• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Kinerja Organisasi Gapoktan

Setiap organisasi akan berusaha untuk mencapai tujuannya yang disesuaikan dengan sumberdaya yang dimilikinya. Kinerja organisasi yang baik (good performance) adalah apabila semua bagian organisasi bekerja secara benar, efektif, dan efisien, untuk mencapai tujuan tersebut.

Pelaksanaan Program PUAP, selain melalui fasilitasi bantuan modal usaha atau modal kerja, juga menerapkan metode pendampingan dan pelatihan kepada pegurus dan anggota Gapoktan. Secara operasional, pelatihan dan pendampingan ini melibatkan Penyuluh Pertanian (PP) dan Penyelia Mitra Tani (PMT). Penyuluh petanian bertindak sebagai fasilitator agar Gapoktan mampu mengambil keputusan sendiri, dengan jalan membantu: (1) mengidentifikasi potensi wilayah, (2) mengidentifikasi dan menganalisa pasar, (3) mengidentifikasi potensi usaha, (4) mengidentifikasi dan memecahkan permasalahan, dan (5) pengambilan keputusan di tingkat Poktan dan Gapoktan (Kementerian Pertanian 2011). Sedangkan Penyelia Mitra Tani (PMT) lebih difokuskan untuk mendorong tumbuhnya lembaga ekonomi perdesaan dari unit simpan pinjam (USP) menjadi lembaga keuangan mikro agribisnis (LKM-A). PMT bersama Penyuluh Pertanian (PP) melakukan pertemuan dalam rangka pembinaan dengan Gapoktan. Selain itu PMT berkewajiban pula untuk melakukan pertemuan regular dengan PP untuk membantu memecahkan masalah di tingkat Gapoktan dan memantau usaha agribisnis Gapoktan (Kementerian Pertanian 2012).

Kemampuan komunikasi yang sinergis dari PMT dan PP, melalui sarana pelatihan-pelatihan merupakan salah satu kunci keberhasilan Gapoktan beserta anggotanya, dalam proses diseminasi dan alih teknologi spesifik lokasi. Ke depan, tugas PMT dan PP lebih berorientasi untuk memfasilitasi Gapoktan dengan pemangku kepentingan seperti: (1) mendorong kerjasama kemitraan antara unit lembaga keuangan mikro Gapoktan dengan bank atau lembaga keuangan, (2) mendorong kerjasama kemitraan antara Gapoktan dengan mitra usaha, (3) menyiapkan Penyelia Swadaya (PS) dan manajer LKM-A, dan (4) membantu Gapoktan untuk mendapatkan fasilitasi dasar hukun (legalitas) dengan menggunakan Undang-Undang Koperasi.

Upaya peningkatan kinerja organisasi Gapoktan pelaksana PUAP yang dilakukan saat ini, melalui pertemuan kelompok. Berdasarkan AD/ART Gapoktan PUAP, kegiatan pertemuan kelompok direncanakan setiap bulan atau triwulan dengan tujuan pertemuan untuk mendapatkan pengembalian/pemberian pinjaman, pemupukan modal dari anggota, pelatihan pengelolaan keuangan, pembentukan LKM-A dan usaha ekonomi produktif dengan fasilitator PMT dan PP. Disamping

27 itu, mendapatkan tambahan pelatihan dan pendampingan PTT Padi dari BPTP, Dinas Pertanian (POPT dan PBT) dan PP.

Materi pertemuan kelompok sesuai dengan Petunjuk Teknis (Juknis) antara lain: (1) teknik pengolahan tanah yang disesuaikan dengan tipologi lahan dan komoditi yang akan ditanam, (2) penanaman dengan memilih benih atau bibit yang baik, jarak tanam yang tepat, jumlah bibit per lubang yang sesuai, (3) pemupukan dengan memperhatikan daya dukung tanah, keadaan tanaman, tepat jenis dan dosis yang spesifik lokasi, tepat waktu pemberian didasarkan pada fase pertumbuhan dan sifat pupuk, (4) pengelolaan air didasarkan pada kebutuhan tanaman akan air, cara dan waktu yang tepat, ketersediaan sumber air dan jumlah air, (5) pengendalianan OPT didasarkan pada prinsip PHT dengan melakukan tindakan pencegahan dan mengembangkan musuh alami serta aplikasi kimiawi secara bijaksana, dan (6) penanganan panen dan pasca panen dilakukan dengan cara yang tepat dan benar dengan mempertimbangkan kemasakan biji, ketepatan dalam penggunaan alat panen, pengemasan, pengangkutan dan penyimpanan sehingga mampu mengurangi senjang hasil (Ditjen Tanaman Pangan 2013).

Lebih lanjut Ditjen Tanaman Pangan (2013) memaparkan bahwa pengawalan dan Pendampingan SL-PTT dilakukan oleh peneliti BPTP didukung oleh peneliti UK/UPT Lingkup Badan Litbang Pertanian, guna meningkatkan pemahaman dan akselerasi adopsi PTT dengan menjadi narasumber pada pelatihan, penyebaran informasi, melakukan uji adaptasi varietas unggul baru, demplot, dan supervisi penerapan teknologi. Sementara pengawalan dan pendampingan oleh penyuluh adalah kegiatan yang dilakukan guna meningkatkan penerapan teknologi spesifik lokasi sesuai rekomendasi BPTP dan secara berkala hadir di lokasi khususnya lokasi LL dalam rangka pemberdayaan kelompok tani sekaligus memberikan bimbingan kepada kelompok dalam penerapan teknologi.

Pemberdayaan kelompok tani yang tergabung dalam Gapoktan, akan memiliki dampak positif, diantaranya: (1) petani yang sebelumnya menjual gabah menjadi petani yang menjual produknya dalam bentuk beras, (2) dengan menjual beras keuntungan petani akan meningkat jika dibandingkan dengan menjual dalam bentuk gabah, karena harga beras relatif lebih stabil dibanding harga gabah, (3) dengan adanya peningkatan pendapatan petani maka akan terjadi pula perbaikan dalam pengelolaan tanaman padinya, terutama dalam hal mutu bibit dan dosisi pupuk yang lebih baik, sehingga gairah berproduksi padi akan lebih meningkat, (4) dengan meningkatnya gairah berproduksi dan dengan teknologi yang tepat guna maka produksi padi akan meningkat, (5) apabila ditiap kelompok tani memiliki penggilingan padi mini dan petani sudah minded menjual beras maka data produksi beras di tingkat kelompok tani akan mendekati realita, mudah didapat dan pada gilirannya data produksi beras nasional akan lebih valid, (6) hasil keuntungan dari jasa pengeringan gabah dan penggilingan padi menjadi beras merupakan sumber penguatan modal di tingkat kelompok tani (Poktan), (7) Poktan yang semakin kuat dan legal akan memudahkan mengakses pada sumber-sumber permodalan utamanya yang diperuntukkan program UKM, (8) dengan semakin bertambahnya modal usaha di tingkat Poktan tersbut akan menumbuhkan berbagai kegiatan ekonomi baru di perdesaan, dan (9) dengan tumbuh dan berkembangnya kegiatan ekonomi di perdesaan maka akan menambah lapangan kerja di perdesaan dan dapat mengurangi laju urbanisasi.

28

Pelaku agribisnis ini adalah organisasi kelompok tani padi yang pada umumnya berbentuk Gapoktan. Kegiatannya meliputi seluruh aspek pengelolaan usahatani padi, aspek permodalan, penyediaan saprodi, dan pemasaran hasil. Setelah unit usaha simpan pinjam yang dikelola Gapoktan berubah menjadi lembaga usaha agribisnis dalam wadah kegiatan LKM-A maka penggerak utama industri perberasan terletak pada LKM-A yang didukung dana dari perbankan atau sumber dana lain yang memiliki keberpihakan.

Untuk melihat peran PUAP terhadap kinerja organisasi Gapoktan dilakukan pengukuran terhadap atribut kinerja Gapoktan. Atribut yang digunakan untuk mengukur kinerja Gapoktan dalam penelitian ini, yakni mengintegrasikan atribut kinerja dari Syahyuti (2012), Yustika (2013) dan Kementerian Pertanian (2010b). Dimana atribut kinerja Gapoktan terdiri atas: (1) aspek efektivitas organisasi, (2) aspek efisiensi organisasi, (3) aspek kesesuaian (appropriateness), dan (4) aspek pencapaian (outcome) kemandirian keuangan organisasi. Lingkup Ke empat atribut tersebut didalamnya meninjau aspek organisasi, aspek manajemen keuangan, dan aspek kinerja pengelolaan usaha simpan pinjam/LKM-A.

Konsep Pendapatan Usahatani

Pendapatan usahatani adalah pendapatan yang berasal dari kegiatan usahatani setiap tahun (Makeham dan Malcolm 1991). Pendapatan usahatani adalah keuntungan yang diperoleh petani dengan mengurangkan biaya yang dikeluarkan selama proses produksi dengan penerimaan usahatani. Tujuan utama dari analisis pendapatan adalah menggambarkan keadaan sekarang suatu kegiatan usaha dan menggambarkan keadaan yang akan datang dari perencanaan atau tindakan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan usahatani adalah luas usahatani, efisiensi kerja, dan efisiensi produksi. Luas usahatani yang sempit dapat mengakibatkan produksi per satuan luas yang tinggi tidak dapat tercapai. Sementara efisiensi kerja dan efisiensi produksi yang tinggi menyebabkan pendapatan petani semakin tinggi.

Menurut (Soekartawi et al. 1986), penerimaan usahatani adalah suatu nilai produk total dalam jangka waktu tertentu, baik untuk dijual maupun untuk dikonsumsi sendiri. Penerimaan ini mencakup semua produk yang dijual, konsumsi rumah tangga petani, untuk pembayaran dan yang disimpan. Pengeluaran atau biaya usahatani merupakan nilai penggunaan sarana produksi dan lain-lain yang dibebankan pada produk yang bersangkutan. Selain biaya tunai yang harus dikeluarkan ada pula biaya yang diperhitungkan, yaitu nilai pemakaian barang dan jasa yang dihasilkan dari usaha itu sendiri.

Biaya yang diperhitungkan digunakan untuk menghitung berapa sebenarnya pendapatan kerja petani kalau modal dan nilai kerja keluarga diperhitungkan. Menurut Hernanto dalam Ferdiansyah (2004) biaya produksi dalam usahatani dapat dibedakan berdasarkan:

1. Berdasarkan jumlah output yang dihasilkan terdiri dari :

a. Biaya tetap adalah biaya yang besar kecilnya tidak tergantung pada besar kecilnya produksi, misalnya: pajak tanah, sewa tanah, penyusutan alat-alat bangunan pertanian, dan bunga pinjaman.

29 b. Biaya variabel adalah biaya yang berhubungan langsung dengan jumlah produksi, misalnya : pengeluaran untuk benih, pupuk, obat-obatan, dan biaya tenaga kerja.

2. Berdasarkan yang langsung dikeluarkan dan diperhitungkan terdiri atas: a. Biaya tunai adalah biaya tetap dan biaya variabel yang dibayar tunai.

Biaya tetap misalnya: pajak tanah dan bunga pinjaman, sedangkan biaya variabel misalnya pengeluaran untuk benih, pupuk, obat-obatan, dan tenaga kerja luar keluarga. Biaya tunai ini berguna untuk melihat pengalokasian modal yang dimiliki oleh petani.

b. Biaya tidak tunai (diperhitungkan) adalah biaya penyusutan alat-alat pertanian, sewa lahan milik sendiri (biaya tetap), dan tenaga kerja dalam keluarga (biaya variabel). Biaya tidak tunai ini melihat bagaimana manajemen suatu usahatani.

Pendapatan usahatani yang diterima seorang petani dalam satu tahun berbeda dengan pendapatan yang diterima petani lainnya. Perbedaan pendapatan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor ini ada yang masih dapat diubah dalam batasan-batasan kemampuan petani dan ada faktor yang tidak bisa diubah yaitu iklim dan tanah.

Pendapatan yang besar tidak selalu menunjukkan efisiensi yang tinggi, karena ada kemungkinan pendapatan yang besar itu diperoleh dari investasi yang berlebihan. Oleh karena itu, analisis pendapatan usahatani selalu diikuti dengan pengukuran efisiensi. Ukuran efisiensi pendapatan dapat dihitung melalui perbandingan penerimaan dengan biaya yang dikeluarkan (R/C) yang menunjukkan berapa penerimaan yang diterima petani untuk setiap biaya yang dikeluarkan petani dalam proses produksi. Untuk melihat peran PUAP terhadap pendapatan usahatani padi, dilakukan dengan membandingkan tingkat keuntungan yang diperoleh antara usahatani padi pada petani PUAP dengan petani non PUAP.

Pengaruh Kinerja Gapoktan terhadap Pendapatan Usahatani Padi Kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi. Kinerja juga dapat dikatakan sebagai perilaku berkarya, penampilan, atau hasil karya. Karena itu kinerja merupakan bentuk yang multidimensional, sehingga cara mengukurnya sangat bervariasi tergantung dari banyak faktor.

Kelembagaan petani di perdesaan memiliki peran yang strategis dalam peningkatan pemberdayaan masyarakat desa dalam hal ini para petani. Kelembagaan merupakan himpunan norma-norma dan tindakan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok kehidupan bersosial masyarakat, dan membentuk piranti sosial untuk memenuhi kebutuhan manusia ketika bersosialisasi dalam masyarakat.

Kelembagaan didefinisikan sebagai aturan-aturan sosial, kesepakatan (conventions), dan elemen lain dari struktur kerangka kerja interaksi sosial (Bardhan 1989). Namun kelembagaan bisa pula dimaknai sebagai regulasi perilaku yang secara umum diterima oleh anggota-anggota kelompok sosial, untuk perilaku spesifik dalam situasi yang khusus, baik yang bisa diawasi sendiri maupun dimonitor oleh otoritas luar (external authority) (Rutherford 1994).

30

Manig (1991) mencatat bahwa kelembagaan merefleksikan sistem nilai dan norma dalam masyarakat, tetapi nilai dan norma itu bukanlah kelembagaan itu sendiri. North (1994) memaknai kelembagaan sebagai aturan-aturan yang membatasi perilaku menyimpang manusia (human devised) untuk membangun struktur interaksi politik, ekonomi, dan sosial. Dalam pengertian yang kurang lebih sama, Yeager (1999) secara ringkas menjelaskan kelembagaan sebagai aturan main (rules of the game) dalam masyarakat. Aturan main tersebut mencakup regulasi yang memapankan masyarakat untuk melakukan interaksi. Kelembagaan dapat mengurangi ketidakpastian yang inheren dalam interaksi manusia melalui penciptaan pola perilaku (Pejovich 1995).

Kelembagaan merupakan unsur terpenting dari pencapaian kemajuan ekonomi di suatu negara. Kondisi geografis yang baik, sumberdaya alam yang melimpah, teknologi yang memadai, dan penduduk yang bermutu sangat mungkin menjadi sumber pertumbuhan ekonomi. Namun semua itu tidak bisa menjadi pemicu kesejahteraan apabila tidak dipandu dengan sistem kelembagaan ekonomi yang baik. Inilah yang terjadi dibanyak negara berkembang, sehingga seluruh potensi ekonominya menjadi mubazir dan terjerembab dalam keterbelakangan atau kemiskinan yang terus menerus.

Menurut Ikhsan (2000), kelembagaan memiliki sumbangan yang penting dalam pembangunan ekonomi mengingat adanya kegagalan pasar sebagai akibat mahalnya informasi dan pelaku pasar tidak menggunakan semua informasi yang diperoleh atau tidak mampu diperoleh. Ketidaksempurnaan informasi dan keterbatasan kapasitas untuk mengolah informasi akan mempengaruhi biaya transaksi yang mendasari pembentukan kelembagaan. Biaya transaksi muncul akibat informasi mahal dan asimetris. Biaya yang muncul bukan hanya untuk menjamin terjadinya transaksi, melainkan juga biaya monitoring dan penegakan. Pelaku ekonomi yang menguasai informasi dapat dengan mudah meraih keuntungan karena kelembagaan merupakan modal sosial yang sebagaimana faktor produksi lain seperti modal, tenaga kerja, dan teknologi, serta human capital ikut menentukan tingkat output atau kesejahteraan dari suatu negara. Kasus dalam sektor finansial merupakan salah satu contoh tentang bagaimana pentingnya kelembagaan dalam pembangunan ekonomi. Masalah-masalah ketidaksempurnaan informasi ini muncul hampir di setiap kegiatan ekonomi selama terdapat potensi kegagalan mekanisme pasar yang diakibatkan oleh eksternalitas produksi, eksistensi barang publik, ketidaksempurnaan pasar, hidden action dan hidden type, dan unforeseen contingencies. Jadi, kelembagaan hadir bukan untuk meniadakan (mekanisme) pasar, tetapi memastikan pasar berjalan dengan rambu-rambu yang jelas sehingga seluruh pelaku ekonomi memeroleh akses yang sama dan kepastian dalam berusaha.

Lebih eksplisit, Acemoglu dan Robinson (2012) menyebutkan bahwa kelembagaan merupakan sumber penting yang menentukan suatu negara/bangsa gagal atau maju perekonomiannya. Negara yang kelembagaannya mapan atau inklusif (inclusive economic institutions) cenderung kinerja ekonominya bagus. Negara ini ditandai antara lain oleh adanya kelembagaan hak kepemilikan privat yang aman, sistem hukum yang tidak bias, dan penyediaan layanan publik yang luas.

Kelembagaan yang memiliki kinerja yang baik (good perfomance) dicirikan oleh tiga hal berikut (Acemoglu 2003): Pertama, pemaksaan terhadap hak

31 kepemilikan (enforcement of property right). Adanya hak kepemilikan di dalam masyarakat akan memberikan insentif bagi individu untuk melakukan kegiatan ekonomi, misalnya investasi. Kedua, membatasi tindakan-tindakan para politisi, elite, dan kelompok-kelompok berpengaruh lainnya yang berupaya memeroleh keuntungan ekonomi tanpa prosedur yang benar, seperti perilaku mencari rente (rent-seeking behavior). Ketiga, memberi kesempatan yang sama (equal opportunity) bagi semua individu untuk mengerjakan aktivitas ekonomi/investasi, khususnya dalam meningkatkan kapasitas individu (human capital) maupun berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi produktif.

Pengembangan kelembagaan yang baik dapat memberikan peranan yang lebih besar dan seimbang bagi semua unsur yang terlibat dalam setiap proses pengambilan keputusan. Menurut Peters (2000) terdapat dua jenis perubahan kelembagaan yaitu: (1) pengembangan internal (institutionalization) melalui empat faktor yaitu otonomi (dapat mengimplementasikan keputusanya sendiri), kemampuan beradaptasi dengan adanya perubahan dari lingkunganya, kompleksitas (kapasitas institusi dalam membangun struktur internal yang dapat memenuhi tujuan), dan koherensi (kapasitas institusi untuk dapat mengelola beban kerja dan mengembangkan prosedur kerja), dan (2) perubahan dalam nilai dan struktur, yang meliputi perubahan isi dan atau kandungan dari institusi dan apa yang dipercaya/dianut oleh institusi.

Secara praktikal, aturan main (kelembagaan) yang tersedia dalam kegiatan ekonomi akan menentukan seberapa efisien hasil ekonomi yang didapatkan, sekaligus menentukan seberapa besar distribusi ekonomi yang diperoleh oleh masing-masing partisipan. Pada kontek ini bisa dikatakan kelembagaan mempunyai pengaruh terhadap pencapaian ekonomi. Sementara itu, dalam jangka waktu tertentu, pencapaian ekonomi yang diperoleh partisipasinya akan menentukan pandangan terhadap aturan main yang digunakan saat ini. Bila dipandang kelembagaan sekarang tidak efisien, misalnya gagal mencapai pertumbuhan ekonomi maupun kedap dalam membagi kesejahteraan antarpelakunya, maka hasrat untuk mengubah kelembagaan (institusional change) dipastikan akan terjadi.

Chang (2011) juga memberikan penjelasan bahwa program pembangunan ekonomi bisa mengubah kelembagaan melalui beberapa pintu berikut. Pertama, peningkatan kesejahteraan akibat pertumbuhan ekonomi menciptakan permintaan terhadap kelembagaan yang lebih bermutu, misalnya permintaan kelembagaan politik yang lebih transparan dan akuntabel. Kedua, kesejahteraan yang lebih baik juga memicu terwujudnya kelembagaan menjadi lebih terjangkau, dan Ketiga, pembangunan ekonomi menciptakan agen-agen perubahan baru (new agen of change).

Pernyataan Chang (2011), Acemoglu (2003), dan Ikhsan (2000) yang sudah diuraikan sebelumnya, jika dilihat benang merahnya, senada layaknya pelaksanaan PUAP, yakni menghendaki adanya perubahan dalam kelembagaan petani di perdesaan, tercapainya efektivitas dan efisiensi kelembagaan, sehingga mampu meminimalisir biaya transaksi, dan pada akhirnya berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan antar pelaku utamanya (petani). Kelembagan petani yang ada saat ini berbentuk Gapoktan, didalamnya terdiri atas petani-petani yang terhimpun dalam poktan-poktan. Sama halnya dengan konsep kelembagaan yang sudah diuraikan sebelumnya, dimana dalam Gapoktan, adanya aturan main (rules

32

of the game), dengan demikian individu-individu petani diikat oleh masyarakat melalui norma-norma dan nilai-nilai, sehingga petani cenderung bertindak secara kolektif dibandingkan secara pribadi (Prasad 2003). Dalam konsep PUAP, Gapoktan ini berspesialisasi sebagai lembaga keuangan untuk menyediakan kredit kepada masyarakat tani “miskin” di perdesaan (rumah tangga petani perdesaan yang memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar) agar terjadi perubahan kehidupan ekonomi yang lebih baik.

Implementasinya, Gapoktan berperan sebagai lembaga keuangan informal, bukan hanya sekedar menyediakan uang (cash) untuk keperluan transaksi, tetapi kadang-kadang memberikan bantuan dalam bentuk barang (in-kind) seperti input produksi. Dengan karakter yang fleksibel, biasanya lembaga keuangan infromal ini memiliki daya tahan yang kuat untuk hidup di wilayah perdesaan. Lebih lajut, kehadiran Gapoktan di perdesaan mencoba menjawab keterbatasan aksesibilitas masyarakat tani utamanya terhadap sumber permodalan. Mengingat lembaga formal dan semi-formal memiliki ciri penting yang tertuang dalam bentuk sistem kontrak (contract system). Kontrak tersebut berisi tentang hak dan kewajiban dari masing-masing pihak, misalnya persyaratan agunan (collateral), model pembayaran (repayment), dan sanksi (punishment) apabila salah satu pihak ingkar terhadap kesepakatan. Sebaliknya lembaga keuangan informal bersifat sangat cair, hubungan antara kreditor dan debitor bersifat personal, dan nyaris tidak ada persyaratan administrasi yang dibutuhkan. Bahkan, mekanisme kredit sama sekali tidak menggunakan sistem kontrak, karena biasanya tidak ada persyaratan agunan maupun sanksi. Dengan karakteristik yang dimiliki Gapoktan sebagai lembaga keuangan informal, biasanya lebih mudah diterima oleh masyarakat perdesaan. Menurut Kasryno (1984), kelembagaan kredit informal sangat berkembang dalam masyarakat perdesaan akibat belum terjangkaunya pelayanan kredit dari lembaga keuangan formal (bank) bagi sebagian besar masyarakat tani di perdesaan, terutama petani kecil dan buruh tani yang selalu memerlukan kredit dengan pelayanan yang terjangkau oleh petani.

Sejalan dengan format penumbuhan Gapoktan menjadi kelembagaan tani di perdesaan sesuai Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor: 273/Kpts/OT.160/4/2007, maka Gapoktan penerima BLM PUAP harus menunjukkan bahwa lembaga ini mampu mengelola dan mengembangkan usahataninya menjadi lembaga ekonomi ataupun lembaga keuangan mikro agribisnis. Kemudian lembaga ini menjadi salah satu unit usaha dalam Gapoktan sehingga dapat mengelola dan melayani pembiayaan bagi petani anggota secara berkelanjutan.

Gapoktan diharapkan dapat berperan untuk fungsi-fungsi pemenuhan permodalan pertanian, pemenuhan sarana produksi, pemasaran produk pertanian dan termasuk menyediakan berbagai informasi yang dibutuhkan petani. Tujuan utama pembentukan dan pemberdayaan Gapoktan adalah untuk memperkuat kelembagaan petani yang ada, sehingga pembinaan pemerintah kepada petani akan terfokus dengan sasaran yang jelas (Kementerian Pertanian 2011).

Pengaruh Kredit terhadap Pendapatan Usahatani Padi

Modal merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting keberadaannya dalam usahatani padi. Keterbatasan modal masih menjadi

33 permasalahan yang sering dihadapi oleh rumahtangga petani, dan kebutuhan modal usahatani akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya harga input pertanian, seperti benih, pupuk, obat-obatan dan upah tenaga kerja. Sumber modal untuk usahatani padi terdiri atas modal sendiri dan modal dari luar (kredit).

Menurut Mosher (1987), kredit merupakan salah satu faktor pelancar pembangunan pertanian. untuk meningkatkan hasil produksi, petani membutuhkan modal yang besar supaya dapat menggunakan teknologi usahatani secara optimal. Namun, adopsi teknologi pada umumnya relatif mahal dan petani kecil tidak mampu untuk membiayai teknologi tersebut, akibatnya pemanfaatan teknologi pertanian sangat rendah. Oleh sebab itu dengan pemberian kredit perdesaan diharapkan akan mempercepat produksi pertanian dan produktivitas, dan pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan petani.

Tambahan modal yang berasal dari pinjaman/kredit akan dapat mengembangkan kegiatan petani dalam usahataninya. Terhadap program dana BLM PUAP, petani dapat memandangnya sebagai volume effect, yaitu pinjaman petani untuk memperbesar modal tetap (fixed cost). Hal ini berarti petani akan mampu mengadakan input produksi (benih, pupuk, pestisida, dan tenaga kerja) kearah yang lebih baik (sesuai rekomendasi). Sehingga akan menambah kemampuannya dalam melakukan aktivitas usahatani. Dengan demikian, kemungkinan kemampuan untuk meningkatkan produksi juga semakin lebih tinggi, begitu juga halnya dengan tingkat pendapatan yang diperoleh dalam usahatani padi.

Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian, dalam memberikan penawaran (supply) tambahan modal kepada petani, bermaksud untuk menghasilkan produksi usahatani yang dikelolanya lebih baik (meningkat). Dengan kata lain, mendorong usaha agribisnis kearah yang lebih produktif. Hal ini berdasarkan anggapan bahwa rendahnya produksi yang dicapai oleh petani selama ini, karena rendahnya tingkat pemilikan uang tunai (modal) oleh petani, yang digunakan untuk membeli input produksi. Selama penggunaan input itu masih berada pada tingkat produksi rata-rata yang meningkat, maka input itu masih dapat ditingkatkan sampai produk rata-rata mulai menurun dan produk marjinal lebih besar dari nol, yaitu di daerah pada tingkat usaha yang rasional.

Beberapa penelitian mengenai dampak kredit diantaranya adalah hasil penelitian Biswanger dan Khandker (1995) yang menunjukkan bahwa dampak pemberian kredit formal di perdesaan India mampu meningkatkan pendapatan dan produktivitas. Pitt dan Khandker (1998) menyimpulkan bahwa program kredit telah berdampak meningkatkan taraf hidup keluarga miskin di Bangladesh. Pemberian kredit berdampak positif pada tingkat individu maupun rumah tangga seperti partisipasi sekolah anak, kepemilikan asset, penyediaan tenaga kerja, penggunaan alat kontrasepsi dan fertilitas. Sedangkan hasil penelitian Khandker

Dokumen terkait