• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola Penyelamatan Pembiayaan Bermasalah Pada Perbankan Syariah

SENGKETA PERBANKAN SYARIAH

D. Pola Penyelamatan Pembiayaan Bermasalah Pada Perbankan Syariah

Hubungan hukum antara perbankan syariah dengan nasabah dari sisi pembiayaan merupakan penyaluran dana yang diberikan bank syariah atau UUS kepada nasabah yang mewajibkan pihak penerima pembiayaan atau yang diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana pembiayaan tersebut setelah jangka waktu tertentu berikut bagi hasil atau imbalan ataupun tanpa imbalan.469 Sebelum menyalurkan dana pembiayaan, bank syariah dan UUS harus memiliki keyakinan atas kemauan dan kemampuan calon nasabah penerima fasilitas untuk melunasi semua kewajiban pada waktunya. Keyakinan dapat diperoleh melalui kewajiban bank syariah dan UUS dengan melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari calon nasabah penerima fasilitas.470 Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang disalurkan perbankan syariah mengandung risiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasannya, dan dapat berpengaruh terhadap kesehatan bank syariah atau UUS.471

Meski perbankan syariah tidak pernah menginginkan terjadinya permasalahan dari penyaluran pembiayaan yang diberikan kepada nasabah, namun tidak mustahil pembiayaan tetap bermasalah (Non Performing Financing - NPF)dengan mengalami

468

Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah ...Op. Cit., hlm. 34. 469

Pasal 1 butir 25 UUPS 2008; Pasal 1 butir 12 UUP 1992 jo. UUP 1998. 470

Pasal 23 ayat (1), (2) beserta Penjelasan UUPS 2008 471

kegagalan atau kemacetan dalam pelaksanaannya, sehingga perlu dilakukan upaya penanganan bagi penyelamatan dan penyelesaian pembiayaan. NPF dapat terjadi bila nasabah tidak membayar angsuran dana pembiayaan atau tidak dapat menghasilkan keuntungan yang diharapkan bagi perbankan syariah, sehingga perolehan bagi hasil yang telah disepakati tidak dapat dibayar oleh nasabah.472 Penyebab yang bisa menimbulkan pembiayaan menjadi bermasalah dapat terjadi karena kesalahan prosedur pada pemrosesan permohonan pembiayaan hingga disetujui oleh bank atau karena kesengajaan pihak yang harus memenuhi kewajiban atau karena keadaan yang tidak terhindarkan terjadinya suatu peristiwa.473

Penyelamatan pembiayaan merupakan upaya yang dilakukan perbankan syariah untuk membantu nasabah yang masih memiliki prospek usaha, namun mengalami kesulitan memenuhi kewajiban pokok, untuk dapat melakukan kegiatan usahanya kembali sehingga bisa menyelesaikan kewajibannya kepada perbankan.

474

472

Hendy Herijanto, Selamatkan Perbankan, (Jakarta: Expose, 2013), hlm. 6. Hendy Herijanto mengatakan, pengertian Non Performing Loan (NPL) bagi bank konvensional adalah setara dengan Non PerformingFinancing (NPF) bagi bank syariah. Dikatakan NPF bagi bank syariah, karena bank syariah tidak memberikan pinjaman dalam bentuk uang tunai, tetapi melakukan pembiayaan terhadap suatu transaksi dalam bentuk jual beli atau berbentuk partisipasi dalam usaha.

Fokus penyelamatan pembiayaan ada pada upaya tercapainya pembayaran kembali pembiayaan yang menjadi kewajiban nasabah penerima pembiayaan kepada perbankan syariah. Sementara, fokus penyelesaian pembiayaan terletak pada tindakan menarik kembali pembiayaan yang disalurkan kepada nasabah oleh perbankan syariah melalui upaya yanag dapat dilakukan secara paksa melalui proses penegakan

473

Bandingkan dengan Hendy Herijanto, ibid., hlm. 125. 474

A. Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syariah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012), hlm. 448. Faturrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah Di Bank Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 82

hukum. Upaya paksa dilakukan atas pembiayaan yang tidak memiliki prospek untuk mendapatkan pelunasan kembali atas pembiayaan yang disalurkan kepada nasabah, dengan tujuan mencegah risiko bank yang semakin besar.475

Pemahaman terhadap pembiayaan bermasalah (Non Performing Financing) pada perbankan syariah dapat ditelusuri pada PBI No. 8/21/PBI/2006 tentang Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, sebagaimana diubah dengan PBI No. 9/9/PBI/2007 dan PBI No. 10/24/PBI/2008. Kualitas pembiayaan dinilai berdasarkan, a) prospek usaha; b) kinerja (performance) nasabah; dan c) kemampuan membayar.

476

Melalui penilaian atas aspek-aspek tersebut, kualitas pembiayaan ditetapkan kedalam 5 (lima) golongan, yakni lancar, dalam perhatian khusus, kurang lancar, diragukan, dan macet.477 Kualitas pembiayaan lancar dan dalam perhatian khusus termasuk kategori normal, sedang kualitas pembiayaan pada golongan kurang lancar, diragukan, dan macet termasuk ke dalam pengertian NPF atau pembiayaan bermasalah.478

475

Bandingkan Veithzal Rivai, et.al., Commercial Bank Management: Manajemen Perbankan Dari Teori Ke Praktik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 241.

476

Masing-masing aspek yang dinilai diatur lebih lanjut komponen-komponennya. 1) Penilaian terhadap prospek usaha meliputi komponen-komponen: a. potensi pertumbuhan usaha; b. kondisi pasar dan posisi nasabah dalam persaingan; c. kualitas manajemen dan permasalahan tenaga kerja; d. Dukungan dari grup atau afiliasi; dan e. upaya yang dilakukan nasabah dalam rangka memelihara lingkungan hidup. 2) Penilaian terhadap kinerja nasabah meliputi komponen-komponen: a. perolehan laba; b. struktur permodalam; c. arus kas; dan d. Sensitivitas terhadap risiko pasar. 3) Penilaian terhadap kemampuan membayar meliputi komponen-komponen: a. ketepatan pembayaran pokok dan marjin/bagi hasil/fee; b. ketersediaan dan keakuratan informasi keuangan nasabah; c. kelengkapan dokumentasi pembiayaan; d. kepatuhan terhadap perjanjian pembiayaan; e. kesesuaian penggunaan dana; dan f. kewajaran sumber pembayaran kewajiban.

477

Pasal 9 PBI No. 8/21/PBI/2006 tentang Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, sebagaimana diubah dengan PBI No. 9/9/PBI/2007 dan PBI No. 10/24/PBI/2008. Dalam praktik perbankan, kualitas pembiayaan untuk kualitas lancar disebut golongan I, kualitas dalam perhatian khusus disebut golongan II, kualitas kurang lancar disebut golongan III, kualitas diragukan disebut golongan IV, dan untuk kualitas macet disebut golongan V.

478

Faturrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan....Op. Cit., hlm. 66. Merujuk pada Hendy Herijanto NPL/NPF adalah istilah yang dipakai dilingkungan perbankan yang menunjukkan

Pengaturan lebih lanjut sehubungan dengan terbitnya PBI No. 8/21/PBI/2006 yang kemudian diubah dengan PBI No. 9/9/PBI/2007 dan PBI No. 10/24/PBI/2008, dikeluarkan SEBI No. 8/22/DPbS tanggal 18 Oktober 2006 perihal Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana diubah dengan SEBI No. 10/36/DPbS tanggal 22 Oktober 2008. Dalam SEBI diadakan pembedaan penggolongan kualitas pembiayaan berdasarkan pengelompokan produk pembiayaan, yaitu: a) Penggolongan Kualitas Mudharabah

dan Musyarakah. b) Penggolongan Kualitas Murabahah, Istishna, Qardh dan Transaksi Multijasa. c) Penggolongan Kualitas Ijarah atau Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik. d) Penggolongan Kualitas Salam. Pada masing-masing golongan kualitas pembiayaan ditetapkan kriteria-kriteria penilaian dari aspek-aspek prospek usaha, kinerja (performance) nasabah, dan kemampuan membayar.479

Perbankan syariah berkewajiban menjaga kualitas pembiayaan untuk menghindari risiko kerugian. Untuk menjaga kelangsungan usaha nasabah penerima pembiayaan yang masih memiliki prospek atau kemampuan membayar, perbankan syariah dapat melakukan restrukturisasi pembiayaan. Restrukturisasi pembiayaan diatur dalam PBI No. 10/18/PBI/2008 tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, sebagaimana diubah dengan PBI No. 13/9/PBI/2011. Ketentuan pelaksanaan dari PBI yang mengatur mengenai

kredit/pembiayaan telah bermasalah karena terjadi tunggakan bunga/bagi hasil (kewajiban lain) dan/atau angsuran pokok lebih dari 90 hari. Di Indonesia, NPL/NPF berarti seluruh kredit/pembiayaan yang tergabung dalam tiga tingkat kolektibilitas, yaitu kurang lancar, diragukan, dan macet. Hendy Herijanto, Op. Cit., hlm. xxx.

479

Lampiran I SEBI No. 8/22/DPbS tanggal 18 Oktober 2006 perihal Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana diubah dengan SEBI No. 10/36/DPbS tanggal 22 Oktober 2008.

restrukturisasi pembiayaan diatur dalam SEBI No. 10/34/DPbS tanggal 22 Oktober 2008 perihal Restrukturisasi Pembiayaan bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah sebagaimana diubah dengan SEBI No. 13/18/DPbS tanggal 30 Mei 2011, dan SEBI No. 10/35/DPbS tanggal 22 Oktober 2008 perihal Restrukturisasi Pembiayaan bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.

Menurut ketentuan BI, bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai restrukturisasi pembiayaan. Kebijakan restrukturisasi wajib disetujui komisaris, dan komisaris sekaligus berkewajiban untuk melakukan pengawasan aktif terhadap pelaksanaan kebijakan restrukturisasi. Prosedur pelaksanaan wajib disetujui paling kurang oleh direksi. Kebijakan dan prosedur pelaksanaan restrukturisasi merupakan bagian tidak terpisahkan dari kebijakan manajemen risiko bank.480 Perbankan syariah hanya dapat melakukan restrukturisasi pembiayaan terhadap nasabah yang memenuhi kriteria: a) Nasabah telah atau diperkirakan mengalami penurunan atau kesulitan kemampuan dalam pembayaran dan/atau pemenuhan kewajibannya, dan b) Nasabah memiliki prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi kewajiban setelah restrukturisasi.481

480

Inti bisnis perbankan adalah menyerap risiko, dengan fungsi menjembatani fungsi penawaran dari tabungan dan fungsi permintaan terhadap dana untuk investasi. Penyerapan risiko dimungkinkan karena adanya asumsi, bahwa bank sebagai lembaga intermediasi keuangan memiliki skala portofolio pimjaman dengan diversifikasi risiko yang cukup, dan hal ini merupakan permintaan pasar. Hendy Herijanto, Op. Cit., hlm. 43.

Jadi, tujuan restrukturisasi adalah upaya membantu nasabah penerima fasilitas pembiayaan agar dapat memenuhi kewajibannya, sehingga bank dapat terhindar dari kerugian akibat nasabah tidak memenuhi kewajibannya.

481

Pasal 46 PBI No. 8/21/PBI/2006 yang kemudian diubah dengan PBI No. 9/9/PBI/2007 dan PBI No. 10/24/PBI/2008.

Kebijakan dan prosedur restrukturisasi pembiayaan, berdasarkan PBI No. 10/34/DPbS sebagaimana diubah dengan PBI No. 13/18/DPbS, paling kurang mencakup: Pertama, penetapan satuan kerja khusus untuk menangani restrukturisasi pembiayaan; Kedua, penetapan limit wewenang memutus pembiayaan yang direstrukturisasi; Ketiga, kriteria pembiayaan yang dapat direstrukturisasi; Keempat, sistem dan standard operating procedure restrukturisasi pembiayaan; Kelima, sistem informasi manajemen pembiayaan yang direstrukturisasi; Keenam, penetapan jumlah maksimal pelaksanaan restrukturisasi pembiayaan terhadap pembiayaan yang tergolong non-lancar (kurang lancar, diragukan, dan macet); Ketujuh, BUS atau UUS melakukan penyempurnaan terhadap kebijakan dan prosedur restrukturisasi pembiayaan bila dinilai oleh BI kurang memperhatikan prinsip kehati-hatian dan/atau tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Penanganan restrukturisasi pembiayaan dilakukan dengan membantuk satuan kerja khusus yang pembentukannya disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing BUS atau UUS. Pejabat atau pegawai yang melakukan restrukturisasi harus berbeda dengan pejabat atau pegawai yang terlibat dalam pemberian pembiayaan. Keputusan restrukturisasi pembiayaan dilakukan oleh pejabat yang kedudukannya lebih tinggi dari pejabat yang memutuskan pemberian pembiayaan. Apabila keputusan pemberian pembiayaan dilakukan oleh pejabat yang memiliki kewenangan tertinggi sesuai anggaran dasar perusahaan, maka keputusan

restrukturisasi pembiayaan dilakukan pejabat yang kedudukannya setingkat dengan pejabat pemberi pembiayaan.482

Restrukturisasi terhadap pembiayaan bermasalah selain memperhatikan prinsip kehati-hatian harus mengindahkan prinsip syariah. Penerapan prinsip syariah dalam restrkturisasi pembiayaan berupa pengenaan ganti rugi (takwidh) kepada nasabah. Ganti rugi ditetapkan sebesar biaya riil yang dikeluarkan, bukan potensi kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss). Perubahan-perubahan yang disepakati antara BUS atau UUS dengan nasabah dalam restrukturisasi pembiayaan, termasuk penetapan ganti rugi harus dituangkan dalam addendum akad pembiayaan. Jika restrukturisasi pembiayaan dilakukan dalam bentuk konversi akad, maka harus dibuat akad pembiayaan baru.

483

Restrukturisasi pembiayaan diartikan sebagai upaya yang dilakukan bank dalam rangka membantu nasabah agar dapat menyelesaikan kewajibannya, antara lain melalui penjadwalan kembali (rescheduling), persyaratan kembali (reconditioning) dan penataan kembali (restructuring).

Pelaksanaan restrukturisasi pembiayaan dilakukan melalui analisis oleh konsultan keuangan independen yang memiliki izin usaha dan reputasi yang baik. Analisis yang dilakukan konsultan keuangan independen dan BUS atau UUS terhadap pembiayaan yang direstrukturisasi serta setiap tahapan pelaksanaan restrukturisasi didokumentasikan secara lengkap dan jelas.

484

482

SEBI No. 10/34/DPbS, Angka III

Penjadwalan kembali (rescheduling)

483

SEBI No. 10/34/DPbS, Angka V. 484

PBI No. 10/18/PBI/2008 tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, sebagaimana diubah dengan PBI No. 13/9/PBI/2011, Pasal 1 angka 7.

dilakukan dengan mengadakan perubahan jadwal, pembayaran kewajiban nasabah atau jangka waktunya. Persyaratan kembali (reconditioning) merupakan perubahan sebagian atau seluruh persyaratan pembiayaan tanpa menambah sisa pokok kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada bank, antara lain meliputi: Pertama, perubahan jadwal pembiayaan; Kedua, perubahan jumlah angsuran; Ketiga, perubahan jangka waktu; Keempat, perubahan nisbah dalam pembiayaan

mudharabah atau musyarakah; Kelima, perubahan proyeksi bagi hasil dalam pembiayaan mudharabah atau musyarakah, dan/atau keenam, pemberian potongan.

Penataan kembali (restructuring) merupakan perubahan persyaratan pembiayaan yang antara lain meliputi: Pertama, penambahan dana fasilitas pembiayaan bank; Kedua, konversi akad pembiayaan; Ketiga, konversi pembiayaan menjadi surat berharga syariah berjangka waktu menengah, dan/atau keempat, konversi pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara pada perusahaan nasabah, yang dapat disertai dengan rescheduling atau reconditioning.

Pelaksanaan restrukturisasi pembiayaan bermasalah dapat dilakukan secara kombinasi atau campuran dari aspek yang ada. Pemberian keringanan jumlah angsuran misalnya dapat dikombinasikan dengan disertai pemberian kelonggaran jadwal pembayaran. Kombinasi tentu tidak diperlukan terhadap restrukturisasi yang dilakukan dengan cara konversi pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara pada perusahaan nasabah, karena dengan cara itu kewajiban nasabah penerima fasilitas kepada perbankan syariah menjadi lunas, dan bank syariah menjadi

pemegang saham dari perusahaan nasabah.485 Selain itu, perpanjangan atas pembiayaan mudharabah atau musyarakah yang memenuhi kualitas lancar dan telah jatuh tempo, serta bukan disebabkan nasabah mengalami penurunan kemampuan membayar, tidak termasuk restrukturisasi pembiayaan.486

Restrukturisasi pembiayaan dapat dilakukan terhadap seluruh jenis pembiayaan dengan cara rescheduling, reconditioning maupun restructuring. Berbagai jenis pembiayaan memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga membawa konsekwensi bagi pelaksanaan cara restrukturisasi pembiayaan. Dengan berbagai jenis pembiayaan perbankan syariah, maka restrukturisasi dilakukan dengan memperhatikan karakteristik dari masing-masing pembiayaan.

Tabel 6: Tata Cara Restrukturisasi Pembiayaan

Jenis Pembiayaan Cara Restrukturisasi

Rescheduling Reconditioning Restructuring

Piutang

Murabahah dan

Istishna

Memperpanjang jangka waktu jatuh tempo pembiayaan tanpa mengubah sisa kewjiban nasabah yang harus

dibayarkan kepada BUS atau UUS

Menetapkan kembali syarat-syarat pembiayaan antara lain perubahan jadwal pembayaran, jumlah angsuran, jangka waktu dan/atau pemberian potongan sepanjang tidak menambah sisa kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada BUS atau UUS.487

 Melakukan konversi piutang murabahah atau piutang istishna sebesar sisa kewajiban nasabah menjadi ijarah muntahiyyah bittamlik atau mudharabah atau musyarakah.488  Melakukan 485

A. Wangsawidjaja, Op. Cit., hlm. 449 486

Penjelasan Pasal 5 ayat (3) PBI No. 10/18/PBI/2008 jo. PBI No. 13/9/PBI/2011. 487

Sisa kewajiban nasabah dalam restrukturisasi piutang murabahah atau istishna merupakan jumlah pokok dan margin yang belum dibayar oleh nasabah pada saat dilakukan restrukturisasi

konversi menjadi Surat Berharga Syariah Berjangka Waktu Menengah.489  Melakukan konversi menjadi Penyertaan Modal Sementara.490  Melakukan konversi murabahah 488

Konversi piutang murabahah dan istishna dilakukan sebagai berikut: 1) BUS atau UUS menghentikan akad pembiayaan dengan memperhitungkan nilai wajar objek murabahah atau istishna. Jika terdapat perbedaan antara jumlah kewajiban nasabah dengan nilai wajar objek murabahah atau istishna , maka diakui sebagai berikut: a) apabila nilai wajar lebih kecil daripada jumlah kewajiban nasabah, maka sisa kewajiban nasabah tersebut tetap menjadi hak BUS atau UUS yang penyelesaiannya disepakati antara BUS atau UUS dengan nasabah; b) apabila nilai wajar lebih besar daripada jumlah kewajiban nasabah, maka selisih nilai tersebut diakui sebagai uang muka ijarah muntahiyya bittamlik atau menambah porsi modal nasabah untuk musyarakah atau mengurangi modal mudharabah dari BUS atau UUS. 2) Objek murabahah atau istishna sebelumnya menjadi dasar untuk pembuatan akad pembiayaan baru. 3) BUS atau UUS melakukan akad pembiayaan baru dengan mempertimbangkan kondisi nasabah antara lain golongan nasabah, jenis usaha, kemampuan membayar (cash flow) nasabah. Pembuatan akad pembiayaan baru dalam rangka restrukturisasi mengikuti ketentuan yang berlaku sebagaimana diatur dalam ketentuan BI mengenai pelaksanaan prinsip syariah. 4) BUS atau UUS mencantumkan kronologis akad pembiayaan sebelumnya dalam akad pembiayaan baru. menjadi ijarah muntahiyyah bittamlik atau mudharabah 489

Penempatan dalam bentuk Surat Berharga Syariah Berjangka Waktu Menengah dilakukan sebagai berikut: 1) BUS atau UUS menghentikan akad pembiayaan dalam bentuk piutang murabahah atau istishna. 2) BUS atau UUS membuat akad mudharabah atau musyarakah dengan nasabah atas Surat Berharga Syariah Berjangka Waktu Menengah yang diterbitkan oleh nasabah atas dasar proyek yang dibiayai. 3) BUS atau UUS memiliki Surat Berharga Syariah Berjangka Waktu Menengah paling tinggi sebesar sisa kewajiban nasabah.

490

Penyertaan Modal Sementara dilakukan sebagai berikut: 1) Penyertaan Modal Sementara hanya dapat dilakukan pada nasabah yang merupakan badan usaha berbentuk hukum Perseroan Terbatas. 2) BUS atau UUS menghentikan akad pembiayaan dalam bentuk piutang murabahah atau piutang istishna. 3) BUS atau UUS membuat akad musyarakah dengan nasabah untuk Penyertaan Modal Sementara sesuai kesepakatan dengan nasabah atas usaha yang dilakukan. 4) BUS atau UUS melakukan Penyertaan Modal Sementara paling tinggi sebesar sisa kewajiban nasabah.