• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prinsip Arbitrase Berbasis Syariah dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Prinsip Arbitrase Berbasis Syariah dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah"

Copied!
583
0
0

Teks penuh

(1)

PRINSIP ARBITRASE BERBASIS SYARIAH

DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH

DISERTASI

Untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Bidang Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Di Bawah Pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H., M.Sc (CTM)., Sp.A. (K)

Untuk Dipertahankan di Hadapan Sidang Terbuka Senat Universitas Sumatera Utara

Oleh

MUHAMMAD ARIFIN 098101022

PROGRAM DOKTOR (S-3) ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

(Promosi Doktor)

Judul Usulan Disertasi : PRINSIP ARBITRASE BERBASIS SYARIAH

DALAM PENYELESAIAN

SENGKETA PERBANKAN SYARIAH

Nama : Muhammad Arifin

Nomor Pokok : 098101022

Program : Doktor (S3) Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing:

Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H Promotor

Prof. Dr. H. Hasballah Thaib, M.A. Dr. Zulkarnain Sitompul, S.H., LLM Kopromotor Kopromotor

Ketua, Dekan,

(3)

KOMISI PENGUJI

Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum Penguji

Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., M.S. Penguji

(4)

ABSTRAK

Subjek penelitian disertasi ini fokus pada prinsip arbitrase syariah dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah. Kajian dilakukan setelah Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah memberi kemungkinan pilihan forum (choice of forum) bagi bank syariah dan nasabah untuk menyelesaikan sengketa mereka melalui arbitrase syariah. Pilihan forum dilakukan melalui kesepakatan yang dirumuskan dalam akad. Sesuai subjek kajian, masalah pokok yang akan dibahas adalah: Pertama, implikasi pengaturan undang-undang perbankan syariah bagi penggunaan arbitrase syariah untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah.

Kedua, validitas dan yurisdiksi arbitrase syariah dalam hukum Islam dan hukum positif Indonesia. Ketiga, prinsip yang melekat pada arbitrase syariah untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah.

Meski Putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-X/2012 telah menyatakan penjelasan pasal 55 ayat (2) UUPS 2008 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, namun validitas arbitrase syariah sebagai pilihan forum tetap dapat digunakan dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Sesuai norma yang terumus pada Pasal 55 ayat (2) UUPS 2008, arbitrase syariah sebagai pilihan forum di luar peradilan agama dapat dibenarkan menyelesaikan sengketa perbankan syariah bila terdapat kesepakatan tertulis di antara para pihak lebih dahulu.

Tujuan penelitian bertumpu kepada tiga isu pokok tersebut dengan mengadakan analisis untuk menemukan dan mengelaborasi prinsip arbitrase syariah dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah. Kegiatan penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif untuk menemukan sekaligus menganalisis prinsip atau asas yang menjadi fundamen bagi penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui arbitrase syariah.

Dari hasil kajian, ditemukan prinsip pokok arbitrase syariah, yakni: Pertama, prinsip ketuhanan. Kedua, perjanjian arbitrase menjadi dasar kewenangan arbitrase syariah. Ketiga, perdamaian merupakan tujuan penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah dalam upaya menjaga hubungan silaturrahim di antara para pihak.

Keempat, arbitrase syariah merupakan sarana penegakan keadilan bagi para pihak.

Kelima, prinsip itikat baik. Keenam, pilihan hukum dapat dilakukan sesuai dengan syariah. Ketujuh, putusan arbitrase syariah bersifat final dan mengikat. Kedelapan, arbiter berkedudukan netral dan beragama Islam, serta kesembilan, prinsip kerahasiaan. Perbedaan prinsip arbitrase syariah dengan prinsip arbitrase umum non-syariah, terletak pada syariah yang mendasari arbitrase syariah. Prinsip syariah memberi implikasi yang luas bagi pembahasan terhadap prinsip arbitrase dalam hukum Islam.

(5)

hendak dicapai, adalah agar forum arbitrase syariah menjadi pilihan utama dari pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah secara khusus dan bisnis berbasis syariah umumnya.

Untuk menyebarluaskan keberadaan arbitrase syariah bersama prinsip yang mendasari tata kerjanya, perlu ditingkatkan sosialisasi kepada masyarakat luas dan pelaku bisnis syariah dengan memanfaatkan berbagai media cetak dan elektronik, majelis taklim, maupun melalui pertemuan ilmiah berupa seminar, simposium dan lokakarya. Demikian pula pihak bersengketa yang telah sepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui forum arbitrase syariah yang disepakati dalam akad, harus memenuhi kesepakatan secara konsekwen dengan penuh itikad baik. Perlu mengamandemen UUAAPS 1999 dengan mengakomodir karakter syariah yang melekat pada arbitrase syariah atau alternatif membuat peraturan khusus yang mengatur arbitrase syariah. Institusi pendidikan diharap memberi peran dengan membentuk kurikulum yang berkaitan dengan bisnis syariah termasuk mekanisme penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah. BASYARNAS perlu dikembangkan dengan menyebarluaskan keberadaannya di setiap provinsi serta sekaligus dapat menjadi inspirator bagi pembentukan instrumen arbitrase syariah secara internasional.

(6)

ABSTRACT

The subject of the research in this dissertation is focused on sharia arbitration principle in settling sharia banking disputes. The study was conducted after Law No. 21 of 2008 concerning Sharia Banking (UUPS 2008) provided the choice of forum for sharia banks and their clients to settle their disputes through sharia arbitration. The choice of forum is done through an agreement which is formulated in contracts. In accordance with the research subject, the main problems which were going to be analyzed were as follows: first, the implication of the regulation of sharia banking law for the use of sharia arbitration to settle sharia banking disputes; secondly, validity and jurisdiction of sharia arbitration in the Islamic law and in the positive law in Indonesia; and thirdly, the principle which is adhered to sharia arbitration to settle sharia banking disputes.

Even though the Ruling of the Constitutional Court No. 93/PUU-X/2012 has stated that the explanation of Article 55, paragraph (2) of UUPS/2008 does not have any binding legal force, the validity of sharia arbitration as the choice of forum can always be used in settling sharia banking disputes. In accordance with the norms formulated in Article 55, paragraph (2) of UUPS/2008, sharia arbitration as the choice of forum outside the religious court is allowed to settle sharia banking disputes when there is a written agreement among the conflicting parties.

The objective of the research was focused on the three main issues above by conducting the analysis in order to find out and to elaborate the sharia banking principle in settling sharia banking disputes. The research used judicial normative in order to find out and to analyze the principle which became the fundament for settling sharia banking disputes through sharia arbitration.

The result of the research indicated the main principles of sharia arbitration: First, there was the principle deity in it; secondly, arbitration agreement became the basic authority of sharia arbitration; thirdly, reconciliation was the objective of settling a dispute through sharia arbitration in order to maintain good relationship among the conflicting parties; fourthly, sharia arbitration was a means for upholding the truth for the parties concerned; fifthly, there was the principle of faith in it; sixthly, choice of law could be made through sharia; seventhly, the ruling of sharia arbitration was final and binding; eighthly, arbitrators were non-aligned and Muslims; and ninthly, there was confidential principle in it. The distinction between the principle of sharia arbitration and the principle of non-sharia arbitration was that sharia arbitration was based on sharia. Sharia principle had broad implication on arbitration principle in the Islamic law.

(7)

alternative of the conflicting parties in settling sharia banking disputes specifically and sharia based business in general.

In order to spread out the existence of sharia arbitration and the principle of its procedure, it is necessary to improve socialization to public and to sharia based business people widely by using printed and electronic media, people’s gatherings, and scientific meetings such as seminars, symposiums, and workshops. The conflicting parties that have agreed in the written contract to settle their disputes through sharia arbitration forum should be consequent and have good faith. UUAAPS 1999 should be amended by accommodating sharia characteristic which is adhered to sharia arbitration or alternatively make specific regulation about sharia arbitration. Educational institutions are expected to play their role by making a curriculum related to sharia business, including the mechanism of settling disputes through sharia arbitration. BASYARNAS needs to be developed by spreading out its existence in every province and simultaneously becomes the inspirer for the establishment of sharia arbitration instrument internationally.

(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah seru sekalian alam yang telah memberi rahmad dan hidayah-Nya, sehingga Disertasi dengan judul Prinsip Arbitrase Berbasis Syariah dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah ini dapat selesai disusun.

Arbitrase syariah merupakan bentuk arbitrase yang beroperasi berdasarkan ketentuan hukum Islam. Di Indonesia, keberadaan arbitrase syariah diakui bersama dengan arbitrase non syariah, dan tidak semua negara memiliki kedua institusi arbitrase ini secara berdampingan. Meski fitur arbitrase syariah memiliki kesamaan dengan arbitrase non syariah, namun karakteristik syariah telah membedakan keduanya. Prinsip syariah merupakan fundamen arbitrase syariah, sehingga fitur arbitrase senantiasa mengindahkan dan memperhatikan ketentuan hukum Islam yang bersumber pada Alquran dan Sunnah.

(9)

Undang-Undang No 21 Tahun 2008 memberi inspirasi bagi penyusunan disertasi ini. Kajian dilakukan guna lebih mengembangkan arbitrase syariah yang masih tertinggal bila dibandingkan dengan arbitrase non-syariah yang telah memiliki berbagai instrumen nasional maupun internasional.

Disertasi ini tidak tersusun dan terwujud dengan sendirinya tanpa bantuan, dukungan serta peran dan doa restu berbagai pihak, dan selayaknya dipersembahkan penghargaan dan ucapan terima kasih. Semoga Allah berkenan membalas dengan melimpahkan rahmad dan hidayah-Nya serta menjadi amal shaleh dengan imbalan pahala yang berlipat ganda. Ucapan terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada yang amat terpelajar Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H. (Promotor), Prof. Dr. H. Hasballah Thaib, M.A. (Kopromotor) dan Dr. Zulkarnain Sitompul, S.H., LLM (Kopromotor) yang telah memberi bimbingan dan motivasi yang membangkitkan semangat untuk menyelesaikan penyusunan disertasi ini. Lebih dari sekedar membimbing dan memotivasi, berbagai bahan yang diperlukan dalam penyelesaian disertasi selalu diinformasikan yang menujukkan betapa perhatian dan harapan yang besar agar disertasi dapat diselesaikan dengan baik.

(10)

dalam penyusunan disertasi. Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H., selaku Ketua Program Studi S3 Doktor Ilmu Hukum dan sebelumnya sebagai Pembantu Dekan I pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah turut merekomendasi untuk melanjutkan studi S3 di Universitas Sumatera Utara. Prof. Dr. H. Tan Kamello, S.H., M.S. selaku Sekretaris Program Studi S3 Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai penguji luar komisi yang turut memperkaya muatan disertasi. Prof. Dr. Nawir Yuslem, M.A., Direktur Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara yang bertindak sebagai penguji luar komisi yang telah memperkaya kajian terutama di bidang hukum Islam yang digunakan dalam penyusunan disertasi.

Terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada para Guru Besar yang telah membekali keilmuan bidang hukum pada Program S3 Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, yakni Prof. Dr. M. Solly Lubis, S.H., Prof. Dr. Lili Rasjidi, S.H., LLM, (UNPAD), Prof. Dr. Erman Rajagukguk, S.H., LLM. (UI), Prof. Soetandyo Wignyosoebroto, Alm, (UNAIR), Prof. Dr. Abdullah Syah, M.A., (IAIN SU), Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., M.Li. Dengan kedalaman ilmu di bidang masing-masing telah turut memengaruhi pemikiran keilmuan penulis di bidang ilmu hukum.

(11)

yang diberikan sebagai ilmu yang terus mengalir amalnya kepada mereka. Kepada Guru Besar dan Dosen yang telah membekali penulis dalam bidang ilmu hukum pada Program S1 Sarjana Hukum, dan Program S2 Magister Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara juga diucapkan terima kasih. Di antaranya Prof. Mahadi, S.H., (Alm), Prof. Mr. Ani Abbas, (Alm), Prof. Dr. H. Jafizham, S.H., (Alm), Datuk Usman, S.H., (Alm), Prof. Dr. Bachtiar Agus Salim, S.H., (Alm), Prof. Dr. Arifin Siregar, S.H., (Alm), Prof. Dr. A.P. Parlindungan, S.H., (Alm), Prof. Mohd. Daud, S.H., (Alm), Prof. Dr. Mustafa Siregar, S.H., (Alm), Dr. Henry Lie A Weng, S.H., (Alm) dan lainnya yang telah lebih dulu meninggal dunia, semoga mereka diterima disisi-Nya dengan sebaik tempat.

(12)

Prof. Chainur Arrasjid, S.H., Prof. T. Sjamsul Bahri, S.H., OK. Chairuddin, S.H., dan Issanuddin, S.H. serta seluruh dosen yang telah membentuk keilmuan penulis.

Ucapan terima kasih dan penghargaan diberikan kepada, dr. H. Dalmy Iskandar, (Alm), Drs. H. Chairuman Pasaribu, Dr. H. Bahdin Nur Tanjung, S.E., M.M., Drs. Dalail Ahmad, M.A., yang masing-masing pernah menjabat Rektor UMSU pada priode masing-masing yang turut mendorong keberhasilan studi. Terima kasih disampaikan kepada Dr. Agussani, M.AP., Rektor UMSU saat ini yang telah memberi bantuan dan support, baik moril maupun materiil, untuk keberhasilan studi ini. Begitu juga kepada Dr. Mukhyarsyah, SE., Ahmad Sinaga, S.Sos., M.M., dan Dr. Suhrawardi K. Lubis, S.H., Sp.N., M.H., (Alm), masing-masing sebagai Wakil Rektor I, II, dan IV UMSU yang selama ini bekerjasama dalam pengembangan UMSU disampaikan terima kasih atas dorongan yang diberikan guna selesai studi ini. Kepada Ir. H.M. Yunus Ritonga, Drs. H. Muchtar Abdullah, sebagai Pembantu Rektor UMSU sebelumnya juga disampaikan terima kasih atas peran masing-masing. Disampaikan pula terima kasih kepada staf ahli Rektor UMSU, yaitu Prof. Dr. Ibrahim Gultom, M.Pd. dan Dr. Suryatmono, S.H. M.M.

Tak terlupakan ucapan terima kasih disampaikan kepada Prof. Dian Armanto, M.Pd., M.A., M.Sc., Ph.D serta Rudy K. Nababan selaku Koordinator dan Sekretaris Pelaksana Kopertis Wilayah I Sumut-Aceh atas izin yang diberikan untuk dapat mengikuti pendidikan lanjut pada Program S3 Ilmu Hukum di USU.

(13)

Muamalat Cabang Medan yang memberi kesempatan untuk berinteraksi dalam mendapat penjelasan mengenai sengketa perbankan syariah.

Di atas segalanya, tiada kata yang dapat melukiskan ketulusan dan kasih sayang kedua orang tua tercinta dan terkasih H. Maratua Gultom, (Alm) dan Hj. Saibah Sitompul yang telah mendidik dan mengajarkan kehidupan apa adanya, sehingga kepada keduanyalah layak derajat tertinggi akademik ini dipersembahkan dan diberikan. Kasihilah dan sayangilah mereka ya Allah sebagaimana mereka mengasihi dan menyayangi daku sewaktu kecil. Tak terlupakan ucapan terima kasih disampaikan kepada Tulang Prof. Dr. Agussalim Sitompul (Alm) yang semasa hayat beliau selalu mendorong dan menjadi inspirator untuk selesainya studi sesuai dengan harapan, semoga Allah menempatkan Alm. dengan sebaik-baik tempat disisi-Nya.

Kepada isteri Carolina Barus yang telah mendampingi dengan kegetiran dan kepahitan hidup, yang penuh pengertian mendampingi dihaturkan terima kasih atas segala pengorbanan yang diberikan. Kepada anak-anak kami Devi Arlina Gultom, S.E, Yuli Arliyanti Gultom, S.H., dan Muhammad Ananda Fakhri Gultom, terima kasih atas segala doa yang diberikan. Begitu juga kepada menantu Imam Khadafi Nara, S.E., Ak. dan cucu Qonita Al-Husna Nara, dan Ilham Al-Farisy Nara, dihaturkan terima kasih atas segala dukungan maupun doa.

(14)

menyiapkan segala persyaratan administratif yang diperlukan selama proses perkuliahan maupun penyelesaian disertasi.

Medan,...

(15)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... i

KOMISI PENGUJI ... ii

SURAT PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

ABTRACT ... vi

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xv

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR BAGAN ... xvii

DAFTAR SINGKATAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 21

C. Asumsi ... 22

D.Tujuan Penelitian ... 23

E. Manfaat Penelitian ... 24

F. Keaslian Penelitian ... 25

G.Kerangka Teori dan Konsep... 33

H.Kerangka Teori... 33

I. Konsep ... 61

J. Metode Penelitian ... 66

K.Sistematika Penulisan ... 71

BAB II IMPLIKASI PENGATURAN PERBANKAN SYARIAH BAGI ARBITRASE DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH ... 74

(16)

B.Prinsip Transaksi dan Pengelolaan Perbankan Syariah ... 109

C.Fungsi Intermediasi dan Pola Hubungan Hukum Dalam Kegiatan Perbankan Syariah ... 139

D.Pola Penyelamatan Pembiayaan Bermasalah Pada Perbankan Syariah ... 167

E.Peranan Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa ... 183

F. Tipologi Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah ... 202

G.Implikasi Undang-Undang Perbankan Syariah Bagi Eksistensi Hukum Islam di Bidang Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase ... 225

BAB III VALIDITAS DAN YURISDIKSI ARBITRASE DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF INDONESIA... 242

A. Konsep Arbitrase Dalam Hukum Islam... 242

B. Arbitrase Dalam Bangunan Hukum Islam... 251

C. Validitas dan Yurisdiksi Arbitrase Dalam Hukum Islam ... 275

D. Keberadaan Arbitrase Syariah Dalam Hukum Positif Indonesia ... 298

E. BASYARNAS sebagai Lembaga Penyelesaian Sengketa di Luar Peradilan ... 331

F. Doktrin dan Karakteristik Arbitrase Serta Relevansinya Bagi Arbitrase Syariah ... 345

G. Penguatan Arbitrase Syariah Melalui Etika Bisnis ... 355

H. Keutamaan Arbitrase Syariah ... 368

(17)

BAB IV PRINSIP ARBITRASE BERBASIS SYARIAH DALAM

PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH ... 378

A.Prinsip Sebagai Landasan Kerja Kegiatan Arbitrase Syariah... 378

B.Prinsip Ilahiyah (Ketuhanan) Sebagai Ruh Aktivitas Arbitrase Syariah ... 390

C.Perjanjian Arbitrase Sebagai Dasar Kewenangan Arbitrase Syariah Yang Terbit Berdasarkan Kebebasan Berkontrak ... 393

D.Prinsip Perdamaian Sebagai Tujuan Utama Untuk Menjaga Silaturrahim ... 419

E.Sarana Penegakan Keadilan Bagi Para Pihak ... 437

F. Prinsip Itikad Baik Pada Pelaksanaan Arbitrase Syariah ... 460

G.Pilihan Hukum Mesti Sesuai Dengan Syariah ... 469

H.Putusan Bersifat Final dan Mengikat ... 478

I. Arbiter Merupakan Pedamai yang Netral dan Beragama Islam ... 494

J. Prinsip Kerahasiaan ... 499

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 505

A.Simpulan ... 505

B. Saran ... 513

(18)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Perbedaan Antara Bunga dan Bagi Hasil ... ... 111

Tabel 2 : Perbandingan Bank Syariah dan Bank Konvensiona... ... 112

Tabel 3 : Fungsi Perbankan Syariah... ... 141

Tabel 4 : Jenis dan Kegiatan Usaha Perbankan Syariah... ... 147

Tabel 5 : Intermediasi Perbankan Syariah... ... 149

Tabel 6 : Tata Cara Restrukturisasi Pembiayaa... ... 175

Tabel 7 : Perbandingan Proses Pemeriksaan Pengadilan dan Arbitras ... 249

(19)

DAFTAR BAGAN

Bagan 1 : Pengintegrasian Hukum Dalam Kehidupan Masyaraka ... 191 Bagan 2 : Tipologi Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Menurut

Undang-Undang Perbankan Syariah 2008 Sebelum Putusan Mahkamah

Konstitusi No. 93/PUU-X/2012 ... 207 Bagan 3 : Arbitrase Dalam Bangunan Hukum Islam... ... 273 Bagan 4 : Jenis-Jenis Arbitrase ... 317 Bagan 5 : Forum Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Pasca Putusan

(20)

ABSTRAK

Subjek penelitian disertasi ini fokus pada prinsip arbitrase syariah dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah. Kajian dilakukan setelah Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah memberi kemungkinan pilihan forum (choice of forum) bagi bank syariah dan nasabah untuk menyelesaikan sengketa mereka melalui arbitrase syariah. Pilihan forum dilakukan melalui kesepakatan yang dirumuskan dalam akad. Sesuai subjek kajian, masalah pokok yang akan dibahas adalah: Pertama, implikasi pengaturan undang-undang perbankan syariah bagi penggunaan arbitrase syariah untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah.

Kedua, validitas dan yurisdiksi arbitrase syariah dalam hukum Islam dan hukum positif Indonesia. Ketiga, prinsip yang melekat pada arbitrase syariah untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah.

Meski Putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-X/2012 telah menyatakan penjelasan pasal 55 ayat (2) UUPS 2008 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, namun validitas arbitrase syariah sebagai pilihan forum tetap dapat digunakan dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Sesuai norma yang terumus pada Pasal 55 ayat (2) UUPS 2008, arbitrase syariah sebagai pilihan forum di luar peradilan agama dapat dibenarkan menyelesaikan sengketa perbankan syariah bila terdapat kesepakatan tertulis di antara para pihak lebih dahulu.

Tujuan penelitian bertumpu kepada tiga isu pokok tersebut dengan mengadakan analisis untuk menemukan dan mengelaborasi prinsip arbitrase syariah dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah. Kegiatan penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif untuk menemukan sekaligus menganalisis prinsip atau asas yang menjadi fundamen bagi penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui arbitrase syariah.

Dari hasil kajian, ditemukan prinsip pokok arbitrase syariah, yakni: Pertama, prinsip ketuhanan. Kedua, perjanjian arbitrase menjadi dasar kewenangan arbitrase syariah. Ketiga, perdamaian merupakan tujuan penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah dalam upaya menjaga hubungan silaturrahim di antara para pihak.

Keempat, arbitrase syariah merupakan sarana penegakan keadilan bagi para pihak.

Kelima, prinsip itikat baik. Keenam, pilihan hukum dapat dilakukan sesuai dengan syariah. Ketujuh, putusan arbitrase syariah bersifat final dan mengikat. Kedelapan, arbiter berkedudukan netral dan beragama Islam, serta kesembilan, prinsip kerahasiaan. Perbedaan prinsip arbitrase syariah dengan prinsip arbitrase umum non-syariah, terletak pada syariah yang mendasari arbitrase syariah. Prinsip syariah memberi implikasi yang luas bagi pembahasan terhadap prinsip arbitrase dalam hukum Islam.

(21)

hendak dicapai, adalah agar forum arbitrase syariah menjadi pilihan utama dari pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah secara khusus dan bisnis berbasis syariah umumnya.

Untuk menyebarluaskan keberadaan arbitrase syariah bersama prinsip yang mendasari tata kerjanya, perlu ditingkatkan sosialisasi kepada masyarakat luas dan pelaku bisnis syariah dengan memanfaatkan berbagai media cetak dan elektronik, majelis taklim, maupun melalui pertemuan ilmiah berupa seminar, simposium dan lokakarya. Demikian pula pihak bersengketa yang telah sepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui forum arbitrase syariah yang disepakati dalam akad, harus memenuhi kesepakatan secara konsekwen dengan penuh itikad baik. Perlu mengamandemen UUAAPS 1999 dengan mengakomodir karakter syariah yang melekat pada arbitrase syariah atau alternatif membuat peraturan khusus yang mengatur arbitrase syariah. Institusi pendidikan diharap memberi peran dengan membentuk kurikulum yang berkaitan dengan bisnis syariah termasuk mekanisme penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah. BASYARNAS perlu dikembangkan dengan menyebarluaskan keberadaannya di setiap provinsi serta sekaligus dapat menjadi inspirator bagi pembentukan instrumen arbitrase syariah secara internasional.

(22)

ABSTRACT

The subject of the research in this dissertation is focused on sharia arbitration principle in settling sharia banking disputes. The study was conducted after Law No. 21 of 2008 concerning Sharia Banking (UUPS 2008) provided the choice of forum for sharia banks and their clients to settle their disputes through sharia arbitration. The choice of forum is done through an agreement which is formulated in contracts. In accordance with the research subject, the main problems which were going to be analyzed were as follows: first, the implication of the regulation of sharia banking law for the use of sharia arbitration to settle sharia banking disputes; secondly, validity and jurisdiction of sharia arbitration in the Islamic law and in the positive law in Indonesia; and thirdly, the principle which is adhered to sharia arbitration to settle sharia banking disputes.

Even though the Ruling of the Constitutional Court No. 93/PUU-X/2012 has stated that the explanation of Article 55, paragraph (2) of UUPS/2008 does not have any binding legal force, the validity of sharia arbitration as the choice of forum can always be used in settling sharia banking disputes. In accordance with the norms formulated in Article 55, paragraph (2) of UUPS/2008, sharia arbitration as the choice of forum outside the religious court is allowed to settle sharia banking disputes when there is a written agreement among the conflicting parties.

The objective of the research was focused on the three main issues above by conducting the analysis in order to find out and to elaborate the sharia banking principle in settling sharia banking disputes. The research used judicial normative in order to find out and to analyze the principle which became the fundament for settling sharia banking disputes through sharia arbitration.

The result of the research indicated the main principles of sharia arbitration: First, there was the principle deity in it; secondly, arbitration agreement became the basic authority of sharia arbitration; thirdly, reconciliation was the objective of settling a dispute through sharia arbitration in order to maintain good relationship among the conflicting parties; fourthly, sharia arbitration was a means for upholding the truth for the parties concerned; fifthly, there was the principle of faith in it; sixthly, choice of law could be made through sharia; seventhly, the ruling of sharia arbitration was final and binding; eighthly, arbitrators were non-aligned and Muslims; and ninthly, there was confidential principle in it. The distinction between the principle of sharia arbitration and the principle of non-sharia arbitration was that sharia arbitration was based on sharia. Sharia principle had broad implication on arbitration principle in the Islamic law.

(23)

alternative of the conflicting parties in settling sharia banking disputes specifically and sharia based business in general.

In order to spread out the existence of sharia arbitration and the principle of its procedure, it is necessary to improve socialization to public and to sharia based business people widely by using printed and electronic media, people’s gatherings, and scientific meetings such as seminars, symposiums, and workshops. The conflicting parties that have agreed in the written contract to settle their disputes through sharia arbitration forum should be consequent and have good faith. UUAAPS 1999 should be amended by accommodating sharia characteristic which is adhered to sharia arbitration or alternatively make specific regulation about sharia arbitration. Educational institutions are expected to play their role by making a curriculum related to sharia business, including the mechanism of settling disputes through sharia arbitration. BASYARNAS needs to be developed by spreading out its existence in every province and simultaneously becomes the inspirer for the establishment of sharia arbitration instrument internationally.

(24)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keberadaan perbankan syariah yang dikenal sebagai perbankan Islam (Islamic Banking) semakin kokoh setelah mendapat legalitas seiring kelahiran Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UUPS 2008).1

Statistik Perbankan Syariah (Islamic Banking Statistics) yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI), bulan Oktober 2011, menampilkan Jaringan Kantor Perbankan Syariah (Islamic Banking Network) terdiri dari 11 Bank Umum Syariah (BUS) dengan 1365 jumlah kantor, 23 Unit Usaha Syariah (UUS) dengan 327 jumlah kantor, dan 154 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) dengan 362 jumlah kantor.

UUPS 2008 telah memperkuat secara kelembagaan serta mengintrodusir berbagai produk usaha yang sesuai ketentuan hukum Islam, sekaligus memberi aturan mengenai mekanisme penyelesaian sengketa jika terjadi perselisihan antara nasabah dengan perbankan syariah.

2

1

LNRI Tahun 2008 Nomor 94, TLNRI Nomor 4867, mulai berlaku tanggal 16 Juli 2008. Statistik ini memperlihatkan perkembangan perbankan syariah, sehingga secara kuantitas semakin banyak akad yang terbit atas produk usaha yang terjadi antara bank syariah dengan masyarakat pelaku bisnis. Meningkatnya hubungan hukum yang terjadi di lingkungan perbankan syariah sedikit banyak akan berpengaruh pula terhadap kemungkinan timbulnya sengketa antara perbankan syariah dengan nasabah sebagai pengguna jasa perbankan.

2

(25)

Hukum telah menyediakan berbagai sarana bagi masyarakat yang terlibat sengketa untuk menyelesaikannya. Setidaknya dikenal dua jalur penyelesaian sengketa, yaitu melalui mekanisme peradilan dan mekanisme di luar peradilan. Kedua jalur ini dimungkinkan oleh UUPS 2008 untuk digunakan dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Berdasarkan ketentuan Pasal 55 UUPS 2008, sengketa di lingkungan perbankan syariah diselesaikan melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan agama atau dapat dilakukan melalui mekanisme lain di luar peradilan agama sesuai kesepakatan yang dicantumkan secara tegas di dalam akad dengan mengindahkan prinsip syariah.3 Dengan demikian, selain secara litigasi melalui badan peradilan agama, penyelesaian sengketa perbankan syariah bisa juga dilakukan secara non-litigasi di luar peradilan dengan melakukan pilihan forum (choice of forum) yang ditetapkan dalam akad.4

3

Pasal 55 UUPS 2008 menyebut: (1) Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. (2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad. (3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah.

4

(26)

Eksistensi penyelesaian sengketa di luar peradilan telah diakui dengan pembentukan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UUAAPS 1999).5 Arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa di luar peradilan yang dikenal masyarakat pebisnis. UUAAPS 1999 menyebut, arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak-pihak yang bersengketa.6 Ketentuan ini menunjukkan, arbitrase merupakan forum penyelesaian sengketa di luar peradilan yang ditunjuk berdasarkan pilihan para pihak yang bersengketa.7

Sesuai dengan ketentuan UUAAPS 1999, penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui jalur yang disepakati dalam akad merupakan pilihan penyelesaian

Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2010), hlm. 1. Budiono Kusumohamidjojo merinci, ciri utama dari kontrak adalah merupakan perjanjian yang dirumuskan secara tertulis oleh para pihak lengkap dengan ketentuan dan syarat-syarat serta berfungsi sebagai alat bukti tentang adanya kewajiban dan sekaligus hak secara timbal balik. Karena itu, kontrak dalam bahasa Indonesia sering disebut juga sebagai perjanjian. Budiono Kusumohamidjojo, Panduan Untuk Merancang Kontrak, (Jakarta: Grasindo, 2001), hlm. 7. Pasal 1313 KUH. Perdata merumuskan persetujuan atau perjanjian sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Pengertian yang diberikan Pasal 1313 KUH. Perdata ini dipandang selain tidak lengkap, karena hanya menyebut perjanjian sepihak saja, juga rumusannya sangat luas, sebab dapat mencakup janji kawin yang termasuk lapangan hukum keluarga, dan juga mencakup perbuatan melawan hukum yang tidak memiliki unsur perjanjian. Mariam Darus Badrulzaman, KUH. Perdata Buku III, Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 89. Seharusnya rumusan Pasal 1313 KUH. Perdata diadakan perubahan dengan memantapkan perbuatan dimaksud adalah ‘perbuatan hukum’ dan menambah anak kalimat ‘atau saling mengikatkan dirinya’ untuk menunjukkan adanya perjanjian secara dua pihak. R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Binacipta, 1987), hlm. 49. Dengan perbandingan yang dikemukakan, dalam konteks penulisan ini kata akad yang berasal dari bahasa Arab dipadankan dengan perjanjian dalam bahasa Indonesia. Pandangan ini diperkuat dengan mengkaitkannya pada rumusan Pasal 20 angka 1 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), ‘akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua orang atau lebih untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu.

5

LNRI Tahun 1999 Nomor 138, TLNRI Nomor 3873, mulai berlaku tanggal 12 Agustus 1999. 6

Pasal 1 butir 1 UUAAPS 1999. 7

(27)

yang dilakukan di luar peradilan agama, diantaranya melalui badan arbitrase syariah.8 Sebagai salah satu pilihan forum penyelesaian sengketa perbankan syariah di luar peradilan agama, dipandang penting untuk mengetahui dan mengkaji prinsip yang mendasari pola operasional arbitrase syariah. Melalui kajian ini pelaku bisnis dan masyarakat perbankan syariah, dapat lebih memahami prinsip-prinsip yang mendasari cara kerja arbitrase syariah.9

Studi terhadap prinsip arbitrase syariah dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah perlu dilakukan dengan didasarkan pada lima alasan pokok.

Pertama, pengaturan atau positivisasi perbankan syariah yang memberi aturan mengenai penyelesaian sengketa perbankan syariah relatif baru, yakni sejak berlaku UUPS 2008. Secara normatif UUPS 2008 memperkenankan arbitrase syariah sebagai forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan agama melalui pilihan forum (choice

8

Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UUPS 2008 menyebut, penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad dapat berupa upaya musyawarah, mediasi perbankan, Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) atau lembaga arbitrase lain atau melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Penjelasan Pasal 55 ayat (2) ini telah dilakukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU—X/2012, Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UUPS 2008 dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Meski Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UUPS 2008 telah dinyatakan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat, namun tidak berarti arbitrase syariah sebagai forum penyelesaian sengketa di luar peradilan agama turut kehilangan peran untuk dapat menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Arbitrase syariah tetap memiliki peran untuk dapat menyelesaikan sengketa perbankan syariah secara non litigasi di luar peradilan agama, sebab norma utama yang terumus dalam Pasal 55 ayat (2) UUPS 2008 memungkinkan adanya pilihan forum (choice of forum) arbitrase syariah bilamana para pihak menyepakati dalam akad yang dibuat secara jelas dan tertulis.

9

(28)

of forum), sehingga perlu di elaborasi prinsip-prinsip yang mendasari cara kerjanya dari perspektif hukum Islam.10

Kedua, arbitrase syariah menjadi pilar penting bagi bangunan perbankan syariah yang berfungsi sebagai forum penyelesaian sengketa di luar mekanisme peradilan. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah lebih efisien dan sejalan dengan nilai-nilai keislaman yang menghargai prinsip persaudaraan untuk menjaga hubungan silaturrahim sehingga hubungan kerja antarpihak yang bersengketa tetap dapat berjalan harmonis.

Pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UUP 1992) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (UUP 1998), tidak terdapat pengaturan yang memuat ketentuan mengenai penyelesaian sengketa perbankan.

Ketiga, eksistensi arbitrase syariah memiliki prospek masa depan yang signifikan dengan melihat pertumbuhan lembaga keuangan syariah yang pesat mengikuti perkembangan kehidupan sosial ekonomi umat. Hal ini ditandai dengan munculnya lembaga-lembaga keuangan syariah di luar perbankan syariah seperti asuransi syariah (takaful), pegadaian syariah, pasar modal syariah, dan reksa dana syariah yang dalam transaksi masing-masing juga berpotensi timbul sengketa.

Keempat, penggunaan arbitrase merupakan salah satu prinsip bisnis dalam Islam, termasuk perbankan syariah, yang relevan menyelesaikan sengketa untuk terwujud kemakmuran ekonomi dan keharmonisan sosial para pihak. Bila terjadi

10

(29)

perselisihan dalam praktik bisnis, Islam menganjurkan penyelesaian dengan cara arbitrase melalui arbiter yang bebas dan dapat dipercaya (In case of dispute, Islam encourages settlement through an independent and reliable arbitrator).11 Perintah arbitrase (tahkim) sudah qath’i dalam Alquran, yaitu untuk menyelesaikan perselisihan, mendamaikan dengan musyawarah.12

Kelima, pemahaman terhadap keberadaan arbitrase syariah relatif masih belum banyak diketahui, yang ditandai belum berperan secara optimal dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Fakta ini terlihat dari jumlah perkara yang terdaftar di Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), yaitu dalam kurun waktu 1997-2009 hanya terdapat 17 perkara, dan baru memiliki 15 kantor perwakilan di daerah.

Tujuan penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah adalah mewujudkan perdamaian (sulh atau ishlah) guna mempertahankan hubungan silaturrahim antara para pihak yang bersengketa. Alasan ini berkaitan dengan sejarah tahkim yang telah lama dikenal dalam sejarah peradilan Islam.

13

11

Nik Mohamed Affandi Bin Nik Yusoff, Islam & Business, (Malaysia: Pelanduk Publication, 2002), hlm. 95.

Implikasi yang diharapkan melalui kajian ini adalah agar masyarakat dapat lebih mengetahui keberadaan dan cara kerja arbitrase syariah,

12

Muhamad Asro dan Muhamad Kholid, Fiqh Perbankan, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hlm. 266.

13

(30)

sehingga dapat meningkatkan peran optimal dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah lain di masa depan.

Penggunaan arbitrase dengan berbagai keistimewaannya untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah, di bidang keperdataan (muamalah), merupakan pilihan yang tepat.14 Arbitrase syariah menjadi sarana yang perlu dimanfaatkan oleh umat Islam Indonesia dalam mengikuti perkembangan dan aktivitas perbankan syariah. Dikatakan oleh Tahir Azhary, kehadiran arbitrase Islam di Indonesia merupakan suatu conditio sine qua non.15

Berbagai kegiatan usaha perbankan syariah baik pada instrumen penghimpunan maupun penyaluran atau pendanaan dalam bentuk pembiayaan, tidak tertutup kemungkinan terjadi sengketa (dispute) antara bank dengan nasabah. Persengketaan dapat muncul karena tidak terpenuhi hak dan kewajiban atau timbul ketidakpuasan dalam pelaksanaan akad atau perjanjian. Kompleksitas akad dan beda Arbitrase syariah pada perkembangan saat ini menjadi salah satu forum penyelesaian sengketa perbankan syariah. Perkembangan industri perbankan syariah menghendaki penguatan arbitrase syariah sebagai pilar penyanggah, dalam menghadapi dan menyelesaikan setiap kemungkinan terjadi perselisihan dalam aktivitas perbankan syariah. Penguatan arbitrase syariah akan memperkuat sistem hukum perbankan syariah dalam konteks penyelesaian sengketa yang terjadi di lingkungan bank syariah.

14

Achmad Djauhari, “Peran Arbitrase Dalam Sistem Ekonomi Syariah”, Majalah Hukum Nasional, Nomor 2 Tahun 2007, (Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum Dan HAM RI), hlm. 186. Salah satu faktor keistimewaan arbitrase adalah putusannya yang bersifat final dan binding, yaitu tidak adanya upaya instansi hukum (banding, kasasi, maupun peninjauan kembali) sehingga secara ekonomis lebih efisien.

15

(31)

pendapat antara bank syariah dengan nasabah dalam memahami dan menginterpretasi akad, serta berselisih dalam pelaksanaan prestasi bisa mengakibatkan terjadinya pelanggaran perjanjian (breach of contract). Pelanggaran terhadap akad merupakan bentuk potensial terjadinya sengketa di lingkungan perbankan syariah. Dalam konteks ini, aktivitas perbankan syariah memerlukan peran yuridis di dalamnya terutama ketika terjadi konflik agar dapat diselesaikan secara adil. Penyelesaian sengketa diharapkan tidak merusak hubungan bisnis yang tengah berjalan, sehingga kelangsungan usaha para pihak tetap berlangsung secara produktif. Karena itu, aspek penyelesaian sengketa dalam transaksi keuangan pada perbankan syariah menjadi sangat penting,16 terutama mekanisme yang mampu menyelesaikan secara efektif dan efisien dengan tetap menjaga hubungan silaturrahim, serta jauh dari publikasi yang dapat memengaruhi reputasi bisnis para pihak yang bersengketa. Forum penyelesaian sengketa yang memiliki karakteristik semacam itu tidak lain ada pada arbitrase.17

Secara konstitusional, penegakan hukum dan keadilan atas suatu sengketa, termasuk sengketa yang terjadi di lingkungan perbankan syariah, hanya dapat dilakukan oleh badan peradilan yang berada di bawah naungan kekuasaan kehakiman yang berpuncak pada Mahkamah Agung.

18

16

Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perbankan Syariah (UU No. 21 Tahun 2008), (Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm. 109.

Penyelesaian sengketa perbankan syariah

17

Eman Suparman, Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan, (Jakarta: Tatanusa, 2004), hlm. 4

18

(32)

di luar badan peradilan negara,19 yakni melalui arbitrase syariah, dimungkinkan bila ditunjuk para pihak melalui kesepakatan yang dituangkan dalam akad. Arbitrase syariah mendapat tempat dalam UUPS 2008 sebagai salah satu forum penyelesaian sengketa perbankan syariah di luar peradilan agama. Pengakuan terhadap keberadaan penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui arbitrase syariah terlihat dari banyak Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yang menetapkan agar penyelesaian sengketa dilakukan melalui badan arbitrase syariah, bila gagal mencapai kesepakatan melalui musyawarah.20

Regulasi Bank Indonesia (BI) melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah dan kemudian diubah dengan PBI Nomor 10/16/PBI/2008, menentukan penyelesaian sengketa antara bank syariah dengan nasabah dilakukan melalui mekanisme arbitrase syariah bila kesepakatan melalui musyawarah dan mediasi termasuk mediasi perbankan tidak dapat dilakukan.Ketentuan ini disebut dalam Pasal 4 yang mengatur, sebagai berikut:

(1) Dalam hal salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana tertuang dalam akad antara Bank dengan nasabah, atau jika terjadi

19

Sesuai ketentuan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (LNRI Tahun 2006 No. 22, TLNRI No. 4611) dalam kaitan ini yang dimaksud peradilan negara dimaksud adalah pengadilan agama. Pasal 49 dan Penjelasannya menetapkan bahwa pengadilan agama bertugas dan berwenang menyelesaikan perkara dibidang ekonomi syariah, yang meliputi: a. bank syariah; b. lembaga keuangan mikro syariah; c. asuransi syariah; d. reasuransi syariah; e. reksa dana syariah; f. obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah; g. sekuritas syariah; h. pembiayaan syariah; i. pegadaian syariah; j. dana pensiun lembaga keuangan syariah; dan k. bisnis syariah.

20

(33)

sengketa antara Bank dengan nasabah, penyelesaian dilakukan melalui musyawarah.

(2) Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan antara lain melalui mediasi termasuk mediasi perbankan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui mekanisme arbitrase syariah atau melalui lembaga peradilan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Arbitrase syariah bisa digunakan sebagai salah satu pilihan mekanisme penyelesaian sengketa yang terjadi antara bank syariah dengan nasabah. Terminologi arbitrase yang dikenal pada masa modern saat ini sebagai forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan (out court system), dalam perspektif hukum Islam sepadan dengan tahkim. Penunjukan tahkim didasarkan pada kesepakatan dua pihak yang menunjuk hakam (arbiter) untuk memberi keputusan hukum guna menyelesaikan persengkataan yang terjadi antara kedua pihak bersengketa berdasarkan petunjuk hukum syarak.21 Legalitas tahkim (arbitrase) diakui dalam Alquran, Hadis maupun Ijmak ulama.22 Pengakuan terhadap arbitrase dalam hukum Islam terlihat dalam Alquran, seperti mengenai penyelesaian perselisihan antara suami-isteri melalui hakam (arbiter) sebagai juru damai (Q.S. An-Nisa’ [4]: 35 dan 128).23

21

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 8, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 374.

Dari sumber inilah arbitrase kemudian ditetapkan sebagai forum penyelesaian sengketa dalam tradisi hukum Islam. Bila di telaah lebih seksama, arbitrase dalam hukum Islam prinsipnya berisi anjuran untuk menyelesaikan persengketaan secara

22

Validitas yang menjadi dasar keabsahan tahkim atau arbitrase dalam hukum Islam diuraikan lebih lanjut pada Bab II disertasi ini.

23

(34)

damai. Penyelesaian secara damai terhadap setiap perselisihan sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Arbitrase syariah memegang peranan dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah untuk memecahkan masalah secara kerjasama dengan mewujudkan perdamaian melalui pihak ketiga yang netral dalam memberi keputusan.

Perdamaian (sulh) menjadi pola penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah (tahkim). Penggunaan sulh yang dilakukan di luar pengadilan, didasarkan pada kesepakatan para pihak untuk tidak menempuh jalur ajudikasi dalam menyelesaikan sengketa mereka.24 Pola ini sangat fleksibel dan menjadi sarana mewujudkan silaturrahim dan kemaslahatan manusia secara menyeluruh. Sulh tidak dilakukan bila mendatangkan kerusakan dan kemudaratan bagi manusia.25

Penyelesaian sengketa dalam hukum Islam adalah untuk menjaga hubungan silaturrahim antara mereka yang bersengketa agar tetap terjalin dengan baik. Dalam makna yang sama, filosofi penyelesaian sengketa dalam perspektif syariah tidak

Konsep perdamaian merupakan doktrin utama hukum Islam dalam menyelesaikan sengketa. Perintah untuk mendamaikan dua orang yang bersengketa dinukilkan dalam Q.S Al-Hujurat (49): 10 yang dikaitkan dengan hubungan persaudaraan di antara orang-orang mukmin. “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu

mendapat rahmad.”

24

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, Dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 206.

25

(35)

boleh memutuskan hubungan silaturrahim di antara para pihak yang berselisih.26 Selain itu, penyelesaian sengketa dari perspektif syariah sangat menjunjung tinggi keadilan dan kepastian tanpa mengabaikan prinsip-prinsip ketuhanan (ilahiyah), kemanusiaan (insaniah), keseimbangan (al-wustha’), kerjasama (ta’awun), persaudaraan (ukhuwah), dan kemaslahatan (maslahah), yakni mengupayakan kebajikan maksimal dan mengeliminasi segala bentuk kemudharatan.27

Arbitrase syariah merupakan forum arbitrase untuk menyelesaikan sengketa yang dilakukan melalui arbiter (hakam) berdasarkan prinsip syariah yang bersumber pada Alquran dan Sunnah. Term arbitrase syariah menunjuk mekanisme penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang dilakukan berdasar syariat Islam untuk membedakan dengan arbitrase non syariah. Arbitrase syariah merupakan arbitrase khusus untuk menyelesaikan sengketa di bidang muamalah berdasar ketentuan hukum Islam. Karena dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum Islam, forum arbitrase yang menyelesaikan sengketa ekonomi syariah disebut arbitrase syariah.

Prinsip yang melekat dalam mekanisme penyelesaian sengketa secara syariah perlu di elaborasi untuk memahami karakteristik dan cara kerja arbitrase syariah. Melalui pembahasan ini diharap ditemukan pemahaman guna lebih mengetahui prinsip penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang sesuai syariat Islam.

26

H.M. Hasballah Thaib, ”Kata Pengantar” dalam Iman Jauhari, Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan Menurut Hukum Islam, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2009)., hlm. ii. Filosofi tahkim dalam Islamagar tidak terputusnya hubungan silaturrahim antara mereka yang bersengketa ini pula yang membedakan dengan filosofi arbitrase non syariah yang lebih didasarkan pada efisiensi dalam penyelesaian sengketa.

27

(36)

Prinsip syariah menjadi ruh yang senantiasa menyemangati dan memiliki kedudukan fundamental dalam pelaksanaan arbitrase berbasis syariah. Prinsip syariah yang melekat pada arbitrase syariah, pada dasarnya sebangun dengan yang berlaku pada aktivitas perbankan syariah. Kegiatan keduanya senantiasa harus dilandasi dan diikat oleh prinsip syariah yang terdapat dalam Alquran dan Sunnah.28 Dengan paradigma ini, Tuhan menjadi sumber nilai dan tujuan akhir. Berbagai aspek ekonomi syariah, termasuk aktivitas penyelesaian sengketa di bidang perbankan syariah, mendasarkan sistemnya kepada Tuhan. Selain itu, ekonomi syariah yang berbasis pada agama adalah sistem yang memiliki akhlak, bersifat manusiawi, dan moderat.29

Penunjukan forum arbitrase syariah untuk menyelesaikan perkara perbankan syariah bukan berarti tidak merespon keberadaan lembaga peradilan agama, sebagai lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa perekonomian syariah. Apalagi dimaksudkan untuk mereduksi kewenangan mutlak peradilan agama dalam menyelesaikan sengketa di bidang perbankan syariah.30 Keberadaan arbitrase syariah sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa perbankan syariah, tidak ditafsirkan sebagai pernyataan tentang tidak pentingnya arti pengadilan dalam penataan sosial.31

28

Muhammad Alim, Pengantar Ilmu Ekonomi Islam, (Bandung: Pustaka, 2007), hlm.73. Studi ini tidak dimaksudkan mempertentangkan keberadaan arbitrase syariah dengan lembaga peradilan agama. Kajian berada pada posisi bahwa ruang peradilan bukan

29

Ibid., hlm. 72. 30

Ada pandangan yang melihat, bahwa pengakuan dan penunjukan badan arbitrase syariah melalui Fatwa DSN-MUI itu belum merespons peradilan agama sebagai lembaga yang memiliki kewenangan mutlak di bidang ekonomi syariah. Padahal lembaga arbitrase syariah masih sangat terbatas kantor cabangnya di Indonesia. Lihat H. Chatib Rasyid dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktik Pada Peradilan Agama, (Yogyakarta: UII Press, 2009), hlm. 51.

31

(37)

satu-satunya institusi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Di sampingnya masih terdapat forum arbitrase syariah yang juga diakui memiliki otoritas dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Keberadaan arbitrase syariah ditempatkan sebagai mekanisme penyelesaian sengketa bagi bank syariah dan nasabah guna menegakkan keadilan di luar pengadilan negara. Arbitrase syariah merupakan salah satu jalur yang dapat digunakan dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam aktivitas perbankan syariah berdasar pilihan para pihak melalui akad.32

Menempatkan arbitrase syariah sebagai paradigma penyelesaian sengketa di luar peradilan,

33

tidak berarti pengadilan dan arbitrase menjadi dua entitas yang saling meniadakan, melainkan saling mengisi di dalam sebuah relasi mutualisme sistem hukum.34

32

Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, penyelesaian sengketa, terutama di bidang perdata selain bisa diselesaikan melalui peradilan, juga terbuka kemungkinan diselesaikan melalui forum penyelesaian sengketa lainnya. dan salah satu di antaranya adalah cara penyelesaian sengketa yang dikenal dengan sebutan arbitrase, dalam kajian ini difokuskan pada arbitrase berbasis syariah. Pasal 58 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (LNRI Tahun 2009 No. 157, TLNRI No. 5076) menyebutkan, “upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.”

Prinsipnya tidak ada konflik yang berarti antara pengadilan yang

33

Sebagai suatu konsep, istilah paradigma (pardigm) pertama kali dikemukakan oleh Thomas Kuhn dalam karyanya The Structure of Scientific Revolution. Kuhn melihat, ilmu pengetahuan pada saat tertentu di dominasi oleh paradigma tertentu, yaitu suatu pandangan mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter) dari suatu cabang ilmu. Lihat George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hlm. 4. Bernard Arief Sidharta mengatakan, paradigma adalah cara pandang atau kerangka berpikir yang berdasarkannya fakta atau gejala di interpretasi dan dipahami. Lihat Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 1999), hlm. 91. Dengan demikian, paradigma menjadi landasan atau keyakinan mendasar yang menjadi pemandu dalam membahas dan menginterpretasi isu hukum. Paradigma membantu merumuskan apa yang seharusnya dipelajari, isu apa yang seharusnya dikemukakan untuk dijawab aturan apa yang seharusnya diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh. Pengertian paradigma lainnya dikemukakan oleh M. Solly Lubis yang mengatakan paradigma sebagai parameter atau rujukan, acuan yang dipergunakan untuk berpikir atau bertindak lebih lanjut. Lihat M. Solly Lubis, Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan, (Bandung: Mandar Maju, 2009), hlm. 15.

34

(38)

sifatnya publik dengan arbitrase yang berwatak privat. Lembaga peradilan yang mempunyai kekuatan memaksa, agar para pihak mematuhi perjanjian arbitrase dan putusannya. Hanya perlu ditetapkan secara jelas wilayah masing-masing agar tidak terjadi kesimpangsiuran antara pengadilan dan arbitrase.35 Dengan demikian, upaya penguatan arbitrase syariah tidak dimaksudkan untuk meniadakan kewenangan dan peran lembaga peradilan agama di bidang perbankan syariah.36

Pembicaraan mengenai pengembangan dan penguatan arbitrase selama ini dilakukan karena adanya krisis yang dialami lembaga peradilan dalam menyelesaikan sengketa. Pengadilan dianggap tidak profesional untuk menangani sengketa-sengketa bisnis, tidak independen, bahkan para hakim telah kehilangan integritas moral dalam menjalankan profesinya.

Baik peradilan agama maupun arbitrase syariah diakui sebagai forum untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah, sesuai mekanisme dan kewenangan masing-masing. Keberadaan arbitrase berbasis syariah sudah menjadi realitas yang diakui sebagai forum penyelesaian sengketa perbankan syariah di luar peradilan agama.

37

Akibatnya pelaku bisnis mencari alternatif yang mampu menyelesaikan sengketa secara efektif dan efisien,38

35

Erman Rajagukguk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, (Jakarta: Chandra Pratama, 2001), hlm. 6.

dilaksanakan secara profesional, dapat dipercaya (confidence), tidak begitu formal dan lebih fleksibel, putusannya

36

Eksistensi peradilan dalam menyelesaikan sengketa tidak mungkin direduksi oleh arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa lainnya. Kedudukan peradilan telah ditetapkan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, yang diakui dan diperkokoh secara konstitusional melalui amandemen ketiga. Yang di cantumkan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lihat Jimly Asshiddiqie, Loc. Cit.

37

Eman Suparman, Op. Cit., hlm. 2. 38

(39)

bersifat final dan mengikat, serta terjaga kerahasiaan proses berperkara.39 Karakter penyelesaian sengketa ini dimiliki arbitrase sebagai institusi penyelesaian sengketa di luar peradilan. Selain itu, mekanisme arbitrase lebih informal, sehingga terbuka untuk memperoleh dan tersedianya tata cara penyelesaian kekeluargaan dan damai (amicable).40 Penyelesaian melalui arbitrase bersifat kooperatif dan non konfrontatif,41 yang dilandasi prinsip musyawarah dengan menghindari konfrontasi yang dapat mengganggu hubungan produktif para pihak. Kelebihan dan sifat dasar yang melekat pada forum arbitrase ini tentu saja menjadi landasan bagi arbitrase syariah yang beraktivitas sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Selain itu, adanya mafia peradilan dengan modus jual beli hukum menempatkan arbitrase sebagai pilihan para pihak yang bersengketa untuk mencari keadilan, sekaligus untuk mengurangi tumpukan perkara di Mahkamah Agung atau lembaga peradilan di bawahnya.42

Pengembangan dan penguatan arbitrase berbasis syariah perlu dilakukan guna membangun kepercayaan masyarakat untuk menggunakan forum arbitrase menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Pilihan ini merupakan bagian dari

39

Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), hlm. 12-15. 40

Priyatna Abdurrasyid, “Pengusaha Indonesia Perlu meningkatkan Minatnya Terhadap Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 21, Oktober-Nopember 2002, hlm. 8.

41

Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), Suatu Pengantar, (Jakarta: Fikahati Aneska, 2011), hlm. 1; Anita D. A. Kolopaking, ”Asas Itikad Baik Sebagai Tiang Dalam Pelaksanaan Persidangan Arbitrase” dalam Idris, Rachmawati dan Imam Mulyana, eds, Penemuan Hukum Nasional Dan Internasional, (Jakarta: Fikahati Aneska bekerjasama dengan Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum UNPAD, 2012), hlm. 42.

42

(40)

penyaluran kebebasan para pihak yang diwujudkan dalam kesepakatan (konsensus),43 untuk menentukan lembaga penyelesaian sengketa yang mereka anggap lebih tepat dan efisien. Forum arbitrase terbentuk melalui kebebasan para pihak yang bersengketa dengan menciptakan dan menyepakati sendiri hukum dan prosedur yang dipakai untuk menyelesaikan sengketa mereka. Dikatakan Priyatna Abdurrasyid, arbitrase merupakan hukum prosedur dan hukum para pihak (law of procedure dan law of the parties).44

Untuk dapat disandingkan dengan mekanisme penyelesaian sengketa lain bagi masyarakat dalam mendapatkan keadilan (access to justice), dan untuk mengetahui aktualisasi penyelesaian sengketa perbankan syariah, perlu diketahui cara kerja dengan mengadakan pengkajian untuk mengetahui serta mendalami prinsip-prinsip arbitrase syariah. Pengkajian ini sekaligus akan memperkuat validitas arbitrase syariah, sehingga tidak ada keraguan terhadap keberadaannya dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah terutama di bidang perbankan syariah.

Belum banyak pengkajian berakibat pada kurangnya referensi dan informasi bagi masyarakat pelaku bisnis maupun perbankan akan eksistensi dan prinsip yang terkandung dalam arbitrase syariah. Keadaan ini bisa menjadi faktor berpengaruh bagi pemahaman dan kepedulian masyarakat, sehingga forum penyelesaian sengketa

43

Kesepakatan merupakan merupakan asas pokok dalam hukum perjanjian, yang oleh Eggens dikatakan sebagai tuntutan kesusilaan (zadelijk eis). Dalam kesepakatan ini diletakkan kepercayaan pada perkataan seseorang. Dengan diletakkannya kepercayaan pada perkataan ini, seseorang tersebut ditingkatkan martabatnya sebagai manusia setinggi-tingginya. Kalau seseorang ingin dihargai sebagai manusia, maka harus dapat dipegang perkataannya. Lihat R. Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1984), hlm. 5.

44

(41)

melalui arbitrase syariah belum berkembang secara optimal.45 Menurut Adi Sulistiyono, ada 7 (tujuh) faktor penghambat perkembangan penggunaan arbitrase, yaitu:46

1) ketentuan hukum yang mengatur masalah arbitrase di Indonesia belum banyak diketahui dan dipahami pelaku bisnis; 2) belum adanya budaya

arbitration minded di kalangan pengusaha Indonesia; 3) banyak di antara mereka yang belum berani membawa sengketa yang dialaminya keluar dari jalur peradilan. ...; 4) profesionalitas dan kredibilitas arbiter, baik itu selaku pribadi maupun dalam menyelesaikan sengketa di Indonesia belum banyak diketahui oleh pelaku bisnis...; 5) belum banyak konsultan hukum Indonesia yang mau memperkenalkan/mengarahkan kliennya untuk bersengketa melalui arbitrase: 6) tidak mudah membawa dan menyadarkan pihak-pihak yang bersengketa agar menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dengan itikad baik. ....; 7) kurangnya pemahaman hakim-hakim tentang arbitrase, sehingga seringkali sengketa yang berdasarkan “klausul arbitrase” seharusnya diselesaikan melalui arbitrase, namun Pengadilan Negeri tetap saja manangani sengketa tersebut. Walaupun pada akhirnya kesalahan tersebut dikoreksi oleh Mahkamah Agung, namun kasus itu sudah terlanjur memakan waktu bertahun-tahun.

Perkembangan yang belum optimal, dan sengketa yang diselesaikan masih sedikit, tidak berarti arbitrase syariah gagal dalam melaksanakan perannya, sebab bisa karena tidak ada sengketa yang terjadi atau sengketa dapat diselesaikan sendiri oleh para pihak secara musyawarah.47

45

Masyarakat pebisnis di Indonesia dipandang belum familiar dengan forum arbitrase, karena pada umumnya sengketa bisnis yang terjadi cenderung untuk diselesaikan melalui pengadilan. Forum arbitrase banyak dipilih orang asing untuk menyelesaikan sengketa perdagangan internasional, karena itu pencantuman klausul arbitrase hampir terdapat dalam setiap kontrak bisnis internasional. Eman Suparman, Op. Cit., hlm. 6;

Begitu juga karena jaringan yang masih sedikit mengakibatkan masyarakat belum mengetahui akan kedudukan arbitrase syariah

46

Adi Sulistiyono Op. Cit., hlm. 142. Meskipun belum pernah dilakukan kajian mendalam, keadaan yang dikemukakan dalam literatur terhadap arbitrase non syariah tersebut juga disinyalemen terjadi bagi arbitrase syariah, paling tidak keadaan ini tercermin dari sengketa yang terdaftar di BASYARNAS sebanyak 17 (tujuh belas) perkara dalam kurun waktu 1997-2009. Tidak tertutup kemungkinan sedikitnya sengketa yang diselesaikan oleh BASYARNAS, karena tidak ada perselisihan yang terjadi di lingkungan perbankan syariah atau dapat diselesaikan secara internal melalui musyawarah.

47

(42)

dalam lingkungan mereka. Kondisi yang demikian sejatinya bukan menjadi faktor penghalang untuk mengadakan pengkajian dan pengembangan arbitrase berbasis syariah. Kekurangan-kekurangan itu menjadi faktor motivasi untuk melakukan pengkajian, sehingga penelitian terhadap substansi dan prinsip arbitrase syariah menjadi keniscayaan yang perlu dilakukan.

Melalui penelitian ini akan dapat dipahami substansi dan prinsip arbitrase syariah yang bermanfaat bagi penyusunan perangkat regulasi yang mendukung operasionalisasinya. Penelitian dilakukan untuk menggali prinsip yang mendasari pola kegiatan arbitrase syariah dan menyesuaikannya dengan kondisi dan karakteristik bangsa Indonesia. Belum dipahami dan ditegakkan prinsip dan norma hukum arbitrase syariah secara komprehensif dapat menjadi penyebab munculnya berbagai persoalan dalam proses penyelesaian sengketa perbankan syariah. Prinsip syariah yang menjadi dasar aktivitas arbitrase dalam hukum Islam masih memerlukan perumusan dan pengkajian untuk menentukan kesesuaian dengan kehidupan bangsa Indonesia, karena itu perlu terus dilakukan upaya aktualisasi secara rasional-objektif.48

Di Indonesia, pola pengembangan arbitrase berbasis syariah, mengikuti pola legislasi yang diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Karena itu, selain tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam, arbitrase syariah juga senantiasa mengindahkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengembangan arbitrase syariah di Indonesia, dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah selain tetap berada dalam koridor syariah, juga senantiasa mengindahkan peraturan

perundang-48

(43)

undangan yang menjadi payung yuridis keberadaan sistem penyelesaian sengketa di luar peradilan, yaitu UUAAPS 1999).49 Pengkajian ini semakin relevan untuk menentukan kesesuaian atau harmonisasi prinsip yang terkandung dalam UUAAPS 1999 dengan arbitrase berbasis syariah. Meskipun tidak tegas disebut, keberadaan arbitrase syariah juga berpayung kepada UUAAPS 1999. Arbitrase syariah dipandang sebagai arbitrase khusus yang menangani dan menyelesaikan sengketa ekonomi dan bisnis berbasis syariah. Pengaturan dalam perundang-undangan membuktikan, keberadaan arbitrase di Indonesia, termasuk arbitrase syariah, memang dikehendaki oleh pemerintah sebagai salah satu forum penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di luar pengadilan.50

Melalui pengkajian ini diharapkan masyarakat pelaku bisnis syariah, khusus yang berhubungan dengan perbankan syariah dapat menentukan pilihan penyelesaian sengketa yang mampu menjaga keharmonisan, silaturrahim, bersifat efektif dan efisien, serta memuaskan pihak yang bersengketa. Penyelesaian yang tetap menjaga silaturrahim, efektif dan efisien akan menjadikan hubungan mitra bisnis antara bank syariah dengan nasabah tetap berjalan secara produktif.

Selanjutnya, kajian ini diharapkan menjadi informasi ilmiah bagi teoritisi dan praktisi hukum dalam memahami prinsip arbitrase syariah sebagai salah satu jalur

49

Payung yuridis eksistensi arbitrase di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (LNRI Tahun 1999 No. 138, TLNRI No. 3872). Undang-undang ini telah mengatur berbagai aspek yang berkaitan dengan arbitrase yang memuat Syarat Arbitrase, Pengangkatan Arbiter, dan Hak Ingkar (Pasal 7-26); Hukum Acara Arbitrase (Pasal 27-51); Pendapat dan Putusan Arbitrase (Pasal 52-58); Pelaksanaan Putusan Arbitrase (Pasal 59-72); dan Berakhirnya Tugas Arbiter (Pasal 73-77); Secara normatif dan faktual undang-undang ini masih perlu diuji dengan nilai-nilai syariah sebagai landasan fundamental keberadaan arbitrase syariah.

50

(44)

dalam mendistribusikan keadilan. Dalam cakupan yang lebih luas, kajian ini diharapkan dapat memengaruhi proses pengembanan hukum (rechtsbeoefening), yaitu kegiatan manusia berkenaan dengan ada dan berlakunya hukum di dalam masyarakat. Kegiatan itu mencakup kegiatan membentuk, melaksanakan, menerapkan, menemukan, meneliti, dan secara sistematika mempelajari dan mengajarkan hukum yang berlaku.51 Dengan demikian, selain menjadi informasi ilmiah bagi teoritisi dan praktisi hukum, studi ini juga dapat dijadikan sumber dalam penyusunan kebijakan di bidang penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah, khususnya sengketa di bidang perbankan syariah

B. Permasalahan

Berbagai persoalan yang menjadi permasalahan utama sekaligus menjadi fokus yang membatasi pembahasan berikut dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana implikasi pengaturan UUPS 2008 terhadap arbitrase syariah untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah.

2. Bagaimana validitas dan yurisdiksi arbitrase syariah dalam hukum Islam dan hukum positif Indonesia.

51

(45)

3. Bagaimana prinsip yang melekat pada arbitrase syariah agar dapat menyelesaikan sengketa perbankan syariah.

C. Asumsi

Asumsi atau disebut juga dengan anggapan dasar adalah suatu hal yang diyakini kebenarannya oleh peneliti yang harus dirumuskan secara jelas.52 Asumsi merupakan kejadian atau situasi yang dianggap benar, sehingga kebenarannya tidak diragukan.53 Asumsi merupakan pernyataan yang diterima sebagai sesuatu yang benar, tanpa harus dibuktikan secara empirik terlebih dahulu.54

Pertama, pengaturan UUPS 2008 berimplikasi pada pemberian penggunaan arbitrase syariah sebagai salah satu pilihan forum dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Pengaturan UUPS 2008 memberi penguatan bagi bangunan perbankan syariah yang memungkinkan desentralisasi penyelesaian sengketa melalui pilihan forum arbitrase syariah di luar peradilan agama. Penguatan arbitrase syariah dengan di dukung politik hukum yang memadai akan menempatkan forum ini

Untuk memberikan arah bagi pelaksanaan kajian ini, disusunlah asumsi-asumsi berikut:

52

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hlm. 65. Dikatakan selanjutnya, bahwa asumsi berfaedah untuk memperkuat permasalahan, dan membantu peneliti dalam memperjelas menetapkan objek penelitian, wilayah pengambilan data, instrumen pengumpulan data.

53

Consuelo G. Sevilla, et.al., Pengantar Metode Penelitian, (Jakarta: UI Press, 1993), hlm. 17. Selanjutnya dijelaskan, bahwa asumsi tidak sama dengan hipotesis, karena asumsi tidak memerlukan pengujian atau pembuktian.

54

(46)

memiliki eksistensi dan prospek signifikan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah.

Kedua,arbitrase syariah menjadi pilar penting bagi perbankan syariah sebagai forum resolusi sengketa yang terjadi antara bank syariah dengan nasabah. Prinsip syariah yang melekat pada arbitrase syariah memberi warna terhadap validitas dan karakteristik yang membedakannya dengan arbitrase non syariah. Tujuan utama dari validitas arbitrase syariah sebagai sarana penyelesaian sengketa perbankan syariah adalah upaya mewujudkan perdamaian. Yurisdiksi arbitrase syariah menampakkan bentuk dalam konteks modern yang meliputi bidang ekonomi syariah, antara lain termasuk perbankan syariah. Fitur arbitrase syariah yang juga melekat pada arbitrase non syariah harus disesuaikan sehingga tidak melanggar atau bertentangan dengan ketentuan hukum Islam.

Ketiga, pengkajian terhadap prinsip arbitrase syariah perlu dilakukan sebagi upaya memperkuat keberadaan forum arbitrase, terutama setelah UUPS 2008 menetapkan sebagai pilihan penyelesaian sengketa perbankan syariah yang ditunjuk berdasarkan kesepakatan para pihak dalam akad. Prinsip arbitrase syariah perlu di elaborasi untuk mengetahui landasan kerja penyelesaian sengketa muamalah di bidang perbankan syariah.

D. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk:

Gambar

Tabel 5: Intermediasi Perbankan Syariah
Tabel 7: Perbandingan Proses Pemeriksaan Pengadilan dan Arbitrase639

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pengujian hipotesis yang menyatakan DPK, Profit, NPF, Suku Bunga, dan Pembiayaan Berbasis Bagi Hasil Mudharabah dan Musyarakah secara bersama-sama berpengaruh

Kehancuran terjadi ketika peradilan umum disebut dapat dipilih oleh para pihak melalui akad untuk menyelesaikan sengketa mereka, karena kedudukan peradilan umum yang bersifat

Dikutip dari Faturrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah Di Bank Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h.136.. Dewasa ini, perkembangan hubungan hukum di masyarakat

AGAMA DALAM PENGANGKATAN MEDIATOR NON HAKIM BERDASARKAN PERMA NOMOR 1 TAHUN 2016", Bengkoelen Justice : Jurnal Ilmu Hukum,

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik

Berdasarkan pengujian hipotesis yang menyatakan DPK, Profit, NPF, Suku Bunga, dan Pembiayaan Berbasis Bagi Hasil Mudharabah dan Musyarakah secara bersama-sama berpengaruh

3 Konversi seluruh atau sebagian tunggakan bunga menjadi penyertaan dalam perusahaan.Ketika kredit mengalami masalah atau macet, maka akan terjadi tunggakan pembayaran baik itu pokok

Kewajiban untuk menerapkan prinsip kehati-hatian khususnya dalam pemberian kredit tercantum dalam Pasal 8 1 Undang-Undang Perbankan yaitu: “Dalam memberikan kredit atau pembiayaan