• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di Jawa Barat"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

TINGKAT KEMISKINAN DI JAWA BARAT

OLEH

MARUTI NURHAYATI H14103128

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

(2)

RINGKASAN

MARUTI NURHAYATI. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan di Jawa Barat (dibimbing oleh WIDYASTUTIK).

Kemiskinan merupakan suatu keadaan yang sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan di berbagai keadaan hidup. Data BPS pada tahun 2004 menunjukkan jumlah penduduk miskin di Jawa Barat mencapai 12,10 persen dari total penduduk Jawa Barat, angka tersebut menunjukkan jumlah penduduk miskin mengalami peningkatan dibandingkan tahun 1996 sebesar 9,88 persen dari total penduduk Jawa Barat. Jawa Barat merupakan propinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia yaitu sebesar 39.140.812 jiwa dengan kepadatan sebesar 1.194/km. Kepadatan penduduk ini disebabkan oleh meningkatnya migrasi penduduk yang umumnya tidak memiliki keterampilan memadai. Penduduk yang lebih padat dan dengan tingkat pertumbuhan yang relatif cepat menghendaki jumlah dan tingkat kesempatan kerja yang cepat pula. Dalam keadaan kurang berkembangnya kesempatan kerja non-pertanian dan persediaan lahan pertanian rata-rata per orang sudah sedemikian terbatas, tidak saja sebagian dari angkatan kerja bertambah sulit memperoleh pekerjaan, tetapi banyak juga yang terlibat dalam pengangguran terselubung dilihat dari jumlah jam kerja maupun dari sangat rendahnya tingkat penghasilan yang diterima. Keadaan seperti ini menyebabkan meluasnya kemiskinan di Jawa Barat.

Kemiskinan juga tidak terlepas dari laju pertumbuhan ekonomi yang lambat dan tidak merata serta tingkat pendapatan perkapita yang rendah. Tidak meratanya laju pertumbuhan yang disebabkan oleh kekayaan sumber daya baik sumber daya alam maupun sumberdaya manusia yang berbeda-beda menyebabkan pendapatan perkapita yang tidak merata. Hal ini erat kaitannya dengan kondisi kehidupan yang kurang layak dalam memenuhi kebutuhan pangan, sandang, tingkat kesehatan dan tingkat pendidikan. Ini semua faktor-faktor yang membuat mereka tidak mempunyai kapasitas untuk bekerja secara intensif sehingga tingkat produktivitas rendah.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan dan mengetahui seberapa besar faktor pendapatan mempengaruhi tingkat kemiskinan serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di Jawa Barat. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data kemiskinan, pendapatan, pendidikan, pengangguran, tenaga kerja, lahan dan investasi. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data dari 25 kota/kabupaten di Jawa Barat untuk tahun 2004. Penelitian ini menggunakan model ekonometrika persamaan simultan 2SLS karena variabel-variabel yang terdapat dalam persamaan tersebut saling terkait satu sama lain.

(3)

sebesar 0,0016. Hal ini berarti bahwa setiap kenaikan tenaga kerja sebesar satu persen akan meningkatkan pendapatan sebesar 0,0016 persen. Lahan memiliki koefisien regresi bernilai positif yaitu sebesar 0,0015 yang berarti setiap kenaikan luas lahan pertanian sebesar satu persen akan menyebabkan pendapatan meningkat sebesar 0,0015 persen. Untuk koefisien regresi variabel investasi bernilai positif yaitu sebesar 0,0001. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kenaikan investasi sebesar satu persen akan meningkatkan pendapatan sebesar 0,0001 persen. Koefisien regresi variabel dummy antara kotamadya dan kabupatan memiliki tanda positif . Hal ini mengindikasikan bahwa pendapatan di kotamadya lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pendapatan di kabupaten.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan pada taraf nyata 10 persen adalah pendapatan dan pendidikan, sedangkan variabel jumlah pengangguran dan tingkat ketergantungan berpengaruh nyata satu persen. Koefisien regresi untuk pendapatan bernilai negatif yaitu sebesar 0,002 yang berarti setiap kenaikan pendapatan sebesar 1 persen akan menurunkan kemiskinan sebesar 0,002 persen. Tingkat pendidikan memiliki koefisien regresi bernilai negatif yaitu 0,38 yang berarti jika tingkat pendidikan meningkat satu persen maka akan menurunkan tingkat kemiskinan sebesar 0,38 persen. Nilai koefisien regresi untuk tingkat pengangguran bernilai positif yaitu sebesar 0,17 yang berarti jika tingkat pengangguran meningkat satu persen maka akan meningkatkan tingkat kemiskinan sebesar 0,17 persen. Koefisien regresi untuk variabel tingkat ketergantungan bernilai positif sebesar 0,23. Hal tersebut berarti jika tingkat ketergantungan meningkat sebesar satu persen maka akan menaikkan tingkat kemiskinan sebesar 0,23 persen.

(4)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

KEMISKINAN DI JAWA BARAT

Oleh

MARUTI NURHAYATI H14103128

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

(5)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Juli 2007

(6)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Maruti Nurhayati

Nomor Registrasi Pokok : H14103128 Program Studi : Ilmu Ekonomi

Judul Analisis : Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan di Jawa Barat

Dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor

Menyetujui, Dosen Pembimbing,

Widyastutik, S.E., M.Si. NIP. 132 311 725

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,

Ir. Rina Oktaviani, M.S., Ph.D. NIP. 131 846 872

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 8 Maret 1984 sebagai anak kandung dari Bapak Sri Hartoyo dan Ibu Andayati. Penulis adalah anak ketiga dari enam bersaudara.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan di Jawa Barat”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Widyastutik, S.E. M.Si., sebagai dosen pembimbing dan atas arahan serta bimbingan dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik.

2. Wiwiek Rindayanti, M.S., yang telah menguji hasil penelitian ini. Semua kritikan dan saran beliau merupakan hal yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini.

3. Henny Reinhard, M.Sc., terutama atas perbaikan tata cara penulisan skripsi ini.

4. Orangtua penulis yaitu Dr.Ir. Sri Hartoyo, M.S. dan Ibu Andayati serta saudara-saudara penulis yaitu Hardian Novianto, Muhammad Arianto, Vera Rahmasari, Muhammad Harizananto dan Muhammad Yuqa Banianto atas dukungan, dorongan dan doa yang sangat besar artinya dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Seluruh staf pengajar dan staf akademik Departemen Ilmu Ekonomi yang telah membantu penulis selama menyelesaikan pendidikan di Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB.

6. Sahabat-sahabat penulis (Annisa Anjani, Eva Dwi Prihartanti, Aditya Kusumaningrum, Ana Pertiwi, Tuti Ratna Dewi, Vivi dan Yudis) yang telah memberikan dorongan dan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.

(9)

8. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini dan tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.

Bogor, Juli 2007

(10)

DAFTAR ISI

1.1. Latar Belakang ………... 1.2. Perumusan Masalah ………... 1.3. Tujuan Penelitian ………... 1.4. Kegunaan Penelitian ……….

vi II. TINJAUAN PUSTAKA ………...

2.1. Definisi Kemiskinan ………. 2.2. Ukuran-Ukuran Kemiskinan ………. 2.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan …………... 2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 2.5. Kerangka Pemikiran ... 2.6. Hipotesis Penelitian ...

8 III. METODE PENELITIAN ………...

3.1. Jenis dan Sumber Data ………... 3.2. Model Ekonometrika ………. 3.3. Identifikasi dan Pendugaan Model ……… 3.4. Uji Evaluasi Hasil ………. 3.5. Definisi Operasional ……….

24 IV. PERKEMBANGAN KEMISKINAN DAN PENDAPATAN DI

JAWA BARAT ... 4.1. Perkembangan Tingkat Kemiskinan ... 4.2. Perkembangan Tingkat Pendapatan ... 4.3. Perkembangan Tenaga Kerja ... 4.4. Perkembangan Investasi ... 4.5. Perkembangan Tingkat Pengangguran ...

(11)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

TINGKAT KEMISKINAN DI JAWA BARAT

OLEH

MARUTI NURHAYATI H14103128

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

(12)

RINGKASAN

MARUTI NURHAYATI. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan di Jawa Barat (dibimbing oleh WIDYASTUTIK).

Kemiskinan merupakan suatu keadaan yang sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan di berbagai keadaan hidup. Data BPS pada tahun 2004 menunjukkan jumlah penduduk miskin di Jawa Barat mencapai 12,10 persen dari total penduduk Jawa Barat, angka tersebut menunjukkan jumlah penduduk miskin mengalami peningkatan dibandingkan tahun 1996 sebesar 9,88 persen dari total penduduk Jawa Barat. Jawa Barat merupakan propinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia yaitu sebesar 39.140.812 jiwa dengan kepadatan sebesar 1.194/km. Kepadatan penduduk ini disebabkan oleh meningkatnya migrasi penduduk yang umumnya tidak memiliki keterampilan memadai. Penduduk yang lebih padat dan dengan tingkat pertumbuhan yang relatif cepat menghendaki jumlah dan tingkat kesempatan kerja yang cepat pula. Dalam keadaan kurang berkembangnya kesempatan kerja non-pertanian dan persediaan lahan pertanian rata-rata per orang sudah sedemikian terbatas, tidak saja sebagian dari angkatan kerja bertambah sulit memperoleh pekerjaan, tetapi banyak juga yang terlibat dalam pengangguran terselubung dilihat dari jumlah jam kerja maupun dari sangat rendahnya tingkat penghasilan yang diterima. Keadaan seperti ini menyebabkan meluasnya kemiskinan di Jawa Barat.

Kemiskinan juga tidak terlepas dari laju pertumbuhan ekonomi yang lambat dan tidak merata serta tingkat pendapatan perkapita yang rendah. Tidak meratanya laju pertumbuhan yang disebabkan oleh kekayaan sumber daya baik sumber daya alam maupun sumberdaya manusia yang berbeda-beda menyebabkan pendapatan perkapita yang tidak merata. Hal ini erat kaitannya dengan kondisi kehidupan yang kurang layak dalam memenuhi kebutuhan pangan, sandang, tingkat kesehatan dan tingkat pendidikan. Ini semua faktor-faktor yang membuat mereka tidak mempunyai kapasitas untuk bekerja secara intensif sehingga tingkat produktivitas rendah.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan dan mengetahui seberapa besar faktor pendapatan mempengaruhi tingkat kemiskinan serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di Jawa Barat. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data kemiskinan, pendapatan, pendidikan, pengangguran, tenaga kerja, lahan dan investasi. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data dari 25 kota/kabupaten di Jawa Barat untuk tahun 2004. Penelitian ini menggunakan model ekonometrika persamaan simultan 2SLS karena variabel-variabel yang terdapat dalam persamaan tersebut saling terkait satu sama lain.

(13)

sebesar 0,0016. Hal ini berarti bahwa setiap kenaikan tenaga kerja sebesar satu persen akan meningkatkan pendapatan sebesar 0,0016 persen. Lahan memiliki koefisien regresi bernilai positif yaitu sebesar 0,0015 yang berarti setiap kenaikan luas lahan pertanian sebesar satu persen akan menyebabkan pendapatan meningkat sebesar 0,0015 persen. Untuk koefisien regresi variabel investasi bernilai positif yaitu sebesar 0,0001. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kenaikan investasi sebesar satu persen akan meningkatkan pendapatan sebesar 0,0001 persen. Koefisien regresi variabel dummy antara kotamadya dan kabupatan memiliki tanda positif . Hal ini mengindikasikan bahwa pendapatan di kotamadya lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pendapatan di kabupaten.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan pada taraf nyata 10 persen adalah pendapatan dan pendidikan, sedangkan variabel jumlah pengangguran dan tingkat ketergantungan berpengaruh nyata satu persen. Koefisien regresi untuk pendapatan bernilai negatif yaitu sebesar 0,002 yang berarti setiap kenaikan pendapatan sebesar 1 persen akan menurunkan kemiskinan sebesar 0,002 persen. Tingkat pendidikan memiliki koefisien regresi bernilai negatif yaitu 0,38 yang berarti jika tingkat pendidikan meningkat satu persen maka akan menurunkan tingkat kemiskinan sebesar 0,38 persen. Nilai koefisien regresi untuk tingkat pengangguran bernilai positif yaitu sebesar 0,17 yang berarti jika tingkat pengangguran meningkat satu persen maka akan meningkatkan tingkat kemiskinan sebesar 0,17 persen. Koefisien regresi untuk variabel tingkat ketergantungan bernilai positif sebesar 0,23. Hal tersebut berarti jika tingkat ketergantungan meningkat sebesar satu persen maka akan menaikkan tingkat kemiskinan sebesar 0,23 persen.

(14)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

KEMISKINAN DI JAWA BARAT

Oleh

MARUTI NURHAYATI H14103128

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

(15)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Juli 2007

(16)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Maruti Nurhayati

Nomor Registrasi Pokok : H14103128 Program Studi : Ilmu Ekonomi

Judul Analisis : Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan di Jawa Barat

Dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor

Menyetujui, Dosen Pembimbing,

Widyastutik, S.E., M.Si. NIP. 132 311 725

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,

Ir. Rina Oktaviani, M.S., Ph.D. NIP. 131 846 872

(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 8 Maret 1984 sebagai anak kandung dari Bapak Sri Hartoyo dan Ibu Andayati. Penulis adalah anak ketiga dari enam bersaudara.

(18)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan di Jawa Barat”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Widyastutik, S.E. M.Si., sebagai dosen pembimbing dan atas arahan serta bimbingan dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik.

2. Wiwiek Rindayanti, M.S., yang telah menguji hasil penelitian ini. Semua kritikan dan saran beliau merupakan hal yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini.

3. Henny Reinhard, M.Sc., terutama atas perbaikan tata cara penulisan skripsi ini.

4. Orangtua penulis yaitu Dr.Ir. Sri Hartoyo, M.S. dan Ibu Andayati serta saudara-saudara penulis yaitu Hardian Novianto, Muhammad Arianto, Vera Rahmasari, Muhammad Harizananto dan Muhammad Yuqa Banianto atas dukungan, dorongan dan doa yang sangat besar artinya dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Seluruh staf pengajar dan staf akademik Departemen Ilmu Ekonomi yang telah membantu penulis selama menyelesaikan pendidikan di Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB.

6. Sahabat-sahabat penulis (Annisa Anjani, Eva Dwi Prihartanti, Aditya Kusumaningrum, Ana Pertiwi, Tuti Ratna Dewi, Vivi dan Yudis) yang telah memberikan dorongan dan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.

(19)

8. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini dan tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.

Bogor, Juli 2007

(20)

DAFTAR ISI

1.1. Latar Belakang ………... 1.2. Perumusan Masalah ………... 1.3. Tujuan Penelitian ………... 1.4. Kegunaan Penelitian ……….

vi II. TINJAUAN PUSTAKA ………...

2.1. Definisi Kemiskinan ………. 2.2. Ukuran-Ukuran Kemiskinan ………. 2.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan …………... 2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 2.5. Kerangka Pemikiran ... 2.6. Hipotesis Penelitian ...

8 III. METODE PENELITIAN ………...

3.1. Jenis dan Sumber Data ………... 3.2. Model Ekonometrika ………. 3.3. Identifikasi dan Pendugaan Model ……… 3.4. Uji Evaluasi Hasil ………. 3.5. Definisi Operasional ……….

24 IV. PERKEMBANGAN KEMISKINAN DAN PENDAPATAN DI

JAWA BARAT ... 4.1. Perkembangan Tingkat Kemiskinan ... 4.2. Perkembangan Tingkat Pendapatan ... 4.3. Perkembangan Tenaga Kerja ... 4.4. Perkembangan Investasi ... 4.5. Perkembangan Tingkat Pengangguran ...

(21)

4.6. Perkembangan Tingkat Ketergantungan ... 37 V. HASIL DAN PEMBAHASAN ...

5.1. Pendugaan Model Analisis ... 5.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan ... 5.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan ...

39 39 40 42 VI. KESIMPULAN DAN SARAN ...

6.1. Kesimpulan ... 6.2. Saran ...

45 45 46 DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN ...

(22)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1.1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Propinsi di Indonesia

Periode Tahun 2004 ... 1.2. PDRB Perkapita atas Dasar Harga Konstan tahun 2000

Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2003-2005... 3.1. Order Condition (kondisi ordo) ... 4.1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Jawa Barat Periode Tahun 1999-2004 ... 4.2. Nilai Pendapatan di Jawa Barat Tahun 2001-2005 ... 4.3. Jumlah Tenaga Kerja dan Persentase Kontribusi Tenaga Kerja

Berdasarkan Sektor Ekonomi di Jawa Barat Tahun 2001-2005 ... 4.4. Persentase Tenaga Kerja Jawa Barat Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2001-2005 ... 4.5. Nilai Investasi di Jawa Barat periode Tahun 2000-2005 ... 4.6. Jumlah Pengangguran dan Tingkat Pengangguran Terbuka di Jawa Barat Tahun 2000-2005 ... 4.7. Jumlah Penduduk Menurut Umur dan Persentase Tingkat

Ketergantungan di Jawa Barat Periode Tahun 2000-2005... 5.1. Hasil Estimasi Model Pendapatan ………. 5.2. Hasil Estimasi Model Kemiskinan ………

(23)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

(24)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Data yang dimasukkan dalam Model ... 2. Hasil Estimasi Model Kemiskinan dan Model Pendapatan ... 3. Uji Heteroskedastisitas dan Uji Multikolinearitas ... 4. Uji Normalitas ...

(25)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kemiskinan merupakan suatu keadaan yang sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan di berbagai keadaan hidup. Menurut Rintuh (2003), kemiskinan dapat diartikan sebagai ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan meningkatkan kebutuhan konsumsi dasar dan kualitas hidupnya. Ada dua macam ukuran kemiskinan yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah ketidakmampuan seseorang melampaui garis kemiskinan yang ditetapkan. Sedangkan kemiskinan relatif berkaitan dengan perbedaan tingkat pendapatan suatu golongan dibandingkan dengan golongan lainnya.

(26)

2

Tabel 1.1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Propinsi di Indonesia Periode Tahun 2004

Propinsi Jumlah penduduk miskin (ribu jiwa)

Tingkat Kemiskinan (%)

Nanggroe Aceh Darussalam 1157,2 3,22

Sumatra Utara 1800,1 5,01

Sumatra Barat 472,4 1,31

Riau 744,4 2,07

Jambi 325,1 0,90

Sumatra Selatan 1379,3 3,84

Bengkulu 345,1 0,96

Lampung 1561,7 4,35

Bangka Belitung 91,8 0,25

DKI Jakarta 277,1 0,77

Jawa Barat 4654,2 12,96

Jawa Tengah 6843,8 19,06

DI Yogyakarta 616,2 1,71

Jawa Timur 7312,5 20,37

Banten 779,2 2,17

Bali 231,9 0,64

Nusa Tenggara Barat 1031,6 2,87

Nusa Tenggara Timur 1152,1 3,21

Kalimantan Barat 558,2 1,55

Kalimantan Tengah 194,1 0,54

Kalimantan Selatan 231,0 0,64

Kalimantan Timur 318,2 0,88

Sulawesi Utara 192,2 0,53

Sulawesi Tengah 486,3 1,35

Sulawesi Selatan 1241,5 3,45

Sulawesi Tenggara 418,4 1,16

Maluku 397,6 1,10

Maluku Utara 107,8 0,30

Papua 966,8 2,69

Sumber : BPS, 2004

(27)

3

Indonesia (Tabel 1.1). Jawa Barat merupakan propinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia yaitu sebesar 39.140.812 jiwa dengan kepadatan sebesar 1.194/km (BPS, 2004). Kepadatan penduduk ini disebabkan oleh meningkatnya migrasi penduduk yang umumnya tidak memiliki keterampilan memadai. Penduduk yang lebih padat dan dengan tingkat pertumbuhan yang relatif cepat menghendaki jumlah dan tingkat kesempatan kerja yang cepat pula. Dalam keadaan kurang berkembangnya kesempatan kerja non-pertanian dan persediaan lahan pertanian rata-rata per orang sudah sedemikian terbatas, tidak saja sebagian dari angkatan kerja bertambah sulit memperoleh pekerjaan, tetapi banyak juga yang terlibat dalam pengangguran terselubung dilihat dari jumlah jam kerja maupun dari sangat rendahnya tingkat penghasilan yang diterima. Keadaan seperti ini menyebabkan meluasnya kemiskinan di Jawa Barat.

(28)

4

Tabel 1.2. PDRB Perkapita atas Dasar Harga Konstan tahun 2000 Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2003-2005 (Rupiah)

Kabupaten/Kota 2003 2004 2005*

Bogor 5.403.945,98 5.500.975,57 5.618.278,77 Kota Bogor 4.002.528,64 4.161.551,26 4.326.942,50 Kota Sukabumi 4.808.440,56 5.016.745,58 5.242.390,66 Kota Bandung 8.391.545,98 8.928.178,55 9.509.358,43 Kota Cirebon 15.753.265,31 16.352.426,91 17.010.378,19 Kota Bekasi 5.652.150,73 5.723.822,79 5.810.894,96 Kota Depok 3.280.844,29 3.380.342,53 3.501.315,46 Kota Cimahi 9.835.190,51 9.999.797,70 10.186.556,15 Kota Tasikmalaya 3.288.672,39 3.402.507,41 3.486.594,07 Kota Banjar 3.343.293,27 3.454.897,19 3.576.584,64

Sumber : BPS Propinsi Jawa Barat, 2004 Catatan : *) Angka sementara

(29)

5

kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Dalam pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah tidak hanya melaksanakan program pembangunan tetapi juga bertanggung jawab secara langsung dan aktif dalam penanganan kemiskinan, sehingga untuk menanggulangi kemiskinan perlu dikaji faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan, khususnya di Jawa Barat.

1.2. Perumusan Masalah

Negara Indonesia merupakan negara yang subur dengan kekayaan alamnya yang melimpah, namun sebagian besar rakyatnya tergolong miskin. Ketika angka kemiskinan menunjukkan tingkat terendah, justru tak lama setelah itu terjadi krisis ekonomi yang parah, yang tidak segera diatasi. Dampak dari krisis tersebut masih terlihat hingga sekarang.

(30)

6

dibandingkan dengan tahun 1996 (sebelum krisis) dengan jumlah penduduk miskin sebesar 3,96 juta jiwa (BPS, 2004; 1996). Hal tersebut dikarenakan pelaksanaan pengentasan kemiskinan belum dipahami apa saja masalah-masalah yang terkait dengan masalah kemiskinan.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka permasalahan yang akan diteliti adalah sebagai berikut :

1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pendapatan dan seberapa besar faktor pendapatan mempengaruhi tingkat kemiskinan ?

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di Jawa Barat?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan dan mengetahui seberapa besar faktor pendapatan mempengaruhi tingkat kemiskinan.

2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di Jawa Barat.

1.4. Kegunaan Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan mempunyai beberapa kegunaan, antara lain :

(31)

7

2. Sebagai masukan bagi pembuat kebijakan di daerah, agar program-program yang dilaksanakan tepat sasaran.

(32)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Kemiskinan

Kemiskinan dapat dicirikan dengan ketidakmampuan untuk memenuhi berbagai kebutuhan pangan, perumahan dan pakaian, tingkat pendapatan rendah, pendidikan dan keahlian rendah, keterkucilan sosial karena keterbatasan kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Secara singkat kemiskinan menurut Suparlan (1984) dapat didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Standar kehidupan yang rendah ini secara langsung tampak pengaruhnya terhadap tingkat keadaan kesehatan, kehidupan moral, dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong sebagai orang miskin.

Menurut Saldanha (1998) persoalan kemiskinan mengandung enam masalah pokok, yaitu;

1. Masalah kemiskinan adalah kerentanan. Pembangunan infrastruktur ekonomi dan pertanian dapat saja meningkatkan pendapatan petani dalam jumlah besar yang memadai, akan tetapi kekeringan musim dua tahun berturut-turut akan dapat menurunkan tingkat hidupnya sampai titik yang terendah.

(33)

9

kerja panjang dengan imbalan rendah. Hal ini disebabkan oleh posisi tawar menawar mereka dalam struktur hubungan produksi amat lemah. Kemiskinan dengan demikian juga berarti hubungan dependensi kepada pemilik tanah, pimpinan proyek, elit desa dan sebagainya.

3. Kemiskinan adalah masalah ketidakpercayaan, perasaan impotensi emosional dan sosial menghadapi elit desa dan para birokrat yang menentukan keputusan menyangkut dirinya tanpa memberi kesempatan untuk mengaktualisasikan diri; ketidakberdayaan menghadapi penyakit dan kematian, kekumuhan dan kekotoran.

4. Kemiskinan juga berarti menghabiskan semua atau sebagian terbesar penghasilannya untuk konsumsi gizi mereka amat rendah yang mengakibatkan produktivitas mereka rendah.

5. Kemiskinan juga ditandai oleh tingginya rasio ketergantungan, karena besarnya keluarga dan beberapa diantaranya masih balita. Hal ini akan berpengaruh pada rendahnya konsumsi yang akan mengganggu tingkat kecerdasan mereka sehingga di dalam kompetisi merebut peluang dan sumber dalam masyarakat, anak-anak kaum miskin akan berada pada pihak yang lemah.

6. Kemiskinan juga terefleksikan dalam budaya kemiskinan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya.

(34)

10

1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang, dan papan).

2. Tidak hanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi).

3. Tidak ada jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga).

4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual dan massal. 5. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan keterbatasan sumber alam. 6. Tidak dilibatkannya dalam kegiatan sosial masyarakat.

7. Tidak adanya akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan.

8. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental.

9. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak terlantar, wanita korban tindak kekerasan rumah tangga, janda, kelompok marjinal dan terpencil).

Menurut Sumodiningrat (1999), klasifikasi kemiskinan ada lima kelas, yaitu : 1. Kemiskinan Absolut

(35)

11

tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum, seperti pangan, sandang, kesehatan, papan dan pendidikan.

Menurut Sunarso dan Mardimin (1996), kemiskinan absolut adalah suatu keadaan apabila seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup minimum, memelihara fisik, sehingga tidak dapat bekerja penuh dan efisien. Kemiskinan jenis ini ditentukan oleh nutrisi yang dibutuhkan setiap orang. Nutrisi akan mempengaruhi jumlah kalori yang dibutuhkan terutama untuk dapat bekerja. 2. Kemiskinan Relatif

Sekelompok orang dalam masyarakat dikatakan mengalami kemiskinan relatif apabila pendapatannya lebih rendah dibanding kelompok lain tanpa memperhatikan apakah mereka masuk dalam kategori miskin absolut atau tidak. Penekanan dalam kemiskinan relatif adalah adanya ketimpangan pendapatan dalam masyarakat antara yang kaya dan yang miskin atau dikenal dengan istilah ketimpangan distribusi pendapatan.

Kemiskinan relatif untuk menunjukkan ketimpangan pendapatan berguna untuk mengukur ketimpangan pada suatu wilayah. Kemiskinan relatif juga dapat digunakan untuk mengukur ketimpangan antar wilayah yang dilakukan pada suatu wilayah tertentu. Pengukuran relatif diukur berdasarkan tingkat pendapatan, ketimpangan sumberdaya alam serta sumberdaya manusia berupa kualitas pendidikan, kesehatan serta perumahan.

3. Kemiskinan Struktural

(36)

12

tingkat kehidupan meskipun ada usaha dari pihak luar untuk membantunya. Alfian, dkk (1980) mendefinisikan kemiskinan struktural sebagai kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Kemiskinan struktural meliputi kekurangan fasilitas pemukiman sehat, kekurangan pendidikan, kekurangan komunikasi dengan dunia sekitarnya. Kemiskinan struktural juga dapat diukur dari kurangnya perlindungan dari hukum dan pemerintah sebagai birokrasi atau peraturan resmi yang mencegah seseorang memanfaatkan kesempatan yang ada.

4. Kemiskinan Kronis

Kemiskinan Kronis disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :

• Kondisi sosial budaya yang mendorong sikap dan kebiasaan hidup masyarakat

yang tidak produktif.

• Keterbatasan sumberdaya dan keterisolasian (daerah-daerah kritis sumberdaya

alam dan daerah terpencil).

• Rendahnya pendidikan dan derajat perawatan kesehatan, terbatasnya lapangan

kerja dan ketidakberdayaan masyarakat dalam mengikuti ekonomi pasar. 5. Kemiskinan Sementara

(37)

13

2.2. Ukuran-Ukuran Kemiskinan

Menurut Sajogyo (1977), cara mengukur kemiskinan dengan pendekatan kemiskinan absolut adalah dengan memperhitungkan standar kebutuhan pokok berdasarkan atas kebutuhan beras dan gizi (kalori dan protein) dengan mengungkapkan masalah garis kemiskinan dan tingkat pendapatan petani. Ada tiga golongan orang miskin, yaitu golongan paling miskin yang mempunyai pendapatan per kapita per tahun beras sebanyak 240 kg atau kurang, golongan miskin sekali yang memiliki pendapatan per kapita per tahun beras sebanyak 240-360 kg dan lapisan miskin yang memiliki pendapatan per kapita per tahun beras sebanyak lebih dari 360 kg tetapi kurang dari 480 kg. Bank dunia (2000) menetapkan bahwa seseorang dikatakan miskin apabila pendapatannya dibawah US$ 2 per hari.

Badan Pusat Statistik (BPS) juga memberikan alternatif untuk mengukur garis kemiskinan dengan cara menentukan berapa besar kalori minimum yang harus dipenuhi oleh setiap orang dalam sehari. Badan ini mengusulkan bahwa setiap orang harus memenuhi 2100 kalori setiap harinya. Jadi, 2100 kalori ini merupakan batas garis kemiskinan dengan memperhitungkan kebutuhan non pangan seperti kebutuhan perumahan, bahan bakar, penerangan air, sandang, jenis barang yang tahan lama serta jasa-jasa. Kemudian kriteria-kriteria ini diubah dalam angka rupiah. Garis kemiskinan yang ditetapkan BPS sendiri akan selalu mengalami penyesuaian, karena harga kebutuhan itu berubah-ubah.

(38)

14

1. Mereka umumnya tidak memiliki faktor produksi sendiri, seperti tanah yang cukup, modal maupun ketrampilan. Faktor produksi yang dimiliki sedikit sekali sehingga kemampuan memperoleh pendapatan menjadi sangat terbatas. 2. Mereka tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan

kekuatan sendiri. Pendapatan tidak cukup untuk memperoleh tanah garapan maupun modal usaha, sedangkan syarat tidak terpenuhi untuk memperoleh kredit perbankan seperti adanya jaminan kredit dan lain-lain, sehingga mereka yang perlu kredit terpaksa berpaling kepada ”lintah darat” yang biasanya meminta syarat yang berat dan memungut bunga yang tinggi.

3. Tingkat pendidikan mereka yang rendah, tak sampai tamat sekolah dasar. Waktu mereka tersita habis untuk mencari nafkah sehingga tidak tersisa lagi untuk belajar. Anak-anak mereka tidak bisa menyelesaikan sekolah, karena harus membantu orang tua mencari tambahan penghasilan atau menjaga adik-adik di rumah, sehingga secara turun temurun mereka terjerat dalam keterbelakangan di bawah garis kemiskinan.

(39)

15

Didorong oleh kesulitan hidup di desa maka banyak diantara mereka mencoba berusaha di kota.

5. Kebanyakan diantara mereka yang hidup di kota masih berusia muda dan tidak mempunyai ketrampilan (skill) atau pendidikan, sedangkan kota di banyak negara sedang berkembang tidak siap menampung gerak urbanisasi penduduk desa ini. Apabila di negara negara pertumbuhan industri menyertai urbanisasi dan pertumbuhan kota sebagai penarik bagi masyarakat desa untuk bekerja di kota, maka urbanisasi di negara berkembang tidak disertai proses penyerapan tenaga dalam perkembangan industri. Bahkan sebaliknya, perkembangan teknologi di kota-kota negara berkembang justru menapik pekerjaan lebih banyak tenaga kerja, sehingga penduduk miskin yang pindah ke kota dalam kantong-kantong kemelaratan.

2.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan

(40)

16

memerlukan atau orang tidak mampu dan 2) kebijakan yang tidak memihak kepada orang miskin.

Beberapa faktor yang dinilai sebagai sebab-sebab kemiskinan menurut Handayani (2001) antara lain: (1) Kesempatan kerja, dimana seseorang itu miskin karena menganggur, sehingga tidak memperoleh penghasilan atau jika tidak bekerja penuh, baik dalam ukuran hari, minggu, bulan, maupun tahun, (2) upah gaji di bawah minimum, (3) produktivitas kerja yang rendah, (4) ketiadaan aset, (5) diskriminasi, (6) tekanan harga, dan (7) penjualan tanah.

Menurut Kartasasmita dalam Rahmawati (2006), kondisi kemiskinan dapat disebabkan oleh sekurang-kurangnya empat penyebab, yaitu :

1. Rendahnya taraf pendidikan

dimana taraf pendidikan yang rendah mengakibatkan kemampuan pengembangan diri terbatas dan menyebabkan sempitnya lapangan kerja yang dapat dimasuki. Taraf pendidikan yang rendah juga membatasi kemampuan untuk mencari dan memanfaatkan peluang.

2. Rendahnya derajat kesehatan

Taraf kesehatan dan gizi yang rendah menyebabkan rendahnya daya tahan fisik, daya pikir dan prakarsa.

3. Terbatasnya lapangan kerja

(41)

17

4. Kondisi keterisolasian

Banyak penduduk miskin secara ekonomi tidak berdaya karenan terpencil dan terisolasi. Mereka hidup terpencil sehingga sulit atau tidak dapat terjangkau oleh pelayanan pendidikan, kesehatan dan gerak kemajuan yang dinikmati masyarakat lainnya.

Menurut Todaro (1998) bahwa tinggi rendahnya tingkat kemiskinan tergantung pada dua faktor yakni tingkat pendapatan nasional rata-rata dan lebar sempitnya kesenjangan dalam distribusi pendapatan. Pendapatan nasional diperoleh dari faktor-faktor yang digunakan dimana faktor-faktor produksi merupakan faktor input yang digunakan perusahaan atau industri di dalam menghasilkan suatu output. Hubungan antara input dan output dapat diformulasikan ke dalam sebuah fungsi produksi, yang secara sistematis bisa ditulis :

Y = f (K, T)... (1) dimana :

Y = output yang dihasilkan selama periode tertentu K = kapital

T = tenaga kerja

(42)

18

yang dapat meningkatkan produktivitas akan meningkatkan pula pendapatan nasional dan pendapatan perkapita.

Penggunaan kapital di pedesaan lebih banyak menggunakan lahan sebab pedesaan masih menonjol di sektor pertanian. Hal ini juga disebutkan oleh Thomas Robert Malthus (tokoh mahzab klasik) bahwa lahan sebagai salah satu faktor produksi utama yang jumlahnya tetap, walaupun pemakaian lahan untuk produksi pertanian bisa ditingkatkan, peningkatannya tidak akan seberapa. Dalam banyak hal, justru jumlah lahan untuk pertanian berkurang. Hal ini karena sebagian digunakan untuk membangun perumahan, pabrik-pabrik, dan bangunan lain serta untuk pembuatan jalan. Penggunaan lahan di perkotaan dapat juga digunakan untuk sewa lahan. Hal ini dikemukakan oleh David Ricardo (tokoh mahzab klasik) bahwa keuntungan sewa lahan yang subur lebih tinggi dibandingkan dengan keuntungan sewa lahan yang kurang subur, karena semakin rendah tingkat kesuburan lahan, maka akan akan semakin tinggi biaya rata-rata dan biaya marginal untuk mengolah lahan tersebut (Deliarnov, 1995).

(43)

19

2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Penelitian Intania (2002) menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan adalah 1) umur, 2) tingkat pendapatan, 3) jumlah beban keluarga, 4) pendapatan, 5) pengalaman dan 6) pelayanan pengelolaan kegiatan. Untuk hasil analisis umur maka partisipasi juga semakin tinggi, namun hal ini terjadi pada rentan umur sampai dengan umur 60 tahun.

Faktor–faktor yang berhubungan dengan efektifitas komunikasi dalam kelompok Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) menurut Nur (2004) adalah faktor internal, faktor eksternal, dukungan pemimpin formal, pendidikan formal, pengalaman berusaha dan motivasi anggota kelompok dengan tingkat pemecahan masalah yang dihadapinya, namun yang berhubungan nyata dengan pola komunikasi dalam kelompok P2KP adalah dukungan pemimpin formal.

Menurut penelitian Rahmawati (2006), faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap peluang suatu rumah tangga berada dalam kemiskinan antara lain jumlah anggota rumah tangga yang termasuk tenaga kerja, umur, pendidikan, jenis kelamin dan pendapatan. Berdasarkan analisis tersebut, jika kepala rumah tangga berjenis kelamin wanita maka peluang rumah tangga menjadi miskin menjadi lebih berkurang.

(44)

20

Model kemiskinan ini menggunakan model logit dan dari semua variabel bebas yang dimasukkan, hanya variabel tipe kepala keluarga yang tidak signifikan pada taraf nyata 0,05.

Hal yang sama juga diungkapkan dalam penelitian McDowell (1995) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan adalah faktor umur, pendidikan, ras, tipe keluarga, ukuran keluarga, pendapatan, lama bekerja, struktur industri dan interaksi. Model kemiskinan ini juga menggunakan model regresi logistik dan semua variabel bebas signifikan terhadap taraf nyata satu persen.

Penelitian Wiraswara (2005) menunjukkan pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh terhadap angka kemiskinan di Indonesia. Dari hasil penelitian ini terdapat variabel-variabel lain yang berpengaruh terhadap kemiskinan di Indonesia. Variabel-variabel tersebut adalah angka melek huruf, keterjangkauan rumah tangga terhadap listrik dan dummy kabupaten/kota di Jawa. Ketiga variabel ini menurut data tahun 2002 memiliki kemampuan untuk mengurangi angka kemiskinan. Angka kemiskinannya lebih tinggi dari kabupaten/kota di luar Jawa dan persentase penduduk melek huruf kabupaten/kota di Jawa lebih rendah dari kabupaten di kabupaten/kota di luar Jawa. Kabupaten/kota di Jawa lebih unggul dalam persentase rumah tangga yang terjangkau listrik.

(45)

21

pencaharian pesanggem, luas penguasaan lahan pesanggem, pola usaha tani pesanggem dan pendapatan rumah tangga pesanggem.

Penelitian-penelitian terdahulu lebih berfokus pada upaya penanggulangan kemiskinan, ada pula yang lebih membahas faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan pesanggem. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah penelitian ini berfokus pada faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan dilihat faktor pendapatan, pendidikan, pengangguran dan tingkat ketergantungan.

2.5. Kerangka Pemikiran

Kemiskinan di Pulau Jawa lebih meluas bila dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya di Indonesia. Sebagai alasan dapat dihubungkan dengan penduduknya yang lebih padat dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya. Pertumbuhan yang cepat menghendaki pemenuhan hidup yang meningkat pula. Tingkat pertumbuhan kesempatan kerja akan meningkat seiring dengan peningkatan pemenuhan kebutuhan hidup. Dalam keadaan terbatasnya lapangan pekerjaan, maka akan sulit bagi sebagian angkatan kerja untuk memperoleh pekerjaan. Keadaan ini menyebabkan meningkatnya tingkat pengangguran yang dapat menyebabkan kemiskinan.

(46)

22

Barat dengan jumlah penduduk terbesar ketiga di Indonesia. Kepadatan penduduk ini disebabkan oleh meningkatnya migrasi penduduk yang umumnya tidak memiliki ketrampilan memadai sehingga mereka bekerja secara tidak layak dan memperoleh penghasilan yang rendah sehingga tidak mencukupi kebutuhan hidup di kota yang relatif lebih mahal dibandingkan di pedesaan. Keadaan ini akan meningkatkan jumlah penduduk miskin.

Penelitian ini akan membahas faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan. Faktor-faktor yang akan diteliti yaitu faktor pendapatan, pendidikan, pengangguran dan tingkat ketergantungan. Bagan dibawah ini untuk mempermudah alur penelitian.

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Faktor-faktor yang mempengaruhi

tingkat kemiskinan

Rekomendasi kebijakan dalam rangka program kegiatan pengentasan

kemiskinan

(47)

23

2.6. Hipotesis Penelitian

a. Hipotesis penelitian untuk faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan adalah sebagai berikut :

1. Lahan berpengaruh positif terhadap pendapatan. 2. Tenaga kerja berpengaruh positif terhadap pendapatan. 3. Investasi berpengaruh positif terhadap pendapatan.

4. Variabel dummy kota berpengaruh positif terhadap pendapatan.

b. Hipotesis penelitian untuk faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan adalah sebagai berikut.

1. Pendapatan berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan. 2. Pendidikan berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan.

3. Jumlah pengangguran berpengaruh positif terhadap tingkat kemiskinan. 4. Tingkat ketergantungan berpengaruh positif terhadap tingkat

(48)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa data kemiskinan, data

pendapatan, pendidikan, pengangguran, tenaga kerja, lahan dan investasi. Data

yang menunjang penelitian diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS),

perpustakaan IPB dan perpustakaan Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Data

yang digunakan merupakan data dari 25 kabupaten/kota di Jawa Barat untuk

tahun 2004.

3.2. Model Ekonometrika

Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model

persamaan simultan, yang dapat ditulis sebagai berikut :

Yi= α0 + α1Ei + α2Li + α3Ii + α4Dki + ε1 (3.1)

Mi=β0 + β1Yi + β2Pdi+ β3Ui + β4Depi +ε2 (3.2)

dimana :

Mi : Tingkat kemiskinan di kota/kabupaten i (persen)

Yi : Tingkat Pendapatan di kota/kabupaten i (miliar Rp)

Ei : Jumlah tenaga kerja di kota/kabupaten i (orang)

Pdi : Tingkat pendidikan di kota/kabupaten i (persen)

Ui : Tingkat Pengangguran di kota/kabupaten i (orang)

Depi : Tingkat Ketergantungan di kota/kabupaten i (persen)

Li : Luas Lahan di kota/kabupaten i (Ha)

(49)

25

Dki : Variabel dummy dengan nilai 1 untuk kota dan 0 untuk kabupaten

ε1, ε2 : Galat 1

Model analisis di atas terdiri dari persamaan pendapatan dan persamaan tingkat

kemiskinan, dua variabel endogen dan tujuh variabel eksogen.

3.3. Identifikasi dan Pendugaan Model

Identifikasi model digunakan untuk menentukan metode pendugaan dari

persamaan struktural yang sudah dibangun. Untuk mengetahui persamaan

struktural teridentifikasi atau tidak, dapat menggunakan order condition. Order

condition yaitu jika suatu persamaan teridentifikasi, maka jumlah variabel eksogen diluar persamaan tersebut harus lebih banyak dari atau sama dengan

jumlah peubah endogen dalam persamaan tersebut dikurangi 1. Rumus order

conditon dapat ditulis debagai berikut :

K - M > G-1 (3.3)

dimana :

K : Jumlah semua variabel yang terdapat dalam model persamaan simultan.

M : Jumlah semua variabel di dalam persamaan yang akan di identifikasi.

G : Jumlah persamaan.

Tabel 3.1. Order Condition (kondisi ordo)

Persamaan K-M <, =, > G-1 Kesimpulan

(3.3) 9-5 > 2-1 overidentified

(3.4) 9-5 > 2-1 overidentified

Hasil dari pengujian order conditon menghasilkan kesimpulan dapat

(50)

26

bahwa kedua model dapat dikatakan overidentified,maka metode yang digunakan

untuk mengetahui pengaruh dari variabel-variabel yang digunakan dengan analisis

regresi berganda adalah dengan menggunakan metode 2SLS (Two-Stage Least

Square).

3.4. Uji Evaluasi Hasil

Untuk lebih mengukur validitas dari suatu persamaan maka dilakukan

pengujian orde I atau pengujian orde II. Pengujian orde I meliputi uji koefisien

determinasi (R2), uji t, uji F. Uji orde kedua adalah uji penyimpangan klasik yang

meliputi uji mulikolinearitas, heteroskedastisitas dan uji normalitas. Uji

autokorelasi tidak dilakukan pada model ini karena data yang digunakan

merupakan data cross section dimana tidak terlalu penting untuk melakukan uji

tersebut. Adapun penjelasan mengenai pengujian tersebut adalah :

A. Koefisien Determinasi (R2)

Uji keragaman digunakan untuk melihat sejauh mana besar keragaman

yang dapat diterangkan oleh variabel bebas terhadap variabel tak bebas. Uji ini

juga digunakan untuk melihat seberapa kuat variabel yang dimasukkan ke dalam

model dapat menerangkan model. Dua sifat R2 adalah merupakan besaran negatif

dan batasnya antara nol sampai satu. Suatu R2 sebesar 1 berarti kecocokan

sempurna sedangkan (R2) yang bernilai nol berarti tidak ada hubungan antara

variabel tak bebas dengan variabel yang menjelaskan. Rumus untuk menghitung

(51)

27

JKT = jumlah kuadrat total

JKG = jumlah kuadrat galat

B. Uji t

Uji t digunakan untuk melihat keabsahan dari hipotesis yang telah

disebutkan dan membuktikan bahwa koefisien regresi dalam model secara

statistik bersifat signifikan atau tidak. Melalui uji ini apakah koefisien regresi satu

persatu secara statistik signifikan atau tidak.

j

Jika nilai t hitung lebih kecil dari nilai t tabel atau p-value lebih besar dari

α tertentu maka hipotesis nol βj= 0 diterima. Namun, jika nilai tj lebih besar dari

nilai t tabel atau p-value lebih kecil dari α yang telah ditentukan maka hipotesis

(52)

28

C. Uji F

Uji F digunakan untuk membuktikan secara statistik bahwa seluruh

koefisen regresi juga signifikan dalam menentukan nilai dari variabel tak bebas.

Untuk uji F hipotesis diuji adalah :

0

Jika seluruh nilai sebenarnya dari parameter regresi sama dengan nol, maka dapat

disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan linier antara variabel tak bebas

dengan variabel-variabel bebas. Untuk mengujinya dapat digunakan F statistik

dengan formula sebagai berikut :

( )

Jika nilai F satistik lebih kecil dari nilai t tabel maka hipotesis diterima. Namun

jika nilai F statistik lebih besar dari nilai F tabel berdasarkan suatu level of

significance tertentu maka hipotesis ditolak.

D. Multikolinier

Multikolinier adalah situasi adanya korelasi variabel-variabel bebas di

antara satu dengan yang lainnya. Variabel-variabel bebas yang bersifat ortogonal

adalah variabel bebas yang nilai korelasi di antara sesamanya sama dengan nol.

Jika terdapat korelasi sempurna di antara sesama variabel bebas ini sama dengan

satu, maka konsekuensinya adalah koefisien-koefisien regresi menjadi tidak dapat

(53)

29

yang sering menyebabkan terjadinya multikolinearitas pada model regresi, antara

lain :

1. Kesalahan teoritis dalam pembentukan model fungsi regresi yang

dipergunakan.

2. Terlampau kecilnya jumlah pengamatan yang akan dianalisis dengan model

regresi.

Untuk mendeteksi multikolinier dapat dilihat dengan menghitung

koefisien korelasi parsial. Disamping itu untuk melihat variabel eksogen mana

yang saling berkorelasi dilakukan dengan meregresi tiap variabel eksogen dengan

sisa variabel eksogen yang lain dan menghitung nilai R2 yang cocok.

Dalam model regresi :

Yi= α0 + α1Ei + α2Li + α3Ii + α4Dki + ε1

Diregresikan setiap variabel bebas atas variabel bebas yang lain dan kemudian

menghitung R2 yang bersangkutan yang kita nyatakan dengan simbol Ri,

kemudian kita tentukan nilai F masing-masing regresi tersebut dan dinyatakan

dengan Fi. Formula hubungan antara F dan R2 dinyatakan sebagai berikut :

(

)

N = jumlah observasi

K = jumlah variabel bebas

Jika Fi lebih besar dari nilai Fi tabel pada suatu level of significance tertentu, maka

dapat diartikan bahwa variabel bebas Xk tertentu mempunyai variabel bebas yang

(54)

30

maka dapat diartikan bahwa variabel bebas Xk tertentu tidak mempunyai korelasi

dengan variabel bebas lain.

E. Heteroskedastisitas

Suatu fungsi dikatakan baik apabila memenuhi asumsi homoskedastisitas

(tidak terjadi heteroskedastisitas) atau memiliki ragam error yang sama. Gejala

adanya heteroskedastisitas dapat ditunjukkan oleh probability Obs*R-squared

pada uji White Heteroskedastisicity.

0

Probality Obs*R-squared < α, maka tolak H0 Probability Obs*R-squared.> α,maka terima H0

Heteroskadastisitas dapat juga dideteksi dengan menggunakan metode

grafik yang memetakan hubungan antara variabel tak bebas dengan kuadrat

residual. Jika terdapat pola yang sistematis antara dua variabel tersebut maka

dapat dikatakan bahwa persamaan regresi mengandung heteroskedastisitas.

Akibat yang ditimbulkan pada model regresi yang mengandung

heteroskedastisitas pada faktor-faktor gangguannya yang diterapkan adalah

sebagai berikut :

1. Penaksir-penaksir OLS tidak akan bias (unbiased)

Artinya, penaksir-penaksir OLS adalah tidak bias sekalipun dalam kondisi

heteroskedastisitas. Hal ini disebabkan karena tidak menggunakan asumsi

(55)

31

2. Varian yang diperoleh menjadi tidak efisien

Artinya, cenderung membesar sehingga tidak lagi merupakan varian yang

terkecil. Kecenderungan semakin membesarnya varian tersebut akan

mengakibatkan uji hipotesis yang dilakukan juga tidak akan memberikan hasil

yang baik (tidak valid). Pada uji t terhadap koefisien regresi, t hitung diduga

terlalu rendah. Kesimpulan tersebut akan semakin buruk jika sampel

pengamatan semakin kecil jumlahnya. Dengan demikian, model diperbaiki

dulu agar pengaruh dari heteroskedastisitasnya hilang.

F. Uji Normalitas

Uji ini dilakukan untuk sampel kurang dari 30, karena jika sampel lebih

dari 30 maka error term terdistribusi secara normal. Untuk menguji error term

terdistribusi secara normal atau tidak dapat ditunjukan dengan menggunakan uji

Jarque-Bera. Kriteria uji :

a. H0 = error term terdistribusi normal

H1 = error term tidak terdistribusi normal

b. Statistik J-B dapat dihitung melalui tahapan berikut.

1) hitung kecondongan (α3)dan ketinggian (α4) error term.

Pada software Eviews, uji normalitas dilakukan dengan menggunakan

(56)

32

nyata yang digunakan maka model persamaan tidak mempunyai masalah

normalitas atau error term terdistribusi secara normal.

3.5. Definisi Operasional

1. Kemiskinan adalah ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan

dasar hidupnya.

2. Karakteristik kemiskinan adalah hubungan atau gambaran kondisi; atribut dari

karakteristik masyarakat dengan proses dan kejadian kemiskinan dilihat

kaitannya dengan faktor ekonomi, sosial dan budaya.

3. Garis kemiskinan adalah besarnya pengeluaran (dalam rupiah) untuk

memenuhi kebutuhan dasar minimal makanan dan non makanan.

4. Tingkat pendapatan adalah pendapatan regional dibagi dengan jumlah

penduduk pada tengah tahun berdasarkan harga konstan.

5. Investasi adalah pembelian dari modal barang-barang yang tidak dikonsumsi

tetapi digunakan untuk produksi yang akan datang.

6. Luas lahan diukur dari jumlah lahan sawah dan lahan kering.

7. Tingkat pendidikan dilihat dari jumlah murid Sekolah Lanjutan Tingkat Atas

(SLTA) umum.

8. Tingkat ketergantungan adalah jumlah penduduk umur 0-14 tahun dan 65

tahun ke atas dibagi dengan jumlah penduduk umur 15-64 tahun.

9. Tingkat pengangguran adalah jumlah angkatan kerja yang sedang mencari

pekerjaan.

(57)

IV. PERKEMBANGAN PENDAPATAN DAN KEMISKINAN DI JAWA BARAT

4.1. Perkembangan Tingkat Kemiskinan

Jumlah dan persentase penduduk miskin pada periode tahun 1996-2004 berfluktuasi dari tahun ke tahun meskipun terlihat adanya kecenderungan menurun pada periode tahun 1999-2004. Pada periode tahun 1996-1998 jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 4431,3 ribu karena krisis ekonomi, yaitu dari 3962,1 ribu pada tahun 1996 menjadi 14853,2 ribu pada tahun 1998. Persentase penduduk miskin meningkat dari 9,88 persen menjadi 35,72 persen pada periode yang sama.

Pada periode tahun 1999-2004 terjadi penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 37392,2 ribu, yaitu dari 8393,4 ribu pada tahun 1999 menjadi 4654,2 ribu. Secara relatif juga terjadi penurunan pada persentase penduduk miskin dari 19,78 persen pada tahun 1999 menjadi 12,10 persen pada tahun 2004.

Tabel 4.1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Jawa Barat Periode Tahun 1996-2004

Tahun Jumlah penduduk miskin (ribu) Persentase penduduk miskin

1996 3962,1 9,88

1997 5675,1 13,90

1998 14853,2 35,72

1999 8393,4 19,78

2000 6658,4 15,40

2001 6513,6 15,34

2002 4938,2 13,38

2003 4889,0 12,90

2004 4654,2 12,10

(58)

34

4.2. Perkembangan Pendapatan di Jawa Barat

Besarnya pendapatan yang diperoleh atau diterima rumah tangga dapat menggambarkan kesejahteraan suatu masyarakat. Pendapatan perkapita adalah nilai PDRB dibagi jumlah penduduk pertengahan tahun. Semakin tinggi pendapatan perkapita dan pertumbuhan ekonomi maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan penduduk.

Secara umum pendapatan perkapita baik harga berlaku maupun dengan harga konstan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Namun peningkatan pendapatan perkapita berdasarkan harga berlaku belum mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat Jawa Barat secara umum karena sama seperti PDRB harga berlaku, dalam pendapatan perkapita harga berlaku masih mengandung faktor inflasi. Untuk melihat kesejahteraan masyarakat Jawa Barat dapat dilihat perolehan pendapatan perkapita berdasarkan harga konstan. Peningkatan pendapatan perkapita terlihat dari jumlah pendapatan pada tahun 2000 sebesar Rp. 1.599.581 menjadi Rp. 1.725.993 pada tahun 2004 dan terlihat pula pertumbuhan ekonomi yang meningkat dari 3,89 persen pada tahun 2001 menjadi 5,47 persen pada tahun 2004.

Tabel 4.2. Nilai Pendapatan di Jawa Barat Tahun 2001-2005 Pendapatan Perkapita

Tahun

Harga Berlaku (Rp) Harga Konstan (Rp)

Laju Pertumbuhan

2005* 7.880.887 1.725.993 5,47

Sumber : BPS, 2005

(59)

35

4.3. Perkembangan Tenaga Kerja

Perkembangan tenaga kerja di Jawa Barat pada periode tahun 2001-2005 mengalami peningkatan yaitu dari 14.499.420 orang pada tahun 2001 menjadi 14.629.276 orang pada tahun 2005. Dari kontribusi tenaga kerja berdasarkan sektor ekonomi terlihat bahwa penyerapan tenaga kerja paling tinggi terjadi di sektor Pertanian, kurang lebih sebesar 30 persen dari jumlah pekerja yang ada di Jawa Barat. Sektor non-pertanian memiliki kontribusi dalam penyerapan tenaga kerja kurang lebih sebesar 70 persen yang terbagi dari beberapa sektor, yaitu sektor pertambangan dan galian, industri, listrik, gas dan air, konstruksi, perdagangan, komunikasi, keuangan dan lain-lain. Kendala yang terjadi dalam tenaga kerja adalah rendahnya kualitas tenaga kerja di Jawa Barat, sekitar 50 persen tenaga kerja di Jawa Barat berpendidikan Sekolah Dasar (SD), yang berarti bahwa banyak dari pekerja di Jawa Barat yang menempati posisi sebagai pekerja yang tidak berpendidikan.

Tabel 4.3. Jumlah Tenaga Kerja dan Persentase Kontribusi Tenaga Kerja Berdasarkan Sektor Ekonomi di Jawa Barat Tahun 2001-2005

Sektor Ekonomi Tahun Tenaga Kerja (orang)

Pertanian Non Pertanian

2001 14.499.420 32,67 67,33

2002 14.417.739 31,81 68,19

2003 14.345.796 34,57 65,43

2004 14.618.934 30,34 69,66

2005 14.629.276 30,06 69,94

(60)

36

Tabel 4.4. Persentase Tenaga Kerja Jawa Barat Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2001-2005

Tingkat Pendidikan 2001 2002 2003 2004 2005 Tdk/blm sekolah 4,46 3,56 1,89 2,26 2,67 Tdk/blm sekolah SD 14,00 14,70 11,1 11,80 11,80

SD 45,50 45,40 48,3 45,90 44,90

SLTP 15,29 15,16 16,1 17,97 17,3

SLTA 16,22 16,55 18,1 17,02 18,14

Diploma 2,36 2,43 1,95 2,41 2,50

Universitas 2,26 2,31 2,48 2,75 2,77

Sumber : BPS, 2001-2005

4.4. Perkembangan Investasi

Perkembangan investasi pada periode tahun 2001-2005 berfluktuasi. Peningkatan nilai investasi terjadi pada tahun 2001 yaitu pada PMA di tahun 2001 sebesar 7,68 persen menjadi 19,26 persen di tahun 2002, sedangkan pada PMDN di tahun 2001 sebesar 8,39 persen menjadi 9,32 persen di tahun 2002. Pada periode tahun 2002-2003, nilai investasi mengalami penurunan baik pada PMA maupun pada PMDN. Pada tahun 2005 peningkatan terjadi pada PMA sedangkan pada PMDN mengalami penurunan sebesar 9,43 persen yaitu pada tahun 2004 sebesar 20,02 persen menjadi 10,59 persen pada tahun 2005. Peningkatan investasi akan membawa dampak yang baik terhadap peningkatan penyerapan tenaga kerja di Jawa Barat.

Tabel 4.5. Nilai Investasi di Jawa Barat Periode Tahun 2000-2005

Tahun PMA PMDN

(61)

37

4.5. Perkembangan Tingkat Pengangguran

Tingkat pengangguran di Jawa Barat pada periode tahun 2000-2004 mengalami fluaktuasi. Pada periode tahun 2000 hingga tahun 2004 mengalami peningkatan yaitu dari 8,99 persen pada tahun 2000 menjadi 13,19 persen pada tahun 2002, kemudian pada tahun 2003 tingkat pengangguran menurun sebesar 12,49 persen. Namun tidak lama kemudian tingkat pengangguran kembali meningkat pada tahun 2004 dan 2005. Pengangguran meningkat di Jawa Barat disebabkan oleh meningkatnya jumlah migrasi dari daerah lain ke Jawa Barat serta lapangan kerja tidak mampu menampung tenaga kerja tersebut.

Tabel 4.6. Jumlah Pengangguran dan Tingkat Pengangguran Terbuka di Jawa Barat Tahun 2000-2005

Tahun Jumlah Pengangguran Tingkat Pengangguran (%)

2000 17.048.013 8,99

2001 14.499.420 11,77

2002 14.417.739 13,19

2003 14.345.796 12,49

2004 14.618.934 13,69

2005 14.629.276 14,73

Sumber : BPS, 2001-2005

4.6. Perkembangan Tingkat Ketergantungan

(62)

38

Tabel 4.7. Jumlah Penduduk Menurut Umur dan Persentase Tingkat Ketergantungan di Jawa Barat Periode Tahun 2000-2005

Jumlah Penduduk menurut Umur (ribu)

Tahun

<15 th 15-64 th >65 th

Tingkat Ketergantungan (persen)

2000 42.831,97 23.901,57 1.477,68 50,97

2001 10,805,39 24.473,72 1.515,88 50,34

2002 10.904,81 25.078,30 1.565,42 49,72

2003 11.000,17 25.708,06 1.625,41 49,11

2004 11.091,96 26.349,61 1.697,91 48,54

2005 11.180,84 26.990,05 1.785,27 48,04

(63)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Pendugaan Model Analisis

Dalam menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan dan

kemiskinan, maka perlu dilakukan pengujian terhadap asumsi-asumsi dari metode

pendugaan yaitu uji normalitas, uji heteroskedastisitas dan multikolineritas. Untuk

menguji asumsi normalitas error term dilakukan dengan mengunakan uji

Jarque-Bera Test. Hasil pengujian normalitas untuk model pendapatan dapat ditunjukkan oleh nilai probabilitas sebesar 0,02. Ini berarti bahwa pada taraf nyata 1 persen

dapat dikatakan error term terdistribusi normal. Hal yang sama juga ditunjukkan

oleh model kemiskinan, yaitu bahwa probabilitas ketidaknormalan sebesar 0,98

yang berarti error term tersebut tersebar normal.

Dalam asumsi model regresi linier, gangguan μi semuanya mempunyai

varians yang sama. Jika asumsi ini terpenuhi maka model regresi bersifat

homoskedastisitas tetapi sebaliknya jika asumsi tersebut dilanggar maka model

tersebut mengandung heteroskedastisitas. Untuk menguji asumsi

heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan uji White Heteroskedasticity.

Jika nilai probabilitas dalam uji yang digunakan lebih kecil dari taraf nyata maka

dalam model terdapat heteroskedastisitas. Hasil pengujian heteroskedastisitas

(probabilitas Obs*R-square) untuk model pendapatan dan model kemiskinan

berturut-turut adalah sebesar 0,114 dan 0,58. Berdasarkan nilai tersebut maka

pada taraf nyata satu persen, kedua model tersebut memenuhi asumsi

(64)

40

Untuk mengetahui ada atau tidaknya masalah multikolinearitas dilihat dari

korelasi antara variabel-variabel independent yang menyusun model. Suatu model

dikatakan terbebas dari multikolinearitas jika korelasi antara variabel-variabelnya

tidak lebih dari 0,8. Dalam model pendapatan dan kemiskinan (Lampiran 3) dapat

terlihat bahwa korelasi diantara variabel tidak lebih dari 0,8, sehingga tidak terjadi

masalah multikolinearitas diantara variabel bebas.

5.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan

Dari model faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan (Tabel 5.1)

menunjukkan nilai probabilitas F statistik sebesar 0,000 yang berarti lebih kecil

dari taraf nyata yang dikehendaki yaitu 0,10. Hal ini menunjukkan bahwa secara

keseluruhan variabel-variabel bebas dalam model secara signifikan berpengaruh

terhadap variabel pendapatan. Disamping itu juga ditunjukkan nilai koefisien

determinasi adalah sebesar 0,66, yang berarti bahwa besarnya variabel pendapatan

yang dapat dijelaskan oleh variabel tenaga kerja, lahan, investasi dan dummy

kota/kabupaten adalah sebesar 66 persen. Dari empat variabel yang dimasukkan

dalam model, dua variabel pengaruh yang nyata pada taraf <1 persen yaitu tenaga

kerja dan investasi dan dua variabel berpengaruh nyata pada taraf <10 persen

terhadap pendapatan yaitu variabel lahan dan dummy kota/kabupaten.

Koefisien regresi tenaga kerja adalah sebesar 0,0016. Hal ini bahwa setiap

kenaikan tenaga kerja sebesar satu orang akan meningkatkan pendapatan sebesar

(65)

41

maka akan menurunkan pengangguran yang akan meningkatkan pendapatan

nasional selanjutnya akan meningkatkan pendapatan perkapita.

Tabel 5.1. Hasil Estimasi Model Pendapatan

Variabel Koefisien Peluang untuk satu sisi

Konstan -490,4733 0,2448

Lahan (L) 0,001473 0,0472

Tenaga Kerja (Tk) 0,001570 0,0047

Investasi (I) 0,000113 0,0084

Dummy Kotamadya (Dk) 774,9002 0,0317

R2 0,656506

F-statistik 9,556285

Peluang (F-stat) 0,000173

Sumber : Lampiran 2

Koefisien regresi lahan adalah sebesar 0,0015 yang berarti setiap kenaikan

luas lahan pertanian sebesar satu hektar akan menyebabkan pendapatan meningkat

sebesar 15 juta rupiah. Hal ini menunjukkan bahwa peranan sektor pertanian

masih sangat penting dalam meningkatkan pendapatan. Pentingnya sektor

Pertanian juga ditunjukkan oleh Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang

masih tinggi yaitu pada tahun 2004 sebesar 13,43 persen. Hasil ini sesuai dengan

penelitian yang dilakukan oleh Syafwannur (2004).

Untuk koefisien regresi variabel investasi adalah sebesar 0,0001. Hal ini

menunjukkan bahwa setiap kenaikan investasi sebesar satu juta rupiah akan

meningkatkan pendapatan sebesar 100 ribu rupiah. Ini menunjukkan bahwa

pentingnya Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam

Negeri (PMDN) yang menginvestasikan dananya ke kotamadya/kabupaten di

Jawa Barat. Dengan meningkatnya investasi di bidang usaha akan memperluas

(66)

42

selanjutnya akan meningkatkan pendapatan. Hal ini terlihat dari peningkatan

investasi dari 221 proyek pada tahun 2003 menjadi 350 proyek pada tahun 2004

yang meningkatkan jumlah penyerapan tenaga kerja sebesar 97.832 orang pada

tahun 2004 dari 58.281 orang pada tahun 2003 (BPMD, 2004).

Koefisien regresi variabel dummy antara kotamadya dan kabupatan

memiliki tanda positif . Hal ini mengindikasikan bahwa pendapatan di kotamadya

lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pendapatan di kabupaten. Hasil ini

sesuai dengan kenyataan dimana pendapatan di kotamadya yang lebih tinggi

karena merupakan pusat suatu daerah dengan berbagai lapangan usaha seperti

industri pengolahan, perdagangan, hotel dan restoran, dan lain-lain, sedangkan

sebagian besar lapangan usaha di kabupaten adalah di sektor pertanian.

5.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan

Berdasarkan model kemiskinan pada Tabel 5.2, dapat ditunjukkan bahwa

nilai probabilitas F-statistik sebesar 0,000, yang berarti bahwa pendapatan,

pendidikan, jumlah pengangguran dan tingkat ketergantungan secara

bersama-sama mempunyai pengaruh yang sangat nyata terhadap tingkat kemiskinan. Di

samping itu juga ditunjukkan bahwa koefisien determinasi adalah sebesar 0,73.

Artinya dengan model tersebut variabel tingkat kemiskinan dapat dijelaskan oleh

variabel pendapatan, pendidikan, jumlah pengangguran dan tingkat

ketergantungan sebesar 73 persen. Dari empat variabel bebas yang dimasukkan

(67)

43

dan dua variabel berpengaruh nyata pada taraf <10 persen terhadap tingkat

kemiskinan.

Tabel 5.2. Hasil Estimasi Model Kemiskinan

Variabel Koefisien Peluang untuk satu arah

Konstan 3,985094 0,6544

Pendapatan (Y) -0,00216 0,0084

Pendidikan (Pd) -0,38908 0,0022

Jumlah pengangguran (U) 0,17250 0,0830

Tingkat ketergantungan (Dep) 0,235907 0,0872

R2 0,738774

F-statistik 14,15245

Peluang (F-stat) 0,000012

Sumber : Lampiran 2

Dari Tabel 5.2. juga dapat ditujukkan bahwa pendapatan mempunyai

pengaruh yang sangat nyata pada taraf <1 persen terhadap tingkat kemiskinan.

Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Allen dan Thompson

(1990), McDowel dan Allen (1995) serta Intania (2002). Nilai koefisien regresi

untuk pendapatan bernilai -0,002 yang berarti setiap kenaikan pendapatan sebesar

satu miliar rupiah akan menurunkan tingkat kemiskinan sebesar 0,002 persen.

Berdasarkan hasil analisis regresi diketahui bahwa variabel tingkat

pendidikan mempunyai pengaruh yang nyata pada taraf 1 persen terhadap tingkat

kemiskinan. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Allen and

Thompson (1990), McDowel and Allen (1995).Nilai koefisien regresi untuk

variabel tingkat pendidikan bernilai negatif yaitu 0,38 yang berarti jika tingkat

pendidikan meningkat satu persen maka akan menurunkan tingkat kemiskinan

sebesar 0,38 persen. Pendidikan merupakan salah satu upaya untuk mengatasi

Gambar

Tabel 1.1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Propinsi di Indonesia Periode Tahun 2004
Tabel 1.2. PDRB Perkapita atas Dasar Harga Konstan tahun 2000 Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2003-2005 (Rupiah)
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran
Tabel 3.1. Order Condition (kondisi ordo)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Variabel dummy krisis berpengaruh negatif yang signifikan pada taraf nyata 5 persen terhadap jumlah permintaan terigu di Indonesia dengan nilai koefisien sebesar -0.36

semakin besar jumlah pengangguran maka tingkat kemiskinan akan semakin tinggi... Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data yang

yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di Provinsi Jawa Timur tahun 2008-2012. Variabel yang digunakan adalah tingkat kemiskinan sebagai variabel

Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Upah Minimum Kabupaten Kota Di Provinsi Jawa Timur serta Dampaknya terhadap Pengangguran dan Kemiskinan Kabupaten Kota

Analisis faktor produksi pada taraf nyata lima persen berdasarkan variabel utama yang mempengaruhi produksi, yaitu luas areal panen dan produktivitas jagung, memberikan

Variabel pendapatan memiliki hubungan negative dengan kemiskinan hal ini sesuai dengan teori bahwa semakin tinggi pendapatan akan menurunkan tingkat kemiskinan, tetapi

lima faktor yang mempengaruhi Tingkat kemiskinan di Provinsi Sumatera Utara. yakni: Laju pertumbuhan ekonomi, Jumlah penduduk, Produk domestik

Hasil penelitian tersebut adalah jumlah penduduk dan pengangguran memengaruhi tingkat kemiskinan dalam pengaruh positif, PDRB dan inflasi berpengaruh negatif