• Tidak ada hasil yang ditemukan

Selama lebih dari tiga dasawarsa pembangunan perekonomian Indonesia,

industri pengolahan memiliki arti penting bagi pertumbuhan ekonomi nasional.

Selain mampu memberikan nilai tambah yang lebih tinggi terhadap produk antara,

Domestik Bruto (PDB) dan penyerapan tenaga kerja. Pertumbuhan di sektor

pengolahan memberikan multiplier effect (efek pengganda) yang relatif besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Oleh sebab itu tidak mengherankan jika

pemerintah memberikan perhatian yang lebih terhadap pertumbuhan sektor

industri pengolahan.

Secara umum sektor industri pengolahan mengalami pertumbuhan positif

di sepanjang tahun 2004-2007. Namun demikian laju pertumbuhan tersebut

cenderung mengalami perlambatan. Pada tahun 2004 pertumbuhan sektor industri

pengolahan non-migas mencapai sebesar 7.51 persen dan pada tahun 2005

pertumbuhannya turun menjadi sebesar 5.86 persen (BPS, 2008). Pertumbuhan

sektor industri secara keseluruhan menurun dari 6.40 persen pada tahun 2004

menjadi 4.60 persen tahun 2005 (Bank Indonesia, 2008). Perlambatan dan

turunnya kontribusi sektor industri yang terjadi pada tahun 2005 diduga

disebabkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di tahun tersebut.

Nicholson (1997) menjelaskan bahwa peningkatan harga input produksi, yang

menyebabkan peningkatan biaya produksi yang dihadapi perusahaan, akan

cenderung mendorong perusahaan untuk mengurangi output. Lebih lanjut,

penurunan output tersebut akan diikuti dengan penurunan permintaan input

(misalnya: tenaga kerja), yang merupakan derived demand.

Sementara itu, perkembangan makroekonomi Indonesia selama periode

2004-2007 menunjukan perkembangan yang relatif baik. Namun demikian,

perubahan harga BBM dan dinamika perekonomian yang terjadi pada tahun 2005

diduga menyebabkan perubahan yang drastis pada beberapa indikator

(Tabel 2). Perubahan berbagai indikator makro tersebut tentunya juga

mempengaruhi kinerja berbagai sektor perekonomian, termasuk sektor industri

pengolahan.

Tabel 2. Perkembangan Indikator Makro Ekonomi Indonesia, Tahun 2004-2009

Variabel 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Pertumbuhan PDB (%) 5.00 5.70 5.50 6.30 6.01 4.55 Inflasi (%) 6.40 17.11 6.60 6.59 11.06 2.78 Nilai Tukar Rata-rata (Rp/$) 8 940.00 9 713.00 9 167.00 9 140.00 9 757.00 10 356.00 SBI 1bulan (%) 7.43 12.75 9.75 8.00 8.25 7.29

Sumber: Bank Indonesia, 2009 dan Badan Pusat Statistik, 2010a.

Untuk tahun 2008, dinamika perekonomian global dan nasional diwarnai

dengan fenomena krisis finansial. Laporan Bank Indonesia (2009) menyebutkan

bahwa perekonomian Indonesia tahun 2008 secara umum mencatat perkembangan

yang cukup baik di tengah terjadinya gejolak eksternal. Pertumbuhan ekonomi

Indonesia secara keseluruhan tumbuh mencapai 6.01 persen atau sedikit lebih

rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 6.30 persen. Perlambatan

pada seluruh sektor mulai terjadi di triwulan IV-2008, terutama sektor-sektor

tradable seiring dengan anjloknya permintaan dunia. Pada triwulan IV-2008, krisis global yang semakin dalam telah memberi tekanan pada pasar tenaga kerja

di Indonesia. Tekanan krisis global telah mengakibatkan beberapa perusahaan

melakukan penyesuaian pada operasi kerjanya, efisiensi usaha, dan penutupan

beberapa pabrik. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan rencana Pemutusan

Hubungan Kerja (PHK) beberapa perusahaan. Penurunan ekspor produk industri

Indonesia ke AS dan negara-negara lain yang juga terkena dampak krisis telah

Lebih lanjut, Bank Indonesia (2009) menyebutkan bahwa dampak krisis

global juga tercermin pada perkembangan nilai tukar rupiah yang ditandai oleh

tekanan depresiasi yang tinggi dan volatilitas yang meningkat, terutama sejak

Oktober 2008. Rupiah tertekan hingga sempat mencapai Rp 12 150 per dolar AS

di November 2008 disertai melonjaknya volatilitas yang mencapai 4.67 persen.

Secara rata-rata, nilai tukar rupiah terdepresiasi sebesar 5.40 persen dari Rp 9 140

(tahun 2007) menjadi Rp 9 757 (tahun 2008). Sementara itu, melonjaknya harga

minyak dan komoditas pangan dunia berimbas pada tingginya inflasi IHK

Indonesia yang mencapai 11.06 persen pada tahun 2008. Kenaikan ini dipicu oleh

tingginya lonjakan harga minyak dunia yang memaksa Pemerintah untuk

menaikkan harga BBM bersubsidi sebesar 28.70 persen pada Mei 2008.

Dari jalur keuangan, krisis global menyebabkan Indonesia mengalami

“kekeringan likuiditas”. Hal ini terjadi karena meningkatnya risiko secara global

sehingga memicu pelepasan investasi portofolio asing di pasar keuangan

domestik. Hasil studi Oliveira dan Fortunato (2006) mengungkapkan bahwa

perusahaan yang relatif lebih kecil dan lebih muda akan lebih sulit menghadapi

kendala likuiditas dibandingkan dengan perusahaan yang relatif lebih mapan.

Berbagai perkembangan yang terjadi sepanjang tahun 2008 menyebabkan

pertumbuhan industri pengolahan mengalami perlambatan. Pertumbuhan industri

pengolahan menurun menjadi sebesar 3.70 persen, lebih rendah dibandingkan

tahun 2007 yang mencapai pertumbuhan sebesar 4.70 persen (Bank Indonesia,

2009).

Untuk tahun 2010 perkembangan perekonomian mampu mencapai

yang mencapai 4.60 persen. Namun demikian pada tahun 2010 perekonomian

juga ditandai dengan tekanan inflasi yang cukup tinggi yaitu mencapai 6.96

persen lebih tinggi dari yang ditargetkan (Bank Indonesia, 2011c). Peningkatan

inflasi ini distimulus peningkatan harga pangan dunia yang mendorong

peningkatan harga pangan di pasar domestik. Peningkatan harga pangan yang

terjadi terkait dengan peningkatan harga minyak dunia yang terjadi seiring dengan

berlanjutnya krisis politik di Timur Tengah. Di sisi lain, perekonomian Indonesia

di akhir tahun 2010 hingga awal 2011 juga ditandai dengan penguatan nilai tukar

rupiah. Bank Indonesia (2011c) mengungkapkan bahwa selama tahun 2010, nilai

tukar rupiah secara rata-rata menguat 3.80 persen dibanding dengan akhir tahun

2009 menjadi Rp 9 081 per dolar AS. Kinerja nilai tukar rupiah tersebut didukung

oleh terjaganya persepsi positif terhadap perekonomian Indonesia

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dipahami bahwa dinamika

perekonomian kerapkali menyebabkan perubahan yang signifikan pada berbagai

variabel ekonomi. Semakin sering dan semakin tinggi besaran perubahan yang

terjadi mencerminkan tingkat volatilitas suatu variabel yang semakin besar.

Secara umum volatilitas menunjukan besarnya fluktuasi (varians) dari data deret

waktu. Volatilitas yang terjadi pada berbagai variabel ekonomi tersebut akan

berpengaruh terhadap kondisi makroekonomi dan kinerja sektor-sektor

perekonomian, khususnya sektor industri. Bagaimana dampak volatilitas suatu

variabel ekonomi terhadap sektor industri dan kondisi makroekonomi Indonesia

menjadi pertanyaan utama yang akan dikaji dalam penelitian ini. Secara spesifik

1. Bagaimana tingkat volatilitas harga minyak dunia, harga ekspor industri, suku

bunga riil dan devaluasi riil?

2. Bagaimana perkembangan output, harga, ekspor, impor dan penyerapan

tenaga kerja pada sektor industri pengolahan sebagai dampak volatilitas harga

minyak dunia, harga ekspor industri, suku bunga riil dan devaluasi riil?

3. Bagaimana kinerja makroekonomi Indonesia sebagai dampak volatilitas harga

minyak dunia, harga ekspor industri, suku bunga riil dan devaluasi riil?

4. Bagaimana rekomendasi kebijakan dalam merespon volatilitas harga minyak

dunia, harga ekspor industri, suku bunga riil dan devaluasi riil guna

mendorong kinerja sektor industri pengolahan dan makroekonomi Indonesia?

Dokumen terkait