• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perpindahan penduduk disebabkan oleh adanya kekuatan pendorong di daerah asal maupun kekuatan penarik di daerah tujuan baik dilihat dari aspek ekonomi maupun tidak ekonomi. Namun pada umumnya penduduk bermigrasi untuk tujuan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Sering kali faktor ekonomi menjadi faktor penarik dan pendorong seperti adanya daya tarik upah yang lebih tinggi di daerah tujuan (Isard, 1975 p. 181). Lewis diacu dalam Kasliwal (1995 p. 168) mengatakan bahwa adanya migrasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri di perkotaan karena adanya perbedaan upah.

Perbedaan upah yang terjadi antara daerah perdesaan dan perkotaan karena penerapan pola pembangunan yang bersifat terpusat (growth poles, growth centre). Teori pusat-pusat pertumbuhan (growth pole) lebih me nekankan pada pentingnya pengembangan pusat-pusat pertumbuhan baru untuk membangun suatu wilayah di samping dominannya strategi-strategi pembangunan di sisi pasokan (supply) (Rustiadi, et al , 2003). Diharapkan pusat-pusat pertumbuhan ini dapat memberikan efek sentrifugal, yaitu dapat menggerakkan daerah sekitarnya sehingga dapat berkembang bersama-sama. Namun yang terjadi adalah terjadinya pengurasan sumber daya dari daerah di sekitarnya sehingga salah satu akibatnya adalah perpindahan penduduk dari daerah belakang (hinterland) ke pusat-pusat pertumbuhan.

Arus perpindahan penduduk dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan (pusat-pusat pertumbuhan) terus berlangsung walaupun di perkotaan sudah terjadi pengangguran. Fenomena tersebut dijelaskan dalam Model Harris Todaro. Model tersebut menjelaskan bahwa selama upah yang diharapkan di perkotaan masih lebih tinggi dibandingkan dengan upah di pedesaan maka perpindahan penduduk dari desa ke kota akan terus berlangsung.

Migrasi dari desa ke kota merupakan salah satu penyebab terjadinya urbanisasi. Yap (2000) menyebutkan bahwa urbanisasi akan menjadi masalah

20

perkotaan apabila pertumbuhan penduduk perkotaan melebihi pertumbuhan lapangan kerja dan penyediaan perumahan, infrastruktur dan pelayanan jasa-jasa.

Ketika lapangan kerja formal yang tersedia tidak dapat menyerap seluruh angkatan kerja, maka mereka yang tidak terserap akan masuk ke sektor kerja informal dan sebagian dari mereka akan menjadi pengangguran. Pendapatan yang diterima di sektor informal jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang diperoleh di sektor formal. Dengan pendapatan rendah tersebut, maka mereka sulit untuk mengakses pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, air dan sanitasi, dan tempat tinggal. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa penduduk yang berpendapatan rendah umumnya tinggal di permukiman kumuh.

Fenomena ini terjadi pula di Indonesia. Teori growth pole diterapkan pula di Indonesia, sehingga orientasi pembangunan yang dilaksanakan di masa lalu cenderung urban bias. Hal ini menyebabkan terjadinya perbedaan tingkat perekonomian antara daerah. Adanya konsentrasi kekayaan, asset, kapasitas perdagangan, aktivitas ekonomi dan berbagai jasa di perkotaan menyebabkan arus migrasi desa-kota tidak dapat dibendung. Tjiptoherijanto (1997) menyatakan bahwa disparitas pertumbuhan ekonomi sebagai hasil dari terkonsentrasinya aktivitas ekonomi (industri dan jasa) di perkotaan telah meningkatkan urbanisasi. Kebijakan pembangunan tersebut telah menimbulkan pusat-pusat pertumbuhan di beberapa tempat. Jakarta adalah salah satu pusat pertumbuhan yang mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Konsekuensi dari hal tersebut adalah tingkat urbanisasi yang tinggi di Jakarta. Over

urbanization yang dialami oleh DKI Jakarta memberikan dampak pada

kemiskinan kota.

Selain urbanisasi, beberapa kebijakan pemerintah pun dapat berdampak pada timbulnya kemiskinan. Iklim usaha yang tidak baik dapat berdampak pula pada kemiskinan. Penerapan Upah Minimum Propinsi (UMP) yang dirasakan cukup berat dapat menyebabkan perusahaan mengurangi jumlah pegawainya. Kebijakan ekonomi di masa lalu telah memicu krisis ekonomi yang cukup parah di Indonesia. Roda perekonomian yang lumpuh telah menyebabkan banyak perusahaan harus melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran. Semua ini menyebabkan meningkatnya jumlah penduduk miskin. Di samping itu

kebijakan dalam bidang ketenagakerjaan yang ada belum dapat mengatasi masalah pengangguran, dampaknya adalah jumlah pengangguran yang tinggi. Mereka ini akan masuk dalam perangkap kemiskinan.

Program pengentasan kemiskinan perlu dititik beratkan pada rumahtangga miskin baik dilihat dari aspek sosial maupun ekonomi. Kondisi sosial dari rumahtangga miskin dapat dilihat dari aspek demografi, pend idikan, lapangan pekerjaan mapun kondisi tempat tinggal. Dari sisi ekonomi, dapat dilhat dari ketimpangan pendapatan, keparahan kemiskinan dan faktor- faktor yang menyebabkan kemiskinan. Titik berat dari penelitian ini adalah mengaitkan faktor- faktor yang mempengaruhi kemiskinan dengan karakteristik demografi rumahtangga.

Secara mikro banyak faktor yang menjadi penyebab terhadap kemiskinan yang diderita oleh suatu rumahtangga. Pengukuran rumahtangga miskin menggunakan garis kemiskinan yang didasarkan pada pengeluaran konsumsi per kapita.

Untuk melihat faktor- faktor yang menentukan kemiskinan maka didekati dengan faktor- faktor yang dapat menentukan tingkat pengeluaran konsumsi rumahtangga. Faktor- faktor itu adalah :

a. jenis kelamin kepala keluarga

Beberapa penelitian menyatakan bahwa rumahtangga dengan kepala rumahtangga perempuan sering lebih miskin dibandingkan dengan rumahtangga yang dikepalai oleh laki- laki. Oey dan Gardiner (1991) diacu dalam Sugiyono (2003) menyatakan bahwa secara implisit perbedaan kemiskinan lebih disebabkan perbedaan jenis kelamin. Isu gender masih melekat di dunia khususnya negara- negara berkembang, pengutamaan terhadap kaum laki- laki masih terasakan. Sehingga perempuan masih sebagai sub ordinat dan kalah bersaing dengan kaum laki- laki.

b. tingkat pendidikan

Pradhan el al (2000) menyatakan bahwa tingkat pendidikan mempunyai korelasi yang tinggi dengan kesejahteraan. Penduduk yang mempunyai tingkat pendidikan pendidikan yang tinggi mempunyai kesempatan yang lebih

22

tinggi untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan keluarganya.

Chernichovsky dan Meesok (1984) dalam Arsyad (1987) diacu dalam Wahyuni (2000) menyatakan bahwa rendahnya tingkat pendidikan kepala rumahtangga sebagai orang yang bertanggung jawab pada pemenuhan kebutuhan keluarga merupakan salah satu karakteristik yang biasa ditemukan pada rumahtangga miskin.

c. pekerjaan

Tingkat pendidikan mempengaruhi peluang untuk memperoleh pekerjaan, sehingga dengan pendidikan yang rendah maka akan terbatas peluang pekerjaan yang diperoleh. Hasil penelitian Dillon dan Hermanto dalam Faturochman dan Molo (1994) diacu dalam Sugiyono (2003) menyatakan bahwa rumahtangga miskin di perdesaan terutama mengandalkan pertanian sebagai sumber penghasilan utama sedangkan di perkotaan lebih banyak mengandalkan penghasilan dari sektor jasa dan sektor informal.

Di samping itu pekerja yang bekerja di bawah jam kerja normal dan sedang mencari pekerjaan (setengah penganggur) mengindikasikan kurangnya pendapatan untuk menopang hidup yang layak.

d. besaran rumahtangga

Jumlah anggota rumahtangga berpengaruh positf terhadap kemiskinan. Semakin besar jumlah anggota rumahtangga maka rumahtangga tanpa diikuti dengan peningkatan pendapatan menyebabkan konsumsi per kapita akan semakin kecil sehingga peluang miskin menjadi semakin besar.

Jumlah anggota rumahtangga yang besar pada rumahtangga miskin disebabkan oleh tingkat kelahiran yang tinggi. Schultz, 1981 diacu dalam Rodriguez Garcia (2002) menyebutkan bahwa angka kematian bayi di kalangan rumahtangga miskin membuat mereka cenderung untuk lebih banyak melahirkan untuk menggantikan bayi-bayi yang telah meninggal tersebut, hal ini akan meningkatkan jumlah besaran rumahtangga.

e. proporsi anggota rumahtangga yang bekerja.

Proporsi anggota rumahtangga yang bekerja akan berpengaruh negatif terhadap kemiskinan karena semakin bersar proporsinya maka semakin

banyak pendapatan yang diperoleh sehingga mereka semakin jauh dari lingkaran kemiskinan. Hasil penelitian Kamuzora dan Mkanta (2000) di Tanzania menunjukkan bahwa rumahtangga dengan anggota rumahtangga yang besar dapat berpeluang lebih kecil menjadi miskin karena mereka mempunyai tenaga kerja yang lebih besar untuk mencari nafkah.

f. Usia kepala rumahtangga

Oey dan Gardiner (1991) diacu dalam Sugiyono (2003) menyatakan bahwa usia kepala rumahtangga berhubungan lansung dengan kesejateraan rumahtangga, hal ini sangat lumrah karena semakin tua semakin mantap keadaan rumahtangganya. Penelitian Fajariyanto (2002) diacu dalam Sugiyono menyebutkan bahwa semakin tua kepala rumahtangga maka persentase rumahtangga miskin akan semakin bekurang.

g. proporsi terhadap pengeluaran Bahan Bakar Minyak

Bahan bakar minyak (BBM) adalah salah satu komoditas yang sangat penting bagi rumahtangga, perubahan harga terhadap komoditas ini akan berpengaruh terhadap tingkat pengeluaran rumahtangga. Sehingga pengeluraan terhadap BBM berpengaruh terhadap kemiskinan rumahtangga. Bahan bakar minyak yang dimaksud dalam penelitian ini adalah BBM yang langsung dikonsumsi oleh rumahtangga seperti minyak tanah (untuk memasak), bensin (untuk kendaran pribadi) dan solar (untuk generator/kendaraan pribadi).

h. proporsi anggota rumahtangga usia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun International Labor Organization (ILO) menyatakan bahwa penduduk yang produktif atau masih dapat aktif secara ekonomi adalah penduduk usia 15-64 tahun. Penduduk dengan usia di luar itu adalah penduduk yang tidak produktif, maka proporsi penduduk yang tidak produktif dalam rumahtangga dapat mempengaruhi status kemiskinan dari rumahtangga.

i. proporsi pengeluaran terhadap makanan

Kurva Engle untuk barang yang merupakan kebutuhan pokok seperti bahan makanan pokok memperlihatkan bahwa perubahan pendapatan nominal tidak berpengaruh banyak terhadap perubahan permintaan. Bahkan jika

24

pendapatan terus meningkat maka permintaan terhadap barang tersebut perubahaannya main kecil dibandingkan dengan perubahan pendapatan. Mengacu pada kurva Engle, maka rumahtangga miskin akan mempunyai proporsi pengeluaran terhadap makanan yang lebih besar dibandingkan dengan rumahtangga tidak miskin.

j. kondisi tempat tinggal

Mengacu pada tujuh kriteria kemiskinan yang digunakan oleh Pemerintah Propinsi DKI Jakarta, maka kondisi tempat tinggal yang dapat dijadikan prediktor kemiskinan rumahtangga adalah :

- luas lantai per kapita

luas lantai adalah luas yang ditempati dan digunakan untuk keperluan sehari- hari (sebatas atap)

- jenis lantai

lantai adalah bagian bawah/dasar/alas suatu ruangan, baik yang terbuat dari tanah maupun bukan tanah seperti keramik, marmer, papan dan semen serta lainnya

- akses terhadap jamban

fasilitas tempat buang air besar (jamban) adalah tempat pembuangan tinjanya (closet) yaitu berupa fisiknya. Fasilitas ini dimaksudkan untuk melihat kemudahan rumahtangga dalam menggunakan jamban yang dikaitan dengan kondisi kesehatan perumahan dan sanitasi lingkungan. Fasilitas jamban dibedakan menjadi 4 katagori yaitu sendiri, bersama, umum dan tidak ada.

- akses terhadap air bersih

fasilitas air minum adalah instalasi air minum yang dikelola oleh PAM/PDAM atau non PAM/PDAM termasuk sumur pompa. Rumahtangga tidak mempunyai akses terhadap air bersih apabila rumah tangga tidak mempunyai fasilitas air minum tertentu misalnya langsung ambil air dari sungai atau air hujan.

Status rumah tempat tinggal adalah status rumah yang ditempati oleh rumahtangga, yang harus dilihat dari sisi anggota rumahtangga yang mendiaminya.

Kerangka pemikiran dalam bentuk diagram alur disajikan dalam gambar berikut ini:

: sasaran penelitian : peubahbebas yang diteliti

Gambar 1.1. Alur pikir penelitian.

Migrasi desa kota

Faktor-faktor makro: - Pasar tenaga kerja - Berbagai kebijakan makro ekonomi - Kebijakan ketenagakerjaan - Program pengentasan kemiskinan Faktor-faktor mikro : - Demografi KRT - Pendidikan KRT - Pekerjaan KRT - kondisi fisik tempat

tinggal Kemiskinan Rumahtangga di

permukiman kumuh dan tidak Kumuh Akibat negatif: - disparitas pertumbuhan ekonomi - kesenjangan sosial - kemiskinan/pengang guran Orientasi : - padat modal - urban biased

- Growth pole strategy - Top down planning

Penetapan Jakarta sebagai pusat pemerintahan, bisnis dan jasa Kebijakan Pembangunan Nasional - Garis kemiskinan - Kriteria BPS

- GR yang didekati dengan pendekatan Atkinson - Regresi Logistik - Foster –Greer-Thorbeeke (FGT) - Analisis deskriptif 26

Dalam menelaah masalah rumahtangga miskin, digunakan beberapa alat analisis yaitu analisis deskriftif, garis kemiskinan, regresi logistik, gini rasio, distribusi pendapatan ukuran bank dunia, dan Foster –Greer-Thorbeeke (FGT) Model.

3.2. Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah karakteristik rumahtangga mempengaruhi kemiskinan rumahtangga secara nyata. Lebih rinci hipotesis penelitian dirumuskan sebagai berikut:

a. Tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan di RW kumuh lebih tinggi dibandiingkan di yang tidak kumuh.

b. Ketimpangan pendapatan di RW kumuh lebih rendah dibandingkan dengan di yang tidak kumuh

c. Besaran rumahtangga, jenis kelamin kepala rumahtangga, proporsi anak usia di bawah 15 tahun mempengaruhi kemiskinan secara positif.

d. Proporsi anggota rumahtangga yang bekerja dan pendidikan mempengaruhi kemiskinan secara negatif.