• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Kerangka Konsep

6.1 Kontribusi sikap, norma subjektif, persepsi atas

kontrol perilaku, dan niat orang tua/pengasuh terhadap perilaku orang tua

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Permohonan Menjadi Informan Lampiran 2 Persetujuan Menjadi Informan

Lampiran 3 Pedoman Wawancara Orang tua/pengasuh Lampiran 4 Pedoman Wawancara pengurus yayasan Lampiran 5 Verbatim

Lampiran 6 Matriks Wawancara Lampiran 7 Matriks Observasi

1.1Latar Belakang

AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus). AIDS merupakan penyakit yang sangat berbahaya, karena mempunyai Case Fatality Rate 100% dalam waktu 5 – 20 tahun, artinya dalam waktu 5 – 20 tahun setelah terdiagnosa AIDS semua penderita akan meninggal (Depkes, 2000). Menurut Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL), pada laporan triwulan hingga bulan Juli 2012 kasus AIDS sebesar 5,2% kasus terjadi pada anak usia 0 – 14 tahun.

Kasus HIV/AIDS pada anak tidak bisa dianggap remeh karena menurut Saloojee dan Violari (2001), terdapat perbedaan perjalanan penyakit pada anak dan dewasa. Progresifitas penyakit HIV pada anak lebih cepat dibandingkan dengan orang dewasa. Menurut Tindyebwa, dkk (2011), lebih dari 280.000 anak dengan usia kurang dari 15 tahun meninggal karena AIDS pada tahun 2008. Memburuknya status gizi merupakan resiko tertinggi dari penyakit HIV/AIDS. Kehilangan berat badan dan keadaan kurang gizi mempengaruhi perkembangan penyakit, meningkatkan kesakitan dan mengurangi usaha tubuh untuk melawan penyakit karena melemahnya imunitas disebabkan oleh malnutrisi (Hsu, 2006).

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada Februari 2013 oleh peneliti kepada sepuluh anak yang terinfeksi HIV, kesepuluh anak tersebut

memiliki konsumsi energi yang kurang dari yang dianjurkan. Melihat hal tersebut, perlu kiranya melihat bagaimana perilaku orang tua/ pengasuh dalam memberikan makanan kepada anak yang terinfeksi HIV. Kurangnya asupan gizi yang terjadi pada anak dengan HIV/AIDS tidak lepas dari perilaku pemberian makan atau pola makan orang tua dan keluarga. Menurut Almatsier (2011), orang tua/ pengasuh/ saudara mempengaruhi ketersedian makan, pengetahuan gizi, harapan dan jumlah makanan yang hendak dimakan, serta kandungan zat gizi dari makanan yang ditawarkan.

Salah satu perilaku pemeliharaan kesehatan adalah perilaku gizi, dimana terjadi suatu respons seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan makanan dan minuman (Skiner dalam Notoatmodjo, 2007). Menurut Gibney dkk (2009), salah satu teori yang telah digunakan secara luas dalam penelitian pemilihan makanan adalah theory reasoned action yang telah dikembangkan menjadi theory of planned behavior. Theory of planned behavior

digunakan untuk meramalkan dan memahami pengaruh-pengaruh motivational terhadap perilaku yang bukan dibawah kendali atau keinginan inidividu sendiri (Achmat, 2010). Salah satu penelitian di bidang kesehatan yang didasarkan pada TPB telah digunakan pada penelitian untuk menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku konsumsi makanan berserat pada mahasiswa FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang dilakukan oleh Farhatun (2012). Hasil dari penelitian ini didapatkan bahwa persepsi atas kontrol perilaku

memiliki kontribusi paling besar diantara variabel Theory of planned behavior

Menurut Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) (2003), LSM memiliki peran penting dalam penanggulangan HIV-AIDS di Indonesia karena dapat menjangkau orang-orang dan kelompok dengan kebutuhan khusus antara lain kelompok remaja, agama, wanita, profesi, ODHA yang biasanya sulit terjangkau oleh pemerintah. Salah satu LSM yang mendampingi anak terinfeksi HIV-AIDS adalah Yayasan Tegak Tegar. Wilayah Jakarta Timur merupakan salah satu wilayah yang menjadi cakupan pendampingan Yayasan Tegak Tegar. Tercatat 17 anak terinfeksi HIV yang berdomisili di wilayah Jakarta Timur yang menjadi anggota di Yayasan Tegak Tegar.

Berdasarkan Laporan Perkembangan HIV-AIDS, Triwulan II, Tahun 2012, dapat dilihat bahwa Jakarta Timur memiliki jumlah kasus HIV terbesar kedua diantara 5 wilayah Jakarta lainnya dengan 417 kasus HIV. Jakarta Timur juga daerah yang memiliki layanan konseling dan tes HIV terbanyak diantara 5 wilayah Jakarta lainnya dengan jumlah 13 tempat pelayanannya yang terdiri dari rumah sakit, puskesmas, puskesmas cabang dan PKBI.

Penelitian untuk mengetahui perilaku orang tua/ pengasuh dalam pemberian makan kepada anak HIV belum pernah dilakukan sebelumnya. Padahal berdasarkan studi pendahuluan yang pernah dilakukan, sepuluh anak yang menjadi sampel memiliki keterpenuhan asupan gizi yang kurang. Sedangkan kasus HIV-AIDS pada anak tidak bisa diremehkan karena keadaan kurang gizi mempengaruhi perkembangan penyakit. Untuk itu, anak dengan HIV-AIDS memerlukan asupan lebih dari anak yang tidak terinfeksi. Keterpenuhan asupan makan ini tidak lepas dari pengaruh orang tua/pengasuh. Berdasarkan hal

tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang melandasi perilaku orang tua/ pengasuh dalam pemberian makanan bergizi kepada anak terinfeksi HIV. Untuk mengetahui latar belakang perilaku orang tua/pengasuh tersebut, peneliti menggunakan theory of planned behavior.

1.2Rumusan Masalah

Pada anak terinfeksi HIV, kehilangan berat badan dan keadaan kurang gizi sangat mempengaruhi dalam perkembangan penyakit, peningkatan kesakitan dan penurunan usaha tubuh untuk melawan penyakit karena melemahnya imunitas. Salah satu faktor yang mempengaruhi keterpenuhan gizi anak adalah perilaku orang tua/pengasuh dalam memberikan makanan bergizi kepada anak terinfeksi HIV. Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan, diketahui bahwa sepuluh anak terinfeksi HIVyang menjadi sampel memiliki asupan gizi yang kurang dari Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang melandasi perilaku orang tua/ pengasuh dalam memberikan makan kepada anak dengan HIV menggunakan theory of planned behavior yang merupakan teori perilaku tingkat intrapersonal atau individual.

Penggunaan theory of planned behavior ini karena teori ini dikembangkan untuk memprediksi perilaku-perilaku yang tidak di bawah kendali individu atau memahami pengaruh-pengaruh motivational terhadap perilaku yang bukan dibawah kendali atau kemauan individu sendiri.

1.3Pertanyaan Penelitian

1.Bagaimana gambaran perilaku pemberian makanan bergizi pada anak terinfeksi HIV?

2.Bagaimana gambaran sikap pemberian makanan bergizi pada anak terinfeksi HIV ?

3.Bagaimana gambaran norma subjektif pemberian makanan bergizi pada anak terinfeksi HIV ?

4.Bagaimana gambaran persepsi kontrol perilaku pemberian makanan bergizi pada anak terinfeksi HIV ?

5.Bagaimana gambaran niat pemberian makanan bergizi pada anak terinfeksi HIV ?

1.4Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Didapatkannya gambaran mengenai perilaku serta faktor yang melandasi perilaku pemberian makanan bergizi yang dilakukan oleh orang tua/ pengasuh kepada anak terinfeksi HIV di Yayasan Tegak Tegar wilayah Jakarta Timur dengan mengunakan theory of planned behavior.

1.4.2 Tujuan Khusus

1.Diketahuinya gambaran perilaku pemberian makanan bergizi pada anak terinfeksi HIV.

2.Diketahuinya gambaran sikap pemberian makanan bergizi pada anak terinfeksi HIV.

3.Diketahuinya gambaran norma subjektif pemberian makanan bergizi pada anak terinfeksi HIV.

4.Diketahuinya gambaran persepsi kontrol perilaku pemberian makanan bergizi pada anak terinfeksi HIV.

5.Diketahuinya gambaran niat pemberian makanan bergizi pada anak terinfeksi HIV.

1.5Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Bagi Institusi (Yayasan Tegak Tegar)

a. Memberikan informasi tentang faktor-faktor yang melandasi terbentuknya perilaku pemberian makanan bergizi pada anak terinfeksi HIV/AIDS berdasarkan theory of planned behavior.

b. Hasil analisa penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam pengambilan keputusan oleh pihak terkait.

1.5.2 Manfaat Bagi Peneliti Selanjutnya

a. Memperoleh wawasan dan pengetahuan baru dalam ilmu kesehatan masyarakat, khususnya masalah gizi pada anak yang terinfeksi HIV.

b. Sebagai bahan untuk penelitian lanjutan dan dapat dijadikan data pembanding pada penelitian dengan topik yang sama.

1.6Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai perilaku serta faktor yang melandasi terbentuknya perilaku orang tua/ pengasuh dalam memberikan makanan bergizi

pada anak terinfeksi HIV/AIDS menggunakan theory of planned behavior. Penelitian dilakukan pada bulan April – Oktober 2013.

Pengambilan data primer dari beberapa sumber informan dengan teknik wawancara mendalam serta observasi pada orang tua/ pengasuh yang mempunyai anak terinfeksi HIV yang berdomisili di Jakarta Timur. Penelitian ini menggunakan instrument penelitian berupa pedoman wawancara semistruktur sesuai dengan theory of planned behavior serta food recall 24 jam dan pedoman observasi.

2.1Pengertian HIV-AIDS 2.1.1 Pengertian HIV

Human Immunodeficiency Syndrome (HIV) adalah retrovirus yang termasuk golongan virus RNA (Ribonucleic Acid) dimana virus menggunakan RNA sebagai molekul pembawa informasi genetik. Disebut retrovirus karena memiliki enzim reverse trancriptase, sehingga memungkinkan virus mengubah informasi genetiknya yang berada dalam RNA ke dalam bentuk DNA (Deoxyribonucleic Acid) yang kemudian diintegrasikan ke dalam informasi genetik sel limfosit yang diserang. Dengan demikian HIV dapat memanfaatkan mekanisme sel limfosit untuk mengkopi dirinya menjadi virus baru yang mempunyai ciri- ciri HIV (Depkes, 2006).

Virus ini menyerang sistem imun manusia yaitu menyerang limfosit T helper yang memiliki reseptor CD4 di permukaannya. Limfosit T memiliki fungsi sebagai penghasil zat kimia yang berperan sebagai perangsang pertumbuhan dan pembentukan sel-sel lain dalam sistem imun dan pembentukan antibodi. Sehingga jika virus sudah menyerang limfosit T, yang terganggu bukan hanya fungsi limfosit T tetapi juga limfosit B, monosit, makrofag dan sebagainya.

2.1.2 Pengertian AIDS

Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus HIV. Penderita infeksi HIV dinyatakan sebagai penderita AIDS ketika menunjukan gejala atau penyakit tertentu yang merupakan akibat penurunan daya tahan tubuh yang disebabkan virus HIV atau tes darah yang menunjukan jumlah CD4 < 200/mm3 (Depkes, 2006). Berdasarkan pedoman terapi ARV tahun 2011, ODHA tanpa gejala klinis (stadium klinis 1) dan belum pernah mendapatkan ARV dianjurkan mulai menjalani terapy ARV bila jumlah CD4 ≤ 350 sel/mm3

.

Orang dengan HIV akan mengalami fase dimana tidak ada gejala penyakit dan penderita tampak sehat sehingga dapat melakukan aktivitas fisik secara normal namun dapat menularkan virus kepada orang lain. Fase ini disebut fase asimtomatik. Setelah melalui fase tanpa gejala, memasuki fase simtomatik, akan timbul gejala- gejala pendahuluan seperti demam, pembesaran kelenjar limfa, yang kemudian diikuti oleh infeksi oportunistik. Dengan adanya infeksi oportunistik maka perjalanan penyakit telah memasuki stadium AIDS. Fase simtomatik ini rata- rata berlangsung selama 1,3 tahun yang berakhir dengan kematian (Kemenkes, 2011).

Sampai saat ini masih belum ditemukan obat untuk menyembuhkan penyakit HIV. Namun sudah ditemukan obat yang dapat menghambat perkembangbiakan HIV. Pengobatan ARV ini terbukti bermanfaat memperbaiki kualitas hidup, menjadikan infeksi oportunistik menjadi lebih

jarang ditemukan dan lebih mudah diatasi sehingga menekan morbiditas dan mortalitas dini (Depkes, 2006).

2.2HIV-AIDS pada Anak

Kasus AIDS pada anak pertama kali dilaporkan ke Center for Disease Control and Prevention (CDC) pada tahun 1982. Dilaporkan hampir 9.000 anak dengan usia di bawah 13 tahun menderita AIDS dan 5.000 anak kurang dari 15 tahun meninggal karena AIDS. Sebesar 91% kasus AIDS pada anak disebabkan oleh perinatal transmission dan hampir menjadi penyebab terjadinya kasus baru HIV pada anak (King, dkk, 2004). Presentase penularan HIV dari ibu ke bayi cukup besar yaitu 25 – 45%. Selama masa kehamilan, persalinan dan pemberian ASI sampai 24 bulan memiliki resiko penularan HIV sebesar 30 – 45% (Hasnawaty, 2011).

Terdapat perbedaan perjalanan penyakit HIV pada anak dan orang dewasa. Anak dengan HIV memiliki progresivitas penyakit HIV lebih cepat dibandingkan orang dewasa, anak juga memiliki jumlah virus lebih banyak dibandingkan dengan orang dewasa, infeksi oporunistik juga sering muncul sebagai penyakit primer dengan perjalanan penyakit yang lebih agresif karena berkurangnya sistem imunitas tubuh (Saloojee & Violari, 2001).

Pada anak HIV, lazim ditemukan abnormalitas metabolisme dan pertumbuhan. Sejumlah penelitian yang dilakukan pada anak-anak di Amerika dan Afrika menunjukan bahwa, pertumbuhan yang buruk menjadi indikator perkembangan penyakit dan menjadi faktor resiko terjadinya kematian. Sehingga

penting bagi anak HIV untuk mempertahankan kondisi tubuh mereka dari keparahan penyakit dengan mengonsumsi zat gizi penting (Arpadi, 2005).

2.3Gizi Anak

Masa yang terentang antara usia satu tahun sampai remaja boleh dikatakan sebagai periode laten karena pertumbuhan fisik berlangsung tidak sedramatis ketika masih berstatus bayi. Di tahun pertama kehidupan, panjang bayi bertambah 50%, tetapi tidak berlipat setelah usia bertambah sampai 4 tahun (Arisman, 2009). Kondisi yang khas dan permasalahan pada anak usia 3-5 tahun adalah anak mulai ingin mandiri. Dalam hal makanan pun anak usia ini bersifat sebagai konsumen aktif. Artinya, mereka dapat memilih dan menentukan sendiri makanan yang ingin dikonsumsi. Pada usia ini kerap terjadi anak menolak makanan yangtidak disukai dan hanya mau mengonsumsi makanan favoritnya. Aktivitas bermain juga kadang membuat anak menunda waktu makan. Jika orang tua tidak memperhatikan, bisa saja anak baru minta makan menjelang waktu tidur saat ia telah lelah beraktivitas seharian dan baru merasa lapar. Padahal, usia balita cukup rawan karena pertumbuhan dan perkembangan diusia ini akan menentukan perkembangan fisik dan mental anak diusia remaja dan ketika dewasa (Kurniasih, 2010). Arisman (2009) menambahkan, perkembangan mental anak dapat dilihat dari kemampuannya mengatakan “tidak” terhadap makanan yang ditawarkan.

Pada banyak penelitian dilaporkan bahwa pada usia ini anak hanya mau makan satu jenis makanan selama berminggu-minggu.

Menginjak kelompok usia selanjutnya, 6-9 tahun, anak mulai memiliki aktivitas di luar rumah lebih banyak. Seperti sekolah, bermain, olah raga, dan lain sebagainya sehingga anak memerlukan energi lebih banyak. Waktu yang lebih banyak digunakan bersama teman dapat mempengaruhi jadwal makan anak, bahkan terhadap pola makannya. Sehinga pada usia ini pola makan anak masih peru diperhatikan karena gizi yang baik pada usia sekolah menjadi landasan bagi ststus gizi, kesehatan dan stamina optimal pada usia selanjutnya.

Usia 10-15 tahun dikenal dengan masa pertumbuhan cepat, tahap pertama dari serangkaian perubahan menuju kematangan fisik dan seksual. Selain itu, cirri-ciri sek sekunder semakin tampak, serta terjadi perubahan yang signifikan dalam kematanan psikologis dan kognitif. Dengan cirri spesifik itu, kebutuhan energi dan zat gizi di usia remaja ditujukan untuk deposisi jaringan tubuhnya. Seiring dengan meningkatnya aktivitas fisik, remaja umumnya mempunyai nafsu makan lebih besar sehingga sering mencari makanan tambahan, misal jajan diluar waktu makan. Remaja pun menyukai makanan yang padat energi, yaitu manis dan berlemak (Kurniasih, 2010).

2.3.1 Masalah Gizi Anak

Masalah gizi anak secara garis besar merupakan dampak dari ketidakseimbangan antara asupan dan keluaran zat gizi, yaitu asupan yang melebihi keluaran atau sebaliknya, disamping kesalahan dalam memilih bahan makanan untuk disantap. Buah dari ketergangguan ini utamanya berua penyakit kronis, berat badan lebih atau kurang, pica, karies dentis, serta alergi (Arisman, 2009).

Menurut Novita (2011), masalah kesehatan yang muncul pada fase anak-anak misalnya, kesulitan anak untuk makan karena terobsesi ingin main, asupan gizi yang tidak seimbang, rentannya fisik anak, dan ancaman keracunan akibat dari kebiasaan makan di luar. Pertumbuhan dan perkembangan fisik dan sosial anak dibaca sebagai bagian dari peran nyata orang tua dalam memberikan pelayanan kepada anak-anaknya. Seorang anak yang kurang gizi, sesungguhnya menjadi bukti lemahnya peran orang tua dalam memberikan asupan yang seimbang dan berkualitas.

Kurniasih (2010) dalam hal ini menyarankan orang tua untuk kreatif

“membujuk” anak agar mau makan makanan bervariasi dan bergizi sesuai

kebutuhannya. Orang tua disarankan memperkenalkan beraneka ragam makanan sejak dini kepada anak. Orang tua juga dianjurkan untuk mencukupi kebutuhan akan camilan sehat di rumah. Selain sehat, makanan dari rumah juga terjamin lebih sehat dan aman.

2.4Gizi Anak HIV-AIDS

2.4.1 Kebutuhan Gizi Anak HIV dan Fungsi Zat Gizi untuk Anak HIV Berdasarkan WHO (2003), asupan gizi yang cukup adalah cara yang dapat dicapai dengan mengkonsumsi asupan makanan yang sehat dan seimbang. Hal ini penting untuk kesehatan dan kelangsungan hidup semua individu tanpa memperhatikan status HIV.

Secara substansial, pangan yang dikonsumsi setiap hari terdiri atas protein, karbohidrat, lemak serta alkohol yang dioksidasi untuk menghasilkan

energi. Protein, karbohidrat dan lemak, tentu saja sangat heterogen, dan

tampaknya campuran dari ‘bahan bakar’ ini mempengaruhi fungsi jangka

panjang manusia (Siagian, 2010).

Energi dibutuhkan lebih banyak pada penderita HIV guna menjaga berat badan dan aktivitas fisik juga pertumbuhan. Kebutuhan energi untuk anak HIV lebih besar 10% dari anak yang tidak terinfeksi HIV. Bahkan untuk anak yang mengalami penurunan berat badan dibutuhkan tambahan asupan energi sebesar 50 – 100% dari asupan energi untuk anak tanpa HIV.

Karbohidrat merupakan salah satu sumber energi yang memiliki peranan utama sebagai penyedia glukosa bagi sel-sel tubuh yang kemudian diubah menjadi energi. Jaringan tertentu hanya memperoleh energi dari karbohidrat seperti sel darah merah serta sebagian besar otak dan sistem saraf. Satu gram karbohidrat menghasilkan 4 Kkal energi. Kekuranga asupan karbohidrat selain menyebabkan kurangnya asupan energi, kekurangan karbohidrat juga menyebabkan pertumbuhan terganggu, ketidakseimbangan natrium, PH cairan tubuh menurun dan dehidrasi (Almatsier, 2009).

Zat gizi penting lainnya dalah protein. Protein merupakan bagian terbesar tubuh sesudah air. Semua enzim, berbagai hormon, pengangkut zat gizi dan darah, matriks intraseluler dan sebagainya adalah protein. Protein mempunyai fungsi khas yang tidak dapat digantikan oleh zat gizi lain, yiatu membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh.fungsi protein lainnya yang sangat penting adalah pembentukan antibodi. Tinginya tingkat kematian pada anak-anak yang menderita gizi kurang kebanyakan disebakan

oleh menurunnya daya tahan tubuh terhadap infeksi karena ketidakmampuannya membentuk antibodi dalam jumlah yang cukup (Almatsier, 2009).

Asupan protein untuk penderita HIV lebih besar dibandingkan dengan mereka yang tidak terinfeksi. Sebesar 12 – 15% protein dibutuhkan dari total asupan energi yang dibutuhkan. Sedangkan untuk asupan lemak, belum ada penelitian bahwa ada tambahan asupan lemak untuk penderita HIV.

Zat gizi penting penghasil energi lainnya adalah lemak. 1 gram lemak menghasilkan 9 Kkal energi. Sebagai simpanan lemak, lemak merupakan cadangan energi tubuh paling besar. Simpanan lemak ini berasal dari konsumsi karbohidrat, protein dan lemak yang berlebihan. Selain sebagai sumber energi terbesar, lemak memiliki fungsi memelihara suhu tubuh, sebagai alat angkut vitamin larut lemak, dan pelindung organ tubuh (Almatsier, 2009).

Meskipun menurut WHO (2003), belum ada penelitian yang menyatakan lemak dibutuhkan lebih oleh orang yang terinfeksi HIV namun, lemak dibutuhkan untuk mereka yang sedang menjalani terapi antiretroviral atau mengalami diare berkepanjangan. Menurut Almatsier (2004), lemak yang dibutuhakan untuk penderita HIV adalah dalam jumlah yang cukup yaitu 10-25% dari kebutuhan energi total. Jenis lemak disesuaikan dengan toleransi pasien.

Selain asupan zat gizi makro, zat gizi mikro juga perlu diperhatikan guna pengobatan dan menjaga kondisi penderita HIV. Sebuah penelitian

menyarankan penambahan asupan beberapa vitamin untuk meningkatkan imunitas, seperti vitamin B kompleks, vitamin C dan E. Menurut Almatsier (2004), syarat diet HIV-AIDS membutuhkan vitamin dan mineral tinggi yaitu 1 ½ kali (150%) Angka Kecukupan Gizi (AKG), terutama vitamin A, B12, C,

E, folat, kalsium, magnesium, seng dan selenium.

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa pemenuhan asupan gizi dapat membantu anak terinfeksi HIV dengan status gizi kurang dalam penyembuhan dari diare akut (Arpadi, 2005).

Menurut Arpadi (2011) , asupan gizi yang baik merupakan kunci dari gaya hidup yang sehat untuk anak dengan HIV/AIDS. Asupan gizi yang optimal akan membantu mendorong fungsi imunitas, memaksimalkan terapi Antiretroviral mengurangi resiko terkena penyakit kronis, serta membantu untuk mewujudkan kualitas hidup yang lebih baik (Jama, 2010).

2.4.2 Masalah Gizi pada Anak HIV

Menurut Arpadi (2005), abnormalitas pada pertumbuhan dan metabolisme sangat lazim terjadi pada anak yang terinveksi HIV. Lambatnya pertumbuhan adalah manifestasi awal dari infeksi HIV pada anak yang akan mempengaruhi kelangsungan hidup anak dengan HIV tersebut.

Terlambatnya pertumbuhan dan berkurangnya massa lemak bebas sangat signifikan mempengaruhhi kelangsungan hidup. Kegagalan atau terlambatnya pertumbuhan pada anak HIV seringkali disebabkan oleh penyakit dan keadaan sekuder yang menyertai infeksi HIV. Penyebab

sekunder dari infeksi HIV adalah asupan makan yang tidak mencukupi, diare, dan anemia. Penyebab sekunder dari gagalnya pertumbuhan ini sebenarnya dapat dicegah, dibalik atau dikembalikan, serta didiubah atau dibatasi namun memang rumit.

Infeksi gastrointestinal adalah hal yang biasa terjadi pada anak yang menderita kurang gizi dan keterlambatan pertumbuhan. Infeksi gastrointestinal ini juga sangat berperan menyebabkan lambatnya pertumbuhan pada anak HIV. Anak yang terinfeksi HIV terlihat sangat mudah diserang atau rentan terhadap penyakit diare (Arpadi, 2005).

2.5Pengaruh Orang Tua/ Pengasuh Terhadap Asupan Gizi Anak

Menurut Almatsier (2011), salah satu faktor yang mempengaruhi pemilihan makan pada anak adalah pengaruh orang tua, pengasuh dan saudara. Ketiganya dapat mempengaruhi ketersediaan makan, pengetahuan gizi, kandungan zat gizi makanan yang ditawarkan, gaya dan kecepatan makan, harapan dan model/jumlah makanan yang hendak dimakan, dan penggunaan makanan yang tidak bergizi.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Fatimah (2008), disimpulkan bahwa faktor yang memiliki kontribusi terhadap gizi kurang pada anak adalah riwayat penyakit infeksi, tingkat pengetahuan ibu yang kurang dan tingkat sosial ekonomi yang rendah, dan asupan zat gizi yang kurang. Pengetahuan orang tua terutama terhadap gizi sangat berpengaruh terhadap tingkat kecukupan gizi yang diperoleh anak. Hal ini bekaitan dengan kandungan makanan, cara pengolahan

Dokumen terkait