• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 2. Tinjauan Pustaka

2.5. Manifestasi Klinis Epilepsi

Manifestasi klinis epilepsi bervariasi tergantung dari neuron hemisfer mana

somatosensorik, psikis, perubahan perilaku, perubahan kesadaran, perasaan panca indra, dan lain-lain.17,19

2.6 Faktor Risiko Epilepsi

Diperkirakan epilepsi disebabkan oleh keadaan yang mengganggu stabilitas neuron-neuron otak yang dapat terjadi pada saat prenatal, perinatal ataupun postnatal. Faktor prenatal dan perinatal saling berkaitan dalam timbulnya gangguan pada janin atau bayi yang dilahirkan yang dapat menyebabkan epilepsi.

Tabel 2.1. Faktor risiko terjadinya epilepsi16

Prenatal Natal Postnatal

a. Umur ibu saat hamil

Diagnosis epilepsi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis (keluhan, riwayat keluarga, riwayat kehamilan, riwayat kelahiran, dan riwayat

perkembangan), pemeriksaan fisik (pemeriksaan neurologis) dan pemeriksaan penunjang, seperti: 22,23

a. Elektroensefalografi ( EEG )

Pemeriksaan EEG tidak sepenuhnya mendukung ataupun menyingkirkan diagnosis epilepsi, kurang lebih 5% pasien tanpa epilepsi mempunyai kelainan EEG berupa aktivitas epilepsi pada rekaman EEG, dan hanya 50% pasien dengan epilepsi memiliki aktivitas epileptiform pada rekaman EEG pertamanya. EEG sangat berperan dalam menegakkan diagnosis epilepsi dan memberikan informasi berkaitan dengan sindrom epilepsi, serta dalam menentukan lokasi atau fokus kejang khususnya pada kasus-kasus kejang fokal.13 b. Magnetic Resonance Imaging ( MRI )

MRI merupakan pemeriksaan pencitraan yang sangat penting pada kasus-kasus epilepsi karena MRI dapat memperlihatkan struktur otak dengan sensitivitas yang tinggi. Gambaran yang dihasilkan oleh MRI dapat digunakan untuk membedakan kelainan pada otak, seperti gangguan perkembangan otak (sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal), tumor otak, kelainan pembuluh darah otak (hemangioma kavernosa) serta abnormalitas lainnya yang dapat menyebabkan epilepsi.. Meskipun MRI memiliki banyak keunggulan, pemeriksaan dengan MRI tidak dilakukan pada semua jenis epilepsi. Pemeriksaan

MRI tidak dianjurkan pada sindrom epilepsi dengan kejang umum karena jenis epilepsi ini biasanya bukan disebabkan oleh gangguan struktural.13

c. Computed Tomography Scan ( CT Scan )

Walaupun CT Scan kepala sering memberikan hasil yang normal pada kebanyakan kasus epilepsi, namun merupakan pemeriksaan penunjang yang cukup penting karena dapat menunjukkan kelainan pada otak seperti atrofi jaringan otak, jaringan parut, tumor dan kelainan pada pembuluh darah otak.13.

Dengan menganalisis faktor-faktor tersebut terutama dengan adanya riwayat bangkitan yang terjadi secara berulang dan tiba-tiba (unprovoked), serta tidak disebabkan oleh suatu proses yang akut, maka diagnosis epilepsi ditegakkan.20

2.8 Tatalaksana Epilepsi

2.8.1 Tatalaksana Medikamentosa

Pengobatan epilepsi merupakan pengobatan jangka panjang. Oleh sebab itu, untuk menjamin keberhasilan terapi diperlukan kerjasama yang baik antara dokter, pasien dan keluarga pasien untuk menjamin kepatuhan berobat.

Pemberian obat anti epilepsi (OAE) harus mempertimbangkan risiko dan manfaat. Faktor akseptabilitas OAE sangat menentukan kepatuhan berobat.

Selain itu, ketersediaan obat secara konsisten dan kontinu juga menjamin keberhasilan terapi.12

Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat penderita epilepsi terbebas dari serangan epilepsinya dengan efek samping yang minimal. Serangan kejang yang berlangsung lama mengakibatkan kerusakan sampai kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila kejang terjadi terus-menerus maka kerusakan sel-sel otak akan semakin meluas dan mengakibatkan menurunnya kemampuan intelegensi penderita. Karena itu, upaya terbaik untuk mengatasi kejang harus dilakukan terapi sedini mungkin. Pengobatan epilepsi dikatakan berhasil dan penderita dinyatakan sembuh apabila serangan epilepsi dapat dicegah atau dikontrol dengan obat-obatan sampai pasien tersebut 2 tahun bebas kejang.24

Prinsip pengobatan epilepsi adalah dimulai dengan monoterapi lini pertama, menggunakan OAE sesuai jenis bangkitan. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping.16,25

Bila kejang tidak dapat dihentikan dengan OAE lini pertama dosis maksimal, mulai pemberian monoterapi lini kedua, apabila monoterapi lini kedua berhasil menghentikan kejang, maka OAE lini pertama diturunkan bertahap (tapering off). Bila terjadi bangkitan saat penurunan OAE line pertama maka kedua OAE tetap diberikan.16,25

Tabel 2.2. Pilihan OAE lini pertama dan kedua.12

Nama Obat Indikasi Dosis

Lini Pertama

Asam valproat Epilepsi umum Epilepsi parsial Absans

Mioklonik

15-40 mg/kg/hari dibagi 2 dosis

Karbamazepin Epilepsi parsial 10-30 mg/kg/hari dibagi 2-3 dosis

20-60 mg/kg/hari dibagi 2-3 dosis

Oxcarbazepine Epilepsi parsial Benign Rolandic epilepsy

10-30 mg/kg/hari dibagi 2-3 dosis

Sekitar 70% epilepsi pada anak akan memberikan respon yang baik terhadap OAE lini pertama atau kedua. Terapi OAE lini kedua harus memiliki mekanisme kerja yang berbeda dengan OAE lini pertama.2,16

Tabel 2.3. Profil Farmakologi OAE16

Obat Mekanisme Kerja Absorpsi (%) Rute Eliminasi Karbamazepin Menghambat

Cepat (100) Metabolisme aktif di hati

Topiramat Mekanisme bervariasi

Lambat (80) Metabolisme di hati

Jika OAE lini pertama dan kedua gagal sebagai monoterapi, peluang untuk mencoba monoterapi lain dalam memberantas kejang sangat kecil, sehingga terapi OAE kombinasi patut dipertimbangkan. Sebelum memulai terapi kombinasi (politerapi), ada beberapa hal yang patut dipertimbangkan yaitu, apakah diagnosis sudah tepat, kepatuhan minum obat sudah baik, dan pilihan dan dosis OAE sudah tepat.2

Apabila kejang tidak dapat dihentikan dengan monoterapi lini kedua pertimbangkan untuk pemberian politerapi (kombinasi 2-3 OAE). Politerapi seharusnya dihindari sebisa mungkin.26 Kegagalan pada penggunaan monoterapi akan menyebabkan penderita jatuh pada epilepsi intraktabel yaitu kegagalan mengontrol kejang dengan lebih dari dua OAE lini pertama dengan rata-rata serangan kejang lebih dari satu kali perbulan selama 18 bulan dan interval bebas kejang tidak lebih dari tiga bulan. Penderita yang mengalami epilepsi intraktabel mempunyai risiko yang lebih besar untuk mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan.26

Tabel 2.4. Kombinasi OAE yang digunakan pada epilepsi intraktabel 16

Kombinasi OAE Indikasi

Valproat + Etosuksimid Bangkitan absence

Karbamazepin + Valproat Bangkitan parsial/ kompleks

Valproat + Lamotrigin Bangkitan parsial/ bangkitan umum Topiramat + Lamotrigin Bangkitan parsial/ bangkitan umum

Penelitian yang dilakukan sebelumnya di Yogyakarta, mendapatkan kaitan antara kejang yang tidak segera terkontrol di awal terapi dengan kemungkinan refrakter terhadap pengobatan. Pada 6 bulan pertama pengobatan, epilepsi dengan kejang sama atau lebih dari 3 kali 31.1% remisi.

Sementara itu, dalam 6 bulan kedua pengobatan, epilepsi dengan kejang sama atau lebih dari 3 kali 18.9% yang akan remisi. Hal tersebut memperlihatkan bahwa kegagalan di fase awal terapi sangat mempengaruhi keberhasilan terapi berikutnya dan prognosis epilepsi.10 Pada hasil penelitian sebelumnya, didapatkan beberapa faktor yang bisa dijadikan sebagai faktor kemungkinan kegagalan monoterapi, antara lain :

1. Frekuensi kejang yang sering

Serangan epilepsi diperkirakan dapat memicu terjadi serangan berikutnya melalui fenomena fasilitasi. Konsep pembentukan epileptogenesis (fokus epileptogenik baru) akibat serangan epilepsi berulang disebut sebagai kindling hypothesis. Bangkitan elektrik pada sebuah fokus primer akan dapat menginduksi daerah sekitarnya sehingga mencetuskan bangkitan paroksismal yang abnormal.9

2. Status epileptikus

Status epileptikus adalah faktor prognostik kegagalan monoterapi. Kejang berkepanjangan dan berulang dapat menyebabkan kerusakan otak akibat pacuan asam amino eksitatorik yang toksik. Model eksperimental

memperlihatkan bahwa kejang buatan yang berkepanjangan dan berulang akan menyebabkan perubahan yang menetap pada neuron di sekitar fokus epileptogenik.9

3. Gangguan neurologis penyerta

Kelainan fungsi neurologis yang menyertai epilepsi, meliputi mikrosefal, makrosefal, gambaran dismorfik dan kondisi yang ditemukan bersamaan dengan onset epilepsi, meliputi gangguan perkembangan, serebral palsi, retardasi mental, gangguan pemusatan perhatian, dan hiperaktivitas dan gangguan belajar. Patofisiologi kelainan neurologis penyerta dalam menyebabkan kegagalan monoterapi melalui adanya lesi struktural pada otak yang menyebabkan farmakoresisten.9

4. Ketidakpatuhan dalam meminum obat.

Kepatuhan merupakan masalah utama karena terapi pada penyakit epilepsi memerlukan waktu yang lama dan kedisiplinan dalam menjalani pengobatan.27 Kejadian ketidakpatuhan pada pengobatan epilepsi telah dilaporkan terjadi pada 58% pasien anak-anak yang baru terdiagnosis epilepsi dan hanya 42% pasien mendekati kepatuhan yang sempurna.28 5. Onset usia

Pada penelitian yang dilakukan di Yogyakarta pada tahun 2008, ditemukan bahwa adanya hubungan yang bermakna antara onset usia kejang dengan terjadinya epilepsi intraktabel, dimana usia yang lebih

muda mempunyai angka kejadian yang lebih besar yaitu 36,2% pada anak dengan usia di bawah 5 tahun dibandingkan dengan anak usia di atas 5 tahun sebanyak 21,3%.10

6. Dosis yang tidak sesuai

Pemberian obat dengan dosis yang tidak sesuai juga dapat menyebabkan kegagalan dalam terapi. Pemberian dengan dosis kurang dapat menyebabkan obat dalam keadaan subterapetik sehingga obat tidak dapat memberikan efek terapi. Pembagian dosis OAE untuk terapi pasien anak dapat dilihat pada tabel berikut.29

Tabel 2.5. Pembagian dosis OAE29

Obat Dosis maintenance

(mg/kg/hari)

Frekuensi pemberian (kali/hari)

Fenitoin 5-15 1-2

Karbamazepin 10-25 2-4

Okskarbazepin 10-50 2-3

Lamotrigin 2-8 1-2

Topiramat 5-9 2

Fenobarbital 4-8 1-2

Valproat 15-40 2-3

Levetiracetam 20-60 2

Selain tatalaksana diatas, ada tatalaksana non-medikamentosa, yaitu diet ketogenik adalah diet dengan kandungan lemak yang tinggi, rendah karbohidrat, dan cukup protein. Diet tersebut menghasilkan energi untuk otak

oksidasi asam lemak. Diet ketogenik dapat diberikan sebagai terapi adjuvant pada epilepsi refrakter dan dapat menurunkan frekuensi kejang, namun perlu diingat, diet ketogenik pada anak usia 6-12 tahun dapat menyebabkan pertumbuhan yang lambat, batu ginjal dan fraktur.12

2.8.2 Tatalaksana Bedah

Tujuan terapi bedah epilepsi adalah mengendalikan kejang dan meningkatkan kualitas hidup pasien epilepsi yang refrakter dengan membuang atau memisahkan seluruh daerah epileptogenik tanpa mengakibatkan risiko kerusakan jaringan otak normal didekatnya. Pasien epilepsi dikatakan refrakter apabila kejang menetap meskipun telah diterapi selama 2 tahun dengan sedikitnya 2 OAE atau jika terapi medikamentosa menghasilkan efek samping yang tidak dapat diterima.25

2.9 Kerangka konseptual

Gambar 2.3. Kerangka Konseptual

EPILEPSI POLITERAPI

USIA ONSET

FREKUENSI KEJANG SETELAH MENDAPAT OAE

RIWAYAT KELUARGA EPILEPSI

KEPATUHAN TERAPI GANGGUAN NEUROLOGIS

PENYERTA JENIS KEJANG

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang untuk mengetahui faktor-faktor pemberian politerapi OAE pada anak dengan epilepsi.

3.2. Tempat dan waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Rawat Jalan Divisi Neurologi Anak RSUP Haji Adam Malik antara bulan November 2017 sampai Oktober 2018.

3.3 Populasi dan Sampel

Populasi target adalah anak dengan epilepsi yang berobat di RSUP Haji Adam Malik. Populasi terjangkau adalah anak dengan epilepsi yang berobat di RSUP Haji Adam Malik dan mendapat OAE pada bulan November 2017 sampai Oktober 2018. Pengambilan sampel pada penelitian ini dengan menggunakan teknik consecutive sampling.

3.4 Perkiraan besar sampel

Perhitungan besar sampel dalam penelitian ini menggunakan rumus sebagai berikut :30

n = besar sampel minimum

P1 = perkiraaan proporsi epilepsi yang mendapat politerapi = 52%31 P2 = perkiraan proporsi epilepsi yang mendapat monoterapi = 78,4%6 P = ½(P1+P2) = odds ratio based on clinical judgement = 0,82 10 Zα = nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada α tertentu

Zß = nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada ß tertentu

Berdasarkan perhitungan besar sample yang akan diteliti, maka besar sampel penelitian ini adalah 38,5 orang = 40 orang untuk masing-masing kelompok.

3.5 Kriteria Inklusi

1. Anak penderita epilepsi usia <18 tahun 2. Mendapat terapi OAE minimal 1 macam obat

3. Mendapat izin dari orang tua atau wali untuk ikut dalam penelitian

3.6 Persetujuan setelah penjelasan / informed consent

Semua subyek penelitian diberi penjelasan mengenai hal yang akan dilakukan dan telah disetujui orangtua sebelum dilakukan wawancara.

3.7 Etika Penelitian

Penelitian ini telah disetujui oleh Komite Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan RSUP Haji Adam Malik.

3.8 Cara Kerja dan Alur Penelitian 3.8.1 Cara Kerja

Anak penderita epilepsi yang memenuhi kriteria inklusi serta bersedia ikut serta dalam penelitian mengisi formulir penelitan. Kemudian dilakukan pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner yang memuat pertanyaan sesuai dengan variabel penelitian.

3.8.2 Alur Penelitian

Gambar 3.1 Alur Penelitian

Anak penderita epilepsi di Poliklinik Neurologi anak RSUP Haji Adam malik

Inklusi Penggunaan OAE

Faktor Risiko:

- Usia onset - Jenis kejang

- Gangguan neurologis penyerta - Riwayat keluarga menderita epilepsi - Kepatuhan terapi

- Frekuensi kejang setelah mendapat OAE Pengumpulan data dengan menggunakan

kuesioner dan rekam medis

3.9 Identifikasi variabel

Variabel bebas Skala

Usia onset kategorik

Jenis kejang kategorik

Gangguan neurologis penyerta kategorik Riwayat keluarga menderita epilepsi kategorik

Kepatuhan terapi kategorik

Frekuensi kejang setelah OAE monoterapi kategorik Variabel tergantung Skala

Terapi OAE kategorik

3.10 Definisi operasional 1. Epilepsi

Kejang berulang dan tanpa provokasi yang terjadi dua kali atau lebih dengan interval waktu lebih dari 24 jam.12 Diagnosis epilepsi ditegakkan oleh dokter spesialis anak subdivisi neurologi Ilmu Kesehatan Anak RSUP Haji Adam Malik. Diagnosis secara klinis dikonfirmasi dengan EEG yang diinterpretasi oleh seorang dokter neurologi anak.

2. Terapi OAE

Terapi OAE dibagi menjadi monoterapi dan politerapi.

- Monoterapi OAE adalah penggunaan obat epilepsi yang diberikan kepada subjek penelitian menggunakan satu jenis obat.

- Politerapi OAE adalah penggunaan obat epilepsi yang diberikan kepada subjek penelitian menggunakan lebih dari satu jenis obat.

3. Usia onset kejang

Usia saat kejang tanpa provokasi pertama kali terjadi.

- Usia saat pertama kali kejang kurang dari 1 tahun - Usia saat pertama kali kejang lebih dari 1 tahun.

4. Jenis epilepsi

Karakteristik epilepsi berdasarkan International League Against Epilepsy (ILAE) 2016 sesuai dengan hasil EEG berupa epilepsi fokal dan epilepsi umum.

5. Gangguan neurologis penyerta

Kelainan fungsi neurologis yang menyertai epilepsi meliputi mikrosefal, makrosefal, gambaran dismorfik, dan kelainan refleks neurologis serta kondisi yang ditemukan bersamaan dengan onset epilepsi, meliputi gangguan perkembangan, serebral palsi, retardasi mental, gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktifitas dan gangguan belajar. Kelainan ini diukur dengan melakukan anamnese, pemeriksaan fisik dan dari rekam medis.

6. Riwayat keluarga menderita epilepsi

Anggota keluarga yang menderita epilepsi, meliputi ayah, ibu, saudara kandung, kakek, nenek, paman, bibi dan sepupu.

7. Kepatuhan terapi

Kepatuhan pasien untuk mendapat pengobatan secara rutin, mengkonsumsi OAE sesuai dosis dan minum obat sesuai anjuran dokter.

Dibagi atas dua kelompok yaitu patuh dan tidak patuh.

8. Frekuensi kejang setelah mendapat OAE monoterapi

Frekuensi serangan kejang setelah pasien mendapat terapi OAE yang pertama.

- Dikatakan sering bila mengalami bangkitan ≥ 5 kali/ bulan setelah mendapat OAE pertama

- Dikatakan jarang bila mengalami bangkitan < 5 kali/ bulan setelah mendapat OAE pertama.

3.11 Pengolahan dan analisa data

Pengolahan data yang terkumpul dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak statistik. Variabel tergantung yaitu penggunaan politerapi OAE dan variabel bebas yaitu onset usia, jenis kejang, jumlah dan frekuensi kejang, gangguan neurologis penyerta, riwayat keluarga menderita epilepsi, kepatuhan terapi dan frekuensi kejang setelah mendapat OAE dalam skala

kategorik akan dianalisis untuk melihat proporsi dan ditampilkan dalam bentuk persentase.

Untuk melihat hubungan masing-masing variabel bebas terhadap variabel tergantungnya dilakukan uji bivariat yaitu uji kai kuadrat, kemudian dilakukan uji analisis regresi logistik ganda untuk melihat hubungan ke enam variabel bebas terhadap varibel tergantung bila hasil uji bivariat bermakna.

Pada analisis ini akan ditentukan prevalence ratio (PR). Nilai PR akan disertai dengan nilai convidence interval 95% (CI 95%). Hasil dinyatakan bermakna dengan nilai p<0.05.

30

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Penelitian dilakukan di poli Neurologi Ilmu Kesehatan Anak RSUP Haji Adam Malik. Terdapat 80 anak penderita epilepsi yang memenuhi kriteria inklusi.

Dari hasil penelitian yang didapatkan dari analisa bivariat, didapatkan satu variabel yang memiliki nilai p<0,05 yang mempengaruhi pemberian politerapi OAE pada anak dengan epilepsi di poli Neurologi SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUP Haji Adam Malik sehingga tidak dilakukan anlisa multivariat. Data karakteristik dasar seluruh pasien epilepsi tertera pada Tabel 4.1. Dalam penelitian ini diperoleh jumlah sampel masing-masing 40 anak untuk monoterapi dan politerapi Berdasarkan onset usia kejang, usia ≥ 1 tahun dijumpai sebanyak 61 (76,25%). Jenis epilepsi umum dijumpai lebih banyak dibandingkan epilepsi fokal yaitu sebanyak 64 (80%). Riwayat keluarga menderita epilepsi tidak ada dijumpai sebanyak 72 (90%). Dan kepatuhan konsumsi obat sebanyak 78 (97,5%) dan sebanyak 2 (2,5%) yang tidak patuh. Frekuensi kejang yang berkurang dijumpai lebih banyak yaitu sebanyak 52 (65%).

Tabel 4.1. Karakteristik subjek penelitian

Jumlah, n (%) Pendidikan orang tua, n (%)

SD Gangguan neurologis penyerta n (%)

Ada Riwayat keluarga epilepsi, n (%)

Ada Tidak ada

8 (10) 72 (90) Kepatuhan konsumsi obat, n (%)

Patuh Tidak patuh

78 (97,5) 2 (2,5 Frekuensi kejang setelah OAE, n (%)

Sering

Kombinasi OAE diberikan pada pasien yang masih dijumpai kejang setelah mendapatkan OAE monoterapi, dimana asam valproat + topiramat dan asam valproat + carbamazepin merupakan obat politerapi yang paling

banyak digunakan yaitu sebanyak 45% dan 37,5%. Lama pemberian monoterapi sebelum menjadi politerapi selama ≤ 6 bulan sebanyak 62,5%.

Tabel 4.2. Karakteristik OAE politerapi

Karakteristik N %

Kombinasi OAE Asam valproat+phenobarbital Asam valproat+carbamazepine Analisis bivariat dilakukan untuk mencari faktor yang berkaitan dengan luaran epilepsi. Hasil analisis univariat masing-masing variabel tertera pada tabel 4.3. Keenam variabel tersebut adalah usia onset > 1 tahun (PR 0,495; IK 0.172-1.428; p=0,189), jenis epilepsi umum (PR 1,889; IK 0.613-5.818;

p=0,264), adanya gangguan neurologis (PR 0,441; IK 0.179-1.084; p=0,072), tidak adanya riwayat keluarga (PR 1,000; IK 0.232-4.310; p=0,644), kepatuhan konsumsi obat (PR 0,487; IK 0.388-0.6128; p=0,494) dan frekuensi kejang setelah mendapat OAE (PR 0,231; IK 0.14-0.379; p=0,000)

Tabel 4.3 Faktor risiko pemberian politerapi pada anak penderita epilepsi Faktor risiko yang mempengaruhi pemberian politerapi adalah usia onset, jenis epilepsi, gangguan neurologis, riwayat eluarga, kepatuhan konsumsi obat dan frekuensi kejang setelah mendapa OAE. Dari faktor tersebut yang bermakna adalah frekuensi kejang setelah OAE dengan p < 0,005 dan PR 0,231 (95% IK).

BAB 5 PEMBAHASAN

Semua pasien yang telah didiagnosa dengan penyakit epilepsi akan mendapatkan obat antiepilepsi yang dipilih secara tepat dengan mempertimbangkan jenis kejang, efektifitas obat, efek samping obat, dan interaksi dari obat yang tersedia.32 Sekitar 50-70% pasien dengan epilepsi yang baru didiagnosis mencapai remisi setelah memulai obat antiepilepsi sebagai pengobatan monoterapi. Bila masih dijumpai kejang, dapat diberikan dua pilihan yaitu monoterapi alternatif (substitusi) atau terapi kombinasi (tambahan), yang umumnya melibatkan penambahan obat kedua ke monoterapi saat ini.31 Sehingga diperlukan identifikasi sedini mungkin bagi anak yang mempunyai risiko tinggi mengalami kegagalan monoterapi.9

Pada hasil penelitian ini didapatkan satu faktor yang bisa dijadikan sebagai faktor risiko pemberian politerapi OAE pada anak dengan epilepsi.

Variabel tersebut adalah frekuensi kejang ≥ 5 kali/ bulan setelah pemberian OAE monoterapi. Penelitian yang dilakukan di Finlandia, menunjukkan respon awal yang baik terhadap terapi merupakan petanda prognosis yang baik. Jika kejang tidak terkontrol di tahun pertama pengobatan setelah didiagnosis, hanya 60% pasien yang mencapai remisi. Kegagalan fase awal

terapi sangat mempengaruhi keberhasilan terapi berikutnya dan prognosis epilepsi.33

Pada penelitian ini, subjek dengan frekuensi kejang ≥ 5 kali/ bulan setelah pemberian OAE monoterapi dalam penelitian ini berpeluang menjadi politerapi sebesar 0,231 kali dengan nilai p = 0,000. Hal ini diduga penyebab kegagalan monoterapi melalui mekanisme pembentukan fokus epileptogenik baru. Serangan epilepsi diperkirakan dapat memicu terjadi serangan berikutnya melalui fenomena fasilitasi. Konsep pembentukan epileptogenesis (fokus epileptogenik baru) akibat serangan epilepsi berulang disebut sebagai kindling hypothesis.9

Penelitian di Indiadan studi prospektif tentang prognosis kejang yang terjadi pada tahun pertama kehidupan.34 Penelitian di Kanada menemukan bahwa 38% dari 40 anak dengan serangan kejang pada tahun pertama kehidupan memiliki kejang yang sulit terkontrol pada pemantauan selanjutnya. Prognosis pada anak yang datang dengan kejang tanpa demam pada tahun pertama kehidupan sering buruk karena dalam banyak kasus, kejang mencerminkan kelainan otak serius yang mendasarinya.35 Penelitian yang dilakukan di Bali mendapatkan hasil kejadian epilepsi paling banyak ditemukan pada anak dengan onset usia di bawah 1 tahun.3 Hasil ini berbeda dengan hasil pada penelitian ini, dimana pada penelitian ini didapatkan hasil dengan onset usia yang paling banyak adalah > 1 tahun. Hasil serupa

dijumpai pada penelitian di Surabaya36, hal ini disebabkan oleh karena populasi yang digunakan pada penelitian kami adalah kasus rumah sakit bukan populasi komunitas.

Pada bayi dengan kejang, perkembangan saraf yang abnormal dapat terjadi oleh karena kelainan struktural otak, bukan karena serangan kejang berulang seperti pada kebanyakan pasien, namun dapat juga terjadi secara bersamaan dengan penyebab gejala kejang akut, seperti infeksi sistem saraf pusat, trauma, atau gangguan pembuluh darah. Cedera otak akibat kejang berulang diyakini sangat jarang terjadi, bahkan dengan status epileptikus yang berkepanjangan.35

Pada penelitian ini, gangguan neurologis penyerta tidak menjadi faktor risiko pemberian politerapi OAE. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Yogyakarta9 menemukan bahwa adanya kelainan penyerta menyebabkan kegagalan monoterapi melalui adanya lesi struktural pada otak yang menyebabkan farmakoresisten. Namun hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian di Yogyakarta yang melaporkan adanya kelainan penyerta tidak merupakan prediktor kuat untuk terjadinya epilepsi refrakter.10 Hal ini mungkin disebabkan adanya kelainan penyerta yang variasinya sangat luas, seperti gangguan perkembangan, retardasi mental, gangguan pemusatan perhatian, hiperaktifitas, gangguan belajar, dan

lain – lain. Dan setiap kelainan penyerta tersebut tidak harus disertai dengan adanya kelainan struktural pada otak.

Peran keluarga sangat penting dalam proses penyesuaian diri anak maupun keluarga terhadap penyakit kronis. Pemahaman pasien dan orangtua tentang manfaat dan pentingnya obat – obat yang diberikan serta tingkat pendidikan merupakan hal penting yang mempengaruhi kepatuhan berobat. Oleh karena itu dokter anak perlu mengetahui tingkat pengetahuan pasien dan orangtua serta menentukan apakah ada kesalahan informasi atau perbedaan sudut pandang.

Pada penelitian yang dilakukan di Medan, ditemukan hasil dengan skor tingkat pengetahuan orang tua yang rendah yaitu dengan rerata 6,73 (±

2,31) dimana paling banyak merupakan tamatan SMU sebesar 47,7%.

Sebanyak 79.4% menyatakan rutin/ selalu membawa anaknya berobat ke dokter.37 Hasil ini serupa dengan hasil penelitian ini dimana tingkat kepatuhan

Sebanyak 79.4% menyatakan rutin/ selalu membawa anaknya berobat ke dokter.37 Hasil ini serupa dengan hasil penelitian ini dimana tingkat kepatuhan

Dokumen terkait