolo TS, Ismael S, penyunting. Buku ajar neurologi anak. Edisi ked-2. Jakarta; 2000. h. 226-41.

23. Benbadis SR, Tatum WO. Advances in the treatment of epilepsy. American Family Phisician. 2000;64(1):91-8.

24. Wibowo, S., Gofir, A. Penggunaan obat anti epilepsi dalam klinik, IP Saraf FK UGM, Yogyakarta.2008.

25. Mani J. Combination Therapy in Epilepsy : What, When, How and What Not!.

Supplement to Journal of the association of physicians of india.2013.

26. Camfield P, Camfield C, and Pohlmann-Eden B. Transition From Pediatric to Adult Epilepsy Care: A Difficult Process Marked by Medical and Social Crisis.

American Epilepsy Society. 2012;12(4):13–21.

27. Andarini, I.Hubungan Kepatuhan Pengobatan dengan Remisi Epilepsi pada Anak, Laporan Penelitian Akhir, IP Saraf FK UGM, Yogyakarta. 2007.

28. Modi, A.C., Rausch, J.R., & Glauser, T.A.Patterns of nonadherence to antiepileptic drug therapy in children with newly diagnosed epilepsy, JAMA, 2011: 305 (16).

29. Brodie, M.J., Schachter, M.J., Kwa, P. Fast Fact : Epilepsy. Health Press Oxford, UK. 2005:24-6.

30. Dahlan MS. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel. Jakarta: Penerbit Salemba Medika; 2016;4:93-7.

31. Millul Andrea, Iudice A, Adami M, Porzio R, Mattana F, Beghi E. Alternative monotherapy or add-on therapy in seizures do not respond to the first monotherapy: An Italian multicenter prospective observasional study.

Epilepsy & Behavior; 2013(28) 494-500.

32. Kwan P, Brodie MJ. Early identification of refractory epilepsy. N Engl J Med 2000;342:314-9.

33. Sillanpaa M, Jalava M, Kaleva O, Shinnar S. Long-term prognosis of seizures with onset in chilhood. N Engl J Med 1998;338:1715-22.

34. Chawla S, Aneja S, Kashyap R, Mallika V. Etiology and clinical predictors of intractable epilepsy.Pediatr Neurol.2002;27:186-91.

35. Datta AN, Wirrell EC. Prognosis of seizures occurring in the first year. Pediatr Neurol 2000;22:386-91

36. Andrianti PT. Gunawan PI, Hoesin F. Profil Epilepsi Anak dan Keberhasilan Pengobatannya di RSUD Dr. Soetomo Tahun 2013. Sari Pediatri.

2016;18(1):34-9.

37. Saing J.H. Tingkat pengetahuan, perilaku dan kepatuhan berobat orang tua dari pasien epilepsi anak di Medan. Sari pediatric. 2010: 12(2):103-7

38. Babtain FA. Impact of a FHE on the diagnosis of epilepsy in Southern Saudi Arabia. Seizure 2013;22:542-47

39. Simon Harvey A, Berkovic SF, Wrennall JA, Hopkins LJ. Temporal lobe epilepsy in childhood: clinical, EEG, and neuroimaging findings and syndrome

classification in a cohort with new-onset

seizures. Neurology. 1997;49(4):960–68.

40. Wirrell EC, Grossardt BR, So EL, Nickels KC. A population-based study of long-term outcomes of cryptogenic focal epilepsy in childhood: cryptogenic epilepsy is probably not symptomatic epilepsy. Epilepsia. 2011;52(4):738–45.

1. Ketua Penelitian

Nama : dr. Jovita Silvia Wijaya

Jabatan : Peserta PPDS Ilmu Kesehatan Anak FK-USU/RSHAM

2. Anggota Penelitian

1. dr. Johannes H. Saing, M.Ked(Ped), SpA(K) 2. dr. Bugis Mardina Lubis, M.Ked(Ped), SpA(K) 3. dr. Yazid Dimyati, M.Ked(Ped), SpA(K)

4. dr. Cynthea Prima Destarini, M.Ked(Ped), SpA 5. dr. Scorpicanrus Tumpal Andreas

6. dr. Ratna Suwita Batubara

2. Biaya Penelitian

1. Penyusunan / Penggandaan : Rp. 2.500.000 2. Seminar hasil penelitian : Rp. 3.000.000 Jumlah : Rp. 5.500.000

3. Jadwal Penelitian Kegiatan /

waktu

November – Desember 2017

Desember 2017 - November 2018

Desember – Februari 2019

Persiapan

Pelaksanaan

Penyusunan Hasil Penelitian Penggadaan Laporan

Faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian politerapi obat anti epilepsi pada anak penderita epilepsi

di RSUP H. Adam Malik Medan

Bagian Neurologi Anak FK USU/ RSUP H. Adam Malik saat ini sedang melakukan penelitian faktor – faktor yang mempengaruhi pemberian politerapi obat anti epilepsi pada anak penderita epilepsi.

Latar belakang dilakukannya penelitian ini adalah karena tingginya angka kejadian hubungan kegagalan monoterapi ( 1 macam OAE ) dengan kejadian epilepsi intraktabel ( kegagalan mengontrol kejang dengan lebih dari 2 macam OAE ). Kegagalan fase awal terapi sangat mempengaruhi keberhasilan terapi berikutnya dan prognosis epilepsi. Karenanya identifikasi sedini mungkin sangat penting bagi anak yang mempunyai resiko tinggi

Latar belakang dilakukannya penelitian ini adalah karena tingginya angka kejadian hubungan kegagalan monoterapi ( 1 macam OAE ) dengan kejadian epilepsi intraktabel ( kegagalan mengontrol kejang dengan lebih dari 2 macam OAE ). Kegagalan fase awal terapi sangat mempengaruhi keberhasilan terapi berikutnya dan prognosis epilepsi. Karenanya identifikasi sedini mungkin sangat penting bagi anak yang mempunyai resiko tinggi

Dokumen terkait