• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis faktor faktor yang mempengaruhi kemiskinan di DKI Jakarta (Studi komparatif di pemukiman kumuh dan tidak kumuh)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis faktor faktor yang mempengaruhi kemiskinan di DKI Jakarta (Studi komparatif di pemukiman kumuh dan tidak kumuh)"

Copied!
150
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

KEMISKINAN DI DKI JAKARTA

(Studi komparatif di Permukiman Kumuh dan Tidak Kumuh)

Oleh:

Gandari Adianti

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul :

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMISKINAN DI DKI JAKARTA

(Studi komparatif di Permukiman Kumuh dan Tidak Kumuh)

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, November 2005

(3)

ABSTRAK

GANDARI ADIANTI. 2005. Analisis Faktor-Faktor ya ng Mempengaruhi Kemiskinan di DKI Jakarta (Studi Komparatif di Permukiman Kumuh dan Tidak Kumuh). Di bawah bimbingan SAID RUSLI dan HERMANTO SIREGAR.

Penelitian ini membahas tentang kemiskinan di DKI Jakarta secara spasial yaitu RW kumuh dan RW tidak kumuh. Tujuan utama dari penelitian ini adalah (1) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan dan (2) menguraikan program pengentasan kemiskinan yang telah dilakukan. Penelitian ini menggunakan model pilihan diskrit (discrete choice models) yaitu model regresi logit dengan data utama Susenas Kor 2004. Hasil utama penelitian ini adalah (1) angka kemiskinan di RW kumuh lebih tinggi dibandingkan dengan RW tidak kumuh (2) faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan dengan mempergunakan peubah-peubah yang sama menunjukkan bahwa adanya perbedaan pengaruh dari beberapa peubah pada masing- masing lokasi (DKI Jakarta secara umum, RW tidak kumuh dan RW kumuh) (3) pelaksanaan penanggulangan kemiskinan sudah banyak menyentuh faktor- faktor yang mempengaruhi kemiskinan, namun pelaksanaannya belum dibedakan secara spasial serta masih menemui berbagai kendala.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam menanggulangi kemiskinan perlu menyesuaikan dengan lokasi tempat tinggal penduduk miskin. Demi keberhasilan pelaksanaan penanggulangan kemiskinan melibatkan kelembagaan lokal.

(4)

©Hak cipta milik Gandari Adianti, tahun 2005

Hak cipta dilindungi

(5)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

KEMISKINAN DI DKI JAKARTA

(Studi komparatif di Permukiman Kumuh dan Tidak Kumuh)

Oleh:

Gandari Adianti

Tesis

Sebagai salah syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada Program Studi Ilmu- Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Nama : Gandari Adianti Aju Fatimah

NRP : A155030091

Disetujui

Komisi Pembimbing

Ir. Said Rusli,MA Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu- ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah

dan Perdesaan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Ir. Isang Gonarsyah, Ph.D Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, M.Sc

(7)

PRAKATA

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT dengan telah selesainya tesis yang berjudul : Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kemiskinan di DKI Jakarta (Studi Komparatif di Permukiman Kumuh dan Tidak Kumuh). Tesis ini merupakan persyaratan untuk memperoleh gelar Magister di Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Institut Pertanian Bogor.

Tesis ini diselesaikan dengan atas bimbingan dan bant uan dari berbagai pihak terutama dari komisi pembimbing yang terdiri dari :

1. Ir. Said Rusli, MA

2. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec

Atas bantuan dan arahan yang diberikan kepada penulis, dengan rendah hati penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya. Ucapan terima kasih yang teramat dalam penulis sampaikan kepada bapak, mama serta teteh, aa, dan ade yang telah memberikan doa, semangat dan kasih sayang. Ungkapan terima kasih juga diucapkan kepada dosen dan staf Program Studi PWD. Bagi teman-teman PWD angkatan 2003 terutama kepada keluarga Drabas (Iwan, Mimi, dan Afud) dan anggota BBC plus Om Bob diucapkan terima kasih atas kesabaran, pengertian dan keikhlasan yang telah memberikan warna baru dalam hidup penulis. Tak lupa juga penulis ucapkan terima kasih bagi teman-teman BPS Provinsi DKI Jakarta terutama Mita, Ari, Rini dan Rizal atas dukungan, pengertian serta keikhlasannya sehingga tesis ini dapat terselesaikan.

Akhir kata semoga penelitan yang sudah dilaksanakan bermanfaat bagi semua pihak.

Indraprasta Bogor, November 2005

(8)
(9)

viii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ………. ix

DAFTAR GAMBAR ………. x

DAFTAR LAMPIRAN ………. xi

PENDAHULUAN Latar Belakang ………. 1

Tujuan ……….. 3

Hipotesis ……….. 3

Manfaat ……… 3

TINJAUAN PUSTAKA Kedelai ………. 4

Fitoestrogen ………. 5

Isoflavon ……….. 5

Hormon Estrogen ………. 8

Biologi Umum Tikus Putih (Rattus sp.) ... 10

Ovarium ……… ………... 12

Uterus ………... 13

Kelenjar Mammae ……… 14

Deoxyribonucleic Acid (DNA) dan Ribonucleic Acid (RNA) …………. 15

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ……….. 17

Bahan dan Alat ………. 17

Metode Penelitian ………. 17

Rancangan Percobaan ……….. 20

Analisis Data ……… 20

HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Korpus Luteum, Jumlah Titik Implantasi, Jumlah Anak dan Bobot Badan Anak ..……… 21 Berat ovari, ? Berat dan Panjang Uterus ………. 23

Analisis Kelenjar Mammae (BKBL dan Aktivitas Sintesis) ... 27

Produksi Air Susu ... 28

KESIMPULAN DAN SARAN ……….... 31

DAFTAR PUSTAKA ……… 32

(10)

ix 1 Rata-rata jumlah korpus luteum, jumlah titik implantasi, jumlah anak,

dan bobot lahir anak dengan pemberian ekstrak kedelai 5 mg/100 g bb/hari .……….

22

2 Rata-rata berat ovari dengan pemberian ekstrak kedelai 5 mg/100 g bb/hari ………..

23

3 Rata-rata ? berat uterus dengan pemberian ekstrak kedelai 5 mg/100 g bb/hari ………..

24

4 Rata-rata panjang uterus dengan pemberian ekstrak kedelai 5 mg/100 g bb/hari ………..

24

5 Rata-rata BKBL kelenjar mammae dengan pemberian ekstrak kedelai 5 mg/100 g bb/hari ………..

28

6 Analisis RNA kelenjar mammae induk tikus dengan pemberian ekstrak kedelai 5 mg/100 g bb/hari ………..

28

(11)

x

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Isoflavon bentuk aglikon ………... 8

2 Estrogen alam ……… 9

(12)

xi

1 Analisis statistik korpus luteum ………. 36

2 Analisis statistik titik implantasi ……….... 36

3 Analisis statistik jumlah anak ……… 37

4 Analisis statistik bobot lahir anak ………. 37

5 Analisis statistik berat ovari K 1 ……… 38

6 Analisis statistik berat ovari K 2 ... 38

7 Analisis statistik berat ovari K 3 ... 39

8 Analisis statistik berat ovari total ……….. 39

9 Analisis statistik ? berat uterus K 1 ……….. 40

10 Analisis statistik ? berat uterus K 2 ……….. 40

11 Analisis statistik ? berat uterus K 3 ……….. 41

12 Analisis statistik ? berat uterus total ...……….. 41

13 Analisis statistik panjang uterus kiri K 1 ………... 42

14 Analisis statistik panjang uterus kiri K 2 ………... 42

15 Analisis statistik panjang uterus kiri K 3 ………... 43

16 Analisis statistik panjang uterus kiri total ..………... 43

17 Analisis statistik panjang uterus kanan K 1 ………. 44

18 Analisis statistik panjang uterus kanan K 2 ………. 44

19 Analisis statistik panjang uterus kanan K 3 ………. 45

20 Analisis statistik panjang uterus kanan total ...………. 45

21 Analisis statistik BKBL K 1 ... 46

22 Analisis statistik BKBL K 2 ... 46

23 Analisis statistik BKBL K 3 ... 47

24 Analisis statistik BKBL total ... 47

25 Analisis RNA kelenjar mammae K 1 ………. 48

26 Analisis RNA kelenjar mammae K 2 ………. 48

27 Analisis RNA kelenjar mammae K 3 ………. 49

28 Analisis RNA kelenjar mammae total ...………. 49

29 Ekstrak kedelai ... 50

30 Analisis isoflavon dengan HPLC ... 51

31 Gambar ovari ... 52

(13)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pertumbuhan penduduk perkotaan atau urbanisasi disebabkan oleh tiga proses yaitu pertumbuhan alamiah, migrasi dari desa ke kota, dan klasifikasi ulang daerah pedesaan menjadi daerah perkotaan. Urbanisasi dapat dikatakan sebagai produk dari pembangunan ekonomi, bukan hanya dari tingginya konsentrasi tenaga kerja di perkotaan tetapi juga karena pembangunan ekonomi mengubah gaya hidup perkotaan yang menciptakan kebutuhan akan infrastruktur dan pelayanan jasa-jasa.

DKI Jakarta tidak terlepas pula dari proses urbanisasi. Jumlah penduduk DKI Jakarta terus meningkat, pada tahun 1961 jumlah penduduk baru mencapai 2,9 juta jiwa kemudian meningkat hampir 2 kali lipat menjadi 4,5 juta jiwa pada tahun 1971. Pada tahun 1980, jumlah penduduk telah mencapai 6,5 juta jiwa kemudian meningkat menjadi 8,2 juta jiwa pada tahun 1990. Hasil Sensus Penduduk 2000 mencatat penduduk DKI Jakata sebesar 8,38 juta. Peningkatan penduduk yang sangat tinggi pada periode 1961-1970 lebih disebabkan pertumbuhan alamiah DKI Jakarta yang sangat tinggi. Pada periode 1967-1970 dan 1971-1975, tingkat fertilitas total (TFR) di DKI Jakarta mencapai 5,2 dan 4,8. Artinya setiap wanita pada usia subur di DKI Jakarta rata-rata akan melahirkan 5 orang anak (Riza l, 1999 unpublished report).

(14)

Urbanisasi yang tinggi yang tidak seimbang dengan daya dukung kota akan menyebabkan berbagai permasalahan. Salah satu daya dukung kota yang tidak tidak sebanding dengan tingkat urbanisasi adalah pertumbuhan lapangan kerja di sektor formal di DKI Jakarta. Sehingga penduduk yang tidak memperoleh pekerjaan di sektor formal akan mencari pekerjaan di sektor informal. Over

urbanization di DKI Jakarta telah mendorong pertumbuhan ekonomi sektor

informal yang cukup tinggi. Penduduk yang bekerja di sektor informal mempunyai pendapatan yang rendah. Hal ini karena upah di sektor formal perkotaan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan upah di sektor informal perkotaan (Kasliwal, 1995). Yang terjadi selanjutnya adalah meningkatnya penduduk miskin di perkotaan. Williamson (1975) menyatakan bahwa penduduk miskin adalah penduduk yang tidak mempunyai sumber daya ekonomi untuk hidup pada tingkat hidup yang memadai

Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan di perkotaan di Indonesia terus mengalami peningkatan. Pada tahun 1993, jumlah penduduk miskin perkotaan baru mencapai 8,7 juta jiwa kemudian meningkat menjadi 9,6 jiwa pada tahun 1996. Krisis ekonomi pada tahun 1997 telah berdampak pada peningkatan jumlah penduduk miskin, pada tahun 1999 jumlah penduduk miskin perkotaan naik dengan tajam menjadi 15,6 juta jiwa. Berbagai program pengentasan kemiskinan telah dilaksanakan oleh Pemerintah salah satunya adalah Jaring Pengaman Sosial (JPS). Pemulihan ekonomi disertai dengan pelaksanaan berbagai program pengentasan kemiskinan telah dapat menurunkan jumlah penduduk miskin di perkotaan, bahkan pada tahun 2003 jumlah penduduk miskin menurun menjadi 12,3 juta. Jumlah penduduk miskin di perkotaan ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin di perdesaan. Pada tahun 2003 jumlah penduduk miskin di perdesaan mencapai 25 juta jiwa.

(15)

3

pendidikan yang rendah sering dikaitkan dengan angka kemiskinan yang tinggi di daerah tersebut.

Masalah kemiskinan pun menjadi salah satu permasalahan utama di DKI Jakarta. Jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan pada tahun 1999 tercatat 283 ribu orang kemudian meningkat menjadi 288,9 ribu orang pada tahun 2002 dan pada tahun 2003 meningkat lagi menjadi 294,1 ribu orang.

Kemiskinan perkotaan baik di Jakarta maupun di kota lainnya sering dikaitkan dengan kawasan kumuh perkotaan. Apabila ditelaah, salah satu penyebab terbentuknya kawasan kumuh adalah migrasi desa kota yang sangat tinggi. Namun keberadaan kawasan kumuh yang terus berlanjut sering dihubungkan dengan lingkaran kemiskinan yang tidak putus di kawasan tersebut.

Di DKI Jakarta, sebagai ibukota negara, terdapat kawasan kumuh yang cukup luas. Pada tahun 2000 sekitar 30 persen dari luas DKI Jakarta termasuk dalam kategori kumuh. Daerah kumuh ini tersebar di lima wilayah kota dan satu kabupaten di DKI Jakarta.

(16)

1.2. Perumusan Masalah

Permasalahan yang dihadapi oleh Pemda DKI Jakarta sangat kompleks salah satunya adalah masalah kemiskinan. Kemiskinan ini merupakan akar dari permasalahan yang lainnya di DKI Jakarta. Tingkat pendidikan yang rendah, gizi buruk, pengangguran, dan kriminalitas sering dikatakan sebagai produk dari kemiskinan. Jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta selama 2 tahun terakhir terus menunjukkan peningkatan seperti yang menurut kotamadya ditunjukkan pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1 Jumlah Penduduk Miskin dan Persentase Penduduk Miskin di DKI Jakarta Menurut Kabupaten/Kota Berdasarkan Garis Kemiskinan (Kemiskinan absolut) Tahun 2002-2003

2002 2003

Kabupaten/Kota Penduduk

Miskin (000 orang)

Penduduk Miskin (%)

Penduduk Miskin (000 orang)

Penduduk Miskin (%)

Kep Seribu - - 3,1 15,64

Jakarta Selatan 45,1 2,56 47,2 2,54

Jakarta Timur 67,5 2,82 67,4 2,77

Jakarta Pusat 29,5 3,47 37,4 4,26

Jakarta Barat 77,2 4,03 64,3 3,20

Jakarta Utara 67,5 4,66 74,7 5,31

DKI Jakarta 288,9 3,42 294,1 3,42

Sumber : diolah dari data Susenas oleh BPS (2002,2003)

Moser, Gatehouse dan Garcia yang diacu dalam Irawan (2003) menyatakan bahwa kemiskinan sering dikaitkan dengan tiga ciri kehidupan perkotaan yang menonjol. Salah satunya adalah bahaya lingkungan atau environmental hazards yaitu lokasi pemukiman yang padat dan kumuh serta risiko terimbas ole h polusi. Ada keterkaitan erat antara kemiskinan dan lingkungan kumuh. UN Habitat menyatakan bahwa salah satu penyebab berkembangnya kawasan kumuh adalah peningkatan kemiskinan di perkotaan. Di Jakarta banyak dikenal kantong-kantong kumis yaitu kumuh dan miskin.

(17)

5

Pemprov DKI Jakarta melakukan pengumpulan data penduduk miskin yang digunakan dalam program pengentasan kemiskinan, penentuan penduduk miskin tidak berdasarkan pada garis kemiskinan melainkan mengacu pada kriteria kemiskinan berdasarkan 7 kriteria yaitu (a) luas hunian < 8 m2 per kapita, (b) jenis lantai sebagian bukan keramik, teraso, tegel/ubin, atau semen, (c) tidak ada fasilitas air bersih, (d) tidak ada fasilitas jamban/WC, (e) konsumsi lauk pauk tidak bervariasi, (f) tidak mampu membeli pakaian minimal 1 (satu) stel setahun untuk setiap anggota rumahtangga dan (g) tidak memiliki asset rumahtagga. Data kemiskinan dengan menggunakan kriteria tersebut tersaji pada Tabel 1.2.

Tabel 1.2 Jumlah Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kotamadya di DKI Jakarta Berdasarkan 7 (tujuh) Kriteria Kemiskinan BPS Tahun 2000-2004

Kabupaten/Kotamadya 2000 2002 2003 2004

Kep Seribu 1.811 2.297 2.136 1.860

Jakarta Selatan 41.447 31.887 23.392 25.504

Jakarta Timur 60.883 59.356 55.491 102.957

Jakarta Pusat 43.301 35.872 45.328 68.599

Jakarta Barat 78.557 59.794 59.159 55.915

Jakarta Utara 114.688 102.118 129.196 116.063

DKI Jakarta 340.687 291.324 314.702 370.898

Sumber : Hasil Pendataan Rumahtangga Miskin

Kriteria kemiskinan tersebut menekankan kondisi tempat tinggal sehingga lebih mempererat kaitan kemiskinan dengan permukiman kumuh. UN Habibat menyebutkan bahwa ciri-ciri permukiman kumuh adalah : kekurangan akses terhadap air bersih, kekurangan akses terhadap sanitasi dan infrastruktur lainnya, kualitas rumah yang tidak layak, dan kepadatan penduduk yang tinggi.

(18)

pengentasan lebih terarah, maka perlu lebih didalami karakteristik kemiskinan dan faktor- faktor yang mempengaruhi kemiskinan di DKI Jakarta.

Oleh karena itu menarik untuk dilakukan studi komparatif di permukiman kumuh dan permukiman tidak kumuh mengenai faktor- faktor yang mempengaruhi kemiskinan. Beberapa hal yang akan ditelaah lebih lanjut adalah :

1. Berapa angka kemiskinan yang dialami rumahtangga? 2. Bagaimana karakteristik rumahtangga miskin?

3. Berapa besar kedalaman dan keparahan kemiskinan dan tingkat kesenjangan pendapatan yang terjadi?

4. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kemiskinan?

5. Bagaimana program pengentasan kemiskinan yang telah dilaksanakan?

1.3. Tujuan Pe nelitian

Berdasarkan uraian di atas maka secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kemiskinan perkotaan baik di lokasi kumuh maupun tidak kumuh serta kerentanan kemiskinan di DKI Jakarta. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk :

1. menghitung angka kemiskinan yang dialami rumahtangga 2. menguraikan karakteristik rumahtangga miskin.

3. menguraikan kedalam dan keparahan kemiskinan serta tingkat kesenjangan pendapatan yang terjadi.

4. menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan.

5. menguraikan program pengentasan kemiskinan yang telah dilakukan.

1.4. Manfaat Penelitian

(19)

7

(20)

2.1. Kajian Kemiskinan Perkotaan di Negara-negara Sedang Berkembang Kemiskinan perkotaan menjadi suatu fenomena di negara- negara sedang berkembang. Di negara-negara tersebut, kemiskinan perkotaan sering diukur dengan akses terhadap tempat tinggal atau jasa pelayanan perkotaan lainnya. Kekurangan akses terhadap tempat tinggal dan jasa pelayanan perkotaan tersebut memberikan indikasi terhadap pendapatan dan daya beli yang rendah. Ada dua pendekatan untuk melihat alasan kemiskinan di perkotaan yaitu pendekatan kultural dan struktural. Pendekatan kultural adalah mengaitkan alasan kemiskinan dengan karakteristik individu seperti kurang kemampuan, disiplin, tanggung jawab dan usaha untuk keluar dari kemiskinan. Pendekatan ini melihat orang miskin bukan hanya korban tetapi juga penyebab dari kemiskinan. Pendekatan kedua adalah pendekatan struktural yang melihat alasan di luar dari orang miskin dan mengaitkan kemiskinan dengan sistem sosial ekonomi yang berlaku di suatu negara seperti kebijakan ekonomi, pendidikan yang kurang, kesempatan kerja, dan diskriminasi (Senses 2001, diacu dalam Yilmaz 2003).

Berbagai penelitian kemiskinan perkotaan di negara-negara sedang berkembang lebih menekankan pada pendekatan struktural. Laju pertumbuhan kesempatan kerja yang lebih rendah dari laju urbaninsasi berdampak kemiskinan di perkotaan. Penyebab dari laju urbanisasi yang tinggi ini adalah migrasi desa kota yang bertujuan mendapatkan upah yang tinggi dari sektor formal perkotaan. Namun arus migrasi yang besar menyebabkan tidak semua migran dapat terserap oleh sektor formal, sehingga sebagian dari migran harus bekerja di sektor informal (Yilmaz 2003).

(21)

9

Mereka yang bekerja sendiri tanpa bantuan orang lain (self employed) dan bekerja dengan keluarga atau sebagai buruh dibayar dapat dikatagorikan sebagai pekerja di sektor informal. Begitu pula dengan mereka yang mempunyai usaha namun dengan skala kecil.

Tabel 2.1 Penduduk Miskin Berdasarkan Status Pekerjaan di DKI Jakarta, 1999-2002

Status Pekerjaan 1999 2000 2001 2002

Tidak Bekerja 25,18 21,71 14,21 18,02

Bekerja Sendiri 43,57 30,09 28,97 30,47

Bekerja dengan keluarga atau buruh dibayar

2,77 11,82 11,01 6,17

Pemilik usaha/Karyawan 28,48 36,06 45,20 45,47

Pekerja Keluarga 0,00 0,32 0,60 0,00

Sumber : Tamb unan (2004)

Tabel 2 memberikan gambaran bahwa sektor informal merupakan tumpuan hidup bagi penduduk miskin. Diduga mereka yang memiliki usaha adalah usaha berskala kecil sehingga dapat dikatagorikan dalam sektor informal. Kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di negara-negara berkembang lainnya. Penelitian di Nigeria oleh Osinubi (2003), menyatakan bahwa sekitar 43 persen responden penduduk miskin bekerja sendiri (self employed).

Sektor informal memberikan pendapatan yang rendah jika dibandingkan dengan sektor formal. Dengan pendapatan rendah ini, maka sulit bagi penduduk miskin untuk mengakses berbagai jasa pelayanan seperti pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya. Hanya sedikit penduduk miskin yang dapat mengenyam pendidikan tinggi.

2.2. Konsep Kemiskinan

(22)

mendapatkan standar kehidupan minimum (Laporan Bank Dunia 1990, diacu dalam Osinubi 2003).

Couduel, Jesko , dan Quentin (2001) mengatakan bahwa kemiskinan dapat diukur melalui 2 (dua) dimensi yaitu dimensi moneter (monetary dimensions) dan dimensi bukan moneter (non monetary dimensions).

a. Dimensi moneter

Dalam mengukur kemiskinan dengan dimensi moneter, ada 2 pilihan yang dapat digunakan sebagai indikator kesejahteraan yaitu pendapatan dan konsumsi. Pengeluaran konsumsi yang diperoleh melalui survei rumahtangga cukup lengkap, sehingga penggunaan konsumsi rumahtangga dapat menjadi indikator yang lebih baik dibandingkan dengan pendapatan karena :

1. Konsumsi adalah indikator outcome yang lebih baik dibandingkan dengan pendapatan.

Konsumsi rumahtangga berkaitan dengan kesejateraan seseorang, dan dapat menggambarkan kebutuhan dasar. Sedangkan pendapatan hanya salah satu elemen yang akan menyedian konsumsi untuk barang-barang. 2. Pengukuran konsumsi akan lebih baik dibandingkan pendapatan.

Di perekonomian perkotaan dengan sektor informal yang besar, pendapatan mengalir dengan tidak menentu. Jadi cukup sulit untuk memperoleh pendapatan rumahtangga secara benar. Di samping itu, banyak sumbangan untuk pendapatan yang tidak berbentuk uang, seperti mengkonsumsi barang produksi sendiri dan barang-barang yang diperoleh melalui pertukaran.

3. Konsumsi dapat lebih baik dalam mencerminkan stardar hidup

rumahtangga yang sebenarnya dan kemampuannya untuk memenuhi

kebutuhan dasar.

(23)

11

b. Dimensi bukan moneter

Kemiskinan tidak hanya dikaitkan dengan kekurangan pendapatan atau konsumsi tetapi juga kekurangan hasil berkenaan dengan kesehatan, nutrisi, dan melek huruf, dan dengan hubungan sosial yang tidak baik, ketidakamanan, penghargaan terhadap diri sendiri yang rendah dan ketidakkuasaan (powerless). Alat-alat yang dapat digunakan untuk mengukurnya adalah :

1. Kemiskinan Kesehatan dan Nutrisi

Status gizi anak-anak dan angka harapan hidup dapat digunakan sebagai ukuran.

2. Kemiskinan Pendidikan

Tingkat buta huruf dapat dijadikan sebagai garis kemiskinan, namun di beberapa negara melek huruf sudah hampir menjangkau semua penduduk. Alternatif lain untuk mengukur kemiskinan pendidikan adalah lama sekolah yang telah diselesaikan dibandingkan dengan lama sekolah yang seharusnya diselesaikan.

3. Indeks Gabungan Kesejahteraan

Merupakan kombinasi informasi dari beberapa aspek berbeda dari kemiskinan. Ada kemungkinan untuk menciptakan pengukuran kemiskinan yang menghitung pendapatan, kesehatan, kekayaan, dan pendidikan.

Dalam penelitian ini menekankan pada dimensi moneter. Kemiskinan diukur melalui garis kemiskinan (poverty line) yang didasarkan pada pengeluaran konsumsi rumahtangga. Ada 2 jenis kemiskinan yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif.

Kemiskinan absolut adalah persentase penduduk dengan

(24)

setengah dari rata-rata atau nilai tengah pendapatan rumahtangga (Long 1999). Penduduk yang berada di bawah kemiskinan relatif belum tentu masuk dalam katagori miskin secara abolut.

Penentuan kemiskinan lainnya adalah dengan menggunakan karakteristik yang memberikan gambaran ketidakmampuan penduduk memenuhi kebutuhan untuk hidup layak. Pemda DKI Jakarta dalam melaksanakankan program pengentasan kemiskinan menggunakan data kemiskinan yang mengacu pada karakteristik rumahtangga. Ada 7 indikator yang dapat memberikan gambaran ketidakmampuan rumahtangga untuk hidup dengan layak, yaitu :

(a) luas lantai per kapita < 8 m2 (b) lantai tanah

(c) tidak memiliki jamban (d) tidak ada akses air bersih (e) konsumsi lauk tidak bervariasi (f) tidak punya asset produktif

(g) tidak mampu membeli pakaian baru dalam setahun

Suatu rumahtangga dikatakan miskin apabila memenuhi minimal 3 indikator tersebut.

2.3. Ketimpangan pendapatan

Ketimpangan pendapatan dan kemiskinan sangat berkaitan erat. Semakin timpang distribusi pendapatan makan semakin tinggi persentase penduduk yang hidup dalam kemiskinan pendapatan (World Bank). Ketimpangan sering dipelajari sebagai bagian yang lebih luas dari kemiskinan karena ketimpangan mengukur seluruh distribusi pendapatan tidak hanya kelompok yang berada di bawah garis kemiskinan.

(25)

13

pendapatan yang diterima oleh 20 persen anggota kelompok teratas dan 40 persen anggota kelompok terbawah (Todaro dan Smith, 2003).

Ketimpangan pendapatan dapat juga dilihat dengan menggunakan kurva Lorenz. Kurva ini memperlihatkan hubungan kuantitatif aktual antara persentase persentase penerima pendapatan dengan persentase pendapatan total yang benar-benar mereka terima selama kurun waktu tertentu. Interpretasi dari kurva Lorenz adalah semakin jauh jarak kurva dari dari diagonal maka semakin timpang atau tidak merata distribusi pendapatannya.

Pengukuran ketimpangan pendapatan yang lebih mudah adalah dengan menggunakan rasio Gini. Koefisien Gini adalah ukuran ketimpangan agregat yang angkanya berkisar antara nol sampai dengan satu. Koefisien Gini adalah salah satu ukuran yang dapat memenuhi empat kriteri yaitu prinsip anonimitas, independensi populasi, independensi skala dan transfer. Prinsip anonimitas mengatakan bahwa ukuran ketimpangan seharusnya tidak tergantung pada siapa yang mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi. Prinsip independensi skala berarti bahwa ukuran ketimpangan tersebut tidak tergantung pada apakah kita mengukur pendapatan dengan dollar atau rupiah. Prinsip independensi populasi menyatakan bahwa pengukuran ketimpangan seharusnya tidak didasarkan pada jumlah penerima pendapatan. Prinsip transfer (prinsip Pigou-Dalton) menyatakan bahwa dengan mengasumsikan semua pendapatan lain konstan, maka transfer pendapatan dari orang kaya ke orang miskin akan membuat distibusi pendapatan baru yang lebih merata (Todaro dan Smith, 2003).

2.4. Penyebab Kemiskinan

Kemiskinan perkotaan adalah suatu fenomena yang multi-dimensi, meliputi rendahnya tingkat pendapatan, kesehatan, pendidikan, kerawanan tempat tinggal dan pribadi, dan ketidakberdayaan. Berikut ini akan diuraikan masing-masing dimensi dan akar permasalahannya (Wolrd Bank, PRSP Sourcebook yang diacu dalam Irawan, 2003).

a. Dimensi rendahnya tingkat pendapatan Akar permasalahan dari dimensi ini adalah:

(26)

- ketidakpastian prospek pekerjaan (pekerjaan yang tidak tetap atau casual work,),

- buruh dibayar tidak trampil, kurangnya kualifikasi untuk memperoleh pekerjaan dengan upah tinggi,

- ketidakmampuan untuk mempertahankan pekerjaaan karena kondisi kesehatan buruh, dan

- kurangnya akses terhadap kesempatan kerja (penduduk miskin perkotaan sering harus mengorbankan antara jarak ke tempat pekerjaan dan biaya perumahan).

b. Dimensi kondisi kesehatan buruh Akar permasalahnnya adalah :

- kondisi hidup yang kumuh pada dan tidak higienis,

- lingkungan tempat tinggal tidak sehat karena polusi limbah industri dan kendaraaan bermotor,

- penduduk miskin umumnya tinggal di kawasan marjinal (seperti bantaran sungai) yang mudah terkena bahaya lingkungan seperti tanah longsor dan banjir,

- resiko tinggi terhadap berbagai penyakit karena buruknya kualitas udara dan air dan buruknya sanitasi,

- resiko tinggi terhadap kecelakaaan lalu lintas, dan

- resiko kondisi kerja yang tidak aman, khususnya untuk mereka di kegiatan-kegiatan sektor informal.

c. Dimensi tingkat pendidikan rendah Akar permalahan adalah :

- terhambatnya akses terhadap pendidikan karena terbatasnya daya tampung sekolah yang tidak mengimbangi tumbuhnya daerah perkotaan,

- ketidakmampuan membayar uang sekolah,

- resiko keselamatan/keamanan pribasdi ketika pergi sekolah

d. Dimensi kerawanan/ketidakamanan tempat tinggal dan pribadi (tenure and personal insecurity).

(27)

15

- tanah dan perumahan di wilayah-wilayah resmi tidak terbeli, oleh karena itu keluarga miskin biasanya membangun sendiri atau menyewa di lokasi-lokasi kampung atau tanah ilegal (serobotan) dengan konstruksi seadanya dan cnderung tidak aman terhadap bahaya-bahaya lingkungan,

- penyalahgunaan narkoba dan kekerasan domestik,

- perceraian keluarga, dan mengurangi jaminan hidup untuk anak-anak, - keragaman sosial dan ketimpangan pendapatan yang tampak jelas di

kota-kota, yang dapat meningkatkan kecemburuan sosial dan kriminalitas. e. Dimensi ketidakberdayaan

Akar permasalahan adalah :

- tidak adanya kepastian terhadap status tempat tinggal dan prospek pekerjaan,

- isolasi dari komunitas yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaan, dan - menurunnya modal sosial seperti hilangnya kohesi keluarga dan isolasi

sosial.

Penyebab kemiskinan itu sendiri tidak hanya karena satu faktor tetapi merupakan kombinasi dari banyak faktor. Ajakaiye dan Adeyeye (2002) yang melakukan penelitian di negara-negara berkembang menyatakan bahwa secara makro penyebab kemiskinan adalah :

a. Kinerja pertumbuhan ekonomi yang rendah

(28)

b. Kegagalan kebijakan dan goncangan makroekonomi

Banyak perekonomian di dunia yang menghadapi ketidak seimbangan makroekonomi, umumnya dalam neraca pembayaran karena kebijakan perluasan permintaan agregat, guncangan neraca perdagangan, dan bencana alam. Guncangan makroekonomi dan kegagalan kebijakan berdampak pada peningkatan kemiskinan, karena kondisi ini memberikan kendala bagi orang miskin untuk menggunakan asset terbesarnya yaitu tenaga kerja.

Kemiskinan di perkotaan sebagai hasil dari kegagalan kebijakan adalah mudahnya kehilangan pekerjaan karena pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor public atau karena penurunan pertumbuhan sektor industri.

c. Pasar tenaga kerja yang kurang bergairah

Sumberdaya yang berlimpah di penduduk miskin adalah tenaga kerja, oleh karena itu pasar tenaga kerja sangant penting untuk mengurangi kemiskinan dan kesenjangan pendapatan. Pasar tenaga kerja yang kurang bergairah dapat mempengaruhi orang miskin melalui pertumbuhan kesempatan kerja dan kapasitas penyerapan tenaga kerja di sektor informal yang terbatas.

d. Migrasi

Tingkat migrasi dapat mengurangi kemiskinan khususnya ketika sebagian besar migrant adalah pekerja yang mempunyai ketrampilan. Di satu sisi, migran berpindah untuk mengisi pekerjaan di pasar kerja, sehingga ketrampilan akan mengalir melalui migrasi. Hal ini akan mengurangi laju pertumbuhan ekonomi dan menurunkan proses penciptaan lapangan pekerjaan secara keseluruhan dan juga mempengaruhi pada pembangunan jangka panjang suatu negara.

e. Pengangguran dan Setengah Menganggur

(29)

17

formal yang sepertinya mendorong lebih banyak setengah pengangguran di sektor informal.

f. Pengembangan sumberdaya manusia

Pengembangan kemampuan dan modal manusia dapat memberikan jalan keluar dari kemiskinan. Investasi pada manusia dapat meningkatkan standar hidup dari rumahtangga dengan memperluas kesempatan, meningkatkan produktivitas, menarik investasi capital, dan meningkatkan kemampuan untuk mencari nafkah.

Tambunan (2004) menyatakan bahwa penyebab utama dari kemiskinan perkotaan di Indonesia adalah kemiskinan atau ketertinggalan ekonomi di pedesaan. Pembangunan ekonomi pedesaan di Indonesia kurang berkembang dibandingkan dengan pembangunan ekonomi perkotaan. Ekonomi pedesaan didominasi oleh sektor pertanian. Ketika lahan pertanian semakin banyak terkonversi untuk tujuan lain, maka hal ini mendorong peningkatan migrasi dari desa ke kota. Namun mereka yang pindah dari pedesaan ke kota besar khususnya Jakarta sulit untuk mendapatkan pekerjaan dengan pendapatan yang layak karena mereka umumnya berpendidikan rendah.

Ajakaiye dan Adeyeye (2002) menyatakan bahwa secara mikro faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan rumah tangga adalah :

a. umur dan pendidikan anggota rumahtangga khususnya kepala rumahtangga b. jumlah anggota rumahtangga yang mempunyai pekerjaan

c. komposisi dan besaran rumahtangga d. asset yang dimiliki oleh rumahtangga e. akses pada jasa pelayanan sosial dasar f. jenis kelamin kepala rumahtangga g. peubah lokasi

h. sektor lapangan kerja i. dan lain sebagainya.

(30)

kelamin kepala rumahtangga, status pendidikan kepala rumahtangga (dalam tahun), pendapatan per kapita dan besaran ruma htangga. Penelitian yang dilakukan Cuna (2004) menyebutkan bahwa peubah-peubah yang mempengaruhi konsumsi per kapita adalah karakteristik demografi (besaran rumahtangga, komposisi, dan status tempat tinggal kepala rumahtangga), pendidikan anggota rumahtangga di atas 15 tahun, pekerjaan anggota rumahtangga termasuk yang pengangguran, lokasi rumahtangga (perdesaan atau perkotaan).

Beberapa penelitian mengkaji mengenai faktor-faktor yang memungkinkan rumahtangga menjadi rumahtangga miskin. Ghazouani dan Goaied (2001) meneliti bahwa jenis kelamin kepala rumahtangga, tingkat pendidikan kepala rumahtangga, komposisi rumahtangga, tempat tinggal rumahtangga dan jumlah anggota rumahtangga per kamar merupakan faktor- faktor yang dapat memungkinkan suatu rumahtangga menjadi miskin. Garza-Rodriguez (2002) meneliti bahwa jenis kelamin, lokasi rumahtangga, besaran rumah tangga, jenis pekerjaan kepala rumahtangga, dan tingkat pendidikan kepala rumahtangga dapat memungkinkan rumahtangga menjadi rumahtangga miskin.

2.5. Permukiman kumuh

Kata kumuh biasa digunakan untuk mengidentifikasi kualitas perumahan yang miskin dan kondisi yang tidak sehat. Permukiman kumuh adalah lokasi dengan tingkat kepadatan tinggi yang dicirikan oleh perumahan yang di bawah standar (struktur dan layanan publik) dan kejorokan. Kawasan kumuh adalah sisi gelap dari perkotaan dimana terkumpul kemiskinan, kriminalitas, dan polusi. Keberadaan kawasan kumuh merupakan salah satu masalah di perkotaan, sehingga diperlukan studi atau penelitian mengenai kawasan ini.

BPS menetapkan 10 kriteria dalam penentuan RW Kumuh yaitu : (1) kepadatan penduduk

(2) tata letak bangunan

(3) keadaan bangunan tempat tinggal (4) ventilasi perumahan

(31)

19

(7) drainase

(8) pemakaian air bersih

(9) pembuangan limbah manusia (10) pengelolaan sampah.

Studi mengenai kawasan kumuh telah dilakukan oleh Bani dan Rawal (2002) di Kota Anand India. Dalam studi tersebut dikemukan bahwa keberadaan kawasan kumuh berkaitan dengan faktor geografi, yaitu kedekatan dengan mata air, tempat kerja, pinggiran sungai, terowongan, lahan tak terpakai, kawasan industri, kedekatan dengan stasiun kereta dan lain sebagainya. Daerah sepanjang pinggiran sungai dan rel kereta api menjadi tempat berkembangnya kawasan kumuh.

Indikator sosial dari perkembangan kawasan kumuh adalah meningkatnya kepadapatan di kawasan ini. Baik dilihat dari kepadatan bangunan maupun kepadatan penduduk. Di Kota Anand ini telah terjadi peningkatan kawasan kumuh apabila dilihat dari kepadatan bangunan dan kepadatan penduduknya.

Studi lain tentang kawasan kumuh menitikberatkan pada karakteristik penduduk yang tinggal di kawasan tersebut. Mata pencaharian yang banyak dikerjakan oleh kepala rumahtangga di kawasan kumuh adalah sopir, pemilik warung, buruh pabrik garmen, pekerja di bidang jasa, dan buruh bangunan.

(32)

3.1 Kerangka Pemikiran

Perpindahan penduduk disebabkan oleh adanya kekuatan pendorong di daerah asal maupun kekuatan penarik di daerah tujuan baik dilihat dari aspek ekonomi maupun tidak ekonomi. Namun pada umumnya penduduk bermigrasi untuk tujuan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Sering kali faktor ekonomi menjadi faktor penarik dan pendorong seperti adanya daya tarik upah yang lebih tinggi di daerah tujuan (Isard, 1975 p. 181). Lewis diacu dalam Kasliwal (1995 p. 168) mengatakan bahwa adanya migrasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri di perkotaan karena adanya perbedaan upah.

Perbedaan upah yang terjadi antara daerah perdesaan dan perkotaan karena penerapan pola pembangunan yang bersifat terpusat (growth poles, growth centre). Teori pusat-pusat pertumbuhan (growth pole) lebih me nekankan pada pentingnya pengembangan pusat-pusat pertumbuhan baru untuk membangun suatu wilayah di samping dominannya strategi-strategi pembangunan di sisi pasokan (supply) (Rustiadi, et al , 2003). Diharapkan pusat-pusat pertumbuhan ini dapat memberikan efek sentrifugal, yaitu dapat menggerakkan daerah sekitarnya sehingga dapat berkembang bersama-sama. Namun yang terjadi adalah terjadinya pengurasan sumber daya dari daerah di sekitarnya sehingga salah satu akibatnya adalah perpindahan penduduk dari daerah belakang (hinterland) ke pusat-pusat pertumbuhan.

Arus perpindahan penduduk dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan (pusat-pusat pertumbuhan) terus berlangsung walaupun di perkotaan sudah terjadi pengangguran. Fenomena tersebut dijelaskan dalam Model Harris Todaro. Model tersebut menjelaskan bahwa selama upah yang diharapkan di perkotaan masih lebih tinggi dibandingkan dengan upah di pedesaan maka perpindahan penduduk dari desa ke kota akan terus berlangsung.

(33)

20

perkotaan apabila pertumbuhan penduduk perkotaan melebihi pertumbuhan lapangan kerja dan penyediaan perumahan, infrastruktur dan pelayanan jasa-jasa.

Ketika lapangan kerja formal yang tersedia tidak dapat menyerap seluruh angkatan kerja, maka mereka yang tidak terserap akan masuk ke sektor kerja informal dan sebagian dari mereka akan menjadi pengangguran. Pendapatan yang diterima di sektor informal jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang diperoleh di sektor formal. Dengan pendapatan rendah tersebut, maka mereka sulit untuk mengakses pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, air dan sanitasi, dan tempat tinggal. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa penduduk yang berpendapatan rendah umumnya tinggal di permukiman kumuh.

Fenomena ini terjadi pula di Indonesia. Teori growth pole diterapkan pula di Indonesia, sehingga orientasi pembangunan yang dilaksanakan di masa lalu cenderung urban bias. Hal ini menyebabkan terjadinya perbedaan tingkat perekonomian antara daerah. Adanya konsentrasi kekayaan, asset, kapasitas perdagangan, aktivitas ekonomi dan berbagai jasa di perkotaan menyebabkan arus migrasi desa-kota tidak dapat dibendung. Tjiptoherijanto (1997) menyatakan bahwa disparitas pertumbuhan ekonomi sebagai hasil dari terkonsentrasinya aktivitas ekonomi (industri dan jasa) di perkotaan telah meningkatkan urbanisasi. Kebijakan pembangunan tersebut telah menimbulkan pusat-pusat pertumbuhan di beberapa tempat. Jakarta adalah salah satu pusat pertumbuhan yang mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Konsekuensi dari hal tersebut adalah tingkat urbanisasi yang tinggi di Jakarta. Over

urbanization yang dialami oleh DKI Jakarta memberikan dampak pada

kemiskinan kota.

(34)

kebijakan dalam bidang ketenagakerjaan yang ada belum dapat mengatasi masalah pengangguran, dampaknya adalah jumlah pengangguran yang tinggi. Mereka ini akan masuk dalam perangkap kemiskinan.

Program pengentasan kemiskinan perlu dititik beratkan pada rumahtangga miskin baik dilihat dari aspek sosial maupun ekonomi. Kondisi sosial dari rumahtangga miskin dapat dilihat dari aspek demografi, pend idikan, lapangan pekerjaan mapun kondisi tempat tinggal. Dari sisi ekonomi, dapat dilhat dari ketimpangan pendapatan, keparahan kemiskinan dan faktor- faktor yang menyebabkan kemiskinan. Titik berat dari penelitian ini adalah mengaitkan faktor- faktor yang mempengaruhi kemiskinan dengan karakteristik demografi rumahtangga.

Secara mikro banyak faktor yang menjadi penyebab terhadap kemiskinan yang diderita oleh suatu rumahtangga. Pengukuran rumahtangga miskin menggunakan garis kemiskinan yang didasarkan pada pengeluaran konsumsi per kapita.

Untuk melihat faktor- faktor yang menentukan kemiskinan maka didekati dengan faktor- faktor yang dapat menentukan tingkat pengeluaran konsumsi rumahtangga. Faktor- faktor itu adalah :

a. jenis kelamin kepala keluarga

Beberapa penelitian menyatakan bahwa rumahtangga dengan kepala rumahtangga perempuan sering lebih miskin dibandingkan dengan rumahtangga yang dikepalai oleh laki- laki. Oey dan Gardiner (1991) diacu dalam Sugiyono (2003) menyatakan bahwa secara implisit perbedaan kemiskinan lebih disebabkan perbedaan jenis kelamin. Isu gender masih melekat di dunia khususnya negara- negara berkembang, pengutamaan terhadap kaum laki- laki masih terasakan. Sehingga perempuan masih sebagai sub ordinat dan kalah bersaing dengan kaum laki- laki.

b. tingkat pendidikan

(35)

22

tinggi untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan keluarganya.

Chernichovsky dan Meesok (1984) dalam Arsyad (1987) diacu dalam Wahyuni (2000) menyatakan bahwa rendahnya tingkat pendidikan kepala rumahtangga sebagai orang yang bertanggung jawab pada pemenuhan kebutuhan keluarga merupakan salah satu karakteristik yang biasa ditemukan pada rumahtangga miskin.

c. pekerjaan

Tingkat pendidikan mempengaruhi peluang untuk memperoleh pekerjaan, sehingga dengan pendidikan yang rendah maka akan terbatas peluang pekerjaan yang diperoleh. Hasil penelitian Dillon dan Hermanto dalam Faturochman dan Molo (1994) diacu dalam Sugiyono (2003) menyatakan bahwa rumahtangga miskin di perdesaan terutama mengandalkan pertanian sebagai sumber penghasilan utama sedangkan di perkotaan lebih banyak mengandalkan penghasilan dari sektor jasa dan sektor informal.

Di samping itu pekerja yang bekerja di bawah jam kerja normal dan sedang mencari pekerjaan (setengah penganggur) mengindikasikan kurangnya pendapatan untuk menopang hidup yang layak.

d. besaran rumahtangga

Jumlah anggota rumahtangga berpengaruh positf terhadap kemiskinan. Semakin besar jumlah anggota rumahtangga maka rumahtangga tanpa diikuti dengan peningkatan pendapatan menyebabkan konsumsi per kapita akan semakin kecil sehingga peluang miskin menjadi semakin besar.

Jumlah anggota rumahtangga yang besar pada rumahtangga miskin disebabkan oleh tingkat kelahiran yang tinggi. Schultz, 1981 diacu dalam Rodriguez Garcia (2002) menyebutkan bahwa angka kematian bayi di kalangan rumahtangga miskin membuat mereka cenderung untuk lebih banyak melahirkan untuk menggantikan bayi-bayi yang telah meninggal tersebut, hal ini akan meningkatkan jumlah besaran rumahtangga.

e. proporsi anggota rumahtangga yang bekerja.

(36)

banyak pendapatan yang diperoleh sehingga mereka semakin jauh dari lingkaran kemiskinan. Hasil penelitian Kamuzora dan Mkanta (2000) di Tanzania menunjukkan bahwa rumahtangga dengan anggota rumahtangga yang besar dapat berpeluang lebih kecil menjadi miskin karena mereka mempunyai tenaga kerja yang lebih besar untuk mencari nafkah.

f. Usia kepala rumahtangga

Oey dan Gardiner (1991) diacu dalam Sugiyono (2003) menyatakan bahwa usia kepala rumahtangga berhubungan lansung dengan kesejateraan rumahtangga, hal ini sangat lumrah karena semakin tua semakin mantap keadaan rumahtangganya. Penelitian Fajariyanto (2002) diacu dalam Sugiyono menyebutkan bahwa semakin tua kepala rumahtangga maka persentase rumahtangga miskin akan semakin bekurang.

g. proporsi terhadap pengeluaran Bahan Bakar Minyak

Bahan bakar minyak (BBM) adalah salah satu komoditas yang sangat penting bagi rumahtangga, perubahan harga terhadap komoditas ini akan berpengaruh terhadap tingkat pengeluaran rumahtangga. Sehingga pengeluraan terhadap BBM berpengaruh terhadap kemiskinan rumahtangga. Bahan bakar minyak yang dimaksud dalam penelitian ini adalah BBM yang langsung dikonsumsi oleh rumahtangga seperti minyak tanah (untuk memasak), bensin (untuk kendaran pribadi) dan solar (untuk generator/kendaraan pribadi).

h. proporsi anggota rumahtangga usia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun International Labor Organization (ILO) menyatakan bahwa penduduk yang produktif atau masih dapat aktif secara ekonomi adalah penduduk usia 15-64 tahun. Penduduk dengan usia di luar itu adalah penduduk yang tidak produktif, maka proporsi penduduk yang tidak produktif dalam rumahtangga dapat mempengaruhi status kemiskinan dari rumahtangga.

i. proporsi pengeluaran terhadap makanan

(37)

24

pendapatan terus meningkat maka permintaan terhadap barang tersebut perubahaannya main kecil dibandingkan dengan perubahan pendapatan. Mengacu pada kurva Engle, maka rumahtangga miskin akan mempunyai proporsi pengeluaran terhadap makanan yang lebih besar dibandingkan dengan rumahtangga tidak miskin.

j. kondisi tempat tinggal

Mengacu pada tujuh kriteria kemiskinan yang digunakan oleh Pemerintah Propinsi DKI Jakarta, maka kondisi tempat tinggal yang dapat dijadikan prediktor kemiskinan rumahtangga adalah :

- luas lantai per kapita

luas lantai adalah luas yang ditempati dan digunakan untuk keperluan sehari- hari (sebatas atap)

- jenis lantai

lantai adalah bagian bawah/dasar/alas suatu ruangan, baik yang terbuat dari tanah maupun bukan tanah seperti keramik, marmer, papan dan semen serta lainnya

- akses terhadap jamban

fasilitas tempat buang air besar (jamban) adalah tempat pembuangan tinjanya (closet) yaitu berupa fisiknya. Fasilitas ini dimaksudkan untuk melihat kemudahan rumahtangga dalam menggunakan jamban yang dikaitan dengan kondisi kesehatan perumahan dan sanitasi lingkungan. Fasilitas jamban dibedakan menjadi 4 katagori yaitu sendiri, bersama, umum dan tidak ada.

- akses terhadap air bersih

fasilitas air minum adalah instalasi air minum yang dikelola oleh PAM/PDAM atau non PAM/PDAM termasuk sumur pompa. Rumahtangga tidak mempunyai akses terhadap air bersih apabila rumah tangga tidak mempunyai fasilitas air minum tertentu misalnya langsung ambil air dari sungai atau air hujan.

(38)

Status rumah tempat tinggal adalah status rumah yang ditempati oleh rumahtangga, yang harus dilihat dari sisi anggota rumahtangga yang mendiaminya.

(39)
[image:39.842.101.808.156.446.2]

: sasaran penelitian : peubahbebas yang diteliti

Gambar 1.1. Alur pikir penelitian.

Migrasi desa kota

Faktor-faktor makro: - Pasar tenaga kerja - Berbagai kebijakan

makro ekonomi - Kebijakan

ketenagakerjaan - Program

pengentasan kemiskinan

Faktor-faktor mikro : - Demografi KRT - Pendidikan KRT - Pekerjaan KRT - kondisi fisik tempat

tinggal Kemiskinan Rumahtangga di

permukiman kumuh dan tidak Kumuh

Akibat negatif: - disparitas

pertumbuhan ekonomi

- kesenjangan sosial - kemiskinan/pengang

guran Orientasi :

- padat modal - urban biased

- Growth pole strategy - Top down planning

Penetapan Jakarta sebagai pusat pemerintahan, bisnis

dan jasa

Kebijakan

Pembangunan

Nasional

- Garis kemiskinan - Kriteria BPS

- GR yang didekati dengan

pendekatan Atkinson

- Regresi Logistik - Foster –Greer-Thorbeeke

(FGT)

- Analisis deskriptif

26

(40)

Dalam menelaah masalah rumahtangga miskin, digunakan beberapa alat analisis yaitu analisis deskriftif, garis kemiskinan, regresi logistik, gini rasio, distribusi pendapatan ukuran bank dunia, dan Foster –Greer-Thorbeeke (FGT) Model.

3.2. Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah karakteristik rumahtangga mempengaruhi kemiskinan rumahtangga secara nyata. Lebih rinci hipotesis penelitian dirumuskan sebagai berikut:

a. Tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan di RW kumuh lebih tinggi dibandiingkan di yang tidak kumuh.

b. Ketimpangan pendapatan di RW kumuh lebih rendah dibandingkan dengan di yang tidak kumuh

c. Besaran rumahtangga, jenis kelamin kepala rumahtangga, proporsi anak usia di bawah 15 tahun mempengaruhi kemiskinan secara positif.

d. Proporsi anggota rumahtangga yang bekerja dan pendidikan mempengaruhi kemiskinan secara negatif.

3.3. Metode Penelitian

3.3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di seluruh DKI Jakarta kecuali Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Lima wilayah kota yang diteliti adalah Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Pusat, Jakarta Barat dan Jakarta Utara. Tidak dicakupnya Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dalam penelitian ini karena di wilayah tersebut tidak dilakukan pendataan RW kumuh, sehingga tidak dapat dilakukan studi komparatif tentang kemiskinan pada RW kumuh dan yang tidak kumuh.

(41)

28

3.3.2. Sumber Data

Sumber data utama penelitian ini adalah hasil survei yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik, baik yang berupa data publikasi maupun data mentah, yaitu:

a. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2004 b. Hasil Evaluasi RW Kumuh DKI Jakarta 2004

a. Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS)

Susenas merupakan survei yang dirancang untuk mengumpulkan data sosial ekonomi kependudukan yang relatif luas. Data yang dikumpulkan antara lain menyangkut bidang pendidikan, kesehatan/gizi, perumahan/lingkungan hidup, ketenagakerjaan, dan konsumsi rumahtangga.

Pengumulan data di DKI Jakarta dilakukan dengan metoda sampling terbatas dengan jumlah sample 6.493 rumahtangga yang terdiri 2270 rumahtangga di permukiman kumuh, dan 4223 rumahtangga di permukiman tidak kumuh.

c. Evaluasi RW Kumuh DKI Jakarta 2004

Identifikasi atau penelitian terhadap wilayah kumuh di DKI Jakarta dilakukan pada tahun 1993. Penelitian dilaksanakan pada lingkungan yang terkecil, yaitu pada rukun warga (RW) yang kumuh, untuk mempermudah dilakukannya stratifikasi wilayah kumuh. Kemudian penelitian ke dua dilakukan pada tahun 1997, yang merupakan kegiatan evaluasi terhadap RW kumuh untuk melihat sejauh mana dampak berbagai program pembangunan telah memperlihatkan hasil, khususnya terhadap lingkungan kumuh. Kegiatan yang sama dilaksanakan kembali pada tahun 2001, dan terakhir pada tahun 2004.

(42)

3.3.3. Konsep dan definisi

a. Garis kemiskinan : sejumlah uang yang diperlukan untuk memenuhi

kebutuhan minimal makanan dan bukan makanan untuk tetap hidup. Kebutuhan makanan adalah 2.100 kal per hari. Rata-rata konsumsi atas makanan dan bukan makanan yang tergabung dalam “keranjang” makanan dan bukan makanan dari reference population. Reference population adalah penduduk dengan pengeluaran sedikit di atas garis kemiskinan, garis kemiskinan yang lalu dideflate dengan tingkat inflasi. Garis kemiskinan sangat tergantung dari penentuan kelompok ini dan tingkat inflasi.

b. Penduduk miskin : adalah penduduk yang tidak dapat hidup sesuai standar hidup minimum

c. Kemiskinan absolut : adalah persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan.

d. Kemiskinan relatif : adalah ketimpangan antara kelompok berpendapatan rendah dengan kelompok berpendapatan tinggi.

e. Permukiman kumuh adalah lokasi dengan tingkat kepadatan tinggi yang

dicirikan oleh perumahan yang di bawah standar (struktur dan layanan publik) dan kejorokan.

BPS menetapkan 10 kriteria dalam penentuan RW Kumuh yaitu : (1). kepadatan penduduk

(2). tata letak bangunan

(3). keadaan bangunan tempat tinggal (4). ventilasi perumahan

(5). kepadatan bangunan (6). keadaan jalan (7). drainase

(8). pemakaian air bersih

(9). pembuangan limbah manusia (10). pengelolaan sampah.

f. Rumahtangga: adalah seseorang atau sekumpulan orang yang mendiami

(43)

30

serta makan dari satu dapur. Yang dimaksud dengan makan dari satu dapur adalah jika pengurusan kebutuhan sehari- harinya dikelola bersama menjadi satu.

g. Anggota rumahtangga : adalah semua orang yang biasanya bertempat tinggal di suatu rumahtangga, baik ada pada saat pencacahan maupun sementara tidak ada. Batasan biasa tinggal adalah enam bulan, apabila sudah pergi lebih dari enam bulan maka sudah tidak dimasukkan sebagai anggota rumahtangga lagi. h. Kepala rumahtangga : adalah seorang dari sekelompok anggota rumahtangga

yang bertanggung jawab atas kebutuhan sehari- hari dalam rumahtangga tersebut atau orang yang dianggap/ditunjuk sebagai kepala rumahtangga

i. Penduduk bekerja

Bekerja adalah kegiatan melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan paling sedikit selama satu jam selama seminggu yang lalu. Bekerja selama satu jam tersebut harus dilakukan berturut-turut dan tidak terputus. Melakukan pekerjaan dalam konsep bekerja adalah melakukan kegiatan ekonomi yang menghasilkan barang atau jasa.

k. Pengeluarankonsumsi rumahtangga untuk makanan

Pengeluaran untuk makanan adalah nilai pengeluaran untuk konsumsi rumahtangga selama sebulan yang lalu baik berasal dari pembelian, produksi sendiri, ataupun pemberian.

3.4. Metode Analisis

Dalam penelitian ini digunakan beberapa macam analisis sesuai dengan ketersediaan data.

a. Analisis deskriptif

(44)

Data yang digunakan dalam analisis ini adalah data cross section hasil Susenas 2004. Berdasarkan data yang dihasilkan oleh BPS melalui Susenas akan dijelaskan karakteristik rumahtangga miskin dan yang rentan terhadap kemiskinan di DKI Jakarta.

b. Analisis ketimpangan pendapatan

(1) Gini Rasio dengan pendekatan Atkinson

Pengukuran ketimpangan menggunakan konsep ketimpangan Atkinson. Atkinson 1970, diacu dalam Rusli, Sumardjo dan Syaukat (editor 1982) mendefinisikan ketimpangan pendapatan sebagai perbedaan, persebaran, atau pemusatan pendapatan, yang keseluruhannya berpangkal pada ketidaksamaan dilihat secara kuantitatif. Pengukuran pendatan dilakukan dengan rasio Gini yang dengan pendekatan Atkinson dapat dihitung dengan persamaan :

( )

(

)

[

1 2 n

]

2

ny

...

y

2

y

n

/

2

n

/

1

1

G

=

+

µ

+

+

+

untuk y1≥y2≥….≥yn

Dimana :

n : populasi

y : pendapatan µ : nilai tengah pendapatan

Koefisien bervariasi antara 0 – 1, 0 mengindikasikan pemerataan yang sempurna sedangkan angka 1 mencerminkan ketimpangan yang sempurna (satu orang mendapatkan semua pendapatan sedangkan yang lainnya tidak sama sekali). Ketimpangan tinggi berkisar antara 0,50 – 070 dan ketimpangan merata berkisar antara 0,20-0,35 (Todaro dan Smith, 2003).

(2) Distribusi pendapatan ukuran Bank Dunia

Dalam pengukuran pemerataan pendapatan, Bank Dunia membagi penduduk atas 3 kelompok, yaitu kelompok 40 persen penduduk pendapatan rendah, 40 persen penduduk pendapatan menengah, dan 20 persen penduduk kelas atas. Ketimpangan pengeluaran dilihat berdasarkan besarnya pendapatan yang diterima oleh kelompok 40 persen terbawah dengan kriteria :

(45)

32

(2) Bila persentase pendapatan yang diterima oleh kelompok 40 persen pendapatan terbawah ada diantara 12-17 persen dikatakan ketimpangan sedang (3) Bila persentase pendapatan yang diterima oleh kelompok 40 persen

pendapatan terbawah ada di atas 17 persen dikatakan ketimpangan rendah.

c. Analisis kedalaman dan keparahan kemiskinan

Foster –Greer-Thorbeeke (FGT) telah merumuskan suatu ukuran yang digunakan untuk tingkat kemiskinan sebagai berikut :

α

α

=



 −



q

i

i

z

y

z

n

P

1

1

dimana : α = 0,1,2

z = garis kemiskinan

yi = rata-rata pengeluaran per kapita sebulan pend uduk yang berada di bawah

garis kemiskinan (i=1,2,…..,q), yi < z

q = banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan n = jumlah penduduk

Jika α = 0, maka akan diperoleh Head Count Index (P0) yaitu persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. P1 (α = 1) adalah Poverty gap yaitu ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing- masing penduduk miskin terhadap batas miskin. Semakin besar nilai indeks, maka semakin besar rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Indeks ini mencerminkan kedalaman kemiskinan. P2 (α =2) adalah disbutionally sensitive index, nilai indeks ini sampai batas tertentu dapat memberi gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin dan dapat juga digunakan untuk mengetahui intensitas kemiskinan.

d. Model regresi logistik

Model ini digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi peluang kemiskinan sehingga dapat dilihat peluang rumahtangga menjadi miskin.

Prob (Y=1) = F(Σβh Xh)

(46)

(

)

        ∑β + α − + = = = h h X h e 1 1 1 i Y P i P

Dan dalam bentuk umum adalah sebagai berikut :

L1=ln h

h h X h i P 1 i P ε + ∑β + α =     −

Peluang menjadi miskin:

∑ ∑ β = α β = α + = h h h h h h X X e 1 e p

Interpretasi dari koefisien peubah kontinu adalah dengan menghitung efek marginal dari peubah tersebut terhadap peluang menjadi miskin dengan rumus sebagai berikut (Morris, Sutton, Gravelle, 2003):

2 X X h h h h h h h e 1 e         + β ∑ ∑ β = α β = α

Interpretasi dari koefisien peubah boneka dengan menghitung odds ratio yaitu :

p 1

p −

Odds ratio adalah perbandingan antara probabilitas sukses (terjadinya peristiwa y =1) dengan probabilitas gagal (terjadinya peristiwa y =0).

Dimana :

Xh : berkas karakteristik rumahtangga yang diteliti yaitu : Peubah kontinu :

art : besaran rumahtangga

proker : proporsi anggota rumahtangga usia 15 tahun ke atas yang bekerja um_1564 : proporsi anggota rumahtangga usia di bawah 15 tahun dan di atas 64

(47)

34

p_bbm : proporsi pengeluaran untuk bahan bakar minyak (BBM) terhadap total pengeluaran

p_mkn : proporsi pengeluaran untuk makanan terhadap total pengeluaran

Peubah boneka :

d_jk : 1 = kepala rumahtangga perempuan 0 = kepala rumahtangga laki- laki

d_sd : 1 = kepala rumahtangga berpendidikan tamat SD

0 = lainnya (dengan tidak tamat SD sebagai pembanding) d_smp : 1 = kepala rumahtangga berpendidikan tamat SMP

0 = lainnya

d_sma : 1 = kepala rumahtangga berpendidikan tamat SMA ke atas 0 = lainnya

d_jual : 1 = kepala rumahatangga bekerja sebagai tenaga penjualan 0 = lainnya ( dengan bekerja sebagai tenaga usaha jasa sebagai

pembanding)

d_kasar : 1 = kepala rumahatangga bekerja sebagai tenaga produksi, operator dan pekerja kasar

0 = lainnya

d_prof : 1 = kepala rumahatangga bekerja sebagai profesional, kepemimpinan dan pejabat pelaksana

0 = lainnya

d_lainnya : 1 = kepala rumahatangga bekerja sebagai tenaga lainnya 0 = lainnya

d_under : 1 = kepala rumahatangga setengah penganggur

0 = lainnya (dengan bukan setengah penganggur sebagai pembanding)

d_pp : 1 = kepala rumahatangga penerima pendapatan 0 = lainnya

age_mpn : 1 = kepala rumahatangga berusia mapan 0 = lainnya (usia muda sebagai referensi) age_tua : 1 = kepala rumahatangga berusia tua

(48)

d_lt : 1 = luas lantai per kapita < 8 m2 0 = lainnya

j_lti : 1 = jenis lantai tanah 0 = lainnya

d_jbn : 1 = tidak mempunyai akses terhadap jamban 0 = lainnya

d_air : 1 = tidak mempunyai akses terhadap air bersih 0 = lainnya

rmh : 1 = rumah milik sendiri 0 = lainnya

Yi : 1 = rumahtangga miskin 0 = lainnya

Hipotesis untuk menguji kelayakan model adalah :

H0 = tidak ada perbedaan yang nyata antara antara klasifikasi yang diprediksi

dengan klasifikasi yang diamati.

Ha = ada perbedaan yang nyata antara klasifikasi yang diprediksi dengan

klasifikasi yang diamati.

Model dikatakan layak apabila nilai goodness of fit test yang diukur dengan nilai chi square pada uji Hosmer and Lemeshow:

- jika probabilitas > 0,05 maka H0 diterima

(49)

IV. KEMISKINAN DI DKI JAKARTA

4.1. Kejadian Kemiskinan di DKI Jakarta

Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan yang menjadi titik perhatian masyarakat dunia khususnya negara-negara dunia ketiga. Di Indonesia, permasalahan kemiskinan lebih banyak ditemui di daerah perdesaan, namun di daerah perkotaan pun permasalahan ini menjadi salah satu isu pokok khususnya di DKI Jakarta.

Secara umum kemiskinan diGambarkan sebagai kondisi ketidakmampuan untuk hidup yang memadai. Hidup yang memadai ini sangat tergantung pada ruang dan waktu. Lokasi dan waktu sangat mempengaruhi pada penetapan batas garis kemiskinan, oleh karena itu garis kemiskinan akan selalu berubah tiap waktu dan berbeda untuk tiap lokasi. Ada dua cara utama untuk membuat garis kemiskinan yaitu cara absolut dan relatif.

Kemiskinan absolut adalah kemiskinan yang diukur dengan menggunakan berapa besar uang yang harus dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan makanan dan non makanan agar tetap hidup. Bank Dunia menyatakan bahwa di negara-negara sedang berkembang lebih relevan untuk menggunakan garis kemiskinan absolut dari pada garis kemiskinan relatif (Couduel et al, 2001).

Gambar 4.1 Persentase Penduduk Miskin di DKI Jakarta Tahun 2000-2004

4.96

2.95

3.42 3.42

3.18

2 3 4 5 6

2000 2001 2002 2003 2004

Tahun %

(50)

Selama lima tahun terakhir angka kemiskinan di DKI Jakarta cukup berfluktuasi, dua tahun setelah krisis ekonomi angka kemiskinan masih tinggi yaitu hampir mencapai lima persen. Dampak krisis ekonomi yang sangat terasakan bagi masyarakat miskin perkotaan menyebabkan peningkatan angka kemiskinan di perkotaan. Berbagai program dilakukan oleh pemerintah untuk menurunkan tingkat kemiskinan akibat krisis ekonomi ini diantaranya adalah dengan menggunakan dana bantuan Bank Dunia yaitu program Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDMDKE). Khusus PDMDKE, program ini terbagi menjadi tiga kegiatan; pembangunan fisik, bantuan sosial, dan pemberian kredit usaha mikro kepada masyarakat miskin. Sesuai instruksi pemerintah, kegiatan fisik dan sosial menghabiskan 40 persen dari total dana yang diterima setiap kelurahan. Sedangkan 60 persen lagi digunakan untuk membangkitkan ekonomi masyarakat dengan memberikan modal usaha kepada korban pemutusan hubungan kerja (PHK), keluarga prasejahtera yang ingin berusaha1. Di samping itu dilaksanakan pula Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaab (P2KP). Program ini mempunyai cara pelaksanaan yang sama dengan PDMDKE yaitu pemberian dana bagi kelurahan dengan alokasi dana 60 persen untuk dana bergulir, 20 persen untuk fisik lingkungan dan 20 persen untuk bina sosial. Nampaknya program tersebut telah dapat menurunkan angka kemiskinan pada tahun 2001 menjadi 2,95 persen. Namun pada tahun 2002 angka kemiskinan meningkat kembali menjadi 3,42 persen, peningkatan ini direspon ole h Pemerintah Propinsi DKI Jakarta dengan mengeluarkan Keputusan Gubernur tentang Komite Penanggulangan Kemiskinan. Program kerja dari komite ini nampaknya belum dapat menurunkan angka kemiskinan namun dapat menahan peningkatan angka kemiskinan di DKI Jakarta sehingga angka kemiskinan pada 2003 tetap 3,42 persen. Pada tahun 2004 kerja Komite Penanggulangan Kemiskinan diperkuat dengan dikeluarkannya SK Gubernur tentang Strategi Penanggulangan Kemiskinan. Diduga strategi yang dicanangkan ini memberikan dampak terhadap penurunan angka di DKI Jakarta pada tahun 2004 menjadi 3,18 persen.

(51)

38

cukup nyata yaitu dari 160.748 per kapita per bulan pada tahun 2002 menjadi 197.306 per kapita per bulan pada tahun 2004. Peningkatan ini tidak terlepas dari tingkat inflasi yang terjadi di DKI Jakarta yaitu 5,78 persen pada tahun 2003 meningkat menjadi 5,87 persen pada tahun 2004. Harga-harga yang meningkat menyebabkan rumahtangga harus menambah pengeluarannya agar kehidupan yang memadai tetap dapat dinikmati. Batas garis kemiskinan yang meningkat pada periode 2002 – 2003 mendorong peningkatan jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta yaitu dari 288,9 ribu jiwa menjadi 294,1 ribu jiwa. Namun peningkatan garis kemiskinan pada tahun 2004 tidak diikuti dengan peningkatan jumlah penduduk miskin bahkan terjadi penurunan jumlah penduduk miskin menjadi 277,1 ribu jiwa. Kondisi ini didukung oleh berbagai kebijakan Pemerintah DKI Jakarta dalam rangka penanggulangan kemiskinan. Perhatian Pemprop DKI Jakarta terhadap penanggulangan kemiskinan adalah dengan dibentuknya Komite Penanggulangan Kemiskinan. Selain itu juga dibuat suatu strategi penanggungalang kemiskinan di Propinsi DKI Jakarta berdasarkan Keputusan Gubernur Propinsi DKI Jakarta No. 1791/20004.

Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan di DKI Jakarta, 2002-2004

2002 2003 2004

Kabupaten/ Kota

penduduk miskin

(000)

GK (Rp/kap/bln)

penduduk miskin

(000)

GK (Rp/kap/bln)

penduduk miskin

(000)

GK (Rp/kap/bln)

Kep. Seribu - - 3,1 169.601 3,0 184.172

Jakarta Selatan 45,1 149.105 47,2 190.783 42,.5 234.886

Jakarta Timur 67,5 156.202 67,4 183.369 62,1 197.300

Jakarta Pusat 29,2 137.274 37,4 185.075 34,9 215.290

Jakarta Barat 77,2 162.748 64,3 188.110 62,6 193.289

Jakarta Utara 67,5 167.075 74,7 186.110 72,0 225.443

DKI Jakarta 288,9 160.748 294,1 186.525 277,1 197.306

Sumber : Data dan Informasi Kemiskinan, BPS. 2002-2004

(52)

tinggi, angka migrasi masuk dua kali lipat dari angka migrasi keluar. Periode lima tahun kemudian (1980-1985) angka migrasi masuk masih menunjukkan angka yang tinggi. Akhir 80-an angka migrasi masuk, walaupun tetap tinggi, lebih rendah dibandingkan dengan angka migrasi keluar sehingga migrasi neto di DKI Jakarta menunjukkan negatif. Kondisi demikian terus berlangsung hingga saat ini. Walaupun migrasi neto telah menunjukkan angka negatif, namun demikian migrasi tetap menjadi salah permasalahan pokok terutama pendatang yang tidak dilengkapi dengan keterampilan yang memadai. Kesulitan mereka untuk mendapat pekerjaan yang layak menyebabkan mereka tidak mampu untuk bertempat tinggal di lingkungan memadai sehingga mereka memilih tinggal di lokasi kumuh. Keadaan ini melanggengkan dan memperparah lokasi kumuh di DKI Jakarta. Lokasi kumuh yang menjadi kantong-kantong kemiskinan dikenal dengan nama kumis yaitu kumuh dan miskin.

Tabel 4.2 Angka Migrasi Risen Per 1.000 Penduduk Berdasarkan Tempat Tinggal 5 Tahun Sebelum Sensus/Survei di DKI Jakarta, 1980, 1985, 1990, 1995, 2000

Migrasi Risen 1980 1) 1985 1) 1990 1) 1995 1) 2000 2)

Masuk 115 99 99 65 91

Keluar 59 58 120 90 111

Neto 56 41 - 21 - 25 - 21

Sumber: Desiar (2003)

(53)

40

Tabel 4.3 Angka Kemiskinan Kemiskinan di DKI Jakarta Menurut Lokasi Tempat Tinggal, 2004

Lokasi tempat tinggal Katagori

kemiskinan RW tidak Kumuh RW Kumuh Total

Tidak miskin 97.52 95.48 96.86

Miskin 2.48 4.52 3.14

100.00 100.00 100.00

Sumber: diolah dari data mentah Susenas Kor 2004 tidak termasuk Kabupaten Adm. Kep. Seribu

Permukiman kumuh sangat erat kaitannya dengan kemiskinan. UN habitat menyebutkan bahwa salah satu penyebab keberadaan kawasan kumuh di perkotaan adalah tingginya tingkat kemiskinan. Hasil penelitian Komunitas Permukiman Miskin di DKI Jakarta tahun 2002 menunjukkan bahwa di 3 kelurahan yang diteliti dengan jumlah sampel 60 orang sekitar 45 persen di antaranya mempunyai pendapatan hanya 7,5 juta per tahun. Dengan sumberdaya ekonomi yang terbatas mereka tidak mampu untuk bertempat tinggal di lokasi yang layak. Harga rumah ataupun harga sewa rumah yang tinggi merupakan salah satu penyebabnya. Apabila dilihat distribusi dari penduduk miskin berdasarkan lokasi tempat tinggal maka 54 persen penduduk miskin tinggal di RW tidak kumuh dan sisanya tinggal di RW kumuh, hal ini wajar karena kawasan kumuh di DKI Jakarta tidak terlalu luas.

Tabel 4.4 Distribusi Persetase Rumahtangga Menurut Jenis Pekerjaan Kepala Rumahtangga (KRT) Dan Lokasi Tempat Tinggal, DKI Jakarta 2004

Lokasi Tempat Tinggal Jenis Pekerjaan

RW tidak Kumuh

RW Kumuh

Total

Tng Profesional dan Tenaga lain ybdi 4.62 2.42 3.85

Tng Kepemimpinan dan Ketatalaksanaan 4.33 1.41 3.31

Pjbt Pelaksana, Tenaga TU dan tenaga ybdi 11.53 9.03 10.66

Tng Ush Penjualan 21.43 23.22 22.05

Tng Ush Jasa 11.32 11.94 11.54

Tng Produksi, operator & pkrj ksr 27.16 35.90 30.22

Lainnya 19.61 16.08 18.37

Total 100.00 100.00 100.00

(54)
[image:54.596.173.445.259.466.2]

Jenis pekerjaan yang dilakukan oleh KRT di permukiman kumuh dapat dilihat pada Tabel 4.4 dimana persentase KRT yang bekerja sebagai tenaga produk si , operator dan pekerja kasar mempunyai persentase yang tinggi di lokasi RW kumuh yaitu 36 persen. Jenis pekerjaan yang termasuk dalam katagori tenaga produksi, operator dan pekerja kasar antara lain adalah buruh pabrik, supir, dan tukang bangunan. Sedangkan persentase rumahtangga dengan KRT bekerja sebagai tenaga profesional, kepemimpinan dan pejabat pelaksana cukup rendah yaitu 12 persen.

Gambar 4.2 Rata-rata Upah dan Jenis Pekerjaan Berdasarkan Lokasi Tempat Tinggal , DKI Jakarta 2004

Dari rata-rata upah yang diterima oleh KRT yang berstatus sebagai buruh di RW kumuh lebih kecil dibandingkan dengan yang diterima oleh KRT di RW tidak kumuh hampir di semua jenis pekerjaan.

4.2. Karakteristik rumahtangga miskin

Berbagai kondisi dalam suatu rumahtangga dapat menyebabkan rumahtangga tersebut menjadi terperangkap dalam kemiskinan. Beberapa penelitian telah menunjukkan hasil bahwa terdapat beberapa karakteristik yang dapat mencirikan suatu rumahtangga miskin. Williamson et all (1975) menyatakan bahwa ada karakteristik yang terjadi di rumahtangga miskin.

Lainnya Tng Prod & pkrj ksr

Gambar

Gambar 1.1.  Alur pikir penelitian.
Gambar 4.2   Rata-rata Upah dan Jenis Pekerjaan Berdasarkan Lokasi Tempat Tinggal ,  DKI Jakarta 2004
Tabel 4.5   Karakteristik Rumahtangga Miskin, DKI Jakarta, 2004
Tabel 4.6  Karakteristik Tempat Tinggal Rumahtangga Miskin, DKI Jakarta 2004
+7

Referensi

Dokumen terkait

Feryanto Efektivitas Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) dalam Upaya Peningkatan Kesejahteraan Petani ( Studi Kasus: Gapoktan Mandiri Jaya,

dapat diketahui bahwa tingkat daya saing daerah kota di Jawa Tengah berdasarkan variabel sumber daya manusia tahun 2009 dari tingkat tertinggi hingga tingkat paling rendah

Bentuk tabuh bebarongan dengan menggunakan gamelan semar Pegulingan Saih Pitu dipilih penata karena: sistem modulasi yang ada pada gamelan Semar Pegulingan Saih

Dari luasan tersebut maka sebanyak 37.810 ha (17,42 %) diantaranya berupa lahan sawah yang terdistribusi dari bagian hilir hingga ke bagian hulu, dengan luas dan proporsi

Pada hari ini Rabu tanggal Dua Puluh Enam bulan April tahun Dua Ribu Tujuh Belas kami yang bertanda tangan di bawah ini, Pokja Pada Dinas Pendidikan Kabupaten Manggarai

The cost of land under development consists of the cost of land for development, direct and indirect real estate development costs and capitalized borrowing

Percakapan yang dilakukan penulis dengan bertemu langsung dan melakukan wawancara dengan karyawan dan nasabah pengguna EDC Merchant BRIlink untuk mendapatkan data dan

Tujuan dilaksanakanya penelitian ini adalah untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran matematika materi menyederhanakan pecahan pada kelas 4 Agar proses