• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Tinjauan Studi Terdahulu

Penelitian terdahulu tentang komoditi rumput laut dan aspek-aspek yang berkaitan dengan usahatani rumput laut, daya saing (kompetitif dan komparatif) melalui pendekatan Policy Analysis Matrix (PAM) dan kebijakan telah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya.

2.3.1. Studi Aspek Komoditi Rumput Laut

Studi terdahulu telah banyak membahas tentang komoditi rumput laut baik dari aspek pengembangan rumput laut, aspek produksi, sistem pemasaran sampai pada penawaran ekspor rumput laut Indonesia di pasar internasional.

Zulham, Purnomo dan Apriliani (2007) telah melakukan penelitian tentang pengembangan klaster rumput laut Kabupaten Sumenep. Penelitian ini

menggunakan metode survey dengan pendekatan eksploratif yang menjelaskan fenomena lapangan. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa pengembangan klaster rumput laut di Kabupaten Sumenep telah terbentuk secara alami yang terdiri dari jenis usaha pendukung proses produksi rumput laut, jenis perdagangan dan distribusi dan jenis usaha jasa pendukung, akan tetapi komponen tersebut belum tertata dengan baik sehingga kinerja dari industri rumput laut di Kabupaten Sumenep belum optimal. Selain itu, terjadi asimetris informasi tentang harga bahan baku rumput laut kering dan kualitas rumput laut yang dibutuhkan pasar. Oleh karena itu, terkait dengan upaya memfungsikan klaster rumput laut, terdapat tiga prinsip yang perlu diperhatikan agar klaster tersebut berfungsi secara optimal yaitu : 1) unit usaha dalam klaster rumput laut harus berorientasi pada permintaan konsumen, 2) klaster harus bersifat kolektif, dan 3) klaster dapat memperbaiki daya saing secara komulatif.

Penelitian tentang produksi rumput laut dilakukan oleh Sobari (1993) dengan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas dalam analisisnya. Penelitian ini menunjukkan bahwa faktor penting yang harus diperhatikan dan dapat mempengaruhi berhasil tidaknya usaha budidaya rumput laut yaitu kondisi alam, teknologi yang digunakan dan kondisi sosial ekonomi.

Setiap usaha budidaya rumput laut yang dilakukan tidak terlepas dari kondisi atau aspek ekonomi. Aspek ekonomi berkaitan dengan kelayakan usaha dari budidaya yang dikembangkan oleh pembudidaya. Penelitian yang mengkaji tentang kelayakan usaha budidaya rumput laut telah dilakukan oleh Zamroni, Purnomo dan Mira (2006). Penelitian ini menggunakan analisis R/C Ratio dengan hasil analisis menunjukkan bahwa budidaya rumput laut yang dibudidayakan dengan metode longline di Bulukumba layak untuk dikembangkan. Hal ini dilihat dari hasil perhitungan R/C ratio yang lebih dari satu (R/C ratio = 2.94) dan keuntungan yang diperoleh positif.

Mustika (1999) melakukan penelitian mengenai Analisis Keragaan Finansial dan Produksi Dalam Usaha Budidaya Rumput Laut Petani Mitra dan Non Mitra dengan metode Analisis Finansial (NVP, IRR, R/C Ratio) dan Regresi Berganda. Hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa Sebagian besar petani non mitra menggunakan modal sendiri untuk membeli seluruh sarana produksi

yang dibutuhkan. Sementara hasil produksinya dijual kepada pembeli pada tingkat harga sebesar harga yang berlaku di pasar. Produktivitas faktor produksi yang berlaku terhadap produksi rumput laut kering per luasan areal adalah tali ris, tali rafia, karung pasir pemberat, bibit, tenaga kerja dan pelampung. Analisis usahatani budidaya rumput laut baik mitra maupun non mitra menguntungkan petani dengan nilai R/C ratio untuk petani mitra adalah 8.03 dan non mitra sebesar 1.81. Analisis finansial yang dilakukan pada tingkat suku bunga 20 persen menunjukkan bahwa rumput laut layak untuk dikembangkan dengan IRR di atas 60 persen.

Penelitian yang dilakukan oleh Hikmayani dan Aprilliani (2007) menyangkut aspek pemasaran rumput laut di wilayah potensial di Indonesia. Hasil penelitian tersebut memberikan informasi bahwa pemasaran rumput laut melibatkan beberapa lembaga pemasaran baik yang ada di lokasi maupun yang ada di luar lokasi budidaya baik di kabupaten maupun di provinsi. Lembaga pemasaran yang terlibat secara umum adalah pedagang pengumpul lokal, pedagang besar dan eksportir atau pabrik pengolahan. Struktur pasar rumput laut di seluruh tingkat pedagang pengumpul, pedagang besar dan industri serta eksportir bersifat oligopoli artinya dengan jumlah pedagang yang sedikit maka akan muncul pedagang yang paling dominan dalam struktur pasar ini dan pedagang tersebut dapat menjadi pedagang yang memiliki pangsa pasar terbesar sehingga pedagang tersebut dapat bertindak sebagai penentu harga dan memiliki jalur distribusi yang kuat.

Yusuf dan Mira (2006) telah melakukan penelitian tentang potensi pasar rumput laut di Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rumput laut di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar. Hal ini dapat dilihat dari kebutuhan rumput laut , dimana industri rumput laut Indonesia harus memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri sebesar 14 000 ton dan pasar luar negeri sebesar 25 000 ton. Sedangkan di pasar internasional ternyata rumput laut memiliki pangsa pasar (market share) sebesar 15 persen, ini berarti Indonesia berada pada posisi kedua setelah Philphina yang memasok 80 persen kebutuhan dunia. Jika dilihat dari negara tujuan ekspor ternyata pasar Asia yang mengimpor

rumput laut terbesar dari Indonesia, sehingga dapat disimpulkan bahwa pasar rumput laut Indonesia yang terbesar adalah pasar Asia.

2.3.2. Studi Aspek Daya Saing

Penelitian mengenai daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif) telah banyak dilakukan diantaranya Sumaryanto dan Friyatno (2007), Kurniawan (2008), Feryanto (2010), serta Indrayani (2011). Untuk penelitian daya saing rumput laut belum banyak dilakukan. Penelitian-penelitian yang relevan dengan daya saing rumput laut diantaranya adalah Mira dan Reswati (2006), Yusuf dan Tajerin (2008), serta Rajagukguk (2009).

Analisis daya saing usaha budidaya rumput laut di Indonesia dengan menggunakan metode PAM dilakukan oleh Mira dan Reswati (2006). Penelitian ini dilakukan pada daerah sentra produksi rumput laut Indonesia. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa usaha budidaya rumput laut di Bali dan Sulawesi memiliki daya saing yang dilihat dari hasil analisis daya saing, dimana D > 0 dan H > 0, sedangkan untuk Nusa Tenggara Barat dan Jawa Timur tidak memiliki daya saing, ini diperlihatkan dari hasil analisis D < 0 dan H > 0. Bali memiliki daya saing karena kualitas rumput laut yang dihasilkan lebih bagus dibanding daerah lain, sedangkan Sulawesi memiliki daya saing karena bibit yang digunakan relatif lebih bagus dan budidaya dilakukan sepanjang tahun. Nusa Tenggara Barat dan Jawa Timur tidak memiliki daya saing karena mutu rumput laut yang dihasilkan kurang memenuhi kriteria yang ditetapkan industri.

Penelitian Yusuf dan Tajerin (2008) menyimpulkan bahwa Peubah utama yang memberikan pengaruh dominan terhadap ekspor rumput laut Indonesia adalah peubah ekspor rumput laut tahun sebelumnya dan produksi rumput laut. Sedangkan peubah suku bunga dan tingkat suku bunga bank dan harga domestik rumput laut belum menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap penawaran eskpor rumput laut Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan moneter terkait dengan pergerakan suku bunga belum memberikan dorongan secara nyata bagi peningkatan ekspor rumput laut Indonesia. Selain itu dengan adanya kebijakan yang berorientasi pada ekspor, maka harga domestik rumput laut juga tidak mendukung ekspor rumput laut Indonesia di pasar internasional.

Rajagukguk (2009) melakukan penelitian daya saing rumput laut Indonesia di pasar internasional dengan menggunakan data sekunder dengan metode analisis regresi data panel (Pooled OLS dan Fixed Effect). Hasil analisis menyimpulkan bahwa model pangsa pasar yang telah dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk mengetahui posisi daya saing ekspor rumput laut di negara tujuan ekspor pada tahun-tahun tertentu. Indonesia memiliki daya saing di Negara Hongkong, Philphina, Spanyol dan Denmark. Hal berbeda ditemukan di Negara China dimana pada negara tersebut Indonesia baru berdaya saing setelah tahun 2004. Sedangkan untuk USA, Indonesia baru berdaya saing pada tahun 2006, demikian juga dengan Korea Selatan baru pada tahun 2005. Jepang, United Kingdom dan Francis, rumput laut Indonesia sama sekali tidak memiliki daya saing.

2.3.3. Studi Aspek Kebijakan

Studi tentang aspek kebijakan menyangkut tentang dampak kebijakan pemerintah terhadap suatu komoditi dengan menggunakan matriks análisis kebijakan (PAM).

Dewanata (2011) melakukan penelitian tentang analisis daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditi jeruk siam di Kabupaten Garut. Dalam hasil analisis tersebut, diketahui bahwa dampak kebijakan pemerintah terhadap pengusahaan jeruk siam secara keseluruhan menunjukkan proteksi pemerintah terhadap sistem produksi sangat rendah. Petani tidak mendapatkan proteksi dari pemerintah sehingga harga jeruk siam yang berlaku di Kecamatan Semarang Rp 5 000, 00 per kilogram berada di bawah harga efesiennya yaitu Rp 5 380,36 per kilogram.

Sadikin (2001) melakukan kajian tentang analisis daya saing komoditi jagung dan dampak kebijakan pemerintah terhadap agribisnis jagung di NTB pasca krisis ekonomi. Dalam hasil analisisnya dengan menggunakan PAM menyimpulkan bahwa pengembangan usaha jagung di NTB secara finansial dan ekonomi efesien sebab sistem produksi jagung tersebut pada saat krisis berlangsung mempunyai keunggulan kompetitif dan komperatif lebih baik daripada sebelum terjadinya krisis. Hal ini disebabkan karena kebijakan

pemerintah memberikan subsidi input sebagai insentif bagi petani jagung di NTB sehingga menyebabkan biaya input yang dikeluarkan petani lebih rendah daripada harga sosial yang seharusnya.

Yao (1997) melakukan penelitian tentang dampak kebijakan pemerintah terhadap produksi padi Thailand yang mempunyai kompetisi dengan kedelai dan kacang hijau yang dilakukan di dua lokasi yang berbeda. Hasil penelitian menginformasikan bahwa kebijakan pemerintah Thailand adalah melindungi produsen padi melalui pemberian subsidi pada input tradable demikian pula dengan komoditi kedelai dan kacang hijau. Bahkan untuk produksi kedelai, pemerintah Thailand memberikan subsidi sebesar 21.6 persen.

Mohanty, Fang dan Caudhari (2003) tentang Daya Saing Kapas di India. Hasil penelitian tersebut adalah produksi kapas India tidak efesien tanpa intervensi pemerintah dan kemungkinan terjadi pergeseran tanaman kapas digantikan oleh tanaman tebu dan kacang tanah yang lebih menguntungkan, sehingga dianjurkan agar kebijakan India lebih menjaga ketersediaan kapas murah untuk sector hadloom dan tekstil.

Agatha dan Victor (2011) melakukan penelitian tentang Daya Saing Padi dan Jagung secara Ekologi di Nigeria dengan metode PAM. Hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa produksi padi dan jagung dengan sistem irigasi baik di dataran tinggi maupun rendah lebih menguntungkan dibanding sistem yang lain. Hal ini diperlihatkan dengan nilai PCR < 1. Sedangkan nilai NPCO kurang dari satu menunjukkan bahwa harga output padi dan jagung yang lebih rendah dari harga internasional. Kebijakan penurunan harga output padi dan jagung masing-masing sebesar 90 persen dan 93 persen di bawah harga internasional menunjukkan bahwa produksi padi dan jagung pada berbagai sistem tidak dilindungi oleh kebijakan pemerintah berupa pajak yang berlaku. Hal ini sejalan dengan Penelitian yang dilakukan oleh Ugochukwuy dan Ezedinma (2010) tentang Intensifikasi Padi di Nigeria Tenggara dengan pendekatan analisis kebijakan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa sistem tanaman padi baik di dataran rendah maupun dataran tinggi menguntungkan secara finansial dan ekonomi dengan nilai PCR dan DRC kurang dari satu, sedangkan nilai EPC dan PC kurang dari satu menunjukkan bahwa petani di Nigeria Tenggara masih

memperoleh keuntungan dalam memproduksi padi meskipun tanpa subsidi dari pemerintah.

Penelitian yang dilakukan oleh Karbasi, Rastegaripour dan Amiri (2011) tentang Aplikasi PAM pada Air Minum Kemasan di Negara Iran. Hasil penelitian tersebut adalah sistem yang dilakukan oleh Baluchestan dalam memproduksi air minum kemasan memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif. Kebijakan pemerintah Iran terhadap perusahaan air minum kemasan dapat dilihat dari nilai NPCO yang lebih kecil dari satu (NPCO < 1) yaitu sebesar 0.27. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Iran memberikan subsidi pada input yang digunakan sehingga harga input lebih rendah 27 persen dari harga dunia.

Novianti (2003) melakukan penelitian analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing komoditas unggulan sayuran. Hasil penelitian dengan menggunakan metode PAM, dimana kebijakan pemerintah dibidang perdagangan komoditas sayuran khususnya kentang dan kubis menyebabkan harga kedua komoditas tersebut lebih murah dibanding dengan harga sosial yang seharusnya diterima petani. Hal ini berkaitan dengan tiga faktor klasik yaitu (1) lembaga pemasaran output belum berfungsi efektif dan tidak transparan sehingga rantai pemasaran panjang dan biaya pemasaran tinggi, (2) posisi tawar petani lemah sehingga petani hanya penerima harga yang pasif serta hanya menerima keputusan harga dari pedagang, dan (3) mental usahatani masih bermental subsidi sehingga menjadi kendala untuk mandiri, maju dan bersaing dengan pasar global.

Penelitian tentang dampak kebijakan pemerintah pada komoditi perikanan dilakukan oleh Suprapto (2005), dimana hasil analisis yang dilakukan terhadap ekspor ikan hias DKI Jakarta di pasar internasional menghasilkan nilai Output Transfer (OT) negatif yang berarti bahwa penerimaan yang diterima pelaku usaha ikan hias (ikan betta) lebih kecil daripada penerimaan sesungguhnya tanpa kebijakan pemerintah. Hal ini ditunjukkan pula dengan nilai NPCO yang kurang dari satu yang berarti bahwa akibat kebijakan pemerintah, produsen menerima 99 persen dari penerimaan yang seharusnya diterima bila tidak ada kebijakan. Persentase transfer bersih dari penerimaan ekonomi sebelum adanya kebijakan dapat diketahui melalui nilai SRP. Pengusahaan ikan betta memiliki nilai SRP

negatif, yang berarti kebijakan pemerintah mengakibatkan keuntungan pelaku usaha ikan betta berkurang 0.16 dari penerimaan ekonominya. Dengan demikian, kebijakan pemerintah terhadap input output pada pengusahaan ikan betta menyebabkan keuntungan yang diterima pelaku usaha ikan betta lebih rendah daripada keuntungan yang sesungguhnya jika tidak ada kebijakan pemerintah.

III. KERANGKA PEMIKIRAN