• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

FAKTOR DOMESTIK Tenaga Kerja

III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1. Konsep Daya Saing

Daya saing merupakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditi dengan mutu yang baik dan biaya produksi yang cukup rendah sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar kegiatan produksi tersebut menguntungkan. Daya saing suatu komolditas akan tercermin pada harga jual yang murah di pasar dan mutu yang tinggi. Untuk analisis daya saing suatu komoditas biasanya ditinjau dari sisi penawaran karena struktur biaya produksi merupakan komponen utama yang akan menentukan harga jual komoditas tersebut (Salvatore, 1997).

Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur daya saing suatu komoditi adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efesiensi dalam pengusahaan komoditi tersebut. Keuntungan dilihat dari keuntungan privat dan keuntungan sosial, sedangkan efesiensi penguasaan komoditi dilihat berdasarkan indikator keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif.

Kajian mengenai daya saing berawal dari pemikiran Adam Smith

mengenai konsep penting tentang “spesialisasi” dan “perdagangan bebas” yang

dikenal dengan teori perdagangan klasik melalui teori keunggulan absolute (absolute advantage). Teori keunggulan absolut menyatakan bahwa setiap negara akan memperoleh manfaat perdagangan karena melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang jika negara tersebut memiliki keunggulan mutlak, serta mengimpor barang jika negara tersebut memiliki ketidakunggulan mutlak (Krugman dan Obstfeld, 2004).

Kelebihan dari teori keuntungan absolut yaitu terjadi perdagangan bebas antara dua negara yang saling memiliki keunggulan absolut yang berbeda dimana terjadi interaksi ekspor dan impor. Kelemahannya adalah apabila hanya satu negara yang memiliki keunggulan absolut maka perdagangan internasional tidak akan terjadi karena tidak ada keuntungan (Oktaviani dan Novianti, 2009).

Teori Adam Smith ini disempurnakan oleh David Ricardo pada tahun

Taxation” memperluas teori keunggulan absolut Adam Smith menjadi teori

keunggulan komparatif (The Law of Comparative Advantagse) baik secara efesiensi tenaga kerja maupun produktivitas tenaga kerja (Salvatore, 1997).

3.1.1.1. Keunggulan Komparatif

Keunggulan komparatif (comparative advantage) mula-mula dikemukakan oleh David Ricardo. Teori ini didasarkan pada nilai tenaga kerja yang menyatakan bahwa hanya satu faktor produksi yang penting yang menentukan nilai suatu komoditas yakni tenaga kerja. Ricardo membuktikan bahwa apabila ada dua negara yang saling berdagang dan masing-masing negara mengkonsentrasikan diri untuk mengekspor barang yang bagi negara tersebut memiliki keunggulan komparatif maka kedua negara tersebut akan beruntung (Halwani, 2002). Ternyata ide tersebut bukan saja bermanfaat dalam perdagangan internasional tapi juga sangat penting diperhatikan dalam ekonomi regional. Dalam perdagangan bebas antar daerah, mekanisme pasar mendorong masing-masing daerah bergerak kea rah sektor yang daerahnya memiliki keunggulan komparatif. Akan tetapi, mekanisme pasar seringkali bergerak lambat dalam mengubah struktur ekonomi suatu daerah. Sedangkan model Hechkscher-Ohlin (H-O) lebih menekankan pada keseimbangan perdagangan antar dua kutub ekonomi neoclassic. Ide dasar model H-O adalah wilayah yang mempunyai tenaga kerja melimpah, secara relatif akan memanfaatkan kemampuan dirinya untuk memproduksi barang dengan faktor produksi padat karya yang relatif lebih murah. Dengan demikian, wilayah tersebut akan mempunyai keunggulan komparatif dalam memproduksi barang tersebut.

Daya saing suatu komoditi sangat tergantung oleh keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif dalam produksi dan perdagangan. Ada pendapat dari beberapa kelompok teknorat mengenai keunggulan komparatif yaitu suatu wilayah dapat memiliki keunggulan komparatif jika memiliki kekayaan alam yang melimpah, tenaga kerja yang padat karya, dengan muatan teknologi yang rendah, sehingga faktor produksi menjadi murah dan merupakan andalan untuk berkompetisi dalam perdagangan maupun terhadap serbuan barang-barang sejenis dalam negeri untuk jangka pendek. Menurut Suprianti (1988), keunggulan

komparatif dapat dibagi menjadi dua, yaitu keunggulan komparatif natural (alami) dan keunggulan komparatif buatan (terapan). Sumber keunggulan komparatif alami ditunjukkan dengan kondisi iklim yang cocok, upah tenaga kerja yang murah dan ketersediaan sumberdaya alam. Sedangkan keunggulan komparatif terapan telah diaplikasikan dan telah disesuaikan dengan adanya faktor pendukung seperti faktor teknologi, permintaan skala ekonomi dan struktur pasar.

Menurut Darusman (1999), pada awalnya keunggulan komparatif digunakan untuk melihat tingkat efesiensi produksi dari dua jenis produk yang dihasilkan oleh suatu negara dimana biaya produksinya dinyatakan dalam penggunaan tenaga kerja. Sehingga dapat dikatakan bahwa keunggulan komparatif digunakan untuk mengkaji efesiensi relatif penggunaan tenaga kerja dalam memproduksi barang yang sama antar wilayah. Dalam perkembangan selanjutnya, keunggulan komparatif tidak hanya digunakan untuk mengkaji efesiensi tenaga kerja (sumberdaya manusia ) saja, tapi juga digunakan untuk sumberdaya lainnya. Bila suatu wilayah mempunyai kelebihan dalam permodalan maka dapat dikatakan bahwa wilayah tersebut mempunyai keunggulan komparatif di bidang faktor produksi modal. Demikian juga bila suatu wilayah mempunyai kelebihan dalam sumberdaya alam maka dapat dikatakan bahwa suatu wilayah tersebut mempunyai keunggulan komparatif dalam faktor produksi alam. Cara tersebut dikenal dengan melihat keunggulan komparatif dari sisi input. Disamping dari sisi input, cara melihat keunggulan komparatif juga dapat dilihat dari sisi output yaitu dari realisasi ekspornya. Dari semua faktor-faktor yang mempengaruhi keunggulan komparatif yaitu keadaan alam, kombinasi dari faktor produksi, pertimbangan lokasi, transportasi dan dukungan kelembagaan. Konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran daya saing yang akan dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi sama sekali. Oleh karena itu, konsep keunggulan komparatif tidak dapat dipakai untuk mengukur daya saing suatu kegiatan produksi pada kondisi perekonomian aktual. Namun asumsi perekonomian yang tidak mengalami ditorsi atau hambatan sama sekali sulit ditemukan pada dunia nyata, sehingga konsep keunggulan komparatif tidak dapat digunakan sebagai indikator untuk mengukur keuntungan suatu kegiatan ekonomi.

3.1.1.2. Keunggulan Kompetitif

Keunggulan kompetitif adalah keunggulan yang ditujukan oleh suatu negara atau daerah dalam daya saing produk yang dihasilkan dibandingkan dengan negara atau daerah lain. Sebagai contoh, jika suatu daerah mempunyai kelebihan dalam komoditi tertentu (mempunyai kelebihan komparatif) namun hal tersebut tidak terlihat dalam prestasi ekspornya maka dapat dikatakan komoditi yang dimiliki negara tersebut tidak mampu bersaing di pasaran dunia.

Konsep keunggulan kompetitif pertama kali dikembangkan oleh Porter pada tahun 1980 dengan bertitik tolak dari kenyataan-kenyataan perdagangan internasional yang ada. Menurut Porter (1990), kekuatan kompetitif menentukan tingkat persaingan dalam suatu industri baik domestik maupun internasional yang menghasilkan barang dan jasa. Menurut Porter, bahwa keunggulan perdagangan antar negara dengan negara lain di dalam perdagangan internasional secara spesifik untuk produk-produk tertentu sebenarnya tidak ada, kenyataan yang ada adalah persaingan antara kelompok-kelompok kecil industri yang ada dalam suatu negara. Oleh karena itu dapat dicapai dan dipertahankan dalam suatu sub sektor tertentu disuatu negara dengan meningkatkan produktivitas penggunaan sumberdaya yang ada. Porter (1990) menyatakan bahwa penentu daya saing adalah persaingan yang sehat antar industri, adanya deferensiasi produk dan kemampuan teknologi. Porter menyatakan bahwa istilah keunggulan kompetitif adalah bahasan dalam persepektif mikro (bisnis) sedangkan istilah keunggulan komparatif merupakan kajian dalam persepektif makro.

Halwani (2002) menyatakan bahwa keunggulan kompetitif suatu negara ditentukan oleh empat faktor yaitu keadaan faktor-faktor produksi, permintaan dan tuntutan kualitas, industri terkait dan pendukung yang kompetitif dan strategi, struktur dan sistem penguasaan antar perusahaan. Selain empat faktor penentu tersebut, keunggulan kompetitif juga ditentukan oleh faktor eksternal yaitu sistem pemerintahan dan terdapatnya kesempatan. Faktor-faktor ini secara bersama-sama akan membentuk sistem dalam peningkatan keunggulan kompetitif suatu negara. Suatu komoditas dapat memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif sekaligus yang berarti komoditas tersebut menguntungkan untuk diproduksi dan diusahakan serta dapat bersaing di pasar internasional. Akan tetapi bila suatu

komoditas yang diproduksi suatu negara hanya mempunyai keunggulan komparatif namun tidak memiliki keunggulan kompetitif, maka di negara tersebut dapat disumsikan terjadi distorsi pasar atau terdapat hambata-hambatan yang mengganggu kegiatan produksi sehingga merugikan produsen seperti prosedur administrasi, perpajakan dan lain-lain. Oleh karena itu pemerintah perlu untuk mengadakan deregulasi yang dapat menghilangkan hambatan atau distorsi pasar tersebut.

Keunggulan kompetitif merupakan perluasan dari konsep keunggulan komparatif yang menggambarkan kondisi daya saing suatu kegiatan pada kondisi perekonomian aktual. Keunggulan kompetitif digunakan untuk mengukur kelayakan suatu kegiatan dimana keuntungan privat diukur berdasarkan harga pasar dan nilai uang yang berlaku berdasarkan analisis finansial. Harga pasar adalah harga yang sebenarnya dibayar oleh produsen untuk membeli faktor produksi dan harga yang benar-benar diterima dari hasil penjualan output.

3.1.2. Analisis Kebijakan Pemerintah

Kebijakan pemerintah ditetapkan untuk meningkatkan ekspor ataupun sebagai usaha untuk melindungi produk dalam negeri agar dapat bersaing dengan produk luar negeri. Kebijakan tersebut biasanya diberlakukan untuk output maupun input yang menyebabkan terjadinya perbedaan harga input dan harga output yang diminta produsen (harga privat) dengan harga yang sebenarnya terjadi jika dalam kondisi perdagangan bebas (harga sosial). Kebijakan yang ditetapkan pemerintah pada suatu komoditas ada dua yaitu subsidi dan hambatan perdagangan. Kebijakan berupa subsidi terdiri dari subsidi positif dan subsidi negatif (pajak), sedangkan hambatan perdagangan berupa tarif dan kuota.

Monke dan Pearson (1989) menjelaskan pengaruh intervensi pemerintah pada harga komoditi yang membagi kedalam delapan tipe kebijakan subsidi dan dua kebijakan perdagangan yang terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Klasifikasi Kebijakan Pemerintah Terhadap Harga Komoditi Instrumen Dampak pada Produsen Dampak pada

Konsumen Kebijakan Subsidi

1. Tidak mengubah harga pasar dalam negeri

2. Mengubah harga pasar dalam negeri

Subsidi pada Produsen 1.Pada barang-barang subsitusi impor (S + PI; S – PI) 2.Pada barang-barang orientasi ekspor (S + PE; S – PE) Subsidi pada Konsumen 1.Pada barang-barang subsitusi impor (S + CI; S – CI) 2.Pada barang-barang orientasi ekspor (S + CE; S – CE) Kebijakan Perdagangan (merubah harga pasar dalam negeri)

Hambatan pada barang impor (TPI)

Hambatan pada barang ekspor (TCE)

Keterangan :

S+ PI = Subsidi PE = Produsen Barang Orientasi Ekspor S - PI = Pajak CI = Konsumen Barang Substitusi Impor PI = Produsen Barang Subsitusi Impor CE = Konsumen Barang Orientasi Ekspor TCE = Hambatan Barang Eskpor TPI = Hambatan Barang Impor

Sumber : Monke dan Pearson (1989).

Kebijakan harga (price policies) terdiri dari tiga kriteria yaitu : (1) subsidi atau kebijakan perdagangan; (2) penerimaan atau keuntungan yang akan diperoleh produsen dan konsumen; dan (3) kriteria ekspor atau impor. Implementasi dari kebijakan tersebut dapat mempengaruhi kemampuan suatu negara untuk memanfaatkan peluang ekspor suatu komoditi dan kemampuan negara tersebut untuk melindungi produsen atau konsumen dalam negeri.

1. Kebijakan Harga Subsidi atau Kebijakan Perdagangan

Menurut Salvator (1997) subsidi merupakan pembayaran dari atau untuk pemerintah. Kebijakan subsidi terdiri dari subsidi positif dan subsidi negatif (pajak). Pembayaran dari pemerintah disebut subsidi positif dan pembayaran untuk pemerintah disebut subsidi negatif (pajak). Subsidi bertujuan untuk melindungi konsumen atau produsen dengan menciptakan harga domestik agar berbeda dengan harga internasional.

Menurut Monke dan Pearson (1989) Kebijakan perdagangan adalah pembatasan yang diterapkan pada impor atau ekspor suatu komoditi. Kebijakan perdagangan yang dapat diterapkan dapat berupa tarif dan kuota. Tarif yaitu harga komoditi yang diperdagangkan, sedangkan kuota merupakan pembatasan

jumlah komoditi yang diimpor. Tujuan diterapkannya kedua kebijakan tersebut adalah untuk menurunkan kuantitas barang yang diperdagangkan secara internasional (komoditi impor) dan untuk menciptakan perbedaan harga di pasar internasioanl dengan harga di pasar domestik. Sedangkan kebijakan perdagangan ekspor dimaksudkan untuk melindungi konsumen dalam negeri karena harga domestik yang lebih rendah bila dibandingkan dengan harga di pasar internasional.

Komponen utama yang menjadi dasar dalam diterapkannya salah satu kebijakan perdagangan adalah perbedaan harga komoditi di pasar internasional dan domestik. Apabila harga suatu komoditi di pasar internasional lebih murah dibandingkan dengan harga domestik, maka kebijakan yang tepat dilakukan adalah kebijakan perdagangan impor. Penetapan tarif impor maupun kuota impor dilakukan agar produk impor yang dijual dalam negeri harganya menjadi lebih mahal dan jumlahnya terbatas. Kebijakan impor ini bertujuan untuk melindungi produsen domestik. Sedangkan kebijakan perdagangan ekspor dimaksudkan untuk melindungi konsumen dalam negeri karena harga domestik yang lebih rendah bila dibandingkan dengan harga di pasar internasional.

2. Kebijakan Berdasarkan Penerimaan

Kebijakan berdasarkan penerimaan adalah kebijakan yang dikenakan pada produsen dan konsumen. Suatu kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan menyebabkan terjadinya transfer antara produsen, konsumen dan anggaran pemerintah (Monke dan Pearson, 1989).

3. Kebijakan Berdasarkan Komoditi

Kebijakan berdasarkan komoditi bertujuan untuk membedakan antara komoditas yang dapat di ekspor dan komoditas yang dapat di impor. Kebijakan pemerintah dapat diterapkan pada input maupun output komoditas pertanian. Penerapan kebijakan (subsidi atau hambatan perdagangan) yang tepat mampu memperbaiki kesejahteraan produsen (petani) maupun konsumen.

3.1.2.1. Kebijakan Output

Kebijakan terhadap output baik berupa subsidi maupun pajak dapat diterapkan pada barang ekspor maupun impor. Kebijakan pemerintah terhadap

output dijelaskan dengan menggunakan Transfer Output (TO) dan Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO). Dampak subsidi positif terhadap produsen dan konsumen pada barang impor dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2(a) merupakan gambar subsidi positif untuk produsen barang impor. Harga pasar dunia (Pw) lebih rendah dari harga domestik (Pd). Tingkat subsidi sebesar Pd – Pw kepada produsen menyebabkan produksi akan meningkat dari Q1 menjadi Q2 namun kondisi akan tetap pada Q3 karena kebijakan subsidi ini tidak merubah harga dalam negeri. Subsidi ini akan menyebabkan impor turun dari Q2 ke Q3. Transfer pemerintah kepada produsen sebesar Q2 x (Pd – Pw) atau sebesar PdABPw. Subsidi menyebabkan barang yang seharusnya diimpor akan diproduksi sendiri dengan biaya korbanan sebesar Q1CAQ2, sedangkan opportunity cost yang diperoleh jika barang tersebut diimpor adalah sebesar Q1CBQ2. Subsidi tersebut akan memberikan dampak terjadinya kehilangan efesiensi sebesar CAB.

Gambar 2(b) menunjukkan subsidi untuk produsen barang ekspor. Adanya subsidi dari pemerintah menyebabkan harga yang diterima produsen lebih tinggi dari harga yang berlaku di pasar dunia. Harga yang tinggi berakibat pada peningkatan output produksi dalam negeri dari Q3 ke Q4, sedangkan konsumsi menurun dari Q1 ke Q2 sehingga jumlah ekspor meningkat dari Q3 ke Q4. Tingkat subsidi yang diberikan pemerintah adalah sebesar GBAH.

Gambar 2( c ) menunjukkan subsidi positif untuk konsumen pada barang impor. Harga di pasar dunia (Pw) lebih tinggi daripada harga domestik (Pd). Tingkat subsidi positif sebesar Pw – Pd kepada konsumen menyebabkan produksi menurun dari Q1 menjadi Q2, tetapi konsumsi akan meningkat dari Q3 menjadi Q4

(a) S + PI (b) S + PE (c ) S + CI (d) S + CE Keterangan :

Pw : Harga di Pasar Internasional Pd : Harga di Pasar Domestik

S + PI : Subsidi kepada Produsen untuk Barang Impor S + PE : Subsidi kepada Produsen untuk Barang Ekspor S + CI : Subsidi kepada Konsumen untuk Barang Impor S + CE : Subsidi kepada Konsumen untuk Barang Ekspor Sumber : Monke dan Pearson (1989)

Gambar 2. Dampak Subsidi Positif Terhadap Produsen dan Konsumen Barang Impor dan Barang Ekspor

Pd Pw S D C A B Q Q1 Q2 Q3 Pd Pw S H B G E F A D P P Q Q1 Q2 Q3 Q4 S Q D P Pw Pd A F E G B H Q2 Q1 Q3 Q4 P Q Pw Pc S C B A D Q1 Q2

Karena kebijakan subsidi akan merubah harga dalam negeri menjadi lebih murah. Subsidi ini akan menyebabkan peningkatan impor dari Q3-Q1 menjadi Q4-Q2.

Transfer pemerintah sebesar PwGHPd terdiri dari dua bagian yaitu transfer dari produsen dan konsumen sebesar PwABPd dan transfer dari pemerintah ke konsumen sebesar ABHG, sehingga akan terjadi inefesiensi ekonomi pada sisi konsumsi dan produksi. Pada produksi, output turun dari Q2 menjadi Q1 menyebabkan hilangnya pendapatan sebesar Q2AFQ1 atau sebesar Pw x (Q2 – Q1) sedangkan besarnya input yang dapat dihemat sebesar Q2BFQ1 sehingga terjadi inefesiensi sebesar AFB. Pada konsumsi, menunjukkan terjadi opportunity cost

akibat meningkatnya Q3 menjadi Q4 adalah sebesar Pw x (Q4 – Q3) atau sebesar Q3EGHQ4 dengan kemampuan membayar konsumen sebesar Q3EHQ4 sehingga terjadi inefesiensi sebesar EGH sehingga total inefesiensi yang terjadi sebesar AFB dan EGH.

Gambar 2(d) menunjukkan subsidi untuk barang ekspor, pada gambar tersebut menunjukkan harga dunia lebih besar (Pw) dari harga yang diterima produsen (Pp). Harga yang lebih rendah menyebabkan konsumsi untuk barang ekspor menjadi meningkat dari Q1 menjadi Q2. Perubahan ini menyebabkan terjadi opportunity cost sebesar Pw x (Q2 – Q1) atau area yang sama dengan kemampuan membayar konsumen yaitu Q1CAQ2 dengan inefesiensi yang terjadi sebesar CBA.

3.1.2.2. Kebijakan Input

Kebijakan pemerintah juga diberlakukan pada variable input tradable

dan non tradable. Pada kedua input tersebut, kebijakan dapat berupa subsidi positif dan subsidi negatif (pajak), sedangkan kebijakan hambatan perdagangan tidak diterapkan pada input domestik (non tradable). Perubahan yang terjadi akibat adanya intervensi pemerintah dalam bentuk subsidi dan kebijakan perdagangan akan mengakibatkan perubahan harga barang, jumlah barang, surplus produsen dan konsumen berubah (Monke dan Pearson, 1989). Perubahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.

(a) S – IT

(b) S + IT Keterangan :

Pw : Harga Q di Pasar Dunia

S – IT : Pajak Input untuk Barang Tradable

S + IT : Subsidi Input untuk Barang Tradable

Sumber : Monke dan Pearson (1989)

Gambar 3. Subsidi dan Pajak Input Tradable

Gambar 3(a) menunjukkan adanya pajak pada input menyebabkan biaya produksi meningkat sehingga pada tingkat harga output yang sama, output

Pw Pw Q2 Q1 Q3 C B A S’ S Q1 Q2 Q3 A S S’ P Q D B C P Q D

domestik turun dari Q1 ke Q2 dan kurva suplai bergeser ke atas. Efesiensi ekonomi yang hilang adalah ABC. Perbedaan antara nilai output yang hilang Q1ACQ2 dengan biaya produksi untuk menghasilkan output tersebut adalah sebesar Q2BAQ1.

Gambar 3(b) menunjukkan dampak subsidi pada input tradable yang digunakan. Apabila kondisi perdagangan bebas harga yang berlaku adalah Pw dengan produksi sebesar Q1. Adanya subsidi pada input tradable menyebabkan biaya produksi lebih rendah dan penggunaan input lebih intensif, sehingga kurva

supply bergeser ke bawah (S’) dan produksi meningkat dari Q1 menjadi Q2. Inefesiensi yang terjadi adalah sebesar ABC yang merupakan pengaruh perbedaan antara biaya produksi setelah output meningkat yaitu Q1ACQ2 dengan penerimaan output yang meningkat yaitu Q1ABQ2.

Pada input non tradable, intervensi pemerintah berupa hambatan erdagangan tidak tampak karena input non tradable hanya diproduksi di dalam negeri. Intervensi pemerintah adalah subsidi positif dan subsidi negatif (pajak) yang dapat dilihat pada Gambar 4.

(a) S – N P Pc Pd Pp C B D A S D Q Q2 Q1

(b) S + N Keterangan :

Pd : Harga Domestik Sebelum Diberlakukan Pajak dan Subsidi

Pc : Harga di Tingkat Konsumen Setelah Diberlakukan Pajak dan Subsidi Pp : Harga di Tingkat Produsen Setelah Diberlakukan Pajak dan Subsidi S-N : Pajak untuk Barang Non Tradable

S+N : Subsidi untuk Barang Non Tradable

Sumber : Monke dan Pearson (1989)

Gambar 4. Dampak Subsidi dan Pajak pada Input Non Tradable

Gambar 4(a) menunjukkan bahwa sebelum diberlakukannya pajak terhadap input, harga dan jumlah keseimbangan dari penawaran input non tradable adalah Pd,Q1. Adanya pajak Pc – Pp menyebabkan produk yang dihasilkan turun menjadi Q2. Harga di tingkat produsen turun dari Pp dan harga yang diterima konsumen naik menjadi Pc. Efesiensi ekonomi dari produsen yang hilang sebesar ABD dan dari konsumen yang hilang sebesar CBA.

Gambar 4(b) menunjukkan bahwa sebelum diberlakukannya subsidi terhadap input, harga dan jumlah keseimbangan dari penawaran dan permintaan input non tradable berada pada Pd,Q1. Adanya subsidi menyebabkan produksi meningkat dari Q1 ke Q2, harga yang diterima produsen naik menjadi Pp dan harga yang diterima konsumen turun menjadi Pc. Efesiensi yang hilang dari produsen sebesar ABC dan konsumen sebesar ABD.

P Pp Pd Pc C A S B D D Q Q1 Q2

3.1.3. Matriks Analisis Kebijakan (Policy Analysis Matrix/PAM)

Matriks Analisis Kebijakan (Policy Analysis Matrix, PAM) digunakan untuk menganalisis keadaan ekonomi ditinjau dari sudut usaha swasta (private profit) dan sekaligus memberi ukuran tingkat efesiensi ekonomi usaha atau keuntungan sosial (social profit) dan besarnya intensif atau intervensi pemerintah serta dampaknya pada sistem komoditas pada aktivitas usahatani, pengolahan dan pemasaran secara keseluruhan dengan sistematis.

Policy Analysis Matrix membantu memberikan informasi tentang apakah sistem pertanian kompetitif di bawah teknologi dan harga-harga yang berlaku saat ini. Apakah petani, pedagang dan pengelola memperoleh keuntungan ketika menghadapi harga aktual pasar. Kebijakan harga akan mengubah harga dari output atau biaya input serta pula probabilitas privat dalam sistem. PAM dapat menunjukkan efek secara individual maupun kolektif dari harga dan kebijakan faktor. Selain itu PAM memberikan informasi yang penting untuk analisis keuntungan biaya dari suatu investasi pertanian. Selanjutnya model PAM dapat pula digunakan untuk menganalisis efesiensi ekonomi dan besarnya insentif atau intervensi pemerintah serta dampaknya pada sistem komoditas secara bersamaan. Analisis PAM dapat digunakan pada sistem komoditas dengan berbagai wilayah, tipe usahatani dan teknologi (Monke and Pearson, 1989).

Matriks PAM terdiri dari tiga baris dan empat kolom. Baris pertama mengestimasi keuntungan privat yaitu perhitungan penerimaan dan biaya berdasarkan harga yang berlaku, yang mencerminkan nilai yang dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Baris kedua mengestimasi keunggulan ekonomi dan daya saing (komparatif) yaitu perhitungan penerimaan dan biaya berdasarkan harga sosial (shadow price) atau nilai ekonomi yang sesungguhnya terjadi di pasar tanpa adanya kebijakan pemerintah. Sedangkan baris ketiga merupakan selisih antara baris pertama dengan baris kedua yang menggambarkan divergensi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Policy Analysis Matrix Uraian Penerimaan Biaya (Cost) Keuntungan Tradable Input Faktor Domestik Harga Privat A B C D Harga Sosial E F G H

Dampak Kebijakan dan Distorsi Pasar

I J K L

Sumber : Monke and Pearson, 1989) Keterangan :

1. Keuntungan privat (D) = A – B – C 2. Keuntungan sosial (H) = E – F – G 3. Transfer output (I) = A – E

4. Transfer input untuk Tradable (J) = B – F 5. Transfer faktor non Tradable (K) = C – G 6. Transfer bersih (L) = D – H = I – J = K 7. Rasio biaya privat (PCR) = C/(A – B)

8. Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRCR) = G/(E – F) 9. Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) = A/F 10.Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) = B/F 11.Koefisien Proteksi Efektif (EPC) = (A - B)/(E - F) 12.Koefisien Keuntungan (PC) = D/H

13.Rasio Subsidi Bagi Produsen (SRP) = L/E

Perbedaan perhitungan antara private price dengan social price

disebabkan terjadinya kegagalan pasar atau masuknya kebijakan pemerintah yang terletak pada baris ketiga. Jika kegagalan dianggap faktor yang tidak begitu