• Tidak ada hasil yang ditemukan

F. Kerangka Teori dan Konsepsional

1. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis. Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis,

sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui.17

Teori berguna untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. Menurut Soerjono Soekanto, bahwa “kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi,

aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.18

Snelbecker mendefenisikan teori sebagai perangkat proposisi yang terintegrasi secara sintaksis (yaitu yang mengikuti aturan tertentu yang dapat dihubungkan secara logis satu dengan lainnya dengan tata dasar yang dapat diamati) dan berfungsi sebagai

wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati.19

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati, dan dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, maka kerangka teori diarahkan secara khas ilmu hukum. Maksudnya penelitian ini berusaha untuk memahami

17

M. Solly Lubis, ”Filsafat Ilmu dan Penelitian”, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 80. 18

Soerjono Soekanto, ”Pengantar Penelitian Hukun”, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 6. 19

Snelbecker dalam Lexy J Moleong, ”Metodologi Penelitian Kualitatif”, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), hal. 34-35.

mengenai Jaminan Fidusia dan Pendaftaran Jaminan Fidusia, dan mengenai permasalahan dari pendafataran itu sendiri.

Teori dalam penulisan tesis ini menggunakan teori sistem yang di dalamnya terdapat asas-asas hukum yang terpadu yang membentuk tertib hukum terhadap hukum jaminan. Asas-asas hukum itu terdapat dalam hukum benda dan hukum perjanjian. Salah satu asas hukum dalam hukum jaminan kebendaan adalah asas publisitas yang artinya bahwa semua hak yang dijadikan sebagai jaminan harus didaftarkan, yang maksudnya agar pihak ketiga dapat mengetahui bahwa benda yang dijadikan jaminan tersebut sedang dilakukan pembebanan jaminan. Sedangkan dalam hukum jaminan adalah asas konsensualisme, asas kebebasan berkontrak, kepastian hukum dan asas kekuatan mengikat. Asas hukum ini menjadi fundamen dan akar hukum jaminan.

Mengenai Pendaftaran Jaminan Fidusia dalam penulisan tesis ini juga

menggunakan kerangka teori sebagai pisau analitis yakni asas publisitas dan kepastian hukum. Radburch menyatakan tentang kepastian hukum guna mewujudkan Legal

order sebagai berikut:

“The existence of a legal orders is more important than it’s justice and

expediency, which constitute the second great task of the law, while the first, equally approved by all, is legal certainly, that is order or peace”.20

(eksistensi suatu legal order adalah lebih penting dari pada keadilan dan kelayakan itu sendiri, yang menetapkan tugas besar kedua dari hukum, sementara yang pertama sama-sama diakui oleh seluruhnya adalah kepastian hukum, yakni ketertiban dan ketentraman).

20

Lihat Radbruch, “Legal Philosophy” dalam Wilk Kurt, ”The legal Philosophies of lask”, (Radbruch and Dabin, USA: Harvard University Press, 1950), dikutip dalam Endang Purwaningsih, ”Perkembangan Hukum Intellectua Property Rights Kajian Hukum Terhadap Hak Atas Kekayaan

Selanjutnya Radbruch menyatakan bahwa:

“Legal certainty not only requires the validity of legal rules laid down by

power, it also makes demand on their contents, it demands that the law be capable of being administered with certainy, that it be practicable”.21

(kepastian hukum tidak hanya mensyaratkan keabsahan peraturan hukum yang dibuat melalui kekuasaan, melainkan juga menuntut pada seluruh isinya, dapat diadministrasikan dengan pasti sehingga dapat dilaksanakan)

Menurut Award, sistem diartikan sebagai hubungan yang berlangsung di antara satuan-satuan atau komponen secara teratur (an organized,functioning

relationship among units or components)22 selanjutnya menurut Mariam Darus suatu sistem adalah kumpulan asas-asas yang terpadu, yang merupakan landasan, di atas

mana dibangun tertib hukum.23

Sebagaimana perjanjian hutang lainnya, seperti perjanjian gadai, hipotik, hak tanggungan, maka perjanjian fidusia juga merupakan suatu perjanjian assesoir (perjanjian buntutan). Maksudnya adalah perjanjian assesoir itu tidak mungkin berdiri sendiri, tetapi mengikuti/membuntuti perjanjian lainnya yang merupakan perjanjian pokok. Dalam hal ini, yang merupakan perjanjian pokok adalah perjanjian hutang

piutang.24

Menurut Pasal 1313 KUHPerdata “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau lebih”.

21

Ibid, hal. 206. 22

Award,Elis M, dalam Ok. Saidin, ”Aspek Hukum Haki”, (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2004), hal. 19.

23

Mariam Darus Badrulzaman, ”Mencari Sistem Hukum Benda Nasional”, (Bandung: Alumni, 1983), hal. 15.

24

Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan

suatu hal.25

Dilihat dari pendekatan sistem, menurut Mariam Darus Badrulzaman kerangka dasar hukum perjanjian adalah merupakan sub-sistem dari hukum perdata dan menjadi

ampuh dan bulat didukung oleh sejumlah asas.26 Asas-asas yang terdapat dalam

hukum perjanjian adalah sebagai berikut:

1. Asas kebebasan mengadakan perjanjian, (Pasal 1320 dan 1338 KUHPerdata).

Asas kebebasan berkontrak ini dibatasi oleh Pasal 1337 KUHPerdata yang menyatakan bahwa ”suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang- undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.

2. Asas konsensualisme, (Pasal 1320 KUHPerdata). Asas ini berkaitan dengan

adanya keinginan atau kemauan para pihak untuk saling mengikatkan diri dalam perjanjian yang dibuat.

3. Asas kebiasaan (Pasal 1339 jo Pasal 1347 KUHPerdata). Suatu perjanjian tidak

hanya mengikat untuk hal-hal yang diatur secara tegas dalam perjanjian tersebut, akan tetapi juga hal-hal yang dalam keadaan dan kebiasaan diikuti.

4. Asas kepercayaan (Pasal 1338 jo Pasal 1334 KUHPerdata). Tanpa adanya

kepercayaan, maka perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak. Dengan kepercayaan ini kedua pihak mengikatkan dirinya kepada perjanjian yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.

25

R. Subekti, ”Hukum Perjanjian”, (Jakarta: Intermasa, 1976), hal. 1. 26

5. Asas kekuatan mengikat (Pasal 1338 jo Pasal 1339 KUHPerdata). Terikatnya para pihak dengan apa yang diperjanjikan dan juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kepatutan dan kebiasaan akan mengikat para pihak.

6. Asas persamaan hak (Pasal 1341 KUHPerdata). Asas ini menempatkan para

pihak kepada persamaan derajat, tidak ada perbedaan walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kepercayaan, kekuasaan, jabatan dan lain-lain.

7. Asas keseimbangan (Pasal 1338 jo Pasal 1244 KUHPerdata). Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur namun kreditur memikul beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.

8. Asas kepentingan umum, asas ini menghendaki kedua pihak untuk memperhatikan kepentingan umum yang berhubungan dengan perjanjian yang dibuat. Jadi unsur kepentingan umum harus benar-benar diutamakan oleh kedua pihak.

9. Asas moral, asas ini terlihat dalam perikatan wajar, seperti didalam “Zaakwaarneming”, yaitu seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan suka rela (moral), yang bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Asas ini terdapat dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Faktor-faktor yang memberi motivasi pada yang bersangkutan untuk melakukan perbuatan hukum adalah berdasarkan pada kesusilaan (moral) dan sebagai panggilan dari hati nuraninya.

10. Asas kepatutan (Pasal 1339 KUHPerdata). Asas kepatutan ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Asas kepatutan harus dipertahankan karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan

dalam masyrakat.27

Jaminan Fidusia adalah sub sistem hukum jaminan kebendaaan. Jaminan kebendaan tidak dapat terlepas dari hukum benda karena kaitannya sangat erat, terutama dalam jaminan kebendaan. Di dalam literatur jaminan selalu dikaitkan dengan hak kebendaan, karena di dalam KUHPerdata jaminan merupakan hak kebendaaan dan merupakan bagian dari hukum benda yang diatur dalam BUKU II KUHPerdata. Apabila melihat sistematika KUHPerdata, maka akan terlihat seolah- olah jaminan hanya merupakan jaminan kebendaan saja, karena pengaturan jaminan kebendaan tersebut terdapat dalam Buku II tentang benda, sedangkan perjanjian jaminan perorangan (Persoonlijke zekerheidsrechten,personal guaranty) seperti perjanjian penanggungan (Bortoght) di dalam KUHPerdata merupakan suatu jenis

perjanjian yang diatur dalam Buku III tentang perikatan.28

Dalam keanekaragaman bidang hukum yang mengatur mengenai hukum benda terdapat beberapa asas umum yang melandasinya. Asas umum dalam KUHPerdata

antara lain:29

27

Ibid, hal. 42-44. 28

Djuhendah Hasan, Op.cit, hal. 230. 29

1. Asas tertutup, dengan ini dimaksudkan bahwa tidak dapat dibuat hak kebendaan

baru selain yang telah disebut secara limitatif dalam undang-undang. Asas ini dimaksudkan agar ada kepastian hukum dalam hak kebendaan.

2. Asas absolute, bahwa hak kebendaan dapat dipertahankan terhadap siapapun,

setiap orang harus menghormati hak tersebut.

3. Asas dapat diserahkan, bahwa pemilikan benda mengandung wewenang untuk

menyerahkan bendanya.

4. Asas mengikuti (Droit de suite), bahwa hak kebendaan akan mengikuti bendanya

di tangan siapapun berada.

5. Asas publisitas, bahwa pendaftaran benda merupakan kepemilikan

6. Asas individual, bahwa objek hak kebendaan hanya terhadap benda yang dapat

ditentukan.

7. Asas totalitas, bahwa hak milik hanya dapat diletakkan terhadap benda secara

totalitas atau secara keseluruhan dan tidak dapat pada bagian-bagian benda. 8. Asas pelekatan (asesi), yaitu asas yang melekatkan benda pelengkap pada benda

pokoknya.

9. Asas besit merupakan title sempurna, asas ini berlaku bagi benda bergerak dan

terdapat dalam Pasal 1977 KUHPerdata. Asas ini hanya berlaku bagi benda bergerak tidak atas nama ataupun tidak terdaftar.

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, menyebutkan asas-asas umum itu sebagai

berikut:30

30

1. Asas pemaksa, berarti berlakunya ketentuan hukum benda merupakan hukum

pemaksa (Dwingend recht) jadi tidak dapat disampingi.

2. Asas dapat dipindahkan, kecuali hak pakai dan hak mendiami hak benda dapat

dipindahkan.

3. Asas individual, objek hak kebendaan selalu benda tertentu, artinya orang hanya

dapat menjadi milik dari barang berwujud yang merupakan kesatuan. 4. Asas totalitas, hak kebendaan selalu terletak pada keseluruhan objek.

5. Asas tidak dapat dipisahkan (Onsplitbaarheid), yang berhak tidak dapat

memindahtangankan sebagian wewenangnya termasuk hak kebendaan yang ada padanya.

6. Asas prioritas, semua hak kebendaan memberi wewenang yang sejenis dengan

wewenang-wewenang dari egeindom meskipun luasnya berbeda.

7. Asas percampuran, hak kebendaan yang terbatas hanya mungkin terhadap benda

milik orang lain, tidak dapat seseorang untuk kepentingannya memperoleh hak gadai atas barang miliknya sendiri.

8. Perlakuan atas benda bergerak dan benda tidak bergerak adalah berlainan.

Aturan mengenai pemindahan, pembebanan, bezit dan verjaring.

9. Asas publisitas, mengenai benda tidak bergerak pembebanan dan penyerahannya

harus dengan pendaftaran di dalam register umum.

10. Sifat perjanjian zakelijk, yaitu perjanjian untuk mengadakan benda hak kebendaan. Pengertian hukum jaminan sendiri tidak dapat ditemukan dalam peraturan yang ada namun untuk menemukan rumusan hukum jaminan harus menelaahnya dari arti dan fungsi jaminan itu sendiri. Oleh karena tidak dapat menemukan rumusan tentang

arti hukum jaminan di dalam literatur, maka hukum jaminan kiranya dirumuskan sebagai berikut:

“Perangkat hukum yang mengatur tentang jaminan dari pihak debitur atau dari pihak ketiga bagi kepastian pelunasan piutang kreditur atau pelaksanaan suatu

prestasi”.31

Dalam rumusan ini tercakup pengertian jaminan kebendaan dan jaminan perorangan (jaminan pihak ketiga). Satrio juga memberikan rumusan tentang hukum jaminan yaitu:

“Peraturan hukum yang mengatur tentang jaminan-jaminan piutang seorang

kreditur terhadap seorang debitur.”32

Jadi hukum jaminan mengatur tentang jaminan piutang seseorang. Mariam Darus juga mengemukakan pengertian jaminan adalah:

“Suatu tanggungan yang dibebankan oleh seorang debitur dan atau pihak ketiga

kepada kreditur untuk menjamin kewajibannya dalam suatu perikatan.”33

Lembaga jaminan ini diberikan untuk kepentingan kreditur guna menjamin dananya melalui suatu perikatan khusus yang bersifat assesoir dari perjanjian pokok (perjanjian kredit atau pembiayaan) oleh debitur dan kreditur.

Hukum jaminan dewasa ini masih bersifat dualistis, yaitu di samping masih berlaku ketentuan jaminan yang mengacu kepada KUHPerdata yang berlaku sebagai hukum positif, juga berlaku ketentuan hukum jaminan adat yang biasanya dijumpai di pedesaan. Politik Perbankan Indonesia mengacu pada ketentuan KUHPerdata dan tidak

31

Djuhaendah Hasan, Op.cit, hal. 231. 32

J Satrio, ”Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan”, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 3.

33

Mariam Darus Badrulzaman, “Beberapa Permasalahan Hukum Hak Jaminan”, Hukum Bisnis, volume 11. 2000.

pada hukum adat, karena ketentuan hukum adat kurang memadai dan tidak tegas.34 Dengan demikian dikenalnya lembaga perbankan dan pembiayaan, maka masyrakat adat semakin mengenal pula hukum jaminan yang mengacu kepada KUHPerdata.

Jaminan adalah sarana perlindungan bagi keamanan kreditur, yaitu kepastian akan pelunasan hutang debitur atau pelaksanaan suatu prestasi oleh debitur atau oleh

penjamin debitur.35 Jelas bahwa jaminan berfungsi untuk memberikan perlindungan

bagi kreditur yang meminjamkan uangnya, perlindungan yang dimaksud adalah adanya kepastian hukum dan rasa aman bagi kreditur bahwa uang yang dipinjamkannya akan dilunasi oleh debitur, apabila ternyata tidak dilunasi oleh debitur, maka kreditur dapat menjual barang jaminan tersebut sebagai upaya pelunasan hutang.

Undang-undang sebenarnya telah memberikan fungsi jaminan sebagai sarana perlindungan bagi kreditur. Perlindungan terdapat dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata sebagai berikut:

Pasal 1131:

“Segala kebendaan si berhutang baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak,baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.”

Pasal 1132:

“Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi menurut

34

Djuhaendah Hasan, Op.cit, hal. 231. 35

keseimbangan, yaitu menurut besar kecil piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.”

Ketentuan Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata merupakan jaminan secara umum, dikatakan demikian oleh karena di sini undang-undang memberikan perlindungan yang sama bagi semua kreditur dalam hak dan kedudukan yang sama. Di sini berlaku asas paritas creditorum, di mana pelunasan hutang kepada kreditur dilakukan secara proporsional sesuai dengan besar atau kecilnya piutang. Dikatakan jaminan secara umum juga oleh karena tidak ada perikatan secara khusus yang dibuat antara kreditur dan debitur untuk mengikat suatu benda sebagai jaminan. Tanggungan atas segala perikatan seseorang disebut jaminan secara umum sedangkan tanggungan

atas perikatan tertentu dari seseorang disebut sebagai jaminan secara khusus.36

Dalam Pasal 1 butir 1 UUJF telah disebutkan bahwa yang dimaksud dengan fidusia adalah “pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda”.

Sedangkan pengertian jaminan fidusia menurut UUJF Pasal 1 butir 2 adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan

36

Pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya.

Pada prinsipnya, sistem hukum jaminan terdiri dari jaminan kebendaan (Zakelijkezekerheids) dan jaminan perorangan (Persoonlijkezekerheids). Jaminan kebendaan termasuk jaminan fidusia mempunyai ciri-ciri kebendaan dalam arti memberikan hak mendahului di atas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat melekat serta mengikuti benda-benda yang bersangkutan. Karakter kebendaan pada Jaminan Fidusia dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat (2), Pasal 20, Pasal 27 UUJF. Dengan karakter kebendaan yang dimiliki Jaminan Fidusia, penerima fidusia merupakan kreditur yang preferen dan memiliki sifat zaaksgevolg. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa Jaminan Fidusia memiliki identitas sebagai lembaga jaminan yang

kuat dan akan digemari oleh para pemakainya.37

Jaminan Fidusia juga menganut asas droit de suite, yaitu jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada, kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi objek Jaminan Fidusia. Menurut teori fidusia, pemberi fidusia menyerahkan secara kepercayaan hak miliknya sebagai jaminan hutang kepada penerima fidusia. Penyerahan hak milik atas benda Jaminan Fidusia tidaklah sempurna sebagaimana pengalihan hak milik dalam perjanjian jual beli. Yang ditonjolkan dalam penyerahan yuridis sudah terjadi.

Sebagai hak kebendaan, Jaminan Fidusia mempunyai hak didahulukan terhadap kreditur lain (Droit de Preference) untuk mengambil pelunasan piutangnya

37

atas hasil eksekusi benda jaminan. Hak tersebut tidak hapus walaupun terjadi kepailitan pada debitur. Pemegang fidusia merupakan kreditur separatis sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 56 Undang-Undang Kepailitan. Pengakuan hak

separatis akan memberikan perlindungan hukum bagi kreditur pemegang fidusia.38

Ruang lingkup Jaminan Fidusia adalah jaminan terhadap benda apapun yang dapat dimiliki dan dialihkan kepemilikannya secara hukum baik bergerak maupun tidak bergerak, berwujud maupun tidak berwujud, terdaftar maupun tidak terdaftar

yang tidak termasuk dalam lingkup jaminan Hak Tanggungan atau Hipotik.39

Beberapa prinsip utama dalam Jaminan Fidusia yakni:

a. Pemegang fidusia berfungsi sebagai jaminan bukan sebagai pemilik sebenarnya;

b. Pemegang fidusia berhak untuk mengeksekusi barang jaminan jika ada

wanpestasi dari debitor;

c. Objek jaminan fidusia wajib dikembalikan kepada pemberi fidusia jika hutang

sudah dilunasi;

d. Jika hasil eksekusi barang fidusia melebihi jumlah hutang, maka sisanya harus

dikembalikan kepada pemberi fidusia.40

Pemberi fidusia dilakukan dengan Constitutum Possessorium yang artinya penyerahan kepemilikan benda tanpa menyerahkan fisik benda sama sekali.

Dengan demikian, dari apa yang telah disampaikan di atas, maka Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari perjanjian pokok yakni perjanjian piutang dan hal ini juga sebagaimana yang disebutkan di dalam Pasal 4 UUJF yaitu ”Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi”. Perjanjian yang dapat

38

Ibid, hal. 29. 39

Bernadette Waluyo, ”Jaminan Fidusia UU No.42/1999”, Pro Justitia, Th XVIII No.3, Juli 2000, hal. 87.

40

menimbulkan hutang-piutang dapat berupa perjanjian pinjam-meminjam maupun perjanjian lainnya.

Berkaitan dengan asas dari Jaminan Fidusia tersebut, bahwa objek Jaminan Fidusia mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya jika debitor cidera janji.

Obyek yang terdapat di dalam jaminan fidusia meliputi:

a. Benda dapat dimiliki dan dapat dialihkan;

b. Benda berwujud dan tidak berwujud;

c. Benda bergerak dan tidak bergerak (yang tidak dapat diikat dengan Hak

Tanggungan, Hipotik);

d. Benda yang sudah ada maupun benda yang akan ada;

e. Benda persediaan (inventory, stok barang dagangan).41

Berdasarkan Pasal 1131 KUHPerdata, maka semua benda milik debitur, bergerak atau tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Sebenarnya ketentuan ini sudah merupakan suatu jaminan terhadap pembayaran hutang-hutang debitur, tanpa diperjanjikan dan tanpa menunjuk benda khusus dari si debitor.

Akan tetapi, pihak kreditor umumnya tidak puas dengan jaminan umum berdasarkan Pasal 1131 KUHPerdata tersebut, dengan alasan sebagai berikut:

1. Benda tidak khusus.

Dalam hal ini di dalam Pasal 1131 KUHPerdata tidak menunjuk terhadap suatu barang khusus tertentu, tetapi menunjuk terhadap semua barang milik debitor 2. Benda tidak diblokir.

Jika dibuat jaminan hutang khusus, maka dapat ditentukan bahwa benda tersebut tidak dapat dialihkan kecuali dengan izin pihak kreditor.

41

3. Jaminan tidak mengikuti benda.

Apabila benda obyek jaminan hutang dialihkan kepada pihak lain oleh debitor, maka hak kreditor tetap melekat pada benda tersebut, terlepas di tangan siapa pun benda tersebut berada.

4. Tidak ada kedudukan preferens dari kreditor.

Berbeda dengan jaminan umum yang didasarkan atas Pasal 1131 KUHPerdata, maka terhadap pemegang jaminan hutang yang khusus (yang bersifat kebendaan), oleh hukum diberikan hak preferens. Artinya, kreditornya diberikan kedudukan yang lebih tinggi (didahulukan) pembayaran hutangnya yang diambil

dari hasil penjualan benda jaminan hutang.42

Untuk memberikan kepastian hukum Pasal 11 UUJF mewajibkan benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia yang terletak di Indonesia. Pendaftaran itu memiliki arti yuridis sebagai suatu rangkaian yang tidak terpisah dari proses terjadinya perjanjian jaminan fidusia. Selain itu, Pendaftaran Jaminan Fidusia merupakan perwujudan dari asas publisitas dan kepastian

hukum.43

Melalui sistem pendaftaran ini diatur ciri-ciri yang sempurna dari Jaminan Fidusia, sehingga memperoleh sifat sebagai hak kebendaan (right in rem) yang menyandang asas droit de suite, yang berdasarkan ketentuan pada Pasal 20 UUJF.

42

Munir Fuady, “Pengantar Hukum Bisnis”, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 138. 43

Hak kebendaan dari Jaminan Fidusia baru lahir sejak dilakukan pendaftaran pada Kantor Pendaftaran Fidusia dan sebagai buktinya adalah diterbitkannya Sertifikat Jaminan Fidusia.

Pendaftaran Jaminan Fidusia yang bisa didaftarkan adalah Jaminan Fidusia yang mana pembebanan benda yang dijadikan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaril. Pendaftaran Jaminan Fidusia yang mana Jaminan Fidusianya tidak dibuat dengan akta notaril akan mengakibatkan Jaminan Fidusia itu tidak dapat didaftarkan.

Secara teoritis fungsi akta adalah untuk kesempurnaan perbuatan hukum

(formalitas causa) dan sebagai alat bukti. (probationis causa).44

Dengan demikian, Akta Jaminan Fidusia yang dibuat di bawah tangan akan mengakibatkan Jaminan Fidusia itu tidak bisa didaftarkan karena Akta Jaminan Fidusia di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian lahir karena tanda tangan pada akta dibawah tangan masih dapat dipungkiri. Akta di bawah tangan juga

Dokumen terkait