Tinjauan Pustaka
Permasalahan yang dianalisis dalam penelitian ini berkenaan dengan situasi dan kondisi subyektif yang dialami sendiri oleh petani ketika akan mendapatkan pembiayaan syariah melalui BMT. Pada penelitian objektif–kuantitatif, teori digunakan sebagai landasan penelitian yang penting karena teori tersebut harus diuji oleh penelitinya sehingga teori tersebut akan terus menempel peneliti sampai akhir penelitian. Sedangkan pada penelitian interpretif-kualitatif (subyektif) teori hanya digunakan sebagai arahan bagi peneliti.
Pada penelitian ini teori digunakan sebagai pedoman atau arahan untuk mengungkapkan fenomena agar lebih fokus. Selanjutnya dikembangkan konsep-konsep yang sejalan dengan kenyataan yang ada di lapangan. Kerangka berfikir yang diuraikan dalam penelitian ini menjelaskan keterkaitan satu dengan yang lainnya. Kerangka pemikiran dibangun untuk menjelaskan mengenai fenomena proses komunikasi dalam masyarakat petani terkait dengan BMT sebagai bagian dari struktur dan lapisan masyarakat. Sedangkan wujud komunikasi yang terjadi ditentukan oleh (1) pihak-pihak yang terlibat dalam proses komunikasi (komunikator dan komunikannya); (2) cara yang ditempuh; (3) kepentingan dan tujuan komunikasi; (4) ruang lingkup yang melakukannya; (5) saluran yang digunakan; dan (6) isi pesan yang disampaikan. Proses komunikasi dalam masyarakat dapat berupa komunikasi tatap muka yang terjadi pada proses komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok, komunikasi organisasi, bahkan komunikasi yang terjadi dalam komunikasi massa.
Perilaku petani berinteraksi dengan Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) syariah guna mendapatkan pembiayaan ini merupakan fenomena sosial. Petani berinteraksi melakukan komunikasi baik dengan dirinya sendiri maupun dalam masyarakatnya dan BMT.
Manusia Melakukan Tindakan Sosial
Fenomena sosial perilaku petani merupakan perilaku sosial, yang oleh Weber disebut sebagai tindakan sosial. Max Weber (Ritzer, 2008) merupakan perintis Sosiologi yang lahir di Erfurt, Jerman, 21 April 1864, berasal dari keluarga kelas menengah dan meninggal tahun 1920. Max Weber memberikan pengaruh besar pada lahirnya pemahaman mengenai keterkaitan antara etika protestan dan munculnya kapitalisme di Eropa Barat. Weber tampil dengan menawarkan
pendekatan terhadap kehidupan sosial yang jauh lebih bervariasi ketimbang Marx. Marx lebih banyak memasuki ranah kajian ekonomi sedangkan Weber lebih tertarik pada berbagaia spek fenomena sosial. Konsep Weber mengenai “tindakan sosial” ini telah memberikan arahan bagi perkembangan teori sosiologi yang membahas mengenai interaksi sosial.
Weber (2007) menyatakan :
By action in this definition is meant human behavior when and to the extent that the agents or agents see it as subjectively meaningful : the behavior may be either internal or external, and may consist in the agent’s doing something, omitting to do
something, or having something done to him. By sosial, action is meant an action in which the meaning intended by the agent or agents involves a relation to another
person’s behavior and in which that relation determines the way in which the action
proceeds.
Weber membedakan tindakan sosial dari tingkah laku pada umumnya dengan mengatakan bahwa sebuah gerakan bukanlah sebuah tindakan kalau gerakan itu tidak memiliki makna subyektif untuk orang-orang yang bersangkutan. Tindakan sosial merupakan sesuatu yang lebih dari sekedar kesamaan diantara tingkah laku banyak orang (tingkah laku massa), walaupun tidak perlu mengandung kesadaran timbal balik karena satu orang bisa bertingkah laku dengan sadar menuju orang lain tanpa yang lainnya itu sadar akan fakta ini.
Selanjutnya menurut Weber (2007) ada banyak kelompok dalam masyarakat, didalamnya terdapat 3 macam keteraturan yang mengikat orang dengan sesamanya, yaitu ekonomi, politik, dan kebudayaan. Masing-masing tatanan ini mempengaruhi perilaku manusia dengan hasil yang tidak sama untuk semua orang. Jadi pada kenyataannya masyarakat terdiri dari institusi-institusi yang tunduk pada keteraturan ekonomi, politik dan kebudayaan.
Lebih lanjut, Weber (2007) mengemukakan tindakan sosial memiliki makna-makna. Ada dua pertanyaan mendasar yang dikemukakan Weber mengenai berbagai makna yang merupakan hal yang penting, yaitu : pertama, seseorang haruslah menyadari tentang fakta bahwa perilaku bermakna samar dalam bentuk-bentuk yang tidak bermakna. Banyak perilaku tradisional begitu biasa seakan-akan hampir tidak bermakna. Disisi lain, banyak pengalaman magis tampak begitu sulit untuk dikomunikasikan. Weber memandang bahwa penggunaan empatik simpatik dengan
verstehen sekedar kebutuhan sekunder. Prosedur Weber yang sesungguhnya terutama berisi konstruksi tipologi-tipologi perilaku lembaga pengkajian komparatif atas dasar berbagai tipologi.
Pernyataan Kedua, Hakikat kausal dari makna : sejauhmana makna menjadi kausa perilaku? Seseorang harus menyadari keberadaan rentang pengalaman ilmu makna dapat tampil secara beragam. Sesuatu fakta tidaklah memiliki makna akan tetapi penting untuk menjelaskan aksi menyangkut berbagai fenomena psikologis seperti kelesuan, kebiasaan, kegembiraan, dan sebagainya. Kajian mengenai perilaku manusia menunjukan bahwa makna hanyalah satu dari elemen kausa aksi. Makna merupakan suatu hubungan yang terasa secara sadar antara cara-cara dan tujuan-tujuan. Berbagai makna dapat diorganisasikan dengan sejumlah cara, dengan efisiensi menetapkan keunggulan tujuan dan cara yang benar menurut agama, dengan munculnya emosi, penetapan tradisi-tradisi dan kebiasaan-kebiasaan.
The meaning to which we refer may be either (a) meaning actually intended by an individual agent on a particular historical occasion or by a number of agents on an approximate average in a given set a cases, or (b) the meaning attributed to the agents, as types, in a pure type constructed in the abstract. In the neither case is the meaning to be throught of as somehow objectively correct or true by some metaphysical criterion. This is the different between the empirical sciences of action, such as sociology and history, and any kind a priori discipline (Weber, 2007:7).
Not every kind of human contact is sosial in character : it is only sosial when
one’s person behavior is related in its meaning to the behavior of other people.
Sosial action in not to be identified either (a) with several people acting in a similarway together, or (b) with one person’s acting under the influence of the
behavior of others. It is a familiar fact that an individual who finds himself in the midst of a crowd gathered together in the same place will be strongly influenced in his action by that fact. Behaviour which is traditional in a strong sense lies, like purely reactive imitation, directly on and often beyond, the boundary marking out the are of what can in general be called meaningful action. (Weber, 2007)
Seorang manusia tidaklah pasif menghadapi dunia sosialnya, ia akan melakukan tindakan sosial. Seperti yang diungkapkan oleh Weber bahwa manusia itu melakukan tindakan sosial dengan proses berfikir. Ia mengatakan, “masyarakat adalah suatu entitas aktif yang terdiri dari orang-orang yang berfikir dan melakukan tindakan-tindakan sosial yang bermakna” (Mulyana, 2008).
Bagi Weber jelas bahwa tindakan sosial pada dasarnya bermakna, karena melibatkan penafsiran, berfikir dan kesengajaan. Tindakan sosial baginya adalah tindakan yang disengaja bagi orang lain dan sang aktor sosial sendiri. Sang aktor memiliki pikiran-pikiran yang aktif saling menafsirkan perilaku orang lainnya, saling berkomunikasi dan mengendalikan perilaku dirinya masing-masing sesuai dengan maksud dan tujuan komunikasinya. Tindakan sosial
merupakan tindakan atau perilaku subyektif yang bermakna yang melalui proses berfikir dan ditujukan untuk mempengaruhi atau berorientasi kepada khalayaknya atau perilaku orang lain.
Pada penelitian ini, petani sebagai aktor sosial melakukan tindakan-tindakan komunikasi agar dipercaya mendapatkan pembiayaan kredit dari BMT. Petani aktif memaknai lingkungan sosial (masyarakat)–nya secara subyektif. Petani melakukan tindakan-tindakan yang tidak saja bermakna bagi dirinya sendiri tapi juga bermakna bagi BMT bahkan bagi masyarakatnya.
Fenomenologi dan Petani Sebagai Aktor Sosial dan Subyektif
Asumsi-asumsi yang dikemukakan oleh Weber mengenai tindakan sosial di atas dikembangkan oleh Alfred Schutz, seorang sosiolog kelahiran Wina Austria, tahun 1899 (Ritzer, 2008). Schutz memusatkan perhatian pada cara orang memahami kesadaran orang lain sementara mereka hidup dalam kesadaran mereka sendiri. Schutz juga menggunakan perspektif subjektifitas dalam memahami kehidupan lebih sosial, terutama mengenai ciri sosial pengetahuan.
Banyak pemikiran Schutz yang dipusatkan pada satu aspek dunia sosial yang disebut kehidupan dunia (life-world) atau dunia kehidupan sehari-hari. Inilah yang dimaksud schutz sebagai dunia intersubjektif. Orang dalam dunia intersubjektif ini menciptakan realitas sosial dan dipaksa oleh kehidupan sosial yang telah ada dan struktur kultural ciptaan leluhur mereka. Dunia kehidupan itu banyak aspek kolektifnya, tetapi juga ada aspek pribadinya (yang dapat diungkap melalui biografi). Schutz membedakan dunia kehidupan antara hubungan tatap muka yang akrab (relasi kami) dan hubungan interpersonal dan renggang (relasi mereka). Hubungan tatap muka yang akrab sangat penting dalam kehidupan dunia yang dilandasi oleh kesadaran, makna, dan motif tindakan individual. Secara keseluruhan, Schutz memusatkan perhatian pada hubungan dialektika antara cara individu membangun realitas sosial dan realitas kultural yang mereka warisi dari para pendahulu mereka dalam dunia sosial.
Pemikiran Schutz ini dalam ilmu sosial dikenal sebagai studi fenomenologis. Studi ini merupakan hasil pemikiran Schutz yang berangkat dari pemikiran Weber dan kritikannya terhadap fenomenologi Edmund Husserl. Husserl mengemukakan bahwa aktivitas kesadaran melibatkan kemampuan manusia mempersepsi suatu objek, sedangkan Shutz lebih menekankan pada kesadaran intersubjektif kehidupan manusia sehari-hari.
Schutz setuju dengan pemikiran Weber tentang pengalaman dan tindakan sosial manusia dalam kehidupannya sehari-hari sebagai realitas yang bermakna secara sosial. Schutz menyebut manusia yang berperilaku tersebut sebagai “aktor”. Ketika seseorang mendengar dan melihat apa yang dikatakan atau diperbuat aktor, dia akan memahami makna dari tindakan sosial tersebut, dan dunia sosial seperti itu disebut sebagai sebuah ‘realitas interpretif’.
Fenomenologi Schutz ini digunakan untuk mengupas dan memahami bagaimana suatu tindakan sosial manusia yang diperoleh dari pengalaman subyektif dalam kehidupan sehari-hari. Tindakan sosial ini dilihat dari bagaimana manusia berkomunikasi berdasarkan pengalaman yang pernah mereka alami sendiri sebagai sesuatu yang bermakna dan membentuk gambaran mengenai dunia keseharian intersubjektif.
Menurut Schutz (Mulyana, 2008) orang-orang begitu saja menerima bahwa dunia keseharian itu eksis dan orang lain berbagi pemahaman atas segala hal yang ada di dunia ini. Lebih dari itu, orang-orang merujuk pada obyek dan tindakan dengan mengasumsikan bahwa mereka berbagi perspektif dengan orang lain. Setiap fenomenologis, yakni konteks ruang, waktu dan historis yang secara unik menempatkan individu, memiliki pengetahuan mengenai hal tersebut (stock of knowledge) yang terdiri dari semua fakta, kepercayaan, keinginan, prasangka dan aturan yang dipelajari dari pengalaman pribadi dan pengetahuan siap pakai yang tersedia di dunia sejak lahir.
Kategori pengetahuan menurut pandangan Schutz, yang pertama bersifat pribadi dan unik ketika berinteraksi tatap muka dengan orang lain. Kategori pengetahuan yang kedua adalah berbagai pengkhasan (typication) yang telah terbentuk dan dianut semua anggota suatu budaya, terdiri dari mitos, pengetahuan, budaya, dan akal sehat (common sense). Berdasarkan hal itu, intersubjektivitas berlangsung dalam berbagai macam hubungan dengan orang lain, termasuk orang-orang dekat yang berbagi ruang dan waktu (dalam komunikasi tatap muka), yang hidup sejaman tetapi tidak dikenal (pembaca, pendengar atau pemirsa lain yang belum pernah ditemui), mereka yang telah mendahului sebelum dilahirkan, dan mereka yang akan datang setelah mati. Pengetahuan mengenai diri berubah ketika masuk dan keluar dari hubungan dengan orang lain.
Shutz mengatakan, para aktor sosial menafsirkan sifat realitas yang relevan dengan kepentingan mereka, dan realitas menjadi fungsi struktur relevansi mereka mengenai dunia sosial. Tugas utama analisis fenomenologis adalah mengkonstruksikan dunia kehidupan manusia sebenarnya dalam bentuk yang mereka alami sendiri. Realitas dunia tersebut bersifat
intersubjektif dalam arti anggota masyarakat berbagi persepsi dasar mengenai dunia yang diinternalisasikan melalui sosialisasi dan memungkinkan melakukan interaksi atau komunikasi.
Menurut pemikiran Schutz (Kuswarno, 2009), aktor memiliki dua motif, yaitu : motif yang berorientasi ke depan (in order motive); dan motif berorientasi ke masa lalu (because motive). Motif-motif tersebut akan menentukan penilaian terhadap dirinya sendiri dalam statusnya sebagai aktor. Menurut Scott dan Lyman, mungkin saja mereka tidak merasa sebagai aktor dengan mengajukan pembelaan diri dengan mengemukakan alasan tertentu atau bahkan mungkin secara jujur dan penuh percaya diri menyatakan ke-aktor-annya melalui pembenaran (justifications).
Berdasarkan uraian di atas, dalam konteks fenomenologis, petani adalah aktor yang melakukan tindakan komunikasi sosial (mendapatkan pembiayaan kredit) bersama aktor lainnya sehingga memiliki kesamaan dan kebersamaan dalam ikatan makna intersubjektif. Para aktor juga memiliki historitas dan dapat dilihat dalam bentuk yang alami. Kesadaran terhadap pengalaman-pengalaman intersubjektif ketika berinteraksi dan berkomunikasi memberikan skema pengetahuan bagi dirinya. Skema yang terbentuk ini seakan menjadi pedoman (motif komunikasi) yang menentukan si aktor mengambil tindakan-tindakan komunikasi yang dilakukannya agar mendapatkan pembiayaan kredit dari BMT.
Konstruksi Realitas Sosial Petani
Manusia pada hakikatnya manusia melakukan komunikasi. Selama manusia itu melakukan komunikasi akan selalu berhubungan dengan kegiatan mengkonstuksikan makna. Kemampuan manusia dalam mengkonstruksikan makna akan mendasarinya untuk melakukan tindakan sosial, yang akhirnya akan mengkonstruksikan realitas sosialnya.
Guba dan Lincoln seperti yang dikutip oleh Patton (2002) mengungkapkan gagasan konstruktivis, yaitu :
Constructivist begin with the premise that the human world is different from natural, physical world... Because human being have evolved the capacity to interpret and construct reality, the world of human perception is not real an absolute
sense, as the sun is real, but it is “made up” and shaped... Constructivist study
multiple realities constructed by people and the implications of those constructions for their lives and interactions with others.
Konstruktivis memiliki gagasan yang berawal dari premis bahwa dunia ini berbeda dengan alamiahnya karena manusia membangun dan membentuknya berdasarkan interpretasinya sendiri. Studi konstruktivis memandang bahwa realitas ini sangatlah beragam karena masing-masing individu memiliki pengalaman dan pandangannya sendiri-sendiri, akibatnya implikasi tindakan yang terlihat pun berbeda-beda.
Denzin dan Lincoln (2000) mengemukakan dalam konstruktivis ada asumsi A paradigm encompasses three elements : epistemology, ontology, dan methodology, tetapi sejumlah pakar lain secara implisit ataupun eksplisit menilai sebuah paradigma juga memuat elemen axiology
(Littlejohn, 1999).
Lebih jauh Denzin dan Lincoln (2000) menjelaskan secara rinci dalam asumsi-asumsi konstruktivis menurut ontologis, bahwa realitas merupakan konstruksi sosial, dan kebenaran suatu realitas bersifat relatif, berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial. Menurut epistemologis, pemahaman tentang suatu realitas atau temuan suatu penelitian merupakan produk interaksi antara peneliti dengan yang diteliti. Secara aksiologis, nilai, etika dan pilihan moral merupakan bagian tidak terpisahkan dari suatu penelitian. Peneliti sebagai
passionate participant, fasilitator yang menjembatani keragaman subyektivitas pelaku sosial. Tujuan penelitiannya pada rekonstruksi realitas sosial secara dialektis antara peneliti dengan pelaku sosial yang diteliti.
Secara metodologis, reflektif/dialektif pada paradigma konstruktivis menekankan empati dan interaksi dialektis antara peneliti dengan responden untuk merekonstruksi realitas yang diteliti melalui metode-metode kualitatif seperti partisipan observer. Kriteria kualitas penelitian adalah pada authenticity dan reflectivity, yaitu sejauhmana temuan merupakan refleksi otentik dari realitas dihayati oleh para pelaku sosial.
Konstruktivisme dapat dikatakan sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada, karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang di sekitarnya. Individu membangun sendiri pengetahuan atas realitas yang dilihatnya berdasarkan pada struktur pengetahuannya yang telah ada sebelumnya. Konstruksi seperti inilah yang disebut oleh Berger dan Luckmann sebagai konstruksi sosial.
Konstruksi realitas sosial ini lebih dikenal sebagaimana yang dikemukakan oleh Peter Beger yang juga mahasiswa dari Shutz (Kuswarno, 2009). Berger dan Luckmann mampu mengembangkan model teoritis lain mengenai bagaimana dunia sosial terbentuk. Dia
menganggap realitas sosial eksis dengan sendirinya dan struktur dunis sosial tergantung pada manusia yang menjadi subyeknya. Realitas sosial secara objektif memang ada, tetapi maknanya berasal dari dan oleh hubungan subyektif (individu) dengan dunia obyektif (suatu perspektif interaksionis simbolik).
Berger dan Luckmann (1990) menuangkan pemikirannya dalam buku ‘The Sosial Construction of Reality’ yang menyebutkan bahwa seseorang hidup dalam kehidupannya mengembangkan suatu perilaku yang repetitif, yang disebut ‘kebiasaan’ (habits). Kebiasaan ini memungkinkan seseorang mengatasi suatu situasi secara otomatis. Kebiasaan seseorang ini juga berguna bagi orang lain. Situasi komunikasi interpersonal, para partisipan (aktor) saling mengamati dan merespon kebiasaan orang lain dan dengan cara seperti ini semua partisipan dapat mengantisipasi dan menggantungkan diri pada kebiasaan orang lain tersebut.
Berger dan Luckmann (1990) memulai penjelasan realitas sosial dengan memisahkan pengalaman “kenyataan” dan “pengetahuan”. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas, yang diakui memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak kita sendiri. Pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik.
Institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara obyektif, namun pada kenyataannya semua dibangun dalam definsi subjektif melalui proses interaksi. Obyektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subyektif yang sama. Pada tingkat generalitas yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolis yang universal, yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh, yang memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberi makna pada berbagai bidang kehidupannya (Berger & Luckmann, 1990). Intinya Berger dan Luckmann mengatakan, di sini terjadi dialektika antara individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu. Proses dialektika ini terjadi melalui eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi.
Frans M. Parera (dalam Berger dan Luckmann (1990) menjelaskan tugas pokok sosiologi pengetahuan adalah menjelaskan dialektika antara diri (self) dengan dunia sosiokultural. Dialektika ini berlangsung dalam proses dengan tiga momen simultan : (1) eksternalisasi (penyesuaian diri) dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia; (2) Obyektivasi, yaitu interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami
proses institusionalisasi; sedangkan (3) internalisasi, yaitu proses yang mana individu mengidentifikasikan dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya. Parera menambahkan, tiga momen dialektika ini memunculkan suatu proses konstruksi sosial yang dilihat dari segi asal mulanya merupakan hasil cipta manusia, yaitu buatan interaksi intersubyektif.
Realitas sosial yang dialami setiap individu sepanjang kehidupannya berbeda-beda karena pengalaman yang pernah dialaminya berbeda-beda. Kesadaran setiap orang terhadap pengalaman kesadaran orang lain dalam dunia sosial ini tergantung pada bagaimana kadar pengalaman intersubyektif, kedekatan dan intensitasnya.
Sebuah wilayah penandaan (signifikansi) menjembatani wilayah-wilayah kenyataan, dapat didefinisikan sebagai sebuah simbol dan modus linguistik, dengan apa transendensi seperti itu dicapai, dapat juga dinamakan bahasa simbol. Pada tingkat simbolisme, siginifikansi linguistik terlepas secara maksimal dari “disini dan sekarang” dalam kehidupan sehari-hari (Berger & Luckmann, 1990). Bahasa memegang peranan penting dalam objektivasi terhadap tanda-tanda. Bahasa dapat mendirikan bangunan-bangunan representasi simbolis yang sangat besar, yang tampak menjulang tinggi di atas kenyataan kehidupan sehari-hari. Agama, filsafat, kesenian dan ilmu pengetahuan, secara historis merupakan sistem-sistem simbol paling penting semacam ini.
Bahasa menurut Berger dan Luckmann (1990) merupakan alat simbolis untuk melakukan signifikansi, dimana logika ditambahkan secara mendasar kepada dunia sosial yang diobjektivasi. Bangunan legitimasi disusun di atas bahasa dan menggunakan bahasa sebagai instrumen utama. “Logika” yang dengan cara tersebut, diberikan kepada tatanan kelembagaan, merupakan bagian dari cadangan pengetahuan masyarakat (sosial stock of knowledge) dan diterima sebagai sesuatu yang sewajarnya. Ketika manusia memaknai realitas sosial, manusia berusaha untuk mengelaborasi stock of knowledge terbaru yang dimilikinya dengan situasi dan kondisi dihadapannya. Motif-motif yang dimiliki manusia untuk melihat dan berorientasi untuk melakukan suatu tindakan terutama tindakan komunikasi. Motif ini berorientasi pada masa depan dan merujuk kepada pengalaman masa lalu.
Penelitian ini mengikuti pemikiran Berber dan Luckmann, dapat dijelaskan bahwa perilaku petani untuk mendapat pembiayaan kredit dari BMT merupakan suatu tindakan sosial. Oleh karena itu akan muncul perilaku kekhasan mereka berdasarkan interaksi mereka melalui komunikasi verbal maupun non verbal. Para aktor ini dapat mengembangkan suatu ikatan secara
psikologis dan sosial dalam suatu kelompok atau institusi. Para petani melalui kelompoknya (kelompok tani), berperilaku sesuai dengan peran yang dimainkannya, dan oleh karenanya mereka dapat mengembangkan aturan-aturan (rules). Aturan ini terbentuk dari perilaku dan harapan-harapannya berdasarkan motif-motif yang dimiliki dan merujuk pada stock of knowledge-nya. Berdasarkan pola-pola tersebut akan terbentuk konstruksi sosial petani.
Petani dalam Konsep Interaksi Simbolik
Teori interaksi simbolik ini dikembangkan oleh George Herbert Mead (1863-1931) yang lahir di South Hadley, Massachusetts, 27 Februari 1863 dan meninggal 26 April 1931(Ritzer, 2008). Mead adalah pemikir yang sangat penting dalam sejarah interaksionisme simbolik dengan bukunya yang berjudul Mind, Self and Society (1934). Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yaitu komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna.
Perspektif interaksi simbolik mengandung dasar pemikiran yang sama dengan teori tindakan sosial tentang “makna subyektif” dari perilaku manusia, proses sosial dan