• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Program Bantuan Pembiayaan Usaha Agribisnis

Pembiayaan merupakan salah satu komponen strategis dalam revitalisasi pertanian. secara gasir besar, kebijakan pembiayaan pertanian mencakup dua hal, yaitu: (1) kebijakan pembiayaan pembangunan pertanian yang memprioritaskan

10

anggaran untuk sektor pertanian dan sektor pendukungnya, dan (2) kebijakan pertanian yang mudah di akses masyarakat (Departemen Pertanian 2005).

Konteks kebijakan pemerintah, pembiayaan pertanian diwujudnyatakan dengan ketersediaan anggaran pembangunan dan penyediaan sistem insentif untuk mendorong peningkatan produksi dan pendapatan petani. Seperti yang diungkapkan oleh Prasetyo dan Joko (2009), pembiayaan pertanian merupakan bagian dana nasional maupun internasional yang digunakan untuk membiayai kegiatan produksi dan investasi disektor pertanian. Alat utama kebijakan pertanian diwujudkan melalui anggaran belanja pemerintah (fiskal) di sektor pertanian. Seperti yang diketahui, tanpa adanya pembiayaan atau permodalan yang memadai pada aktivitas usaha agribisnis, tidak mungkin dapat melakukan pengembangan usaha dan memperoleh peningkatan laba (Mirza 2000; Moeler dan Thorsen 2000)

Pembiayaan pertanian, pada intinya pemerintah ikut serta dalam kegiatan perekonomian, sehingga tidak adanya ekternalitas yang merugikan banyak pihak. Mengingat pemerintah sebagai salah satu pelaku ekonomi (rumah tangga pemerintah), memiliki fungsi penting dalam perekonomian, yaitu berfungsi sebagai stabilisasi, alokasi, dan distribusi. Fungsi-fungsi pemerintah adalah sebagai berikut: (1) fungsi stabilisasi, yakni fungsi pemerintah dalam menciptakan kestabilan ekonomi, sosial politik, hukum, pertahanan, dan keamanan, (2) fungsi alokasi, yakni fungsi pemerintah sebagai penyedia barang dan jasa publik seperti pembangunan jalan raya, gedung sekolah, penyediaan fasilitas penerangan, dan telepon, dan (3) fungsi distribusi, yakni fungsi pemerintah dalam pemerataan atau disribusi pendapatan masyarakat.

Kebijakan pembiayaan pertanian yakni pemerintah melakukan intervensi pembiayaan non pasar (non market) dalam bentuk pembiayaan langsung. Pembiayaan langsung sering dikategorikan sebagai kredit program, dan erat kaitannya untuk pemecahan masalah dalam hal kekurangan modal usaha. Masalah kekurangan modal adalah salah satu ciri penting bagi setiap negara yang memulai proses pembangunan. Kekurangan modal tidak hanya menghambat kecepatan pembangunan ekonomi yang dapat dilaksanakan tetapi dapat menyebabkan kesulitan negara tersebut untuk melepaskan dari kemiskinan.

Berdasarkan pengalaman selama beberapa dekade, pemerintah telah melakukan intervensi di pasar kredit cenderung langsung, biasanya mengambil bentuk yang diarahkan pada alokasi pinjaman, subsidi bunga dan kepemilikan negara atas bank. Pada tahun 1970, misalnya, bank sentral di Indonesia diberikan hampir 200 jalur kredit, banyak yang ditujukan untuk kegiatan pertanian, dan sebagian besar yang disubsidi. Di Thailand selama tahun 1970 dan 1980 pemerintah mewajibkan semua bank untuk meningkatkan persentase pinjaman dari total portofolio pinjaman bank kepada petani. Selain di beberapa negara seperti Filipina, segmen utama dari sistem keuangan perdesaan melekat pada program produksi tanaman. Di negara-negara lain seperti Mesir dan Brazil upaya kredit bersubsidi sangat besar, hal ini dilakukan atas dasar untuk mengkompensasi petani akibat terjadinya distorsi lain dalam perekonomian, seperti mengkontrol harga makanan atau meningkatkan nilai suku bunga (Coffey 1998). Sehingga dapat disimpulkan, kebijakan dan peraturan tersebut (kredit program) dapat mempengaruhi keuntungan dan perkembangan sistem pertanian (Hardie et al. 2004; Goetz dan Zilberman 2007).

11 Pemerintah banyak melakukan program-program bantuan modal salah satunya yakni Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-Mandiri). Selain pemerintah, badan usaha juga membantu dalam masalah kekurangan modal seperti bank, koperasi, BUMN seperti PLN dan lain-lain1. Smith and Smith (2004) dan Xiaoping (2011) menyatakan modal usaha (individu dan lembaga yang membuat investasi modal usaha) menjadi pendorong pengembangan usaha.

Menurut Ashari (2009) secara umum program bantuan kredit atau modal untuk sektor pertanian berasal dari dua sumber, yaitu: (1) dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) seperti Bimas, KUT, Kredit Ketahanan Pangan (KKP), Skim Pelayanan Pembiayaan Pertanian (SP3), Bantuan Langsung Masyarakat (BLM), Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA); dan (2) Project bantuan asing baik yang berupa hubungan bilateral seperti second Kennedy Round (SKR) maupun kerjasama multilateral seperti Program Peningkatan Pendapatan Petani/nelayan Kecil (P4K).

Adapun tujuan dari pembiayaan agribisnis yaitu dalam rangka mengatasi keterbatasan akses petani terhadap permodalan, lemahnya kapasitas kelembagaan petani, dan terbatasnya infrastruktur pertanian, maka sebagai anggaran pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian dialokasikan dalam bentuk belanja bantuan sosial untuk pemberdayaan sosial, perlindungan sosial, penanggulangan kemiskinan dan penanganan bencana di bidang pertanian.

Terkait dengan penanggulangan kemiskinan dan penanggulangan bencana, Kementerian Pertanian menyalurkan belanja bantuan sosial dalam bentuk barang kepada kelompok tani, sedangkan untuk pemberdayaan sosial dan perlindungan sosial disalurkan belanja bantuan sosial melalui transfer uang dan/atau transfer barang kepada kelompok tani, agar mampu secara mandiri dan bersama-sama meningkatkan produktivitas, nilai tambah, dan daya saing produk pertanian yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan petani.

Pembiayaan pertanian berupa kredit, memiliki peran yang strategis dalam pembangunan pertanian dan perdesaan. Hal ini telah mendorong pemerintah untuk menjadikannya sebagai instrumen kebijakan penting (Ashari 2009). Dalam tataran konseptual, menurut Tampubolon (2002) kredit dianggap mampu memutuskan “lingkaran setan” kemiskinan di perdesaan. Kredit dapat memfasilitasi transfer daya beli sementara dari satu individu atau organisasi kepada individu atau organisasi yang lain. Hal senada juga dipaparkan Jehangir et al. (2002). Menurutnya, kredit adalah penting untuk penggunaan modal kerja, modal tetap dan konsumsi yang baik. Kredit adalah elemen kunci dalam modernisasi pertanian. Tidak hanya itu menghilangkan hambatan finansial tetapi juga mempercepat laju adopsi teknologi baru.

Penggunaan modal dan adopsi teknik-teknik modern untuk produksi, yang telah menjadi sumber utama pertumbuhan output pertanian, memerlukan akses ke pasar kredit untuk pembiayaan pertanian. Sehingga dengan pasokan kredit yang optimal diharapkan dapat meningkatkan kemampuan petani dalam membeli

1 http://27acintya08dhika95.wordpress.com/kebijakan-pemerintah-dalam-bidang-ekonomi/ Unduh tgl: 25-10-2013, jam 08:36

12

saprodi, yang selanjutnya berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas usahatani. Mengingat urgensi kredit ini, maka dalam proses perencanaan program pembangunan pertanian, aspek permodalan merupakan salah satu faktor penting yang selalu mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Oleh karena itu pemberian kredit program biasanya sejalan atau dijadikan sebagai unsur pelancar bagi program pembangunan pertanian lainnya.

Pelaksanaan Program Bantuan Pembiayaan Usaha Agribisnis

Pembiayaan pertanian yang bersumber dari kredit program tidak bisa dilepaskan dari sejarah pembangunan pertanian. Pengalaman menunjukkan peranan kredit pertanian sangat penting dalam pembangunan sektor pertanian. Kredit merupakan salah satu faktor pendukung utama pengembangan adopsi teknologi usahatani. Kredit pertanian bukan sekedar faktor pelancar pembangunan pertanian akan tetapi berfungsi pula sebagai satu titik kritis pembangunan pertanian (critical point of development) (Syukur et al. 1998).

Lebih lanjut Syukur et al. (1999) mengungkapkan peran kredit sebagai pelancar pembangunan pertanian antara lain: (1) membantu petani kecil dalam mengatasi keterbatasan modal dengan bunga relatif ringan, (2) mengurangi ketergantungan petani pada pedagang pelantara dan pelepas uang, sehingga bisa berperan dalam memperbaiki struktur dan pola pemasaran hasil pertanian, (3) mekanisme transfer pendapatan untuk mendorong pemerataan, dan (4) insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi pertanian. Sementara sebagai simpul kritis pembangunan, kredit berfungsi efektif untuk menunjang perluasan dan penyebaran adopsi teknologi.

Menurut Soentoro et al. (1992) perkembangan kredit program pemerintah untuk sektor pertanian tidak dapat dipisahkan dengan program intensifikasi pertanian dan program peningkatan ekonomi perdesaan. Agenda dari program tersebut adalah untuk mencapai swasembada beras nasional. Dari upaya tersebut lahirlah Program Bimas yang keberhasilannya sangat ditunjang oleh keberadaan program kredit pertanian. Pendampingan pendanaan yang lebih populer dengan Kredit Bimas, dimaksudkan untuk mempercepat adopsi teknologi budidaya padi, yaitu dengan memberi bantuan pendanaan untuk pengadaan bibit unggul, pupuk, pestisida, dan biaya hidup (cost of living) yang bertujuan meningkatkan produktivitas usahatani padi.

Melihat sejarahnya, menurut Ashari (2009); Andin et al. (1992); Supadi dan Sumedi (2004); Sagala (2010) bahwa perkembangan pembiayaan pertanian pertama kali dengan nama Bimbingan Masal (BIMAS). Bimas merupakan program yang berorientasi pada pembangunan pertanian secara umum dan swasembada beras. Program ini merupakan bimbingan yang berhubungan dengan aplikasi ilmu dan teknologi dalam rangka mencapai hasil yang optimal. Tujuan dibentuknya program tersebut adalah untuk meningkatkan produksi, penggunaan teknologi baru dalam usahatani dan peningkatan produksi pangan secara nasional.

Lebih lanjut Ashari (2009); Supadi dan Sumedi (2004); Sagala (2010) memaparkan Kredit Bimas yang dikelola oleh BRI mulai diimplementasikan tahun 1967/1970. Keadaan ini memotivasi BRI untuk membangun BRI Unit Desa yang dimulai dengan empat unit Pilot Proyek di Yogyakarta. Dana kredit disediakan dari subsidi pemerintah (BI) pada tingkat bunga 3 persen per tahun,

13 sementara tingkat bunga BRI sebesar 12 persen. Total Kredit Bimas yang disalurkan sejak dari mulai program dilaksanakan (1967/70) sampai musim tanam (1984/85) mencapai Rp.636,7 milyar dengan total nasabah 28.847 petani. Selama periode 1970-1975 jumlah pinjaman yang dilunasi tepat waktu sebesar 80 persen, sementara sejak 1976 dan selanjutnya hanya 57% yang dibayar kembali. Faktor yang turut berkontribusi terhadap tingginya tunggakan karena adanya program “pengampunan hutang” yang membangun ekspektasi diantara petani nasabah bahwa suatu hari tidak harus dibayar. Memang dengan program Bimas skala nasional, pemerintah memiliki cerita sukses berupa swasembada produksi padi pada tahun 1984, walaupun tahun 1983 program Bimas diakhiri.

Pada tahun 1985, program Kredit Usaha Tani (KUT) diintroduksikan. KUT merupakan salah satu dari program lanjutan dengan dana kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Target utama program ini yaitu petani yang telah mengembalikan 100 persen pinjaman program Bimas, dengan tingkat bunga 3%. KUT disediakan untuk petani yang belum memiliki kemampuan menyediakan kebutuhan yang diperlukan untuk usahatani dari sumber pembiayaan sendiri, dengan tingkat bunga 12%. KUT disalurkan melalui kantor cabang BRI ke Koperasi Unit Desa (KUD), kemudian didistribusikan pada para petani anggota KUD. Sejalan dengan perkembangannya dari tahun ke tahun ternyata pola demikian banyak menemui kesulitan terutama dalam penyaluran kredit. Hal ini diakibatkan tunggakan pada musim sebelumnya sangat tinggi dan fakta menunjukkan bahwa banyak kredit yang tidak sampai pada petani miskin akibat sangat rendahnya tingkat pengembalian. Kredit melalui KUT sangat besar yang meningkat dari Rp. 300 miliar per tahun (sebelum krisis ekonomi mencapai Rp. 8 triliun pada musim tanam 1998/1999) (Supadi dan Sumedi 2004; Ashari 2009; Soentoro et al. 1992)

Menurut Supadi dan Sumedi (2004); Ashari (2009), bahwa sejak program KUT diaplikasikan, besarnya pembayaran kembali hanya sekitar 25 persen. Tingkat bunga yang ditetapkan berubah, yaitu sebesar 14 persen pada tahun 1985-1995. Setelah sepuluh tahun berjalan akhirnya pada tahun 1995 KUT mengalami perubahan dari pemerintah dengan mencanangkan skim kredit KUT pola khusus. Tingkat bunga diturunkan menjadi 10,5 persen pada tahun 1995-1998/1999. Lebih lanjut Supadi dan Sumedi (2004); Ashari (2009), menyatakan bahwa pada pola ini, kelompok tani langsung menerima dana dari Bank pelaksana bukan melalui KUD. Sepanjang perkembangan sistem baru tersebut, ternyata terjadi penunggakan yang besar dibeberapa daerah dikarenakan anjloknya harga gabah yang diterima petani, faktor bencana alam, dan penyimpangan yang terjadi dalam proses penyaluran serta pemanfaatan dana tersebut. Salah satunya adalah pengalihan dana KUT yang seharusya untuk usahatani kemudian dialihkan untuk keperluan konsumsi rumah tangga atau pembiayaan anak sekolah. KUT berakhir seiring dengan UU No.23/1999 yang melarang BI untuk menyalurkan KLBI. Total KUT yang telah disalurkan sampai tahun 1999 mencapai sebanyak Rp. 8 triliun. KUT menghadapi permasalahan berupa tingkat pengembalian yang hanya 25%.

Ashari (2009); Sagala (2010) menyebutkan program yang selanjutnya adalah penguatan modal dengan nama Kredit Ketahanan Pangan (KKP). Program KKP diperkenalkan pada bulan Oktober 2000 sebagai pengganti KUT dengan plafond Rp. 2,08 triliun untuk paket tanaman padi, palawija, perkebunan, tebu,

14

peternakan, perikanan dan perdagangan. Menurut Ashari (2009), aturan pada KKP kembali pada keikutsertaan bank yang berhadapan dengan peluang resiko (executing) menjadikan bank sangat berhati-hati dan menghindari individu-individu dan organisasi yang masih memiliki tunggakan KUT dan mempunyai riwayat buruk di masa lalu. Tingkat bunga masih disubsidi, dan dengan beberapa modifikasi kredit tersebut masih eksis.

Lebih lanjut Ashari (2009) memaparkan bahwa tingkat bunga yang ditetapkan dalam program KKP terbagi atas: 12% untuk tanaman pangan dan 16% untuk peternakan, perkebunan dan perikanan. KKP ditujukan untuk: (1) intensifikasi tanaman pangan (padi, jagung, kedelai, ubi kayu), dan (2) pengadaan pangan. KKP intinya untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional dan pendapatan petani yang sasarannya untuk fasilitasi modal usahatani. Target dari KKP adalah kelompok tani dan koperasi. Bank pelaksana adalah BUMN seperti BRI, Bank Agro, Bukopin, Bank Mandiri, dan Bank Pembangunan Daerah. Skim program ini pengaturannya adalah melalui Bank pelaksana yang disalurkan melalui koperasi dan atau kelompok tani yang selanjutnya disalurkan kepada anggotanya langsung.

Pada tahun 2006 sudah disalurkan sekitar Rp. 4,98 triliun. Maksimum pinjaman per petani (BRI) adalah Rp. 15 juta dengan maksimum kepemilikan lahan 2 ha dan periode pinjaman 12 bulan. Dalam perkembangannya KKP ini sejak tahun 2007 diubah nomenklaturnya menjadi KKP-Energi. Hingga tahun 2008 (posisi Juni), telah disalurkan sekitar Rp. 6,30 triliun. Dari total dana yang disalurkan tersebut penyerapan yang terbesar digunakan untuk pengembangan budidaya tebu, disusul untuk pengembangan peternakan serta pengembangan padi, jagung dan kedelai. Pengajuan untuk memperoleh dana tersebut dilakukan melalui Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK). Pengajuan ini dapat berbentuk proposal usaha yang selanjutnya dilakukan pemberian kredit.

Sementara itu, menurut Ashari (2009) hasil evaluasi yang pernah dilakukan Kementerian Pertanian dan Japan International Coorporation Agency/JICA (2006), Non Performing Loan (NPL) pada Juni 2006 adalah untuk tanaman pangan (6,07%), tebu (0,02%), peternakan (4,03%), perikanan (14,001%), dan pengadaan barang (3,01%). Kendala dalam KKP adalah adanya kehati-hatian ekstra dari bank yang masih trauma dengan kasus KUT sehingga pencairan dana relatif lambat, terbatasnya agunan yang dimiliki petani, dan terbatasnya avalis/guarantor kredit di pasar finansial.

Upaya untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam berusaha, Ashari (2009) menyebutkan pemerintah melalui Kementerian Pertanian tahun 2001 mengeluarkan kebijakan baru berupa program fasilitas Bantuan Langsung Tunai (BLM). Program ini diarahkan untuk kegiatan ekonomi produktif, bantuan sarana dan prasarana dasar yang mendukung kegiatan sosial ekonomi, bantuan pengembangan sumberdaya manusia untuk mendukung penguatan kelompok masyarakat dan unit pengelola keuangan dan bantuan sistem pelaporan untuk mendukung pelestarian hasil-hasil kegiatan sosial ekonomi produktif.

Pada tahun 2002, Kementerian Pertanian juga meluncurkan program yang disebut Proyek Pembangunan Agribisnis berbasis Komunitas (PPABK) melalui Bantuan Pinjaman Langsung Masyarakat (BPLM). BPLM merupakan design ulang dari BLM dalam konteks desentralisasi yaitu pengelolaan di tingkat kabupaten/kota dengan melibatkan penyuluhan pertanian dalam peningkatan

15 kapasitas petani dalam kredit, seleksi group dan monitoring (Supadi dan Sumedi, 2004).

Pada tahun 2003, dengan adanya Program Pemberdayaan Masyarakat Agribisnis melalui Penguatan Modal Kelompok, BPLM lebih difokuskan untuk lebih menitikberatkan pada penguatan modal dalam kelompok tani (Poktan), meneruskan pola perguliran modal dan memperkuat modal kelompok. Program ini untuk mempromosikan kepemilikan dari kelompok dengan menekan pada kontribusi anggota dalam memajukan bisnis, memperkuat monitoring dan menyarankan Dinas dan mitra pembangunan lainnya seperti universitas, NGO serta pihak swasta untuk terlibat (Supadi dan Sumedi 2004).

Periode selanjutnya adalah program Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Perdesaan (DPM-LUEP). DPM-LUEP merupakan dana talangan tanpa bunga dari APBN yang harus dikembalikan oleh penerima dana tersebut ke kas negara setiap akhir tahun. Tujuan penyelenggaraan kegiatan DPM-LUEP adalah: (1) melakukan pembelian dalam rangka menjaga stabilitas harga gabah/beras yang diterima petani minimal sesuai HPP, (2) mendekatkan petani dan atau kelompok tani terhadap pasar melalui kerjasama dengan LUEP, (3) menumbuhkembangkan dan menggerakkan kelembagaan usaha ekonomi di perdesaan, dan (4) memperkuat posisi daerah dalam ketahanan pangan wilayah. Program DPM-LUEP dilaksanakan di sebagian besar provinsi, terutama di provinsi sentra produksi padi. Jumlah provinsi yang mendapatkan DPM selalu meningkat setiap tahun yaitu dari 15 provinsi (2003) menjadi 27 provinsi (2007) (Ashari 2009).

Lebih lanjut Kementerian Pertanian meluncurkan Skim Pelayanan Pembiayaan Pertanian (SP3). SP3 merupakan skim program untuk meningkatkan akses petani pada fasilitas kredit/pembiayaan dari bank pelaksana melalui mekanisme bagi risiko (risk sharing) antara bank pelaksana dengan pemerintah. Diharapkan dengan SP3 ini dapat membantu kemudahan akses petani pada layanan perbankan melalui jasa penjaminan bagi petani/kelompok tani skala usaha mikro, kecil dan menengah yang tidak mempunyai agunan yang cukup. Pada SP3 ini lima bank pelaksana yang ikut berpartisipasi adalah Bank Mandiri, Bank Syariah, Bank Bukopin, Bank Jatim, dan Bank NTB. Total kredit yang disalurkan bank pelaksana hingga April 2008 tercatat Rp. 421 milyar lebih, dengan jumlah nasabah petani/peternak yang terlayani sebanyak 6.445 subsektor perkebunan mendominasi penyerapan SP3 dengan total dana Rp. 207 milyar dengan 3.818 nasabah. Dengan adanya program penjaminan kredit pemerintah dalam bentuk Kredit Usaha Rakyat (KUR), maka pada akhir tahun 2008, SP3 diintegrasikan dan dileburkan ke dalam KUR tersebut.

Pada tahun 2008, melalui adanya kepemimpinan baru di pemerintahan, maka pemerintah melalui Kementerian Pertanian mencanangkan program jangka menengah yang diberi nama Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP). PUAP merupakan program terobosan Kementerian Pertanian untuk penanggulangan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja di perdesaan, sekaligus mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah pusat dan daerah serta antar subsektor. PUAP merupakan bagian dari pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-Mandiri), yang dikoordinasikan oleh kantor Menko Kesejahteraan Rakyat (Ashari 2009; Sagala 2010; Hermawan dan Hendayana 2012; Kementerian Pertanian 2010a).

16

Program PUAP menyediakan fasilitasi dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM). Dana BLM ini sebagai tambahan modal usaha untuk mendukung gabungan kelompok tani (Gapoktan). Sasarannya adalah petani anggota, pemilik, penggarap, buruh tani maupun rumah tangga tani. Disamping itu, dengan fasilitasi modal melalui PUAP ini diharapkan mendukung terbentuknya Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A) (Kementerian Pertanian 2010a).

Keberadaan LKM-A menjadi salah satu solusi dalam mengelola keuangan dan pembiayaan sektor pertanian, utamanya untuk agribisnis berskala kecil di perdesaan (Hermawan dan Andrianyta 2012; Hendayana et al. 2009). Menurut Ashari (2009), lembaga ini yang nantinya berperan menyalurkan pinjaman modal usahatani akan dapat mengatasi keterbatasan modal, karena jasanya relatif kecil sehingga mengurangi ketergantungan petani kepada pelepas uang (rentenir). Lebih lanjut, Hermawan dan Andrianyta (2012) menyatakan tambahan modal usahatani secara normatif akan meningkatkan kemampuan petani menggunakan teknologi sehingga mendorong peningkatan produksi usahatani, yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan usahatani, bahkan lebih luas lagi terhadap kesejahteraan petani.

Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP)

Pengembangan Usaha Agribisnis Pertanian (PUAP) yang dimulai sejak tahun 2008, merupakan terobosan Kementerian Pertanian. Program ini bertujuan untuk: (1) mengurangi kemiskinan dan pengangguran melalui penumbuhan dan pengembangan kegiatan agribisnis di perdesaan sesuai dengan potensi wilayah, (2) meningkatkan kemampuan pelaku usaha agribisnis, pengurus Gapoktan, Penyuluh dan Penyelia Mitra Tani (PMT), (3) memberdayakan kelembagaan tani dan ekonomi perdesaan untuk pengembangan kegiatan usaha agribisnis, dan (4) meningkatkan fungsi kelembagaan ekonomi petani menjadi jejaring atau mitra lembaga keuangan dalam rangka akses permodalan (Kementerian Pertanian 2010a).

Adapun sasaran yang ingin dicapai dari pelaksanaan program PUAP, diantaranya: (1) berkembangnya usaha agribisnis di 10.000 desa miskin/tertinggal sesuai dengan potensi pertanian desa, (2) berkembangnya 10.000 Gapoktan/Poktan yang dimiliki dan dikelola oleh petani, (3) meningkatnya kesejahteraan rumah tangga tani miskin, petani/peternak (pemilik dan atau penggarap) skala kecil, buruh tani, dan (4) berkembangnya usaha pelaku agribisnis yang mempunyai usaha harian, mingguan, maupun musiman. Pada dasarnya program PUAP mengemban misi memberdayakan masyarakat perdesaan secara partisipatif dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petani.

Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, PUAP merupakan bagian dari pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-Mandiri), yang dikoordinasikan oleh kantor Menko Kesejahteraan Rakyat. PNPM Mandiri ini adalah program pemberdayaan masyarakat yng ditujukan untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesempatan kerja khususnya di wilayah perdesaan.

Kegiatan tahap pertama program PUAP adalah melaksanakan pendidikan dan pelatihan (Diklat) terpadu dari Kementerian Pertanian. Pada tahap ini terdiri dari tiga aspek yaitu diklat kepemimpinan, diklat kewirausahaan dan diklat

17 manajemen. Diklat kepemimpinan diberikan kepada ketua kelompok dan anggota gabungan kelompok tani (Gapoktan) dalam mengelola dan mengarahkan para petani yang menjadi anggota kelompok. Diklat kewirausahaan meliputi pengembangan keterampilan usaha pengolahan hasil tani agar menjadi produk yang bisa memberikan nilai tambah bagi petani tersebut. Selain itu diklat ini juga mengembangkan sikap kreatif dan inovatif yang bisa menumbuhkan ide-ide peluang usaha yang lain bagi petani. Selanjutnya, Diklat Manajemen diberikan kepada pengurus Gapoktan dalam menerapkan prinsip manajemen (planing, organising, actuating, dan controling) pada setiap operasional organisasi Gapoktan.

Adapun dana hibah yang digulirkan pada program PUAP ini merupakan sarana untuk menunjang program tersebut agar berjalan dengan baik. Dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) ditujukan untuk memberikan modal kepada kelompok tani. Arus sirkulasi perputaran uang diharapkan dapat berputar secara merata kepada setiap anggota kelompok tani. Dengan dana yang diberikan ini diharapkan Gapoktan atau Poktan memiliki Unit Usaha Otonom yang dikelola secara mandiri dan bertanggungjawab.

Untuk mengendalikan pelaksanan PUAP dan membina Gapoktan di setiap propinsi dan kabupaten dibentuk Tim Pembina Propinsi, Tim Teknis Kabupaten, Tim Teknis Kecamatan dan Komite Pengarah Desa. Di setiap desa lokasi PUAP ditempatkan pula Penyuluh Pendamping yang bertugas mendampingi Gapoktan dalam melaksanakan PUAP. Disamping itu di setiap kabupaten/kota lokasi PUAP ditempatkan pula Penyelia Mitra Tani (PMT) yang umumnya telah memiliki pengalaman dalam mengembangkan lembaga keuangan mikro. Penempatan PMT tersebut diharapkan dapat membantu Gapoktan dalam mengelola dana BLM-PUAP yang disalurkan sehingga dapat berkembang dan mengarah pada terbentuknya LKM-A. Dalam organisasi Tim Pembina Propinsi, BPTP

Dokumen terkait