• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Impact of Government Policies on Profitability and Competitiveness of Seaweed at Tanakeke Islands, South Sulawesi Province

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Impact of Government Policies on Profitability and Competitiveness of Seaweed at Tanakeke Islands, South Sulawesi Province"

Copied!
291
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP

KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT DI

KEPULAUAN TANAKEKE PROVINSI SULAWESI SELATAN

MUTMAINNA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul :

DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT DI KEPULAUAN TANAKEKE PROVINSI

SULAWESI SELATAN

Merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan komisi pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan sumbernya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah menyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, September 2012

Mutmainna

(3)

ABSTRACT

MUTMAINNA. The Impact of Government Policies on Profitability and Competitiveness of Seaweed at Tanakeke Islands, South Sulawesi Province (RITA NURMALINA as Chairman and SRI UTAMI KUNTJORO as a Member of the Advisory of Committee)

Seaweed is one of the leading commodities in the Fisheries Revitalization Program in South Sulawesi. Production and export growth of seaweed over the last five years experienced a significant increase but will not be offset by the value of export receipts caused by the quality of seaweed produced in Tanakeke islands so low that the price of seaweed in the international market is low. Therefore, This study aims to analyze: (1) the level of financial and economic benefits, (2) the competitiveness of commodities seaweed the through competitive and

comparative advantage, (3) the impact of government’s input-output policy on the competitiveness and benefits of commodities seaweed. Policy Analysis Matrix (PAM) was employed in this study in order to calculate the private and social prices of revenue and cost of the seaweed in which the social price was calculate from the shadow price of output is based on FOB prices in the port of export (Makassar) and private prices from seaweed adjusted real actual price received by farmers Tanakeke Islands. The results showed that: (1) the seaweed in Tanakeke islands was profitable (both privately and socially profitable), (2) it had competitive advantage (PCR < 1) and comparative advantage (DRC < 1), (3) the impact of government policy on output indicates negative result means that government intervention has not been effective so that the prices received by farmers is lower than international prices.

(4)

RINGKASAN

MUTMAINNA. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Keuntungan dan Daya Saing Rumput Laut di Kepulauan Tanakeke, Provinsi Sulawesi Selatan. (RITA NURMALINA sebagai Ketua dan SRI UTAMI KUNTJORO sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Rumput laut merupakan salah satu komoditi unggulan dalam program Revitalisasi Perikanan Budidaya tahun 2006-2009. Indonesia termasuk salah satu produsen terbesar dunia, bahkan menjadi peringkat kedua produsen rumput laut dunia setelah negara China. perkembangan produksi rumput laut Indonesia meningkat pesat. Tahun 2005 produksi Indonesia hanya sebesar 85 400 ton yang meningkat menjadi 140 020 ton atau 0.79 persen dari total potensi pada tahun 2010. Hal ini semakin memperbaiki posisi Indonesia sebagai produsen rumput laut dunia dan berdampak positif terhadap peningkatan ekspor rumput laut Indonesia di pasar internasional. Peranan Indonesia di pasar rumput laut dunia, sebagai produsen ataupun eksportir juga dapat dilihat dari besarnya pangsa pasar yang dimiliki Indonesia di pasar internasional. Pangsa pasar rumput laut Indonesia di pasar internasional pada tahun 2005-2009 mengalami fluktuatif akan tetapi relatif meningkat (FAO, 2010). Negara importir utama rumput laut adalah China, Jepang, Hongkong dan Amerika. Apabila suatu negara memiliki pangsa pasar yang baik di negara importir utama, maka dapat dikatakan bahwa negara tersebut memiliki daya saing di pasar internasional rumput laut. Peningkatan standar kualitas atau mutu terhadap rumput laut oleh negara importir merupakan salah satu kendala sulitnya menembus pasar rumput laut internasional. Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu daerah penghasil rumput laut terbesar di Indonesia dengan salah satu sentra produksinya adalah Kepulauan Tanakeke Kabupaten Takalar. Berdasarkan data DKP Takalar (2011), produksi rumput laut Takalar tahun 2010 sebesar 457 474 ton atau 30.50 persen terhadap produksi Sulawesi Selatan. Hal ini tentunya akan mempengaruhi ekspor rumput laut Sulawesi Selatan. Perkembangan ekspor rumput laut Sulawesi Selatan mengalami fluktuatif dengan trend yang meningkat, akan tetapi peningkatan ini tidak diikuti dengan peningkatan nilai ekspornya. Hal ini disebabkan tidak kondusifnya perdagangan internasional rumput laut Sulawesi Selatan karena permasalahan jaminan kualitas. Selain itu adanya persaingan dengan negara-negara eksportir lainnya seperti Philphina yang memiliki kuantitas yang besar dan kualitas rumput laut yang sangat baik. Hal tersebut menunjukkan bahwa daya saing rumput laut di Kepulauan Tanakeke mengalami penurunan. Selain itu akan berpengaruh terhadap keuntungan yang diperoleh petani menurun akibat rendahnya harga jual rumput laut. Oleh karena itu perlu dikembangkan kebijakan yang diharapkan mampu melindungi pengusahaan rumput laut. Kebijakan tersebut dapat berupa tarif, subsidi, kuota dan pajak.

(5)

pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan daerah sentra pengusahaan rumput laut kering yang diekspor ke berbagai negara. Daya saing pengusahaan rumput laut dianalisis dan diukur melalui keuntungan finansial, keuntungan ekonomi, analisis keunggulan kompetitif dan komparatif dengan menggunakan

Policy Analysis Matrix (PAM).

Berdasarkan analisis PAM secara keseluruhan, pengusahaan rumput laut di Kepulauan Tanakeke memiliki keunggulan kompetitif (PCR < 1) dan komparatif (DRC < 1). Nilai PCR sebesar 0.67 yang menunjukkan bahwa untuk memperoleh nilai tambah output sebesar satu satuan pada harga privat diperlukan tambahan biaya domestik sebesar 0.67. Dengan demikian pengusahaan rumput laut di Kepulauan Tanakeke efesien secara finansial atau memiliki keunggulan kompetitif. Sedangkan nilai DRC yang diperoleh petani rumput laut di Kepulauan Tanakeke sebesar 0.64 (DRC < 1). Hal ini menunjukkan bahwa besarnya sumberdaya domestik yang digunakan lebih kecil dibandingkan dengan penerimaannya. Artinya setiap 1 satuan yang dihasilkan karena mengekspor rumput laut kering, jika diproduksi di Kepulauan Tanakeke hanya membutuhkan biaya input asing sebesar 0.64 satuan sehingga terjadi penghematan devisa sebesar 0.36 satuan. Dengan demikian pengusahaan rumput laut di Kepulauan Tanakeke efesien secara ekonomi atau memiliki keunggulan komparatif. Pengusahaan rumput laut baik secara finansial maupun ekonomi mempunyai efesiensi yang tidak terlalu tinggi, akan tetapi tetap memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif sebagai komoditi ekspor. Dengan demikian komoditi rumput laut mempunyai daya saing di pasar internasional.

Analisis dampak kebijakan pemeintah dalam tabel PAM dari sisi output ditunjukkan oleh nilai OT yang lebih kecil dari nol (OT < 0) atau negatif yakni sebesar 510 539.51. Hal ini berarti bahwa harga privat output rumput laut lebih rendah dibandingkan harga sosialnya. Artinya bahwa dengan adanya kebijakan pemerintah terhadap output rumput laut tersebut lebih menguntungkan konsumen, karena konsumen membeli output rumput laut dengan harga yang lebih rendah dari harga sebenarnya (tanpa kebijakan pemerintah). Artinya terdapat pengalihan surplus dari produsen ke konsumen. Sedangkan Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) yang dihasilkan sebesar 0.97 atau NPCO < 1. Hasil ini menunjukkan bahwa petani rumput laut di Kepulauan Tanakeke menerima harga lebih murah dari harga dunia, dimana harga jual rumput laut kering di tingkat petani 13 persen lebih murah dari harga rumput laut di pasar internasional. Artinya kebijakan pemerintah berupa pajak terhadap ekspor rumput laut khususnya ke negara China sebagai negara tujuan ekspor terbesar Indonesia menyebabkan harga yang diterima oleh petani rumput laut di Kepulauan Tanakeke menjadi lebih murah. Selain itu adanya mekanisme pasar, dimana harga rumput laut lebih banyak dikendalikan oleh pembeli atau pedagang yang menunjukkan ketidakmampuan petani memasuki pasar internasional apabila rumput laut yang dihasilkan tidak memenuhi standar meskipun menguntungkan.

(6)

nilai yang menunjukkan perbedaan harga finansial dengan harga ekonomi yang diterima produsen untuk pembayaran faktor-faktor produksi. Nilai FT pada pengusahaan rumput laut bernilai positif (FT > 0) atau sebesar 90 840, ini berarti bahwa harga input non tradable yang dikeluarkan oleh petani rumput laut di Kepulauan Tanakeke pada harga privat lebih besar dibanding dengan harga ekonomi atau sosialnya. Sedangkan Nominal Protection Coefficient on Input

(NPCI) merupakan rasio antara biaya input asing yang dihitung berdasarkan harga finansial dengan harga input asing yang dihitung berdasarkan harga ekonomi. Nilai NPCI pengusahaan rumput laut di Kepulauan Tanakeke sebesar 1 atau NPCI = 1. Hal ini menunjukkan bahwa total biaya input tradable karena adanya kebijakan pemerintah sama dengan biaya input tradable tanpa kebijakan pemerintah. Artinya ada atau tidak ada kebijakan pemerintah terhadap input tradable, petani rumput laut di Kepulauan Tanakeke tetap membeli input tradable

dengan harga yang sama.

Dampak efektif dari insentif yang diberikan pemerintah pada output dan input secara keseluruhan terhadap usahatani rumput laut dapat dilihat dari nilai

Effective Protection Coefficient (EPC). Nilai EPC pada pengusahaan rumput laut di Kepulauan Tanakeke bernilai kurang dari satu yakni sebesar 0.97 (EPC < 1), ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah terhadap input-output tidak berjalan dengan efektif bagi petani rumput laut di Kepulauan Tanakeke untuk menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah tidak memberikan insentif kepada petani dan membuat keuntungan yang diterima oleh petani lebih rendah dibandingkan dengan tanpa ada kebijakan. Nilai Net Transfer (NT) merupakan selisih antara keuntungan bersih yang benar-benar diterima produsen dengan keuntungan bersih ekonominya. Nilai NT pengusahaan rumput laut di Kepulauan Tanakeke adalah negatif yaitu sebesar Rp 601 379.51. Artinya transfer yang diterima dari produsen input tradable dan faktor domestik lebih sedikit dari transfer yang diberikan kepada konsumen. Sedangkan nilai rasio subsidi bagi produsen (SRP) merupakan rasio dari net transfer dengan penerimaan sosialnya. Nilai SRP yang dihasilkan pengusahaan rumput laut di Kepulauan Tanakeke bernilai negatif sebesar 0.04. Hal ini berarti bahwa kebijakan pemerintah saat ini , menyebabkan petani rumput laut mengeluarkan biaya produksi 4 persen lebih besar daripada penerimaan yang diterima oleh petani rumput laut di Kepulauan Tanakeke. Kondisi ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah berpengaruh negatif terhadap struktur biaya produksi, karena biaya yang diinvestasikan petani lebih besar daripada peningkatan keuntungan yang diterima petani itu sendiri. Kata Kunci : Rumput Laut, Keuntungan, Keunggulan Kompetitif dan Komparatif,

(7)

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau

seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(8)

DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP

KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT DI

KEPULAUAN TANAKEKE PROVINSI SULAWESI SELATAN

MUTMAINNA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Suharno, M.Adev

(Dosen Departemen Agribisnis,

Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor) Penguji Wakil Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian dan Pimpinan Sidang :

Prof. Dr. Ir. Wilson H. Limbong, MS (Dosen Departemen Manajemen,

(10)

Judul Tesis : Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Keuntungan dan Daya Saing Rumput Laut di Kepulauan Tanakeke Provinsi Sulawesi Selatan

Nama Mahasiswa : Mutmainna Nomor Pokok : H353090021

Mayor : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui,

1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS. Ketua

Prof. Dr. Ir. Sri Utami Kunjoro, MS Anggota

Mengetahui,

2. Kordinator Mayor 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian

Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

(11)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan judul: “Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Keuntungan dan Daya Saing Rumput Laut di Kepulauan Tanakeke Provinsi Sulawesi Selatan”. Penelitian ini dilakukan dalam rangka penulisan tesis untuk memperoleh gelar Magister pada Mayor Ekonomi Pertanian, Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya terutama kepada Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS sebagai ketua komisi pembimbing dan Prof. Dr. Ir. Sri Utami Kunjoro, MS, sebagai anggota komisi pembimbing, yang telah banyak membimbing, mengarahkan dan memberikan masukan dalam proses penelitian dan pelaksanaan tesis ini. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada :

1. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS selaku Koordinator Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian dan seluruh staf pengajar yang telah memberikan bimbingan dan proses pembelajaran selama penulis kuliah di Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian. 2. Dr. Ir. Suharno, M. Adev selaku penguji luar komisi dan Prof. Dr. Ir. Wilson

H. Limbong, MS selaku penguji yang mewakili Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian dan Pimpinan Sidang pada Ujian Tesis, yang telah memberikan masukan bagi perbaikan tesis ini.

3. Direktur Politeknik Pertanian Negeri Pangkep dan Ketua Jurusan Agribisnis Perikanan beserta staf yang telah memberikan izin dan kesempatan untuk mengikuti Program Magister di Institut Pertanian Bogor.

4. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah memberikan beasiswa selama penyelesaian studi

(12)

6. Tenaga Penyuluh (Bapak Tajuddin) dan pihak-pihak lain terutama responden yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu namun telah banyak memberikan sumbang saran dan informasi selama penulisan tesis ini.

7. Suami tercinta Muh. Yazid Bustami, SH dan ananda tersayang Muh. Fauzan Rafsanjani Aditya Mustafa, yang selama ini dengan penuh pengertian, kesabaran memberikan cinta dan kasih sayang yang tulus serta selalu

mendo’akan, memberikan semangat dan motivasi kepada penulis dalam

penyelesaian tesis ini.

8. Kedua Orang Tua (Mole (alm) dan Dina) yang selama ini telah memberikan

dukungan semangat, materi, do’a dan kasih sayang kepada penulis, juga

saudara-saudariku tercinta atas dukungan semangat dan do’a untuk penulis. 9. Teman-teman EPN angkatan 2009 (kiki, nining, epi, lina, tuti, santi, fitri,

dian, ibu ahya, nia, thato, aziz, pak yudi, pak jhoni, pak micha, aditya, bismar, cahyono, indra, endrew) terimakasih atas kebersamaan dan kerjasamanya selama kuliah.

10. Teman-teman “Forum Wacana Sul-Sel” dan “Pondok Amanah” (Enni, kak hafsa, imha, lina), terimakasih atas kebersamaan, toleransi, dukungan moril maupun materil selama penulis tinggal di Bogor.

11. Seluruh staf Mayor EPN (Mbak Yani, Mbak Rubi, Bu Kokom, Pak Husein) yang selalu meluangkan waktu dan membantu penulis selama perkuliahan sampai penulis menyelesaikan studi di Mayor Ekonomi Pertanian.

Penulis berharap penelitian ini bermanfaat dalam pengembangan pendidikan dan sektor pertanian khususnya subsektor perikanan komoditi rumput laut di Provinsi Sulawesi Selatan. Semoga Allah SWT menerima karya ini sebagai amal kebaikan dan tanda syukur penulis. Amin.

Bogor, September 2012

(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Makassar, Sulawesi Selatan pada tanggal 30 Januari 1974, sebagai anak keempat dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Mole dan Ibu Dina.

Tahun 1992 penulis menyelesaikan studi di SMA Negeri 6 Makassar dan pada tahun yang sama melanjutkan studi di Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian dan Kehutanan, Universitas Hasanuddin melalui tes Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana pada tahun 1998.

Penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang master pada Program Magister Sains di Program Studi Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2009 dengan mendapat sponsor Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidkan Nasional Republik Indonesia. Sejak tahun 2006, penulis diangkat sebagai sebagai staf pengajar ProgramStudi Agribisnis Perikanan, Politeknik Negeri Pangkep.

(14)

DAFTAR ISI

2.2. Kebijakan Pengembangan Rumput Laut di Provensi Sulawesi Selatan ... 14

4.4.1. Analisis Indikator Matriks Kebijakan ... 47

4.4.2. Metode Alokasi Biaya Domestik dan Asing ... 52

(15)

4.5. Analisis Sensitivitas……… 58

(16)

IX. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ... 101

9.1. Kesimpulan ... 101

9.2. Implikasi Kebijakan ... 102

(17)

DAFTAR TABEL

13. Keuntungan Privat dan Keuntungan Sosial Usahatani Rumput

(18)

18. Nilai Keuntungan Berdasarkan Analisis Sensitivitas Rumput

Laut di Kepulauan Tanakeke ………. 97 19. Indikator Daya Saing Berdasarkan Analisis Sensitivitas Rumput

Laut di Kepulauan Tanakeke ... 98

(19)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Trand Pangsa Pasar Rumput Laut Indonesia di Pasar

Internasional ... 3

2. Dampak Subsidi Positif Terhadap Produsen dan Konsumen Barang Impor dan Barang Ekspor ... 31

3. Subsidi dan Pajak Input Tradable ... 33

4. Dampak Subsidi dan Pajak Pada Input Non Tradable ... 35

5. Kerangka Pemikiran Operasional ... 44

6. Perkembangan Produksi Rumput laut Dunia Tahun 2005- 2010 ... 60

7. Perkembangan Ekspor Rumput laut Dunia Periode Tahun 2005-2009 ... 61

8. Perkembangan Harga Rumput Laut Indonesia di Pasar Dunia Periode 2005-2010 ... 65

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Identitas, Luas Lahan dan Jumlah Bentangan Usahatani Rumput

Laut Responden di Kepulauan Tanakeke... 111 2. Produksi Rumput Laut Kering dan Basah Petani Responden di Kepulauan Tanakeke ... 114 3. Produksi dan Harga Rumput Laut Petani Responden di Tingkat

Pedagang Pengumpul ... 119 4. Produksi dan Harga Rumput Laut Petani Responden di Tingkat

Eksportir ... 121 5. Produksi dan Harga Rumput Laut Petani Responden di Tingkat

Industri Pengolahan ... 123 6. Perbandingan Kualitas Rumput Laut Indonesia dengan Negara

Pesaing ... 125 7. Standar Ekspor Rumput Laut Eucheuma sp dan Gracilaria sp…… 126 8. Alokasi Komponen Biaya Input dan Output Dalam Komponen

Domestik dan Asing ... 127 9. Perhitungan Nilai Tukar Bayangan Tahun 2010 ……….. 128 10. Perhitungan Harga Paritas Ekspor di Tingkat Petani Rumput Laut

di Kepulauan Tanakeke ... 129 11. Harga Privat dan Harga Sosial Input-Output Pengusahaan Rumput

Laut di Kepulauan Tanakeke ... 130 12. Tabel PAM (Policy Analysis Matrix) dan Indikator Daya Saing

Usahatani Rumput Laut di Kepulauan Tanakeke ... 131 13. Tabel PAM (Policy Analysis Matrix) dan Indikator Daya Saing

Usahatani Rumput Laut Pada Saat Harga Output Rumput Laut

Turun Sebesar 16 Persen di Kepulauan Tanakeke ... 132 14. Tabel PAM (Policy Analysis Matrix) dan Indikator Daya Saing

Usahatani Rumput Laut Pada Saat Produksi Rumput Laut Turun

(21)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang sangat penting dalam pembangunan. Potensi ini berupa sumberdaya lahan yang sangat besar untuk pengembangan budidaya rumput laut. Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan (2011), total luas lahan yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan budidaya rumput laut sebesar 1 110 900 hektar dengan tingkat produktivitas 128 ton berat basah per hektar per tahun atau 16 ton berat kering per hektar per tahun, sehingga potensi produksi rumput laut Indonesia adalah 17 774 400 ton berat kering per tahun.

Rumput laut menjadi salah satu komoditas unggulan dalam Program Revitalisasi Perikanan Budidaya tahun 2006-2009 selain udang dan tuna, yang telah dicanangkan oleh presiden pada tanggal 11 Juni 2005 dan tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009 dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan, menyumbang ekspor non migas, mengurangi kemiskinan dan menyerap tenaga kerja nasional (Burhanuddin, 2008).

Beberapa hal yang menjadi keunggulan rumput laut antara lain : (1) peluang pasar ekspor yang terbuka luas, (2) belum ada batasan atau kuota perdagangan bagi rumput laut, (3) teknologi pembudidayaannya sederhana, sehingga mudah dikuasai, (4) siklus pembudidayaannya relatif singkat, sehingga cepat memberikan keuntungan, (5) kebutuhan modal relatif kecil, dan (6) merupakan komoditas yang tidak tergantikan, karena tidak ada produk sintetisnya (Anggadiretdja, 2006). Oleh karena itu rumput laut termasuk komoditas unggulan yang perlu mendapat prioritas dalam penanganannya.

(22)

rumput laut Indonesia meningkat pesat. Tahun 2005 produksi rumput laut Indonesia untuk jenis Eucheuma cottoni hanya sebesar 85 400 ton berat kering yang meningkat pada tahun 2010 menjadi 140 020 ton berat kering. Hal ini semakin memperbaiki posisi Indonesia sebagai produsen rumput laut dunia dan berdampak positif terhadap peningkatan ekspor rumput laut Indonesia di pasar internasional. Perkembangan produksi dan ekspor rumput laut Indonesia tahun 2005-2010 dapat dilihat pada Tabel 1.

Sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2011

(23)

Peranan Indonesia di pasar rumput laut dunia, baik sebagai produsen ataupun eksportir juga dapat dilihat dari besarnya pangsa pasar Indonesia di pasar internasional. Dalam konteks perdagangan internasional, dengan beberapa produsen sekaligus eksportir seharusnya menguntungkan dalam penguasan pangsa pasar. Oleh karena itu, ekspor rumput laut Indonesia yang relatif meningkat secara otomatis mendorong peningkatan pangsa pasar rumput laut di pasar internasional. Trend peningkatan pangsa pasar rumput laut Indonesia dapat dilihat pada Gambar 1.

Sumber : FAO, 2010 (Diolah)

Gambar 1. Trend Pangsa Pasar Rumput Laut Indonesia di Pasar Internasional .

Apabila dilihat dari pangsa pasar rumput laut Indonesia di pasar internasional mengalami fluktuatif akan tetapi relatif meningkat. Kondisi ini seharusnya dapat menunjukkan bahwa Indonesia memiliki daya saing yang semakin kompetitif di pasar internasional.

(24)

baik di negara importir utama, maka dapat dikatakan bahwa negara tersebut memiliki daya saing di pasar internasional rumput laut.

Perkembangan produksi rumput laut dunia yang semakin besar yang diiringi dengan permintaan dunia yang semakin besar pula, beberapa negara produsen mulai bersaing untuk memproduksi rumput laut dengan kuantitas yang besar dan kualitas yang semakin baik. Negara pesaing ekspor utama rumput laut Indonesia adalah Negara Philpina. Philpina memiliki pangsa pasar rata-rata sebesar 30.37 persen terhadap ekspor dunia selama tahun 2005-2009. Sedangkan Indonesia memiliki rata-rata pangsa pasar sebesar 23.36 persen selama tahun 2005-2009.

Indonesia memiliki pangsa pasar yang lebih kecil dari Philpina. Hal ini terjadi karena efesiensi produksi yang masih rendah dan belum mampu memenuhi standar mutu ekspor yang semakin tinggi. Sedangkan Philpina memiliki kualitas rumput laut yang sangat baik, memiliki penetapan standar mutu yang baik dan pengolahan rumput laut yang maju. Hal inilah yang menyebabkan pangsa pasar Philpina lebih besar dari Indonesia meskipun harganya lebih mahal dibandingkan dengan rumput laut Indonesia. Perbedaan kualitas rumput laut Philpina dengan rumput laut Indonesia dapat dilihat pada Lampiran 6.

Intensitas perdagangan internasional yang semakin meningkat menjadikan produktivitas dan daya saing semakin penting untuk diperhatikan, apalagi negara-negara importir menerapkan berbagai persyaratan terutama menyangkut persyaratan kualitas bagi komoditi rumput laut yang diimpor dalam menjamin dan melindungi serta kepuasan konsumen. Salah satu kebijakan negara pengimpor tentang mutu atau kualitas rumput laut adalah ISO (International Standard Organization) 9000. Persyaratan mengenai mutu dan keamanan pangan komoditi ekspor seperti rumput laut dilakukan oleh suatu lembaga antar pemerintah internasional yang mengembangkan keamanan standar pelindungan konsumen dan memfasilitasi perdagangan dunia. Lembaga ini menerapkan pengujian lebih dari 750 bahan tambahan makanan, menggunakan lebih dari 240 standar komoditas dan 40 kode higienis dan teknologi (Suboko, 2003).

(25)

segera menyusun program sanitasi dan mengembangkan standar baku bagi produk hasil perikanan dan prosesnya. Sedangkan rumput laut Indonesia masih banyak yang belum memenuhi standar tersebut menyebabkan ketidakmampuan komoditi rumput laut Indonesia bersaing dengan negara-negara penghasil rumput laut lainnya. Standar suatu produk akan mempengaruhi daya saing karena produk yang diekspor menjadi lebih murah. Kondisi ini tentunya akan memperlemah daya saing rumput laut Indonesia di pasar internasional. Adapun persyaratan ekspor Eucheuma sp dapat dilihat pada Lampiran 7.

Peningkatan standar kualitas atau mutu terhadap produk pangan khususnya rumput laut oleh negara importir merupakan salah satu kendala sulitnya menembus pasar rumput laut internasional. Selain itu meningkatnya produksi rumput laut di negara-negara pesaing seperti Philpina juga menyebabkan semakin menurunnya posisi tawar eskportir rumput laut Indonesia.

Oleh karena itu, dalam rangka meningkatkan pangsa dan nilai ekspor rumput laut, kajian mengenai analisis daya saing rumput laut dirasakan penting untuk dilakukan untuk meningkatkan ekspor komoditi rumput laut Indonesia.

1.2. Perumusan Masalah

Provinsi Sulawesi Selatan merupakan daerah penghasil rumput laut terbesar di Indonesia. Sumberdaya lahan untuk pengembangan rumput laut masih cukup luas yaitu 193 700 hektar untuk budidaya Eucheuma sp di sepanjang 1 973 kilometer garis pantai. Apabila luas areal potensial yang dimiliki dapat termanfaatkan dengan baik maka berpotensi menghasilkan rumput laut sebesar 785 000 ton per tahun dari jenis Eucheuma cottoni (Hidayati, 2009).

(26)

dunia semakin baik. Akan tetapi kondisi ini masih terkendala daya saing yang rendah dibandingkan dengan ekspor rumput laut dari negara lain.

Peningkatan volume ekspor ini tidak diikuti dengan penerimaan dari nilai ekspornya. Berdasarkan data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulawesi Selatan (2010) memperlihatkan tahun 2008 nilai ekspor rumput laut Sulawesi Selatan sebesar 16.8 juta US$ dengan volume ekspor 13 946 ton sedangkan pada tahun 2009 nilai ekspor rumput laut hanya 17.6 juta US$ dengan volume ekspor sebesar 20 240 ton. Hal ini disebabkan tidak kondusifnya kondisi perdagangan internasional bagi rumput laut Sulawesi Selatan serta adanya saingan dari negara-negara eksportir lainnya terutama Philpina. Ini merupakan indikasi bahwa daya saing ekspor rumput laut Sulawesi Selatan dalam perdagangan internasional masih lemah. Daya saing ini dikaitkan dengan kemampuan untuk menghasilkan rumput laut dengan biaya serendah mungkin (efesien) dan kualitas sesuai dengan standar pasar atau konsumen.

Kabupaten Takalar merupakan salah satu sentra produksi rumput laut di Sulawesi Selatan. Perkembangan produksi rumput laut mengalami fluktuasi dengan trend yang meningkat yaitu tahun 2005 sebanyak 2 991 ton dan tahun 2010 mencapai 457 474 ton (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Takalar, 2011). Sebagai salah satu daerah penghasil rumput laut terbesar di Sulawesi Selatan, maka produksi rumput laut Kabupaten Takalar sangat mempengaruhi ekspor rumput laut Sulawesi Selatan.

Peningkatan produksi rumput laut di Kabupaten Takalar mengalami beberapa kendala yang tentunya akan menghambat proses pengembangan rumput laut di Takalar. Permasalahan yang dihadapi oleh petani rumput laut yaitu : (1) ketersediaan bibit bermutu dimana saat ini mulai terjadi degradasi kualitas bibit pada beberapa kawasan budidaya, (2) permasalahan jaminan mutu hasil produksi budidaya yang berpotensi mengganggu rantai pasok (suplly chain) rumput laut, (3) penerapan teknologi belum sepenuhnya menerapkan terwujudnya

(27)

Semua permasalahan tersebut menjadi kendala bagi petani dalam peningkatan produksi dan kualitas rumput laut yang dihasilkan. Kondisi ini akan menuntut petani untuk dapat menawarkan rumput laut dengan kualitas dan harga yang bersaing. Kualitas rumput laut Kabupaten Takalar seringkali dinilai tidak sesuai dengan standar teknis. Hal ini terkait dengan kinerja petani dan pedagang. Petani kurang memperhatikan umur panen rumput laut yang optimal, masih banyak rumput laut yang dipanen terlalu muda dengan umur yang tidak seragam, sehingga menyebabkan kualitas rumput laut yang dihasilkan rendah. Berdasarkan informasi yang diperoleh di lokasi penelitian, terjadi praktik moral hazard yang dilakukan oleh petani dan pedagang. Banyak petani setelah panen rumput laut direndam lagi ke air laut semalaman baru dikeringkan. Tujuannya untuk meningkatkan berat komoditas tersebut pada saat dijual. Jika rumput laut langsung dikeringkan, biasanya setiap 8 kg basah dihasilkan 1 kg rumput laut kering, sebaliknya jika direndam lagi dengan air laut, maka 4 kg basah akan menghasilkan 1 kg rumput laut kering sebab kadar garamnya meningkat. Hal ini tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan mengenai kadar garam.

Kondisi tersebut di atas menyebabkan rumput laut yang dihasilkan petani berkualitas rendah sehingga daya tawar dalam penentuan harga menjadi lemah. Hal ini akan mempengaruhi daya saing rumput laut khususnya di Kabupaten Takalar dan umumnya di Sulawesi Selatan.

Selain itu juga akan berpengaruh terhadap pendapatan yang diterima oleh petani rumput laut, sebab keberlanjutan usahatani rumput laut tergantung pada besar kecilnya keuntungan yang diperoleh. Rendahnya harga jual rumput laut yang diikuti dengan tingginya biaya produksi menyebabkan kemampuan petani rumput laut untuk memperoleh keuntungan menurun. Dengan demikian, penting untuk dipertanyakan apakah usahatani rumput laut di Kabupaten Takalar masih menguntungkan?.

(28)

berpengaruh terhadap input maupun output pengusahaan komoditas rumput laut di Kabupaten Takalar. Daya saing komoditas rumput laut akan meningkat jika kebijakan yang ada mengakibatkan biaya input menurun dan m,enambah nilai guna output. Begitu juga sebaliknya, apabila kebijakan pemerintah yang berlaku mengakibatkan biaya input naik dan menurunkan nilai guna output, maka akanmenurunkan daya saing.

Berdasarkan kondisi tersebut, perlu dikembangkan kebijakan yang diharapkan mampu melindungi usahatani rumput laut. Sejumlah kebijakan terkait dengan standar kualitas dan keamanan pangan telah diterbitkan oleh pemerintah diantaranya UU No.16/1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan. Peraturan Pemerintah No.15/2002 tentang Karantina Ikan dan PP No.28/20904 tentang Keamanan Pangan, Mutu dan Gizi Pangan. Regulasi lainnya yang terkait dengan pengaturan perdagangan antara lain UU No.102/2000 tentang Standarisasi Nasional.

Terkait dengan standar produk yang akan diekspor, pemerintah mengeluarkan kebijakan ini dalam rangka mencapai ekuivalen dengan peraturan negara tujuan ekspor. Melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 59/M-DAG/PER/2010 tentang penerbitan Certificate of Legal Origin (CoLo) untuk barang ekspor termasuk rumput laut. Sertifikat CoLo ini diterbitkan oleh Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan.

(29)

Penerapan pajak terhadap rumput laut kering ini menyebabkan penurunan ekspor. Menurunnya jumlah ekspor mengakibatkan kelebihan bahan baku di dalam negeri, karena industri pengolahan belum banyak tersedia dan belum mampu menampung kelebihan bahan baku tersebut, sehingga petani sangat dirugikan karena harga jual menjadi lebih rendah. Selain itu, dengan menurunnya ekspor, petani juga dirugikan karena harga jualnya terpotong oleh kebijakan pajak tersebut. Dengan adanya kondisi tersebut, sejak tahun 2012 pemerintah tidak lagi mengenakan pajak pemerintah atau pajak menjadi nol persen terhadap ekspor rumput laut kering.

Kebijakan lain yang diterapkan dalam rangka memperbaiki kualitas ekspor rumput laut Indonesia adalah Kebijakan Resi Gudang. Kebijakan ini telah diterapkan sejak tahun 2007, dimana sistem resi gudang dilakukan dengan menggunakan hasil produksi rumput laut sebagai salah satu komoditas yang akan menjadi standar dan dipergunakan dalam sistem tersebut. Hal ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2007 tentang Resi Gudang untuk melaksanakan ketentuan UU Nomor 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang. Akan tetapi kebijakan ini belum berjalan secara efektif, hal ini disebabkan banyaknya petani dan pedagang yang belum menerapkan sistem tersebut dengan alasan administrasi dan birokrasi. Kebijakan pemerintah lainnya lebih diarahkan kepada pengembangan budidaya rumput laut yang tertuang ke dalam program revitalisasi perikanan .

(30)

terhadap input dan output dalam usahatani rumput laut. Kebijakan yang mengakibatkan biaya input menurun dan menambah nilai guna output akan meningkatkan daya saing usahatani rumput laut, sedangkan kebijakan yang mengakibatkan biaya input menjadi naik dan nilai guna output menurun akan menurunkan daya saing (Porter, 2008).

Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa potensi rumput laut di Kabupaten Takalar perlu mendapat perhatian serius dalam upaya pengusahaannya, khususnya mengenai komoditas rumput laut yang dihasilkan sesuai dengan standar kualitas ekspor rumput laut di pasar internasional. Maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini mengenai :

1. Bagaimana tingkat keuntungan yang diperoleh petani rumput laut di Kepulauan Tanakeke.

2. Bagaimana tingkat daya saing rumput laut melalui keunggulan komparatif dan kompetitif.

3. Bagaimana dampak kebijakan pemerintah terhadap keuntungan dan daya saing komoditas rumput laut di Kepulauan Tanakeke.

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, dimana usahatani rumput laut ini memiliki tantangan dan kendala. Kendala-kendala tersebut menjadi penyebab rendahnya kualitas rumput laut yang dihasilkan sehingga berdampak pada ekspor rumput laut di pasar internasional. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya-upaya peningkatan keuntungan dan daya saing rumput laut yang didukung oleh kebijakan pemerintah.

1.2 Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dijelaskan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis:

1. Tingkat keuntungan privat dan sosial usahatani rumput laut di Kepulauan Tanakeke.

2. Daya saing rumput laut melalui keunggulan komparatif dan kompetitif. 3. Dampak kebijakan pemerintah terhadap keuntungan dan daya saing komoditi

(31)

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai :

1. Tambahan informasi tentang kondisi aktual usahatani rumput laut baik bagi petani maupun pemerintah.

2. Bahan evaluasi dan masukan bagi pemerintah daerah dan instansi terkait dalam merumuskan kebijakan yang lebih efektif dan efesien bagi pengembangan komoditi rumput laut.

3. Tambahan pengetahuan atau rujukan bagi civitas akademika dalam melakukan penelitian selanjutnya.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar yang merupakan sentra penghasil rumput laut terbesar di Sulawesi Selatan.

Lingkup pembahasan dalam penelitian ini meliputi analisis komparatif dan kompetitif usahatani rumput laut, analisis efesiensi yang dilihat berdasarkan keuntungan ekonomi atau sosial maupun keuntungan finansial atau privat dan aspek dampak kebijakan pemerintah yang mempengaruhi daya saing komoditas rumput laut tersebut. Penelitian ini difokuskan pada usahatani rumput laut dan bukan pada skala industri atau pengolahan. Metode analisis yang digunakan adalah Policy Analysis Matrix (PAM).

1.6. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan dalam penelitian ini yaitu :

1. Responden dalam penelitian ini adalah petani yang membudidayakan rumput laut jenis Eucheuma cottoni.

2. Lokasi budidaya rumput laut yang ada di Sulawesi Selatan tersebar di beberapa kabupaten, namun yang menjadi lokasi penelitian adalah Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar yang merupakan salah satu daerah penghasil rumput laut di Sulawesi Selatan dan berorientasi ekspor.

3. Harga input dan harga output yang dihasilkan dalam usahatani rumput laut ini menggunakan harga yang berlaku pada saat penelitian berlangsung.

(32)
(33)

II

.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Potensi Rumput Laut Sulawesi Selatan

Rumput laut merupakan salah satu komoditi budidaya laut yang potensial karena mudah dibudidayakan dan mempunyai prospek pasar yang baik serta dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Rumput laut merupakan salah satu komoditi perdagangan internasional yang telah di ekspor di lebih dari 35 negara disamping untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Potensi budidaya rumput laut di Indonesia terdapat di 15 provinsi yaitu Aceh, Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTT, NTB, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku dan Papua (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2010).

Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu daerah penghasil rumput laut terbesar di Indonesia yang mana sekitar 53 persen produksi rumput laut Indonesia berasal dari Sulawesi Selatan. Diharapkan mulai tahun 2012, Sulawesi Selatan menjadi sentra produksi rumput laut terbesar di Indonesia, sekaligus menempatkan Indonesia sebagai penghasil rumput laut terbesar kedua dunia setelah Philphina. Untuk mempercepat laju perkembangan budidaya rumput laut, pemerintah Sulawesi Selatan sejak tahun 2009 menargetkan status agribisnis rumput laut meningkat menjadi agroindustri rumput laut.

Potensi produksi perikanan terutama rumput laut di Sulawesi Selatan cukup besar yakni sekitar 418 345.8 ton per tahun. Selain potensi produksi yang cukup besar, sumberdaya manusianya yang bergerak di bidang budidaya laut dan tambak juga cukup besar yakni mencapai 50 755 rumah tanggga perikanan (BPS, 2008).

Pengembangan budidaya rumput laut di Sulawesi Selatan mempunyai prospek yang sangat besar terutama rumput laut jenis Eucheuma cottoni

(34)

tekstil, kertas, cat dan lain-lain, bahkan rumput laut juga digunakan sebagai pupuk dan komponen pakan ternak atau ikan.

Potensi lahan budidaya rumput laut jenis Eucheuma cottoni di Sulawesi Selatan sekitar 193 700 ha dan baru terealisasi sekitar 62 371 m2 atau 6.2 ha dengan produksi total sekitar 403 201 ton per tahun sehingga prospek pengembangannya ke depan masih sangat besar (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2010). Ada beberapa desa pantai yang terkenal sebagai sentra budidaya rumput laut jenis Eucheuma cottoni yaitu Desa Laikang di Kabupaten Takalar, Desa Samatang di Kabupaten Sinjai, Desa Bontojai di Kabupaten Jeneponto, serta Desa Palantikang di Kabupaten Bantaeng dan beberapa desa lainnya di Provinsi Sulawesi Selatan (Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Selatan, 2010).

Semakin meningkatnya penggunaan ekstrak rumput laut di berbagai industri akan meningkatkan pula permintaan produksi rumput laut tersebut. Kendala yang dihadapi dalam memenuhi permintaan tersebut tidaklah cukup hanya mengandalkan hasil panen alam saja, akan tetapi harus diusahakan sistem produksi yang lebih baik melalui cara budidaya.

2.2. Kebijakan Pengembangan Rumput Laut di Provinsi Sulawesi Selatan

Provinsi Sulawesi Selatan sebagai salah satu sentra pengembangan rumput laut khususnya jenis Eucheuma cottoni dan menjadi produsen utama rumput Laut di Indonesia. Pengembangan rumput laut sebagai produk unggulan daerah telah diupayakan pemerintah untuk memenuhi permintaan dunia yang semakin besar khususnya jenis E. cottonii penghasil carrageenan. Berdasarkan hal tersebut, tahun 2009 pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan telah mengeluarkan beberapa kebijakan penting : (1) pengembangan budidaya rumput laut, (2) peningkatan kualitas rumput laut, (3) peningkatan pemasaran, (4) peningkatan strategi regulasi, dan (5) peningkatan permodalan.

(35)

Petani rumput laut di Sulawesi Selatan pada umumnya menggunakan bibit yang berasal dari hasil panen sebelumnya. Diberbagai daerah sentra rumput laut seperti Kabupaten Takalar, Jeneponto, Bulukumba, Bone dan beberapa daerah lainnya di Sulawesi Selatan belum ada penangkaran dan penyediaan bibit rumput laut unggul atau berkualitas baik. Oleh karena itu, pemerintah daerah Sulawesi Selatan telah merencanakan untuk melakukan pelatihan sertifikasi penangkaran bibit rumput laut kualitas Standar Nasional Indonesia (SNI) bagi petani hingga pedagang yang nantinya akan memudahkan petani memperoleh bibit bermutu tinggi (Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Selatan, 2010).

Berbagai langkah untuk mengembangkan rumput laut telah dilakukan pemerintah baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten melalui pendanaan dari APBN dan APBD. Kegiatan program pengelolaan dan pengembangan sumberdaya perikanan budidaya rumput laut melalui : (1) pengadaan kebun bibit Eucheuma cottoni di Kabupaten Pangkep dan Bulukumba, (2) penyaluran paket penguatan modal pengembangan budidaya rumput laut Eucheuma cottoni di 8 kabupaten sebanyak 57 paket, dan (3) penyaluran sarana budidaya rumput laut berupa bibit rumput laut, tali nomor 9, nomor 5, dan nomor 2 serta pelampung di 8 kabupaten.

2.3. Tinjauan Studi Terdahulu

Penelitian terdahulu tentang komoditi rumput laut dan aspek-aspek yang berkaitan dengan usahatani rumput laut, daya saing (kompetitif dan komparatif) melalui pendekatan Policy Analysis Matrix (PAM) dan kebijakan telah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya.

2.3.1. Studi Aspek Komoditi Rumput Laut

Studi terdahulu telah banyak membahas tentang komoditi rumput laut baik dari aspek pengembangan rumput laut, aspek produksi, sistem pemasaran sampai pada penawaran ekspor rumput laut Indonesia di pasar internasional.

(36)

menggunakan metode survey dengan pendekatan eksploratif yang menjelaskan fenomena lapangan. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa pengembangan klaster rumput laut di Kabupaten Sumenep telah terbentuk secara alami yang terdiri dari jenis usaha pendukung proses produksi rumput laut, jenis perdagangan dan distribusi dan jenis usaha jasa pendukung, akan tetapi komponen tersebut belum tertata dengan baik sehingga kinerja dari industri rumput laut di Kabupaten Sumenep belum optimal. Selain itu, terjadi asimetris informasi tentang harga bahan baku rumput laut kering dan kualitas rumput laut yang dibutuhkan pasar. Oleh karena itu, terkait dengan upaya memfungsikan klaster rumput laut, terdapat tiga prinsip yang perlu diperhatikan agar klaster tersebut berfungsi secara optimal yaitu : 1) unit usaha dalam klaster rumput laut harus berorientasi pada permintaan konsumen, 2) klaster harus bersifat kolektif, dan 3) klaster dapat memperbaiki daya saing secara komulatif.

Penelitian tentang produksi rumput laut dilakukan oleh Sobari (1993) dengan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas dalam analisisnya. Penelitian ini menunjukkan bahwa faktor penting yang harus diperhatikan dan dapat mempengaruhi berhasil tidaknya usaha budidaya rumput laut yaitu kondisi alam, teknologi yang digunakan dan kondisi sosial ekonomi.

Setiap usaha budidaya rumput laut yang dilakukan tidak terlepas dari kondisi atau aspek ekonomi. Aspek ekonomi berkaitan dengan kelayakan usaha dari budidaya yang dikembangkan oleh pembudidaya. Penelitian yang mengkaji tentang kelayakan usaha budidaya rumput laut telah dilakukan oleh Zamroni, Purnomo dan Mira (2006). Penelitian ini menggunakan analisis R/C Ratio dengan hasil analisis menunjukkan bahwa budidaya rumput laut yang dibudidayakan dengan metode longline di Bulukumba layak untuk dikembangkan. Hal ini dilihat dari hasil perhitungan R/C ratio yang lebih dari satu (R/C ratio = 2.94) dan keuntungan yang diperoleh positif.

(37)

yang dibutuhkan. Sementara hasil produksinya dijual kepada pembeli pada tingkat harga sebesar harga yang berlaku di pasar. Produktivitas faktor produksi yang berlaku terhadap produksi rumput laut kering per luasan areal adalah tali ris, tali rafia, karung pasir pemberat, bibit, tenaga kerja dan pelampung. Analisis usahatani budidaya rumput laut baik mitra maupun non mitra menguntungkan petani dengan nilai R/C ratio untuk petani mitra adalah 8.03 dan non mitra sebesar 1.81. Analisis finansial yang dilakukan pada tingkat suku bunga 20 persen menunjukkan bahwa rumput laut layak untuk dikembangkan dengan IRR di atas 60 persen.

Penelitian yang dilakukan oleh Hikmayani dan Aprilliani (2007) menyangkut aspek pemasaran rumput laut di wilayah potensial di Indonesia. Hasil penelitian tersebut memberikan informasi bahwa pemasaran rumput laut melibatkan beberapa lembaga pemasaran baik yang ada di lokasi maupun yang ada di luar lokasi budidaya baik di kabupaten maupun di provinsi. Lembaga pemasaran yang terlibat secara umum adalah pedagang pengumpul lokal, pedagang besar dan eksportir atau pabrik pengolahan. Struktur pasar rumput laut di seluruh tingkat pedagang pengumpul, pedagang besar dan industri serta eksportir bersifat oligopoli artinya dengan jumlah pedagang yang sedikit maka akan muncul pedagang yang paling dominan dalam struktur pasar ini dan pedagang tersebut dapat menjadi pedagang yang memiliki pangsa pasar terbesar sehingga pedagang tersebut dapat bertindak sebagai penentu harga dan memiliki jalur distribusi yang kuat.

(38)

rumput laut terbesar dari Indonesia, sehingga dapat disimpulkan bahwa pasar rumput laut Indonesia yang terbesar adalah pasar Asia.

2.3.2. Studi Aspek Daya Saing

Penelitian mengenai daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif) telah banyak dilakukan diantaranya Sumaryanto dan Friyatno (2007), Kurniawan (2008), Feryanto (2010), serta Indrayani (2011). Untuk penelitian daya saing rumput laut belum banyak dilakukan. Penelitian-penelitian yang relevan dengan daya saing rumput laut diantaranya adalah Mira dan Reswati (2006), Yusuf dan Tajerin (2008), serta Rajagukguk (2009).

Analisis daya saing usaha budidaya rumput laut di Indonesia dengan menggunakan metode PAM dilakukan oleh Mira dan Reswati (2006). Penelitian ini dilakukan pada daerah sentra produksi rumput laut Indonesia. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa usaha budidaya rumput laut di Bali dan Sulawesi memiliki daya saing yang dilihat dari hasil analisis daya saing, dimana D > 0 dan H > 0, sedangkan untuk Nusa Tenggara Barat dan Jawa Timur tidak memiliki daya saing, ini diperlihatkan dari hasil analisis D < 0 dan H > 0. Bali memiliki daya saing karena kualitas rumput laut yang dihasilkan lebih bagus dibanding daerah lain, sedangkan Sulawesi memiliki daya saing karena bibit yang digunakan relatif lebih bagus dan budidaya dilakukan sepanjang tahun. Nusa Tenggara Barat dan Jawa Timur tidak memiliki daya saing karena mutu rumput laut yang dihasilkan kurang memenuhi kriteria yang ditetapkan industri.

(39)

Rajagukguk (2009) melakukan penelitian daya saing rumput laut Indonesia di pasar internasional dengan menggunakan data sekunder dengan metode analisis regresi data panel (Pooled OLS dan Fixed Effect). Hasil analisis menyimpulkan bahwa model pangsa pasar yang telah dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk mengetahui posisi daya saing ekspor rumput laut di negara tujuan ekspor pada tahun-tahun tertentu. Indonesia memiliki daya saing di Negara Hongkong, Philphina, Spanyol dan Denmark. Hal berbeda ditemukan di Negara China dimana pada negara tersebut Indonesia baru berdaya saing setelah tahun 2004. Sedangkan untuk USA, Indonesia baru berdaya saing pada tahun 2006, demikian juga dengan Korea Selatan baru pada tahun 2005. Jepang, United Kingdom dan Francis, rumput laut Indonesia sama sekali tidak memiliki daya saing.

2.3.3. Studi Aspek Kebijakan

Studi tentang aspek kebijakan menyangkut tentang dampak kebijakan pemerintah terhadap suatu komoditi dengan menggunakan matriks análisis kebijakan (PAM).

Dewanata (2011) melakukan penelitian tentang analisis daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditi jeruk siam di Kabupaten Garut. Dalam hasil analisis tersebut, diketahui bahwa dampak kebijakan pemerintah terhadap pengusahaan jeruk siam secara keseluruhan menunjukkan proteksi pemerintah terhadap sistem produksi sangat rendah. Petani tidak mendapatkan proteksi dari pemerintah sehingga harga jeruk siam yang berlaku di Kecamatan Semarang Rp 5 000, 00 per kilogram berada di bawah harga efesiennya yaitu Rp 5 380,36 per kilogram.

(40)

pemerintah memberikan subsidi input sebagai insentif bagi petani jagung di NTB sehingga menyebabkan biaya input yang dikeluarkan petani lebih rendah daripada harga sosial yang seharusnya.

Yao (1997) melakukan penelitian tentang dampak kebijakan pemerintah terhadap produksi padi Thailand yang mempunyai kompetisi dengan kedelai dan kacang hijau yang dilakukan di dua lokasi yang berbeda. Hasil penelitian menginformasikan bahwa kebijakan pemerintah Thailand adalah melindungi produsen padi melalui pemberian subsidi pada input tradable demikian pula dengan komoditi kedelai dan kacang hijau. Bahkan untuk produksi kedelai, pemerintah Thailand memberikan subsidi sebesar 21.6 persen.

Mohanty, Fang dan Caudhari (2003) tentang Daya Saing Kapas di India. Hasil penelitian tersebut adalah produksi kapas India tidak efesien tanpa intervensi pemerintah dan kemungkinan terjadi pergeseran tanaman kapas digantikan oleh tanaman tebu dan kacang tanah yang lebih menguntungkan, sehingga dianjurkan agar kebijakan India lebih menjaga ketersediaan kapas murah untuk sector hadloom dan tekstil.

(41)

memperoleh keuntungan dalam memproduksi padi meskipun tanpa subsidi dari pemerintah.

Penelitian yang dilakukan oleh Karbasi, Rastegaripour dan Amiri (2011) tentang Aplikasi PAM pada Air Minum Kemasan di Negara Iran. Hasil penelitian tersebut adalah sistem yang dilakukan oleh Baluchestan dalam memproduksi air minum kemasan memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif. Kebijakan pemerintah Iran terhadap perusahaan air minum kemasan dapat dilihat dari nilai NPCO yang lebih kecil dari satu (NPCO < 1) yaitu sebesar 0.27. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Iran memberikan subsidi pada input yang digunakan sehingga harga input lebih rendah 27 persen dari harga dunia.

Novianti (2003) melakukan penelitian analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing komoditas unggulan sayuran. Hasil penelitian dengan menggunakan metode PAM, dimana kebijakan pemerintah dibidang perdagangan komoditas sayuran khususnya kentang dan kubis menyebabkan harga kedua komoditas tersebut lebih murah dibanding dengan harga sosial yang seharusnya diterima petani. Hal ini berkaitan dengan tiga faktor klasik yaitu (1) lembaga pemasaran output belum berfungsi efektif dan tidak transparan sehingga rantai pemasaran panjang dan biaya pemasaran tinggi, (2) posisi tawar petani lemah sehingga petani hanya penerima harga yang pasif serta hanya menerima keputusan harga dari pedagang, dan (3) mental usahatani masih bermental subsidi sehingga menjadi kendala untuk mandiri, maju dan bersaing dengan pasar global.

(42)
(43)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1. Konsep Daya Saing

Daya saing merupakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditi dengan mutu yang baik dan biaya produksi yang cukup rendah sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar kegiatan produksi tersebut menguntungkan. Daya saing suatu komolditas akan tercermin pada harga jual yang murah di pasar dan mutu yang tinggi. Untuk analisis daya saing suatu komoditas biasanya ditinjau dari sisi penawaran karena struktur biaya produksi merupakan komponen utama yang akan menentukan harga jual komoditas tersebut (Salvatore, 1997).

Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur daya saing suatu komoditi adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efesiensi dalam pengusahaan komoditi tersebut. Keuntungan dilihat dari keuntungan privat dan keuntungan sosial, sedangkan efesiensi penguasaan komoditi dilihat berdasarkan indikator keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif.

Kajian mengenai daya saing berawal dari pemikiran Adam Smith

mengenai konsep penting tentang “spesialisasi” dan “perdagangan bebas” yang

dikenal dengan teori perdagangan klasik melalui teori keunggulan absolute (absolute advantage). Teori keunggulan absolut menyatakan bahwa setiap negara akan memperoleh manfaat perdagangan karena melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang jika negara tersebut memiliki keunggulan mutlak, serta mengimpor barang jika negara tersebut memiliki ketidakunggulan mutlak (Krugman dan Obstfeld, 2004).

Kelebihan dari teori keuntungan absolut yaitu terjadi perdagangan bebas antara dua negara yang saling memiliki keunggulan absolut yang berbeda dimana terjadi interaksi ekspor dan impor. Kelemahannya adalah apabila hanya satu negara yang memiliki keunggulan absolut maka perdagangan internasional tidak akan terjadi karena tidak ada keuntungan (Oktaviani dan Novianti, 2009).

Teori Adam Smith ini disempurnakan oleh David Ricardo pada tahun

(44)

Taxation” memperluas teori keunggulan absolut Adam Smith menjadi teori

keunggulan komparatif (The Law of Comparative Advantagse) baik secara efesiensi tenaga kerja maupun produktivitas tenaga kerja (Salvatore, 1997).

3.1.1.1. Keunggulan Komparatif

Keunggulan komparatif (comparative advantage) mula-mula dikemukakan oleh David Ricardo. Teori ini didasarkan pada nilai tenaga kerja yang menyatakan bahwa hanya satu faktor produksi yang penting yang menentukan nilai suatu komoditas yakni tenaga kerja. Ricardo membuktikan bahwa apabila ada dua negara yang saling berdagang dan masing-masing negara mengkonsentrasikan diri untuk mengekspor barang yang bagi negara tersebut memiliki keunggulan komparatif maka kedua negara tersebut akan beruntung (Halwani, 2002). Ternyata ide tersebut bukan saja bermanfaat dalam perdagangan internasional tapi juga sangat penting diperhatikan dalam ekonomi regional. Dalam perdagangan bebas antar daerah, mekanisme pasar mendorong masing-masing daerah bergerak kea rah sektor yang daerahnya memiliki keunggulan komparatif. Akan tetapi, mekanisme pasar seringkali bergerak lambat dalam mengubah struktur ekonomi suatu daerah. Sedangkan model Hechkscher-Ohlin (H-O) lebih menekankan pada keseimbangan perdagangan antar dua kutub ekonomi neoclassic. Ide dasar model H-O adalah wilayah yang mempunyai tenaga kerja melimpah, secara relatif akan memanfaatkan kemampuan dirinya untuk memproduksi barang dengan faktor produksi padat karya yang relatif lebih murah. Dengan demikian, wilayah tersebut akan mempunyai keunggulan komparatif dalam memproduksi barang tersebut.

(45)

komparatif dapat dibagi menjadi dua, yaitu keunggulan komparatif natural (alami) dan keunggulan komparatif buatan (terapan). Sumber keunggulan komparatif alami ditunjukkan dengan kondisi iklim yang cocok, upah tenaga kerja yang murah dan ketersediaan sumberdaya alam. Sedangkan keunggulan komparatif terapan telah diaplikasikan dan telah disesuaikan dengan adanya faktor pendukung seperti faktor teknologi, permintaan skala ekonomi dan struktur pasar.

(46)

3.1.1.2. Keunggulan Kompetitif

Keunggulan kompetitif adalah keunggulan yang ditujukan oleh suatu negara atau daerah dalam daya saing produk yang dihasilkan dibandingkan dengan negara atau daerah lain. Sebagai contoh, jika suatu daerah mempunyai kelebihan dalam komoditi tertentu (mempunyai kelebihan komparatif) namun hal tersebut tidak terlihat dalam prestasi ekspornya maka dapat dikatakan komoditi yang dimiliki negara tersebut tidak mampu bersaing di pasaran dunia.

Konsep keunggulan kompetitif pertama kali dikembangkan oleh Porter pada tahun 1980 dengan bertitik tolak dari kenyataan-kenyataan perdagangan internasional yang ada. Menurut Porter (1990), kekuatan kompetitif menentukan tingkat persaingan dalam suatu industri baik domestik maupun internasional yang menghasilkan barang dan jasa. Menurut Porter, bahwa keunggulan perdagangan antar negara dengan negara lain di dalam perdagangan internasional secara spesifik untuk produk-produk tertentu sebenarnya tidak ada, kenyataan yang ada adalah persaingan antara kelompok-kelompok kecil industri yang ada dalam suatu negara. Oleh karena itu dapat dicapai dan dipertahankan dalam suatu sub sektor tertentu disuatu negara dengan meningkatkan produktivitas penggunaan sumberdaya yang ada. Porter (1990) menyatakan bahwa penentu daya saing adalah persaingan yang sehat antar industri, adanya deferensiasi produk dan kemampuan teknologi. Porter menyatakan bahwa istilah keunggulan kompetitif adalah bahasan dalam persepektif mikro (bisnis) sedangkan istilah keunggulan komparatif merupakan kajian dalam persepektif makro.

(47)

komoditas yang diproduksi suatu negara hanya mempunyai keunggulan komparatif namun tidak memiliki keunggulan kompetitif, maka di negara tersebut dapat disumsikan terjadi distorsi pasar atau terdapat hambata-hambatan yang mengganggu kegiatan produksi sehingga merugikan produsen seperti prosedur administrasi, perpajakan dan lain-lain. Oleh karena itu pemerintah perlu untuk mengadakan deregulasi yang dapat menghilangkan hambatan atau distorsi pasar tersebut.

Keunggulan kompetitif merupakan perluasan dari konsep keunggulan komparatif yang menggambarkan kondisi daya saing suatu kegiatan pada kondisi perekonomian aktual. Keunggulan kompetitif digunakan untuk mengukur kelayakan suatu kegiatan dimana keuntungan privat diukur berdasarkan harga pasar dan nilai uang yang berlaku berdasarkan analisis finansial. Harga pasar adalah harga yang sebenarnya dibayar oleh produsen untuk membeli faktor produksi dan harga yang benar-benar diterima dari hasil penjualan output.

3.1.2. Analisis Kebijakan Pemerintah

Kebijakan pemerintah ditetapkan untuk meningkatkan ekspor ataupun sebagai usaha untuk melindungi produk dalam negeri agar dapat bersaing dengan produk luar negeri. Kebijakan tersebut biasanya diberlakukan untuk output maupun input yang menyebabkan terjadinya perbedaan harga input dan harga output yang diminta produsen (harga privat) dengan harga yang sebenarnya terjadi jika dalam kondisi perdagangan bebas (harga sosial). Kebijakan yang ditetapkan pemerintah pada suatu komoditas ada dua yaitu subsidi dan hambatan perdagangan. Kebijakan berupa subsidi terdiri dari subsidi positif dan subsidi negatif (pajak), sedangkan hambatan perdagangan berupa tarif dan kuota.

(48)

Tabel 2. Klasifikasi Kebijakan Pemerintah Terhadap Harga Komoditi

Instrumen Dampak pada Produsen Dampak pada Konsumen

Sumber : Monke dan Pearson (1989).

Kebijakan harga (price policies) terdiri dari tiga kriteria yaitu : (1) subsidi atau kebijakan perdagangan; (2) penerimaan atau keuntungan yang akan diperoleh produsen dan konsumen; dan (3) kriteria ekspor atau impor. Implementasi dari kebijakan tersebut dapat mempengaruhi kemampuan suatu negara untuk memanfaatkan peluang ekspor suatu komoditi dan kemampuan negara tersebut untuk melindungi produsen atau konsumen dalam negeri.

1. Kebijakan Harga Subsidi atau Kebijakan Perdagangan

Menurut Salvator (1997) subsidi merupakan pembayaran dari atau untuk pemerintah. Kebijakan subsidi terdiri dari subsidi positif dan subsidi negatif (pajak). Pembayaran dari pemerintah disebut subsidi positif dan pembayaran untuk pemerintah disebut subsidi negatif (pajak). Subsidi bertujuan untuk melindungi konsumen atau produsen dengan menciptakan harga domestik agar berbeda dengan harga internasional.

(49)

jumlah komoditi yang diimpor. Tujuan diterapkannya kedua kebijakan tersebut adalah untuk menurunkan kuantitas barang yang diperdagangkan secara internasional (komoditi impor) dan untuk menciptakan perbedaan harga di pasar internasioanl dengan harga di pasar domestik. Sedangkan kebijakan perdagangan ekspor dimaksudkan untuk melindungi konsumen dalam negeri karena harga domestik yang lebih rendah bila dibandingkan dengan harga di pasar internasional.

Komponen utama yang menjadi dasar dalam diterapkannya salah satu kebijakan perdagangan adalah perbedaan harga komoditi di pasar internasional dan domestik. Apabila harga suatu komoditi di pasar internasional lebih murah dibandingkan dengan harga domestik, maka kebijakan yang tepat dilakukan adalah kebijakan perdagangan impor. Penetapan tarif impor maupun kuota impor dilakukan agar produk impor yang dijual dalam negeri harganya menjadi lebih mahal dan jumlahnya terbatas. Kebijakan impor ini bertujuan untuk melindungi produsen domestik. Sedangkan kebijakan perdagangan ekspor dimaksudkan untuk melindungi konsumen dalam negeri karena harga domestik yang lebih rendah bila dibandingkan dengan harga di pasar internasional.

2. Kebijakan Berdasarkan Penerimaan

Kebijakan berdasarkan penerimaan adalah kebijakan yang dikenakan pada produsen dan konsumen. Suatu kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan menyebabkan terjadinya transfer antara produsen, konsumen dan anggaran pemerintah (Monke dan Pearson, 1989).

3. Kebijakan Berdasarkan Komoditi

Kebijakan berdasarkan komoditi bertujuan untuk membedakan antara komoditas yang dapat di ekspor dan komoditas yang dapat di impor. Kebijakan pemerintah dapat diterapkan pada input maupun output komoditas pertanian. Penerapan kebijakan (subsidi atau hambatan perdagangan) yang tepat mampu memperbaiki kesejahteraan produsen (petani) maupun konsumen.

3.1.2.1. Kebijakan Output

(50)

output dijelaskan dengan menggunakan Transfer Output (TO) dan Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO). Dampak subsidi positif terhadap produsen dan konsumen pada barang impor dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2(a) merupakan gambar subsidi positif untuk produsen barang impor. Harga pasar dunia (Pw) lebih rendah dari harga domestik (Pd). Tingkat subsidi sebesar Pd – Pw kepada produsen menyebabkan produksi akan meningkat dari Q1 menjadi Q2 namun kondisi akan tetap pada Q3 karena kebijakan subsidi ini tidak merubah harga dalam negeri. Subsidi ini akan menyebabkan impor turun dari Q2 ke Q3. Transfer pemerintah kepada produsen sebesar Q2 x (Pd – Pw) atau sebesar PdABPw. Subsidi menyebabkan barang yang seharusnya diimpor akan diproduksi sendiri dengan biaya korbanan sebesar Q1CAQ2, sedangkan opportunity cost yang diperoleh jika barang tersebut diimpor adalah sebesar Q1CBQ2. Subsidi tersebut akan memberikan dampak terjadinya kehilangan efesiensi sebesar CAB.

Gambar 2(b) menunjukkan subsidi untuk produsen barang ekspor. Adanya subsidi dari pemerintah menyebabkan harga yang diterima produsen lebih tinggi dari harga yang berlaku di pasar dunia. Harga yang tinggi berakibat pada peningkatan output produksi dalam negeri dari Q3 ke Q4, sedangkan konsumsi menurun dari Q1 ke Q2 sehingga jumlah ekspor meningkat dari Q3 ke Q4. Tingkat subsidi yang diberikan pemerintah adalah sebesar GBAH.

(51)
(52)

Karena kebijakan subsidi akan merubah harga dalam negeri menjadi lebih murah. Subsidi ini akan menyebabkan peningkatan impor dari Q3-Q1 menjadi Q4-Q2.

Transfer pemerintah sebesar PwGHPd terdiri dari dua bagian yaitu transfer dari produsen dan konsumen sebesar PwABPd dan transfer dari pemerintah ke konsumen sebesar ABHG, sehingga akan terjadi inefesiensi ekonomi pada sisi konsumsi dan produksi. Pada produksi, output turun dari Q2 menjadi Q1 menyebabkan hilangnya pendapatan sebesar Q2AFQ1 atau sebesar Pw x (Q2– Q1) sedangkan besarnya input yang dapat dihemat sebesar Q2BFQ1 sehingga terjadi inefesiensi sebesar AFB. Pada konsumsi, menunjukkan terjadi opportunity cost

akibat meningkatnya Q3 menjadi Q4 adalah sebesar Pw x (Q4 – Q3) atau sebesar Q3EGHQ4 dengan kemampuan membayar konsumen sebesar Q3EHQ4 sehingga terjadi inefesiensi sebesar EGH sehingga total inefesiensi yang terjadi sebesar AFB dan EGH.

Gambar 2(d) menunjukkan subsidi untuk barang ekspor, pada gambar tersebut menunjukkan harga dunia lebih besar (Pw) dari harga yang diterima produsen (Pp). Harga yang lebih rendah menyebabkan konsumsi untuk barang ekspor menjadi meningkat dari Q1 menjadi Q2. Perubahan ini menyebabkan terjadi opportunity cost sebesar Pw x (Q2 – Q1) atau area yang sama dengan kemampuan membayar konsumen yaitu Q1CAQ2 dengan inefesiensi yang terjadi sebesar CBA.

3.1.2.2. Kebijakan Input

Kebijakan pemerintah juga diberlakukan pada variable input tradable

(53)

(a) S – IT

(b) S + IT Keterangan :

Pw : Harga Q di Pasar Dunia

S – IT : Pajak Input untuk Barang Tradable

S + IT : Subsidi Input untuk Barang Tradable

Sumber : Monke dan Pearson (1989)

Gambar 3. Subsidi dan Pajak Input Tradable

Gambar 3(a) menunjukkan adanya pajak pada input menyebabkan biaya produksi meningkat sehingga pada tingkat harga output yang sama, output

Pw

Pw

Q2

Q1 Q3

C

B

A

S’

S

Q1 Q2 Q3

A

S

S’

P

Q D

B C P

Gambar

Gambar 1.  Trend Pangsa Pasar Rumput Laut Indonesia di Pasar Internasional
Gambar 2.  Dampak Subsidi Positif Terhadap Produsen dan Konsumen Barang
Gambar 3.  Subsidi dan Pajak Input Tradable
Gambar 3(b) menunjukkan dampak subsidi pada input tradable yang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Aki (baterai) merupakan bagian yang sangat penting pada sistem kelistrikan mobil karena berfungsi untuk menyimpan arus sementara yang kemudian digunakan untuk memenuhi

But as many experienced travelers could tell you, a great road trip is often made before you leave-by making sure you have the right items to ensure a more entertaining and

Sebaliknya, orientasi pem- bangunan pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan membawa pada peningkatan ketimpangan pendapatan. Industrialisasi dan liberalisasi yang

Sebuah tinjauan sistematis baru-baru ini (8) menyarankan bahwa ini adalah melebih-lebihkan efek, tetapi meta-analisis termasuk hanya tujuh percobaan metformin, dan tidak

2013 telah melaksanakan evaluasi penawaran terhadap calon penyedia yang mendaftar pada website lpse.polda.sumsel (www.lpse.sumsel.polri.go.id) :.. Nama Paket : Pengadaan Hanjar

Peserta didik Sekolah Menengah Atas (SMA) adalah peserta didik yang memasuki usia remaja. Dalam usia remaja konsep diri peserta didik cenderung labil. Faktor yang

Beberapa aktivitas kelompok ternak Sumber Rejeki dalam menyiapkan pakan ternak dan program pengabdian masyarakat dengan menerapkan teknologi tepat guna berupa mesin pencacah

Arisan Kicau Mania merupakan salah satu bentuk terobosan yang unik yang dilakukan sebagai upaya pemberdayaan anggota Kicaumania dengan program bantuan modal