• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.3. Kerangka Pemikiran

2.3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

Industri pengolahan merupakan sektor yang dominan dalam perekonomian Indoensia. Kontribusi industri dalam perekonomian ditunjukan dalam hal pembentukan PDB, penyerapan tenaga kerja serta pembentukan devisa melalui ekspor. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan bahwa kontribusi sektor industri terhadap PDB pada tahun 2009 adalah sebesar 26.16 persen. Sementara itu, dalam penyerapan tenaga kerja kontribusi sektor industri adalah 12.24 persen dan kontribusi dalam ekspor adalah sebesar 73.69 persen dari total nilai ekspor non-migas.

Kontribusi sektor industri yang relatif besar dalam perekonomian merupakan implikasi dari kinerja sektor industri tersebut. Kinerja yang dicapai sektor industri tentunya dipengaruhi oleh berbagai faktor yang meliputi faktor internal dan eksternal. Perkembangan yang terjadi pada internal dan eksternal faktor akan mempengaruhi kinerja sektor industri. Agar pertumbuhan yang dicapai sektor industri pengolahan dapat ditingkatkan/dipertahankan maka

menjadi penting untuk mengantisipasi berbagai perubahan yang terjadi dalam perekonomian.

Dinamika yang terjadi dalam perekonomian global dan nasional pada tahun 2008 memberikan peluang sekaligus tantangan bagi perkembangan sektor industri pengolahan di Indonesia. Pada akhir tahun 2007 sampai dengan awal 2008, dinamika perekonomian distimulus dengan terjadinya krisis enerji global yang memicu peningkatan harga minyak dunia. Harga minyak dunia meningkat dari kisaran 60-65 US$ per barrel pada pertengahan tahun 2007 melonjak di atas 100 US$ per barrel pada awal tahun 2008. Di dalam negeri kenaikan harga minyak dunia direspon oleh pemerintah dengan menaikan harga BBM jenis premium dan solar yaitu dari Rp 4 000/liter menjadi Rp 6 000/liter. Peningkatan harga BBM tersebut menjadi ganjalan yang sangat serius bagi pemulihan perekonomian nasional, tidak terkecuali bagi sektor industri pengolahan.

Dampak kenaikan harga BBM terhadap sektor industri pengolahan tentunya akan mempengaruhi struktur biaya produksi. Sementara itu terhadap rumah tangga, kenaikan harga BBM cenderung akan menurunkan daya beli masyarakat. Peningkatan dalam biaya produksi di satu sisi dan penurunan daya beli masyarakat di sisi yang lain sebagai konsekuensi kenaikan harga BBM pada akhirnya akan cenderung mendorong industri untuk melakukan pengurangan volume produksi dan rasionalisasi (PHK) karyawan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa dalam perspesktif makro ekonomi, perubahan variabel harga BBM akan cenderung diikuti oleh penurunan volume produksi berbagai kelompok industri dan sektor perekonomian lainnya. Perubahan tersebut secara agregat akan menyebabkan turunnya total produksi/pendapatan nasional dan mendorong

peningkatan pengangguran. Kondisi tersebut merupakan kondisi yang tentunya tidak diharapkan baik oleh pemerintah, masyarakat maupun pengusaha.

Lebih lanjut, perkembangan yang terjadi pada bulan-bulan terakhir tahun 2008 adalah terjadinya penurunan harga minyak di pasaran internasional dan sudah direspon oleh pemerintah dengan menurunkan harga BBM dalam negeri. Pada bulan Desember 2008 Pemerintah memutuskan untuk menurunkan harga BBM jenis premium dan solar dari Rp 6 000/liter menjadi Rp 5 000/liter yang berlaku mulai tanggal 1 Januari 2009. Selanjutnya pemerintah kembali menurunkan harga kedua jenis BBM tersebut dari Rp 5 000/liter menjadi Rp 4 500/liter. Namun demikian, tekanan terhadap perekonomian nasional dan sektor industri justru muncul akibat dari krisis keuangan di Amerika Serikat. Krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat diprediksikan akan mulai terasa dampaknya terhadap perekonomian dan industri Indonesia pada awal tahun 2009.

Krisis keuangan di Amerika Serikat (AS) mengakibatkan menurunnya permintaan (impor) masyarakat AS terhadap produk industri, termasuk yang berasal dari Indonesia. Penurunan pasar ekspor Amerika Serikat terhadap produk industri pengolahan Indonesia memberikan tekanan terhadap berbagai industri pengolahan. Sejumlah industri merespon guncangan yang terjadi dengan melakukan rasionalisasi karyawan. Sementara itu, pemerintah menghimbau agar industri yang selama ini merupakan industri yang berorientasi ekspor untuk juga mengembangkan pasar domestik. Disamping itu, pemerintah juga mengambil sejumlah kebijakan untuk memberikan insentif kepada dunia usaha (industri) agar dapat terus berproduksi dalam situasi saat ini. Berbagai kebijakan yang ditempuh pemerintah dalam mendorong dunia usaha antara lain adalah dengan menurunkan

harga BBM dalam negeri untuk industri, pemberian stimulus fiskal (pemotongan pajak) dan penurunan BI Rate.

Disamping guncangan yang disebabkan oleh kenaikan harga BBM dan krisis keuangan global, perekonomian kita juga pernah mengalami krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997. Krisis moneter yang kemudian diikuti dengan krisis multidimensi tersebut menyebabkan nilai tukar rupiah terdepresiasi secara signifikan. Gejolak yang terjadi dalam nilai tukar tersebut juga sangat mempengaruhi kondisi makroekonomi Indonesia dan pertumbuhan sektoral di tanah air. Sektor industri merupakan salah satu sektor yang juga menghadapi tekanan pada saat krisis tersebut berlangsung.

Berbagai fenomena yang terjadi dalam perekonomian secara langsung akan tercermin pada fluktuasi berbagai variabel ekonomi. Fluktuasi suatu variabel ekonomi seperti: harga minyak dunia, harga ekspor industri, suku bunga dan nilai tukar (devaluasi riil) akan berdampak terhadap kondisi makro ekonomi dan kinerja sektor-sektor perekonomian, termasuk sektor industri pengolahan. Semakin besar volatilitas suatu variabel maka akan memberikan dampak yang juga semakin besar terhadap kinerja makroekonomi dan sektoral. Untuk mengukur volatilitas suatu variabel ekonomi maka dilakukan analisis volatilitas dengan model ARCH-GARCH.

Peningkatan suku bunga akan sangat menyulitkan sektor industri terkait dengan biaya modal yang semakin tinggi sehingga dapat mempengaruhi likuiditas perusahaan. Hal tersebut dapat menghambat pertumbuhan investasi pada sektor industri. Lebih lanjut, akan menyebabkan penurunan total investasi dalam perekonomian. Mankiw (2003) menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang

negatif antara tingkat suku bunga dengan investasi. Sejumlah peneliti yang telah mengkaji keterkaitan kendala likuiditas dan pertumbuhan industri antara lain adalah Scellato (2007) dan Oliveira dan Fortunato (2006). Oktaviani (2008) secara khusus telah mengkaji dampak perubahan tingkat suku bunga terhadap sektor industri di Indonesia.

Seperti halnya peningkatan suku bunga, kenaikan harga BBM akan memberatkan sektor industri karena akan meningkatkan biaya produksi. Peningkatan biaya produksi tersebut akan cenderung mendorong perusahaan untuk mengurangi volume produksi. Lipsey et al (1997) menjelaskan bahwa penawaran output perusahaan akan dipengaruhi oleh sejumlah faktor, salah satunya adalah harga input. Peningkatan harga input akan cenderung menurunkan jumlah penawaran perusahaan.

Sementara itu, fluktuasi harga ekspor industri juga diprediksi akan turut mempengaruhi pertumbuhan sektor industri. Fluktuasi harga tersebut akan memberikan insentif bagi sektor industri untuk berproduksi. Industri yang harganya meningkat akan memperoleh insentif yang lebih besar dengan menghasilkan produksi lebih banyak.

Adapun penguatan nilai tukar (devaluasi riil) akan cenderung menurunkan daya saing produk dalam negeri. Penguatan nilai tukar domestik terhadap mata uang asing akan menyebabkan harga relatif produk nasional menjadi lebih mahal dibandingkan produk negara pesaing. Dengan demikian, daya saing produk nasional akan mengalami penurunan dan menjadi lebih rendah dibandingkan produk negara pesaing. Penurunan daya saing tersebut akan membuat produk- produk yang dihasilkan menjadi kurang diminati. Penurunan daya saing produk

nasional akan menyebabkan pasar domestik lebih didominasi oleh produk impor. Sementara itu di pasar internasional, penurunan daya saing tersebut akan dapat menyebabkan penurunan ekspor produk nasional. Konsekuensi dari penurunan daya saing tersebut pada akhirnya akan menyebabkan pertumbuhan industri akan mengalami perlambatan atau bahkan mengalami kemunduran. Porter (1998) menyatakan bahwa keunggulan suatu negara bergantung pada kemampuan perusahaan-perusahaan di dalam negara tersebut untuk berkompetisi dalam menghasilkan produk yang dapat bersaing di pasar. Lebih lanjut dijelaskan bahwa daya saing dapat diidentifikasikan dengan produktifitas, yakni tingkat output yang dihasilkan untuk setiap input yang digunakan.

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa berbagai dinamika yang terjadi pada perekonomian nasional ataupun global akan tercermin pada volatilitas sejumlah variabel ekonomi. Seberapa besar volatilitas yang terjadi akan mempengaruhi sektor industri pengolahan dan makroekonomi Indonesia, tentunya akan bergantung kepada seberapa besar volatilitas yang terjadi. Khusus bagi sektor industri pengolahan dampak dari volatilitas tersebut juga akan ditentukan oleh karakteristik industri itu sendiri. Untuk kelompok industri tertentu, volatilitas suatu variabel ekonomi akan memberikan dampak yang sangat besar terhadap pertumbuhan output industri tersebut sedangkan bagi industri yang lain pengaruhnya relatif lebih kecil. Dengan demikian menjadi suatu hal yang penting untuk memetakan (mapping) kelompok industri berdasarkan sensitivitasnya terhadap volatilitas suatu variabel ekonomi tertentu.

Pemetaan kelompok industri dimaksudkan untuk memberikan panduan bagi Pemerintah dalam menentukan skala prioritas industri apa yang seharusnya

diselamatkan terlebih dahulu ketika terjadi volatilitas yang besar pada suatu variabel ekonomui tertentu. Hal ini terkait dengan peran Pemerintah sebagai regulator sekaligus fasilitator dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Pemerintah sangat berkepentingan terhadap pertumbuhan sektor industri pengolahan. Berbagai kebijakan akan ditempuh Pemerintah dalam mendorong pertumbuhan sektor industri pengolahan baik pada saat perekonomian berada dalam pertumbuhan normal dan terlebih pada saat perekonomian sedang mengalami tekanan (krisis). Terdapat sejumlah kebijakan yang dapat ditempuh Pemerintah untuk mendorong kinerja industri pengolahan. Namun yang seringkali menjadi pertanyaan adalah kebijakan seperti apa yang dinilai lebih efektif dalam mendorong pertumbuahan sektor industri pengolahan, khususnya pada saat terjadinya krisis perekonomian.

Untuk menganalisis dampak volatilitas variabel ekonomi terhadap sektor industri pengolahan maka digunakan model CGE. Model CGE yang digunakan adalah model CGE recusive dynamic yang dikembangkan oleh Oktaviani (2000) atau yang lebih dikenal dengan Model INDOF. Devarajan et al (1994) mengungkapkan bahwa dibandingkan dengan model keseimbangan parsial, pendekatan keseimbangan umum dapat menangkap lebih baik kaitan intersektoral dan makroekonomi. Model keseimbangan umum memberikan analisis yang lebih rinci mengenai dampak suatu kebijakan terhadap kondisi sektoral.

Model INDOF digunakan untuk mensimulasi dan mengukur dampak volatilitas variabel ekonomi terhadap kinerja sektoral, khususnya sektor industri pengolahan, dan makroekonomi Indonesia. Dampak volatilitas terhadap kinerja sektoral diukur berdasarkan indikator kinerja sektoral yang meliputi: output,

tingkat harga, ekspor, impor dan penyerapan tenaga kerja. Sementara itu, dampak volatilitas variabel ekonomi terhadap kinerja makroekonomi diukur berdasarkan indikator-indikator yang meliputi GDP riil, konsumsi rumah tangga, investasi, ekspor, dan impor. Lebih lanjut, berdasarkan analisis dampak tersebut akan dirumuskan rekomendasi kebijakan yang dinilai dapat mendorong kinerja sektor industri pengolahan dan makroekonomi Indonesia. Secara skematis kerangka pendekatan analisis yang dilakukan ditunjukan pada Gambar 10.

Dokumen terkait