• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerangka Teori dan Konsep 1.Kerangka Teori 1.Kerangka Teori

Kegiatan penelitian sejatinya dimulai dari pengetahuan yang sudah ada sebagai hasil kajian dan studi yang dilakukan para ahli di bidang ilmu masing-masing. Peneliti berikutnya memanfaatkan hasil temuan tersebut untuk kepentingan penelitiannya, dengan mempelajari, mendalami, menelaah dan mengidentifikasi pengetahuan tersebut untuk menjadi acuan atau referensi penelitiannya.72 Kajian pustaka merupakan aktivitas penelitian yang sangat berguna dalam menemukan teori-teori relevan dengan masalah penelitian yang telah dirumuskan. Kajian pustaka diperoleh melalui buku teks, monograf, jurnal, disertasi maupun hasil-hasil penelitian yang terdokumentasikan. Setelah masalah penelitian dirumuskan, langkah berikutnya yang dilakukan adalah mencari teori, konsep serta generalisasi-generalisasi hasil penelitian yang dapat dijadikan landasan teoritis untuk penelitian yang akan dilakukan.73 Penyusunan kerangka teori menjadi keharusan, agar masalah yang diteliti dapat dianalisis secara komprehensif dan objektif. Kerangka teori disusun untuk menjadi landasan berpikir yang menunjukkan sudut pandang pemecahan masalah yang telah disusun.74

Kegiatan penelitian senantiasa bersaling tindak dengan teori. Melalui penelitian, pengkaji dapat menguji teori dan mengembangkannya sesuai dengan

72

Sudjarwo dan Basrowi, Manajemen Penelitian Sosial, (Bandung: Mandar Maju, 2009), hlm. 58

73

Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 18. 74

Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 93

keluasan dan ruang lingkup ilmu yang dikaji. Teori akan mengarahkan kegiatan penelitian dalam upaya memperluas cakrawala pengetahuan teoritis.75 Teori bermanfaat untuk memberi dukungan analisis atas topik yang sedang dikaji,76 serta bermanfaat sebagai pisau analisis dalam pembahasan terhadap masalah penelitian, berupa fakta dan peristiwa hukum yang terjadi.77 Teori dengan demikian dapat digunakan untuk menjelaskan fakta dan peristiwa hukum yang terjadi sekaligus berfungsi sebagai wacana yang memperkaya dan mempertajam argumentasi dalam memahami masalah yang menjadi objek penelitian.78

Teori menduduki tempat yang penting dalam penelitian, karena teori memberikan sarana untuk merangkum dan memahami masalah yang dikaji secara lebih baik. Hal-hal yang semula terlihat tersebar dan berdiri sendiri dapat disatukan dan ditunjukkan kaitannya satu sama lain secara bermakna. Jadi, teori berfungsi memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan mensistematisasikan masalah yang dikaji.79

Tidak terkecuali hukum juga memiliki teori-teori hukum sebagai hasil pemikiran mendalam dari pemikir-pemikir hukum.80

75

Agus Salim, Bangunan Teori: Metodologi Penelitian Untuk Bidang Sosial, Psikologi, dan Pendidikan, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hlm. 84.

Para ahli hukum melalui karya-karyanya mengemukakan teori hukum sebagai aliran-aliran atau mazhab dalam ilmu

76

Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Op. Cit., hlm. 144. 77

Ibid., hlm. 146. 78

Secara umum teori mempunyai tiga fungsi, yaitu untuk menjelaskan (explanation), meramalkan (prediction), dan pengendalian (control) suatu gejala. Lihat Sudjarwo dan Basrowi, Op. Cit., hlm. 65.

79

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 253. 80

Bruggink mengatakan, bahwa teori hukum adalah keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan keputusan-keputusan hukum yang untuk suatu bagian penting sistem tersebut memperoleh bentuk dalam hukum positif. JJ.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2011), hlm. 4.

hukum, yang lahir dengan pendekatan masing-masing, seperti teori hukum alam, positivisme, utilitarianisme, teori hukum murni, dan sebagainya.81 Seluruh pemikiran sistematik teori hukum berkaitan dengan filsafat dan teori politik yang mendasarinya. Seringkali titik tolaknya adalah filsafat, dan ideologi politik berperan sebagai pelengkap. Teori hukum selalu berpedoman pada prinsip-prinsip yang dianut pemikirnya yang bermula dari ajaran-ajaran filsafat dan teori politik. Tugas teori hukum dalam formulasi Radbruch, adalah ”the clarification of legal values and postulates up to their ultimate philosophical foundations.82

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teori maslahah dan sistem hukum (legal system) yang terangkai dengan teori penyelesaian sengketa. Teori-teori di maksud dijadikan pisau analisis sekaligus wacana dalam menganalisis dan menjelaskan masalah yang akan diteliti. Selain itu, kajian didukung teori Economic Analysis of Law yang berkaitan dengan konsep efisiensi penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah.

.

Maslahah dengan bentuk jamak masalih berasal dari bahasa Arab yang kemudian diserap menjadi maslahat dalam bahasa Indonesia merupakan sinonim dari kata ’manfaat’ dan lawan dari kata ’kerusakan’ (mafsadah).83

81

Satjipto Rahardjo, Op. Cit., hlm. 253 dst. Perhatikan juga W. Friedmann, Legal Theory, (London: Stevens & Sons Limited, 1960). Mengenai kajian perkembangan pemikiran hukum Di Indonesia dapat diperhatikan kajian konprehensif yang dilakukan Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum: Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum Di Indonesia 1945-1990, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2004).

Hukum bekerja untuk

82

W. Friedmann, Op.Cit., hlm. 3-4. 83

Maslahat secara etimologi atau bahasa berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan, keselamatan, faedah, guna atau kegunaan, dan manfaat. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hlm. 634.

sesuatu yang terhubung dengan kemaslahatan (maslahah) manusia, baik dalam konteks kehidupan pribadi maupun kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.84

Hukum Islam (syariah) berorientasi pada kemanfaatan dengan menitikberatkan keserasian hukum untuk memajukan kemaslahatan. Pandangan ini bertolak dari premis dasar, bahwa hukum harus melayani kepentingan masyarakat.85 Imam Malik memberikan persyaratan untuk menggunakan maslahah, yaitu pertama, bersifat reasonable dan relevan dengan kasus hukum yang ditetapkan. Kedua, harus bertujuan memelihara sesuatu yang dharuri dan menghilangkan kesulitan, dengan cara menghilangkan mudarat. Ketiga, harus sesuai dengan maksud disyariatkan hukum Islam dan tidak bertentangan dengan dalil syara’ yang qath’i.86

Al-Haramain al-Juwayni berpandangan, maslahah merupakan indikator dalam penentuan keberadaan hukum. Maslahah pada hakikatnya tidak lain adalah maqasid

atau tujuan dari syariat dalam menetapkan hukum.

87

Pemikiran Juwayni tentang

maslahah ini kemudian diadopsi dan dikembangkan oleh muridnya Ghazali.88

84

Abu Yasid, Islam Moderat, (Jakarta: Erlangga, 2014), hlm. 99.

85

Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam Dan Pemikiran Orientalis: Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, (Yogya: Tiara Wacana, 1991), hlm. 129

86

H. Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Bagian Pertama, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 142. Juhaya S. Praja mengemukakan, istilah maslahah diperkenalkan Imam Malik, kemudian diperjelas oleh para juris berikutnya. Juhaya S. Praja, Teori Hukum Dan Aplikasinya, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011), hlm. 162. Sementara Nawir Yuslem dengan mengutip penelitian Rudi Paret mengemukakan, penggunaan maslahah sebagai terminologi hukum (technical legal term) pertama kali digunakan al-Haramain al-Juwayni, sebab pada masa Imam Malik dan juga pada masa Syafii terma itu belum eksis, sehingga konsep maslahah tentunya berkembang sesudah masa Syafii. Nawir Yuslem, Burhan fi Ushul Fiqh Kitab Induk Usul Fikih (Konsep Mashlahah Imam al-Haramain al-Juwayni dan Dinamika Hukum Islam), (Bandung: Citapustaka Media, 2007), hlm. 5. Lihat juga Abdul Mun’im Saleh, Hukum Manusia Sebagai Hukum Tuhan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 152.

87

Nawir Yuslem, Op. Cit., hlm. 213. Juwayni membagi maslahah dalam lima kategori, yaitu: 1. dharuriyah; 2. hajiyah; 3. tahsiniyah; 4. secara substansi pada dasarnya sama dengan ketegori ketiga, namun berbeda secara prosedur; 5. kemaslahatan yang tidak dapat dipahami maknanya secara terpisah antara unsur-unsur aktifitasnya, namun bila dirangkai secara integral baru kemaslahatannya terlihat.

88

Ghazali mengemukakan, tolok ukur yang menjadi dasar utama dalam menentukan maslahah adalah syariat, yang diarahkan untuk memelihara pencapaian tujuan disyariatkan hukum Islam, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.89 Setiap hukum yang mengandung pencapaian tujuan syariat Islam itu (maqasid al-syariah) disebut maslahah, dan sebaliknya yang meniadakan atau menolaknya disebut mafsadah. Menurut Ghazali, maslahah berarti mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan syariat.90 Para ahli hukum Islam modern kelihatanya telah sepakat terhadap konsep maslahah

sebagai tujuan hukum Islam.91

Betapa eratnya hubungan penerapan maslahah dengan pencapaian tujuan hukum Islam (syariah) dikemukakan Syatibi dengan mengatakan kewajiban-kewajiban dalam syariah adalah memperhatikan maqasid al-syariah. Jadi, maqasid

dan maslahah menjadi istilah yang bisa saling ditukar dalam kajian kewajiban syariah.92

89

Perhatikan Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam Al-Ghazali: Maslahah Mursalah & Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), hlm.28.

Dengan pendapatnya itu, Syatibi kemudian mengemukakan tiga karakter yang melekat pada maslahah, yaitu: Pertama, tujuan legislasi adalah untuk menegakkan masalih di dunia dan di akhirat; Kedua, syariah menghendaki masalih

harus mutlak; Ketiga, alasan bagi kedua pertimbangan itu adalah bahwa syariah yang

90

Abdul Azis Dahlan, (et.al.) Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 4, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), hlm. 1143. Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum Islam Dalam Madzhab Syafi’i, (Bandung: PT. Rosdakarya, 2001), hlm. 127.

91

Abdul Mun’im Saleh, Op. Cit., hlm. 154. 92

Muhammad Khalid Mas’ud, Filsafat Hukum Islam Dan Perubahan Sosial, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1995), hlm. 229.

telah dilembagakan harus abadi, universal, dan umum dalam hubungannya dengan segala macam kewajiban, subjek hukum, dan kondisi-kondisi.93

Esensi maslahah terletak pada terciptanya kebaikan dan kesenangan serta terhindar dari kerusakan dalam kehidupan manusia.

94

Maslahah dimaksud merupakan kemaslahatan yang menjadi tujuan syara’, bukan kemaslahatan berdasarkan keinginan hawa nafsu manusia semata.95 Dengan begitu, maslahah adalah sesuatu yang dipandang baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan menghindarkan kerusakan bagi manusia, sejalan dengan tujuan syarak dalam menetapkan hukum.96

Dari segi eksistensinya maslahat dapat dibagi atas tiga macam, yakni

maslahah muktabarah, maslahah mulghah, dan maslahah mursalah. 97 Muhammad Abu Zahrah.98 93 Ibid, hlm. 238.

.mengatakan, hukum syariah sesungguhnya mencakup pertimbangan

94

H.M. Hasballah Thaib, Tajdid, Reaktualisasi Dan Elastisitas Hukum Islam, (Medan: Program Pascasarjana USU, 2002), hlm. 27.

95

Ibid., hlm. 28. 96

H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 347. 97

H. Abdul Manan, Op. Cit., hlm. 265; H.M. Hasballah Thaib, Op. Cit., hlm. 29; H. Fathurrahman Djamil, Op. Cit., hlm. 141; Muhammad Muslehuddin, Loc. Cit. Maslahah muktabar adalah kemaslahatan yang diungkapkan atau terdapat petunjuk dalam nash secara tegas mengakui keberadaannya. Maslahat kedua, yaitu maslahah mulghah adalah yang bertentangan dengan ketentuan nash yang terdapat dalam Alquran dan Hadist. Sedang, maslahah mursalah adalah kemaslahatan yang secara tegas tidak ada petunjuk nash yang mengakuinya maupun menolaknya, dan juga tidak bertentangan dengannya. Maslahat ini sejalan dengan tujuan hukum Islam yang dapat dijadikan dasar dalam mewujudkan kebaikan manusia dan terhindar dari kemudaratan. Maslahah mursalah dapat digunakan sebagai dalil hukum syariat dengan memenuhi tiga syarat, yaitu: 1. Masalah yang didasarkan atas dalil itu harus termasuk masalah mu’amalah, bukan masalah ibadat; 2. Dasar kemaslahatan itu harus sesuai dengan dasar dan jiwa syariat; 3. Kemaslahatan itu harus terdiri dari soal-soal dalam kategori darurat, atau keharusan dan kepentingan mutlak, bukan soal yang bersifat komplementer, kesempurnaan dan kelengkapan. Kategori darurat atau keharusan mutlak adalah mencakup perbuatan-perbuatan agama, jiwa, akal, keturunan, dan hak milik. Sedang yang tergolong kategori kepentingan mutlak adalah perbuatan-perbuatan yang diperlukan untuk memenuhi hajat kebutuhan hidup. Sedang kategori yang bersifat komplementer, kesempurnaan, dan kelengkapan adalah perbuatan-perbuatan yang termasuk untuk keindahan, dan kebagusan, atau kepantasan. Lihat Sobhi Mahmassani, Op. Cit., hlm. 138

98

kemaslahatan manusia. Maslahat yang dapat diterima (muktabarah) adalah maslahat yang bersifat hakiki, meliputi lima jaminan dasar, yaitu keselamatan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda. Kelima jaminan dasar itu merupakan tiang penyangga kehidupan dunia agar umat manusia hidup aman dan sejahtera.99

Pemeliharaan dan perlindungan jiwa merupakan aspek paling mendasar bagi setiap manusia. Keselamatan jiwa terimplementasi dalam kesempatan mempergunakan hasil sumber alam untuk dikonsumsi manusia untuk menjaga kesinambungan kehidupan serta adanya hukum qishas untuk menghukum orang yang mendatangkan celaka terhadap kehidupan manusia. Pemeliharaan akal mengacu pada perolehan ilmu pengetahuan, sehingga memungkinkan manusia dapat membedakan yang baik dan buruk. Untuk itu, Allah melarang mengkonsumsi minuman keras, karena dapat merusak akal sehat manusia dalam berperilaku.

Perlindungan agama berkaitan dengan keimanan yang bisa memengaruhi kepribadian manusia terhadap sesama dan lingkungannya. Agama atau keimanan dapat menciptakan keseimbangan dalam membangun kedamaian serta meningkatkan solidaritas sosial, sehingga mendorong terwujudnya keharmonisan dalam kehidupan bersama. Perlindungan dan pemeliharaan terhadap agama harus dilakukan setiap pemeluk Islam, baik yang berkaitan dengan kehidupan transedental (hablun min Allah) maupun kehidupan bermuamalah sesama manusia (hablun min Annas).

Pemeliharaan dan perlindungan keturunan berkaitan dengan upaya memelihara dan melangsungkan kehidupan manusia di muka bumi. Cara yang digunakan untuk melanjutkan keturunan adalah melalui lembaga pernikahan dan

99

ajaran yang berkaitan dengan kehidupan berkeluarga dengan segala aspek yang berkaitan dengannya, serta larangan perzinaan. Akhirnya, perlindungan terhadap harta kekayaan mengacu pada kesucian kekayaan dengan penekanan pada pendapatan yang sah atau halal. Juga berkaitan dengan berbagai aktivitas transaksi di antara anggota masyarakat, dan untuk itu Islam telah menyediakan hukum yang komprehensif di bidang muamalah.

Umer Chapra mengatakan, maqasid ini akan membantu menyediakan kerangka kerja yang lebih bermakna bagi analisis ekonomi.100 Perlindungan dan pemeliharaan jiwa, akal, dan keturunan, berhubungan dengan manusia itu sendiri, dan kebahagiaannya merupakan tujuan utama syariat. Ketiga aspek ini meliputi kebutuhan intelektual dan psikologis, moral dan fisik manusia dewasa ini maupun masa mendatang. Begitu pula perlindungan terhadap agama (keimanan) dan harta benda, keduanya diperlukan bagi kebahagiaan manusia, tetapi iman atau agamalah yang membantu menyuntikkan disiplin dan makna dalam memperoleh penghidupan yang memungkinkan harta memenuhi tujuannya secara lebih efektif.101

Kekuatan maslahah terlihat dari segi tujuan syariat Islam dalam menetapkan hukum yang berkaitan dengan lima jaminan dasar yang menjadi hajat hidup manusia (maqasid al-syariah) yang diperlukan bagi kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Secara normatif, maslahah merujuk pada keadaan yang seharusnya ada, yaitu hanya mengedepankan sifat positif dalam kehidupan berupa kebaikan, kenyamanan, serta kedamaian, dengan menolak berbagai sisi

100

M. Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinajauan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 107.

101

negatif, yang menimbulkan kerusakan, bahaya, serta kerugian bagi kehidupan manusia. Aspek normatif maslahah itu harus dapat diwujudnyatakan dalam tataran empiris, sehingga keberadaannya dapat dirasakan dan dialami oleh masyarakat.102

Menurut tingkatannya, maslahah terbagi atas tiga tingkatan, yaitu: maslahah dharuriyah, maslahah hajiyah, dan maslahah tahsiniyah.

103

Perubahan dan perkembangan masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan harus sesuai syariah dengan memperhatikan aspek maslahat yang dikaitkan dengan tujuan syariat. Maksud syariat Islam tidak lain untuk mewujudkan kemaslahatan manusia, yaitu menarik manfaat, menolak kemudaratan dan menghilangkan kesusahan.104

Kemaslahatan dijelmakan ke dalam hukum untuk dapat mewujudkan kehidupan yang bahagia, dan damai sesuai dengan keberadaan Islam sebagai

rahmatan lil alamin. Meraih manfaat (maslahah) dan menghindari bahaya (mafsadah) merupakan tujuan dasar semua ketentuan syariah. Tujuan pokok hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan. Alquran dan Sunnah sangat memerhatikan kemaslahatan. Karena itu, peranan maslahat dalam menentukan hukum

102

Juhaya S. Praja, Op. Cit., hlm. 163. 103

H.M. Hasballah Thaib, Op. Cit., hlm. 28; H. Amir Syarifuddin,Op. Cit., hlm. 222 dan 348. Maslahah dharuriyah adalah kemaslahatan yang keberadaannya primer dalam kehidupan manusia, artinya kehidupan manusia tidak sempurna tanpanya. Terpenuhinya kelima jaminan dasar yang menjadi hajat hidup manusia yang menjadi tujuan syariat merupakan kemaslahatan dharuri. Selanjutnya, maslahah hajiyah merupakan kemaslahatan pada tingkat sekunder yang tidak berada dalam tingkatan dharuri. Walaupun tidak sampai merusak kehidupan manusia, namun keberadaannya diperlukan untuk memberi kemudahan dalam kehidupan. Maslahat ini berkaitan dengan keringanan-keringanan dalam hukum Islam, seperti kemudahan (rukhsah) dalam ibadah, seperti qashar sholat bagi yang berada dalam perjalanan, dan boleh berbuka puasa bagi orang yang sakit dan musafir. Akhirnya, maslahah tahsiniyah adalah kemaslahatan dalam tingkat tersier untuk melengkapi kebutuhan manusia. Keberadaannya dikehendaki untuk kemuliaan dan kebaikan pergaulan, seperti berpakaian rapi dan berwangi-wangian pada waktu ke mesjid atau beribadah.

104

Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, (Bandung: Al-Ma’arif, 1986), hlm. 106.

sangatlah menentukan,105 termasuk dalam menentukan hukum untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam kehidupan praktis masyarakat, dalam konteks ini yang dilakukan melalui forum arbitrase syariah. Maslahah memiliki posisi penting dalam menentukan prinsip-prinsip dasar arbitrase syariah yang dielaborasi dari Alquran dan Sunnah. Penggalian prinsip-prinsip dasar arbitrase syariah bermanfaat untuk menentukan bentuk aplikasi penyelesaian sengketa yang terjadi dalam kehidupan perbankan secara khusus dan masyarakat umumnya.106

Kemaslahatan senantiasa bersandar pada syariah, dan hanya dapat diaplikasikan dalam bidang muamalah yang berkaitan dengan hubungan sesama manusia yang lebih menerima rasionalitas dibandingkan dengan bidang ibadah yang bersifat transedental.107

105

H. Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 259. Juhaya S. Praja lebih memastikan, bahwa konsep kemaslahatan merupakan ’inti’ dalam menetapkan hukum Islam, dan membimbing masyarakat Islam agar menampakkan wajah Islam sebagai rahmatan lil’alamin. Perhatikan Juhaya S. Praja, Op. Cit., hlm. 161.

Prinsip dalam bagian ibadah adalah taabbudi dan hukum ibadah itu diketahui dengan dalil-dalil syariah. Bagian muamalah mempunyai makna yang bisa diterima oleh akal dan didasarkan atas kemaslahatan manusia. Maslahat yang menjadi dasar mengantisipasi setiap perubahan dalam kehidupan masyarakat yang dapat memengaruhi keberadaan hukum senantiasa harus serasi dengan tujuan hukum Islam.

106

Bandingkan Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Impelementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 7.

107

Perhatikan Sobhi Mahmassani, Filsafat Hukum Dalam Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1981), hlm. 137.; Amin Farih, Kemaslahatan & Pembaharuan Hukum Islam, (Semarang: Walisongo Press, 2008), hlm. 23.

Teori maslahah dalam hukum Islam dapat dibandingkan dengan utilitarianisme dalam filsafat hukum barat.108 Keduanya mempunyai titik singgung pada aspek makna untuk mencapai dan memberi kebahagiaan serta kebaikan yang terkait dengan tujuan hukum.109 Penalaran utilitarian menempatkan maksimalisasi kebahagiaan sebagai tujuan hukum. Hukum ditujukan untuk meningkatkan kebahagiaan masyarakat dengan cara melarang perbuatan-perbuatan yang mendatangkan sengsara.110 Tujuan akhir perundang-undangan adalah melayani kebahagian yang paling besar dari sejumlah terbesar masyarakat.111 Bentham mengatakan, kebaikan publik sejatinya menjadi tujuan legislator dengan manfaat umum sebagai landasan penalaranya.112

108

Abu Yasid, Op. Cit., hlm. 102.

Pesan paham utilitarian, menimbulkan beberapa gagasan bagi hukum, yaitu: (i) Hukum seharusnya diperkenankan hanya

109

Al-‘lzz (‘Izzuddin) ibn Abdi al-Salam sebagaimana dinukilkan Amir Syarifuddin memberi makna maslahah secara hakiki sebagai “kesenangan dan kenikmatan”, sedang dalam bentuk majazi (kiasan) adalah “sebab-sebab yang mendatangkan kesenangan dan kenikmatan.” Amir Syarifuddin, Op. Cit., hlm. 346. Teori maslahah dapat dibandingkan dengan aliran utilitarianisme yang meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan diartikan sebagai kabahagiaan (happiness). Lihat Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 117. Teori utilitarianisme diasosiasikan dengan filosof terkenal Jeremy Bentham dan John Stuart Mill. Keberadaan hukum bergantung kepada eksistensinya untuk membahagiakan masyarakat. baik buruk atau adil tidaknya hukum, terletak pada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada sebanyak mungkin manusia atau tidak. Maksim terkenal pemikiran utilitis diambil dari filosofi Bentham yaitu ‘the greatest happiness for the greatest number’ Lihat J. W. Harris, Legal Philosophies, (London: Butterworths, 1997), hlm. 40. Jeremy Bentham sebagai pengusung utilitarianisme mengatakan, terdapat kaitan yang erat antara kebaikan dan kejahatan dengan kesenangan dan kesusahan. Tugas hukum adalah memelihara kebaikan dan mencegah kejahatan, atau tegasnya hukum bertugas memelihara kegunaan atau kemanfaatan. Lihat W. Friedmann, Op. Cit., hlm 268; Dardji Darmodiharjo dan Shidarta, Op.Cit., hlm. 118. Sementara John Stuart Mill melihat keadilan sebagai bagian dari kemanfaatan itu sendiri, bukan prinsip terpisah yang muncul secara independen. Lihat Karen Lebacqz, Teori-Teori Keadilan, (Bandung: Nusa Media, 2011), hlm. 18. Bagi utilitarian keadilan menjadi basis berharga yang muncul dari kebutuhan dukungan masyarakat. Kemanfaatan yang diberi makna sebagai prinsip kebahagiaan terbesar menempatkan keadilan pada tempat penting yang bertugas untuk memberikan kebahagiaan bagi setiap individu. Keadilan senantiasa harus memberi kemanfaatan yang membahagiakan bagi sebanyak-banyak individu.

110

Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 122. 111

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 269. 112

Jeremy Bentham, Teori Perundang-Undangan: Prinsip-Prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana, (Bandung: Nuansa, 2006), hlm. 25.

jika memberi kontribusi lebih besar pada kebahagiaan manusia. (ii) Hukum seharusnya ditaati karena memang sebagai hukum, dan seharusnya tidak dipatuhi demi untuk menghindari bencana. (iii) Hukum seharusnya dicabut dan diganti bila gagal menjalankan fungsi utilitarian yang semestinya.113

Tidak seperti utilitarianisme yang berdasarkan rasio semata, barometer

maslahah berada pada aspek syariah yang mendasarinya, sehingga kebahagiaan dan kebaikan yang hendak dicapai tidak untuk kepentingan dunia saja melainkan juga kepentingan akhirat.

114

Sementara. kemaslahatan dalam maslahah bernilai ketuhanan, tidak demikian pada utilitarianisme yang tidak mengkaitkannya dengan aspek ketuhanan. Kebahagian dalam maslahah tidak saja kebahagian fisik jasmaniah, melainkan juga kebahagiaan spritual rohaniah.115

Muhammad Said Ramadan al-Buti juga membandingkan teori maslahah

dengan konsep ”kegunaan” dan ”kesenangan” dalam filsafat Bentham dan Mill. Dikemukakan oleh al-Buti, bahwa maslahah yang tidak memenuhi persyaratan dan karakter syariah adalah identik dengan konsep-konsep yang bersifat hedonistik semata.116

113

Jonathan Wolff, Pengantar Filsafat Politik, (Bandung: Nusa Media, 2013), hlm. 83.

Konsep maslahah yang memenuhi persyaratan dengan sendirinya berbeda dari kegunaan dan kesenangan, karena mempertimbangkan tiga karakter sebagai berikut: Pertama, ia tidak terbatas di dunia ini tetapi juga mencakup akhirat. Kedua,

114

Abu Yasid, Op. Cit., hlm. 106. Hal ini terlihat jelas dalam Q.S. Al-Qashash (28): 77 yang