• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdasarkan tujuan penelitian yang telah ditetapkan, maka perlu dirumuskan kerangka penelitian untuk menjelaskan tahapan-tahapan penelitian yang akan dilakukan. Tahap awal penelitian dimulai dari melakukan penelaahan teori yang berkaitan dengan sektor kehutanan yaitu sumberdaya hutan, manfaat ekonomi hutan baik yang telah dihitung dan atau dipasarkan maupun yang belum dihitung. Dari hasil telaahan teori tersebut dapat diketahui seberapa besar kontribusi sektor kehutanan dalam pendapatan atau perekonomian regional/wilayah. Dalam penghitungan manfaat ekonomi hutan terdapat hasil- hasil yang dihitung atau dimasukkan ke perhitungan pendapatan sektor non kehutanan.

Disamping itu dalam teori sumberdaya hutan dapat diketahui manfaat non ekonomi yang menjadi potensi sebagai sumber pendapatan wilayah dimasa yang akan datang, juga terdapat potensi sumber pendapatan yang hilang akibat faktor alam maupun faktor manusia misalnya erosi, ilegal logging, ilegal trading dan sebagainya. Potensi manfaat hutan yang belum terhitung maupun yang hilang tersebut akan menjadi sumber kebocoran pendapatan wilayah. Sumber kebocoran tersebut dapat berasal dari faktor produksi yang tidak dimanfaatkan dan faktor produksi yang hilang karena sulit perhitungannya. Mengingat bahwa pada suatu sektor memiliki beberapa faktor produksi maka kebocoran sektor maka akan langsung berpengaruh pada bocornya pendapatan wilayah. Kebocoran sektor tertentu dalam kegiatan perekonomian tidak akan berdiri sendiri, melainkan

terkait dengan sektor-sektor lain sehingga pengaruh kebocoran pada suatu sektor mungkin akan berdampak yang besar pada perubahan nilai sektor lain.

Dampak Distribusi K esejahteraan pada

Masyarakat

Gambar 7. Kerangka Pemikiran Penelitian Telaah Teori MODEL I-O DAN SNSE Analisis Kebijakan Simulasi Model Peranan Ekonomi Kehutanan di Wilayah dan Implikasi Kebijakan MANFAAT EKONOMI KEBOCORAN EKONOMI WILAYAH SUMBERDAYA HUTAN DAN KEHUTANAN MANFAAT NON EKONOMI TERHITUNG UNDERVALUE HASIL VALUASI MANFAAT HUTAN Data /Informasi sekunder dan Penelitian Lapangan KONTRIBUSI PEREKONOMIAN WILAYAH Sektor Kehutanan

Sektor Non Kehutanan

REKOMENDASI PENELITIAN BELUM TERHITUNG KEBOCORAN SEKTOR Aplikasi Hasil valuasi

Oleh karena itu dalam menghitung kebocoran pendapatan yang berasal dari sektor tertentu harus menggunakan metode yang bersifat sistemik, yaitu ketergantungan dan keterkaitan antara sektor sangat besar. Dengan menggunakan hasil-hasil valuasi manfaat hutan secara lengkap dan dengan masukan data sekunder maupun primer yang diolah dengan Model Input-Output dan Sistem Neraca Sosial Ekonomi akan diketahui jumlah dan dampak manfaat ekonomi sektor kehutanan secara keseluruhan.

Melalui simulasi model dan analisis kebijakan maka akan dapat diajukan rekomendasi penaggulangan kebocoran pendapatan wilayah yang bersumber dari sektor kehutanan. Uraian tersebut di atas dapat dilihat pada Gambar 7.

3.3. Kebocoran Ekonomi dari Sektor Kehutana n

Kebocoran ekonomi (leakage) adalah aliran pendapatan suatu wilayah atau suatu sektor yang keluar ataupun hilang dari siklus pendapatan yang bersangkutan. Berdasarkan pola pendapatan dan pernelanjaan oleh Blair (1991) bahwa kebocoran ekonomi sebagaimana Gambar 8.

Sumber : Balir – dimodifikasi (1991)

Gambar 8. Pola kebocoran ekonomi

Kebocoran ekonomi hutan adalah suatu nilai ekonomi yang keluar dari siklus pendapatan sektor kehutanan di suatu wilayah tertentu. Pendapatan

Usaha Sektor Kehutanan Pendapatan Wilayah Bocor Bocor

tersebut berasal dari manfaat ekonomi hutan yang berupa penerimaan hasil hutan baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Sedangkan kebocoran ekonomi hutan dapat bersumber dari manfaat ekonomi maupun manfaat non ekonomi Disamping itu kebocoran ekonomi juga dapat berupa nilai ekonomi kegiatan deforestasi misalnya perambahan lahan hutan dan konversi lahan hutan untuk keperluan non kehutanan, pengurangan kapasitas hutan yang beupa erosi, nilai tambah yang hilang, kelembagan yang belum efektif, serta aktivitas ilegal misalnya illegal logging dan illegal trading pada penyelenggaraan usaha sektor kehutanan.

Keluarnya nilai ekonomi tersebut dapat disebabkan oleh tindakan manusia ataupun aktivitas alam. Tindakan manusia berupa aktivitas legal pada saat melakukan manajemen hutan mulai dari perencanaan/perijinan, pelaksanaan eksploitasi hutan, dan pengawasan kegiatan. Aktivitas alam berupa hujan, erosi, angin, dan bencana alam yang dapat merusak kondisi fisik hutan dan lingkunganya.

3.4. Hipotesis

Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah, dan kerangka pemikiran penelitian, dapat disusun hipotesis sebagai berikut :

1. Kebocoran ekonomi dari sektor kehutanan bersumber dari manfaat ekonomi hutan yang hilang misalnya nilai tambah, nilai deforestasi, nilai erosi, nilai

illegal logging, nilai illegal trading, dan kelembagaan yang belum efektif,

akan berpengaruh negatif terhadap PDRB Provinsi Jawa Tengah.

2. Manfaat ekonomi hutan baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung serta dampak lingkungan dalam perhitungan pendapatan domestik regional bruto (PDRB) akan berimplikasi terhadap pemerataan pendapatan dari sektor kehutanan.

4.1. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di wilayah Provinsi Jawa Tengah yang didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu :

1. Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Pulau Jawa memiliki potensi sumberdaya hutan yang rela tif kecil yaitu sekitar 21% dari luas wilayah atau sekitar 0.8% dari luas hutan Indonesia, tetapi sebagai ekosistem penyangga kehidupan bagi penduduk sekitar 15% dari jumlah penduduk Indonesia sehingga layak untuk menjadi obyek penelitian ekonomi makro regional;

2. Dalam pembangunan ekonomi, provinsi Jawa Tengah berada pada posisi ditengah diantara provinsi lain di Pulau Jawa baik dari segi geografis maupun tingkat kemajuannya. Provinsi Jawa tengah memberikan prioritas pada sektor industri, pertanian, pariwis ata, dan sektor lain yang terkait langsung dengan sektor kehutanan.

3. Perekonomian provinsi Jawa Tengah sampai dengan saat ini belum pernah dilakukan penelitian tentang ekonomi kehutanan regional yang memasukkan nilai manfaat hutan secara menyeluruh dan kebocoran ekonomi dari sektor kehutanan yang berimplikasi pada kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut.

4.2. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder yang relevan antara lain:

1. Tabel Input-Output Jawa Tengah, 2000 (BPS)

2. PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) menurut lapangan usaha dan penggunaan Tahun 2002-2003 (BPS)

3. SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) modul Konsumsi Tahun 2002 (BPS)

5. SKTIR (Survei Khusus Tabungan dan Investasi Rumah tangga) tahun 2002 (BPS)

6. SKIO (Survei Khusus Input Output) Jawa Tengah Tahun 2000 (BPS) 7. APBD Jawa Tengah, Tahun 2002-2003 (Pemerintah Provinsi Jateng)

8. Jawa Tengah dalam Angka, Tahun 2004 (Pemerintah Provinsi Jawa Tengah) 9. Data Pengelolaan Hutan Jawa Tengah, Tahun 1990 -2000 (Perum Perhutani) 10.Data Pengelolaan DAS di Jawa Tengah, 2000 (Ditjen RLPS Dephut)

11.Data Survei Rumah Tangga di Kawasan Hutan 2004 (BPS-Departemen Kehutanan)

12.Hasil-Hasil Penelitian yang terkait dengan perekonomian kehutanan di Jawa Tengah seperti nilai air, jasa wisata, tingkat deforestasi, ekonomi ilegal logging dan lain-lain.

4.3. Penentuan Sektor

Penentuan sektor didasarkan pembagian sektor pada proses penyusunan Input – Output (I-O) Provinsi Jawa Tengah Tahun 2000 untuk dilakukan RAS (penyesuaian ke tahun 2004), dan selanjutnya khusus untuk sektor kehutanan dilakukan disagregasi menjadi beberapa sektor sesuai kebutuhan dan keterseidaan datanya. Dasar disagregasi sektor kehutanan tersebut dilakukan den gan menambah sektor yang nilai ekonominya belum dimasukkan pada proses penghitungan I-O provinsi oleh BPS (2000). Penambahan sektor tersebut akan menggambarkan manfaat ekonomi kehutanan yang belum diperhitungkan sebagai pendapatan atau masuk sektor lain, dan tingkat kebocoran ekonomi dari sektor kehutanan. Di samping itu untuk sub sektor industri primer kehutanan (pengger gajian, kayu lapis, meubel, dan pengolahan dengan bahan baku kayu) di pindahkan dari sektor non kehutanan ke dalam sektor kehutanan. Adapun sektor setelah dilakukan disagregasi antara lain :

1. Hasil kayu

2. Hasil non kayu ( getah, damar, madu, bambu dan lain-lain) 3. Manfaat jasa wisata

4. Pemanfaatan air dari kawasan hutan

5. Pemanfaatan hasil hutan langsung oleh masyarakat (kayu bakar, kayu rencek, makanan ternak).

6. Kegiatan deforestasi.

7. Pengurangan kapasitas hutan ( nilai erosi). 8. Kegiatan illegal logging.

9. Rehabilitasi hutan dan lahan. 10. Penyediaan udara bersih. 11. Kehilangan nilai tambah.

12. Nilai keberadaan, pilihan, dan pelestarian.

13. Illegal trading

14. Kelembagaan yang kurang efektif. 15. Industri penggergajian dan awetan. 16. Industri kayu lapis

17. Industri meubel dan bahan bangunan.

18. Industri pengolahan dengan bahan baku kayu. 4.4. Metode Aplikasi Hasil Valuasi Sektor Kehutanan

Metode aplikasi atau penerapan hasil valuasi sektor kehutanan (18 sub sektor) menggunakan 3 (tiga) pendekatan, yaitu pertama, penggunaan langsung data sekunder untuk sub sektor yang telah lengkap jumlah dan nilainya. Data sekunder langsung tersebut antara lain nilai kayu, non kayu, jasa wisata, dan industri primer kehutanan yang bersumber dari BPS Provinsi Jawa Tengah,

Kedua, proksi dari data sekunder yang terkait dengan sub sektor yang akan

dimasukkan dalam perhitungan pendapatan yaitu rehabilitasi hutan, kehilangan nilai tambah, illegal trading, dan efektifitas kelembagaan kehutanan serta deforestasi dan illegal logging. Ketiga, penerapan hasil valuasi nilai manfaat ekonomi hutan dari penelitian sebelumnya terutama yang berlokasi di Pulau Jawa. Penerapan hasil penelitian tersebut antara lain manfaat air, udara bersih, manfaat langsung ke masyarakat, keberadaan atau pilihan hutan dan erosi.

Pendekatan pertama dan kedua dilakukan dengan pengumpulan data sekunder. Sedangkan pendekatan ketiga yaitu penerapan hasil valuasi nilai manfaat ekonomi hutan dari penelitian sebelumnya yang kemudian dilakukan pembuatan formula dengan faktor koreksi sesuai metode penelitian yang

bersangkutan. Faktor koreksi didapatkan dari data sekunder. Pendekatan - pendekatan tersebut dapat dijelaskan pada uraian berikut.

4.4.1 Pemanfaatan Air

Nilai manfaat air dari kawasan hutan di Provinsi Jawa Tengah adalah penjumlahan dari nilai manfaat air dari hutan lindung dan hutan produksi, hutan Taman Nasional dan hutan rakyat yang dirumuskan sebagai berikut :

NAht = NAhlp + NAhtn + NAhrt……….……. (3) dimana : NAht NAhlp NAhtn NAhrt : : : :

Total nilai manfaat air dari kawasan hutan

Nilai manfaat air dari kawasan hutan lindung dan produksi Nilai manfaat air dari kawasan hutan Taman Nas ional. Nilai manfaat air dari hutan rakyat.

Nilai pemanfaatan air dari kawasan hutan lindung dan hutan produksi menggunakan hasil penelitian Supriyadi (1997). Hasil penelitian tersebut antara lain sebagai berikut :

a. Nilai total air dari hutan lindung dan hutan produksi adalah sebesar Rp. 54.5 milyar/tahun dari kawasan hutan seluas 76 273.19 hektar di kabupaten dengan jumlah penduduk sebanyak 3.3 juta jiwa.

b. Kontribusi sektor hutan lindung dan hutan produksi terhadap total produk domestik regional bruto (PDRB) sebesar 0.48% di wilayah ekonomi Kabupaten Bandung.

Pendekatan yang dipergunakan pada penelitian tersebut adalah nilai kesediaan untuk membayar (willingness to pay/WTP) air yang dihasilkan dari kawasan hutan dengan metode kontingensi. Sebagaimana Sanim (2003), WTP mempresentasikan kurva demand, maka secara alamiah besarnya nilai air tersebut ditentukan oleh kesediaan masyarakat untuk membayar konsumsi air dan kuantitas hutan (dalam hal ini luas hutan). Tingkat konsumsi air ditentukan oleh banyaknya konsumen yang tidak lain adalah penduduk suatu wilayah. Semakin padat atau banyak masyarakat maka konsumsi air cenderung makin meningkat dan harga air akan semakin tinggi. Oleh karena itu untuk digunakan di tempat lain, maka hasil penelitian Supriyad i (1997) tersebut perlu diberikan koreksi jumlah penduduk dan luas kawasan hutan. Berdasarkan hasil di atas maka nilai

manfaat air dari kawasan hutan lindung dan produksi Jawa Tengah sebagai berikut : ………. ... (4) dimana : NAhlp Lhlp n PDRB Gi : : : : :

Nilai manfaat air dari kawasan hutan lindung dan produksi Luas hutan lindung dan hutan produksi di kabupaten ke-i Jumlah kab. yang memiliki hutan lindung dan produksi Produk domestik regional bruto kabupaten

Jumlah penduduk di kabupaten ke-i

Sedangkan nilai manfaat air dari kawasan hutan Taman Nasional menggunakan hasil penelitian Darusman (1993) yang dilakukan di Taman Nasional Gede Pangrango. Hasil penelitian memperlihatkan nilai total manfaat air dari Taman Nasional sebesar Rp 280 juta/ha/tahun. Pendekatan penelitian tersebut menggunakan metode kontingensi individu yang dituangkan dalam kurva permintaan (demand) air. Permintaan tersebut diturunkan dari pernyataan preferensi individu untuk bersedia membayar air yang berasal dari kawasan Taman Nasional Gede Pangrango. Pernyataan preferensi individu tersebut diperoleh dari survey dengan menggunakan kuesioner. Oleh karena penelitian tersebut sudah menggambarkan nilai air dalam satuan luas dan tahun di Pulau Jawa, maka untuk digunakan di tempat lainnya di Pulau Jawa memerlukan koreksi jumlah penduduk. Oleh karena itu dengan koreksi jumlah penduduk maka nilai manfaat air dari kawasan hutan Taman Nasional Jawa Tengah adalah : ……..………….. (5) dimana : NAhtn Li i n Gi : : : : :

Nilai manfaat air dari kawasan Taman Nasional Luas kawasan Taman Nasional di Kabupaten ke-i Kabupaten ke-i

Jumlah Kab. yang memiliki Taman Nasional. Jumlah penduduk kabupaten ke-i

n Gi NAhtn= S . X Rp 280 000 000 i =1 2.3 juta n Lhlp Gi NAhlp=

S

X X 0.48 % PDRBi i =1 76 273.19 3.3 juta

Selanjutnya nilai manfaat air dari hutan rakyat diproksi dari nilai manfaat air hutan produksi dengan faktor koreksi sebesar 50%. Faktor koreksi tersebut ditetapkan dengan asumsi bahwa kerapatan hutan rak yat di Pulau Jawa hanya sekitar 50 % dari kerapatan hutan produksi. Oleh karena itu nilai manfaat air dari hutan rakyat Jawa Tengah adalah sebagai berikut:

NAhrt = 50 % X NAhlp ... dimana : NAhrt NAhlp : :

Nilai manfaat air dari hutan rakyat Nilai manfaat air dari hutan produksi

4.4.2 Pemanfaatan Hasil Hutan Langsung Oleh Masyarakat

Nilai pemanfaatan hasil hutan langsung oleh masyarakat (kayu bakar dan makanan ternak) di Pulau Jawa telah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda (Yogasara,2000). Kayu bakar dan makanan ternak tersebut diambil langsung oleh masyarakat dari kawasan hutan tanpa dikenakan pembayaran. Hal tersebut terjadi karena sifat keberadaan hutan yang terbuka bagi masyarakat di dalam dan disekitar hutan. Hasil penelitian Tatuh (1992) antara lain ditemukan fakta bahwa 82.5% penduduk didalam dan disekitar hutan di Pulau Jawa mengkonsumsi kayu bakar dari hutan, dan 66.9% penduduk tergantung rumput dan daun-daunan dar i hutan untuk makanan ternak. Kebutuhan makanan ternak bagi masyarakat pedesaan di Pulau Jawa sebesar 3 300 kg/KK/tahun. Selanjutnya berdasarkan survey kayu bakar tahun 1985 Departemen Kehutanan (2003) menunjukkan tingkat konsumsi kayu bakar masyarakat pedesaan di dalam dan di sekitar hutan di Pulau Jawa sebesar 1 050 kg/KK/tahun. Oleh karena penelitian dan survey tersebut dilakukan di Pulau Jawa maka dapat digunakan untuk Provinsi Jawa Tengah. Dengan demikian nilai manfaat langsung hutan ke masyarakat dapat dirumusnya sebagai berikut :

...………... dimana: Nhhlm PKKsh : :

Nilai manfaat hasil hutan langsung oleh masyarakat Jumlah KK sekitar hutan di Jaw a Tengah

Nhhlm = (82.5 % x PKKsh x CKB x PK B)

+ (66.9 % x PKKsh ) x CM K x PMK)

(6)

CKB CMK PKB PMK : : : :

Konsumsi kayu bakar per KK Konsumsi makanan ternak per KK Kayu bakar

Makanan ternak

4.4.3 Penggantian Kegiatan Deforestasi

Nilai ekonomi penggantian kegiatan deforestasi (konversi hutan, perambahan hutan, dan kerusakan lahan hutan yang lain) menggunakan hasil perhitungan Perum Perhutani Jawa Tengah (data sekunder).

4.4.4 Penggantian Pengurangan Kapasitas Hutan ( Nilai Erosi)

Nilai ekonomi penggantian adanya pengurangan kapasitas hutan yang direfleksikan dari nilai erosi, dihitung berdasarkan biaya penggantian erosi. Nilai penggantian erosi tersebut telah dilakukan oleh Magrath (1989). Hasil perhitungan Magrath (1989) tersebut antara lain nilai penggantian erosi di Jawa Tengah sebesar 1% untuk on site dan 4% untuk off site dari nilai usaha tani lahan kering. Oleh karena erosi terjadi di hampir seluruh wilayah Provinsi Jawa Tengah maka nilai penggantian erosi tersebut lebih tepat sebesar 4% dari nilai usaha tani lahan kering. Apabila hasil usaha tani tersebut berupa padi, maka penghitungan nilai erosi di Provinsi Jawa Tengah dapat dirumuskan sebagai berikut:

……….... dimana :

NEht : Nilai pengganti erosi kawasan hutan/ tahun

Llk Ylk Plk : : :

Luas lah an kering

Produksi padi rata-rata lahan kering (ton/ha/tahun) Harga rata-rata padi (Rp/ton)

4.4.5 Penggantian Kegiatan Illegal Logging.

Nilai penggantian kegiatan illegal logging di Jawa Tengah menggunakan data sekunder yaitu laporan Perum Perhutani Jawa Tengah (data sekunder).

4.4.6 Rehabilitasi Hutan dan Lahan

Total nilai kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di Provinsi Jawa Tengah diproksi dari jumlah anggaran instansi kehutanan untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan penghijauan yang telah berlangsung sejak tahun 2003. Total nilai tersebut dihitung berdasarkan jumlah anggaran rata-rata per tahun yang ada di seluruh instansi kehutanan di daerah ( BPDAS, BKSDA, Perum Perhutani) untuk kegiatan reboisasi dan penghijauan.

4.4.7 Penyediaan Udara Bersih

Penentuan nilai karbondalam penelitian ini difokuskan pada hutan primer (lindung, wisata, taman nasional dan konservasi) dan hutan sekunder (hutan produksi/areal kerja Perum Perhutani). Produksi udara bersih (O2) menggunakan

hasil penelitian Kirsfianti (2004), yaitu. rata-rata sebanyak 41.6 ton/ha/tahun atau pada kisaran produksi 19.2 – 85.7 ton/ha/tahun. Penelitian tersebut dilakukan pada kawasan hutan campuran (agroforestry) di wilayah DAS Citanduy Kabupaten Ciamis dan Tasik Malaya Jawa Barat. Kemampuan produksi udara bersih tertinggi pada kawasan hutan primer, sedangkan produksi rara-rata pada hutan sekunder. Oleh karena penelitian tersebut dilakukan di Jawa Barat yang lokasinya relatif sama dengan Jawa Tengah, produksi udara bersih hasil penelitian tersebut dapat digunakan untuk menduga produksi udara bersih di Jawa tengah.

Untuk nilai karbon digunakan pendekatan harga karbon yang berlaku di pasar international yaitu sebesar Rp 18 000 per ton (Kompas 18 September 2004). Penentuan nilai udara bersih di Jawa Tengah dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut : NUBht = ({Lp x Kcp} +{Ls x Kcs}) x Hc ... .... dimana : NUBht Lp Ls : : :

Nilai penyediaan udara bersih (Rp) Luas hutan primer (hektar) Luas hutan sekunder (hektar)

Kcp Kcs Hc : : :

Kemampuan produksi udara bersih hutan primer (ton/ha) Kemampuan produksi udara bersih hutan sekunder (ton/ha) Harga udara bersih (Rp per ton)

4.4.8 Kehilangan Nilai Tambah

Nilai ekonomi dari kehilangan nilai tambah adalah nilai penggantian dari selisih harga jual hasil hutan olahan dengan harga jual hasil hutan asalan. Untuk sektor ini terbatas pada hasil hutan kayu. Bersarnya kehilangan nilai tambah dihitung berdasarkan jumlah kayu hasil hutan Jawa Tengah yang yang tidak diolah di provinsi sendiri dikalikan faktor nilai tambah hasil penelitian Darusman (1989).

4.4.9 Nilai Keberadaan, Pilihan, dan Pelestarian

Nilai ekonomi keberadaan, pilihan, dan pelestarian untuk seluruh kawasan hutan di Jawa Tengah menggunakan dasar hasil penelitian Widad a (2004). Metode yang dipergunakan pada penelitian tersebut kontingensi, yaitu kepada individu-individu secara langsung ditanyakan tentang kesediaan mereka membayar untuk barang dan jasa yang diperoleh dari keberadaan sumberdaya hutan. Menurut Sanim (2003), metode kontingensi sangat tepat untuk barang dan jasa lingkungan kawasan hutan yang tidak ada pasar yang relevan. Dengan pertimbangan lokasi di Pulau Jawa dan metodenya cukup tepat, maka hasil penelitian tersebut dapat dipergunakan di Provinsi Jawa Tengah dengan memasukkan faktor koreksi luas dan jumlah penduduk. Rumus perhitungan tersebut : ... dimana : NKPPht Lht Wit : : :

Nilai pelestarian, pilihan, dan keberadaan (Rp) Luas hutan Jawa Tengah (hektar)

Jumlah penduduk Jawa Tengah (orang) Lht Wjt

NKPPht = x x Rp 8.07 miliar

4.4.10 Efisiensi Kelembagaan

Nilai efisiensi atau efektifitas kelembagaan diproksi dari nilai efisiensi atau surplus usaha sektor kehutanan di Jawa Tengah yaitu prosentase selisih total biaya produksi dengan nilai produk yang dihasilkan. Nilai prosentase tersebut dikalikan PDRB maka akan didapat nilai efisiensi kelembagaan.

4.4.11 Moral Hazard yang Berupa Illegal Trading

Nilai ekonomi moral hazard yang berupa illegal trading yaitu transaksi ilegal pada penyelenggaraan pengelolaan sumberdaya hutan di Provinsi Jawa Tengah diproksi dari nilai ekonomi dari perbedaan atau selisih produksi hasil hutan dengan yang diedarkan/diolah dan stock dikalikan harga yang berlaku.

Besarnya sub sektor hasil kayu, hasil non kayu, jasa wisata dan industri primer kehutan digunakan data dari Badan Pusat Statistik (BPS). Data tersebut telah tersedia pada Tabel Input-Output Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003.

4.5. Metode Analisis dan Pembentukan Model

Untuk menganalisis besarnya kontribusi manfaat ekonomi hutan yang belum diperhitungkan dan kebocoran pendapatan yang berasal dari sektor kehutanan di wilayah Provinsi Jawa Tengah terhadap perekonomian wilayah tersebut digunakan Model Input-Output Modifikasi. Sedangkan untuk menganalisis dampak manfaat ekonomi hutan yang belum diperhitungkan sebagai unsur pendapatan dan kebocoran pendapatan yang berasal dari sektor kehutanan terhadap kesejahteraan rumah tangga digunakan model Sistem Neraca Sosial Ekonomi / SNSE (Social Acounting Matrices / SAM).

4.5.1 Pembentukan ModelInput – Output Modifikasi

Model atau Tabel Input Output ( I-0) Modifikasi dibangun atau dibentuk dengan prinsip memasukkan seluruh sektor/sub sektor transaksinya jelas maupun yang belum jelas. Pemasukkan sektor-sektor tersebut dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a

a.. Sektorkkeehhuuttaannaannyyaanngg ppiihhaakk pprroodduusseennddaann kkoonnssuummeennnnyyaassuuddaahh jjeellaass((hhaassiill

k

r reehhaabbiilliittaassii hhuuttaann,, kkeehhiillaannggaann nniillaaii ttaammbbaahh)) mmaakkaa ddiimmaassuukkkkaann kkee ddaallaamm n neerraaccaapprroodduukkssii.. b b.. SSeekkttoorrmmaannffaaaattaaiirrddaannuuddaarraabbeerrssiihhddiimmaassuukkkkaannddaallaammnneerraaccaapprroodduukkssiitteettaappii t teerrbbaattaass sseebbaaggaaii hhaassiill ssaammppiinnggaann ddiimmaannaa iinnppuutt aannttaarraannyyaa nnooll sseehhiinnggggaa d diimmaassuukkkkaannddaallaammssuurrpplluussuussaahhaa.. c c.. SSeekkttoorr iinndduussttrrii pprriimmeerr kkeehhuuttaannaann ((ppeennggggeerrggaajjiiaann,, kkaayyuu llaappiiss,, mmaauubbeell ddaann p peennggoollaahhaann yyaannggbbaahhaannbbaakkuunnyyaakkaayyuu))yyaanngg ddaallaamm MMooddeellII--OO JJaawwaaTTeennggaahh ( (SSttaannddaarr)) sseebbaaggaaii sseekkttoorr nnoonn kkeehhuuttaannaann ddiippiinnddaahhkkaann mmeennjjaaddii sseekkttoorr k keehhuuttaannaann.. d d.. SSeekkttoorr ddeeffoorreessttaassii,, eerroossii,, kkeebbeerraaddaann ddaann ppiilliihhaann hhuuttaann,, ddaann eeffiissiieennssii k keelleemmbbaaggaaaannyyaannggbbeelluummjjeellaassppiihhaakkpprroodduusseennddaannkkoonnssuummeennnnyyaaddiimmaassuukkkkaann d daallaammppeerrhhiittuunnggaannsseebbaaggaaiinneerraaccaannoonneekkoonnoommii

Sektor-sektor tersebut dapat diilustrasikan dengan menyederhanakan Tabel I-0 menjadi tiga sektor produksi (3x3)sebagai berikut :

Permintaan Antara Alokasi Output Susunan Input Sektor Produksi Permintaan Akhir Total Output 1 Neraca 2 Produksi 3 x11 x12 x13 x21 x22 x23 x31 x32 x33 F1 F2 F3 X1 X2 X3

Jumlah input primer -Komoditi impor -Upah dan gaji -Surplus usaha -Pajak tak langsung -Nilai tambah bruto

V1 V2 V3

Total input X1 X2 X3

Neraca non ekonomi (stock)

Z1 Z2 Z3

Sumber : Badan Pusat Statistik (2003)- dimodifikasi

Baris mendatar pada tabel tersebut terdapat isian-isian angka yang memperlihatkan tingkat output suatu sektor dialokasikan, sebagian untuk memenuhi permintaan antara (intermediate demand) sebagian lagi dipakai untuk

memenuhi permintaan akhir. Permintaan antara adalah permintaan terhadap barang dan jasa yang digunakan untuk proses lebih lanjut pada sektor produksi. Sedangkan permintaan akhir adalah permintaan untuk konsumsi akhir yang terdiri dari konsumsi rumah tangga, pemerintah, pembentukan modal dan ekspor.

Isian angka menurut garis vertikal atau kolom, menunjukkan pemakaian input antara maupun input primer yang disediakan oleh sector-sektor lain untuk pelaksanaan produksi. Input primer dalam istilah yang lebih popular disebut nilai tambah, yang terdiri dari upah/gaji, sewa tanah, bunga netto dan surplus usaha. Setiap angka atau sel dalam sistem matriks tersebut mempunyai pengertian ganda. Misalnya di kuadran pertama yaitu transaksi antara (permintaan antara dan input

Dokumen terkait