• Tidak ada hasil yang ditemukan

Communication model BMT with farmer in two type different villages in Ciamis and Bantul

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Communication model BMT with farmer in two type different villages in Ciamis and Bantul"

Copied!
339
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL KOMUNIKASI

BAITUL MAAL WATTAMWIL (BMT) DENGAN PETANI

(Studi Kasus Dua Tipe Desa Berbeda

di Bantul dan di Ciamis)

Suraya

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Komunikasi BMT dengan Petani Dua Tipe Desa Berbeda di Bantul dan di Ciamis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian disertasi ini.

Bogor, Mei 2012

(3)

SURAYA. Communication Model BMT with Farmer in Two Type Different Villages in Ciamis and Bantul. Advisor Commision of SUMARDJO, SJAFRI MANGKUPRAWIRA, and DIDIN HAFIDHUDDIN

This research aims to (1) describe how the farmers in Ciamis and Bantul construct their social reality including the processes, motives, and their self-concepts owned by their own views (2) to synthesize behavioral change of farmers in Ciamis and Bantul in managing their communications and analyze the major components of communications on the farmers that make up communication events that are effective in developing social capital of BMT. (3) to devise strategies of developing efective communication patterns in developing the social capital of farmers and BMT. This study uses qualitative research, which emphasizes understanding the phenomenon of what is experienced by research subjects such as behavior, perception, motivation, action, etc., holistically, and by way of description in the form of words and language. The results of the result show that (1) the process of social contraction in rural areas (Bantul) and sub urban area (Ciamis) begins when the farmer has motivation to interact with BMT. Three motives arise: economic incentives (capital), religious (Islamic) and social motives. Farmers self-concept is a reflection of the human capital as sharia farmers, namely: openness, trustful and tawadhu (humble), Tabliq, helpful, afraid of Riba, keep his word and healthy spirit and body. (2). The process of communication that occurs between BMT and the farmers are dialogical communication, listening, understanding and occurs through face to face communication, group communication (discussion, training, mentoring, teaching), organizational communication (annual members' meeting) and even, in BMT Miftahussalam, through the internet. They use not only verbal communication but also non verbal symbols. Non-verbal communication can be seen from the gesture, expression or facial expression which is friendly and always smiling so farmers feel comfortable communicating with BMT. (3). Interaction between BMT and the farmers uses trust communication. When the farmers as members of farmer groups based on social motives , the farmer will get support and solidarity from fellow members of farmer groups. Farmer as a religious being based on religious motives, so that it would give priority to the implementation of the BMT farmers to comply with the provisions of sharia compliance. Farmers as clients of the BMT is based on economic motives. When farmers are getting into Islamic financing, then BMT should provide guidance and training to customers who obtain the finance method. Training and assistance can be in the form of mental, technical and management. If all of these are implemented there will be any changes in the self as an individual farmer. This change will happen if he undertake communication acts. Communication action is mainly in the form of interpersonal communication through verbal and nonverbal communication that prioritizes communication competence. Competent communication actions will affect social change. Social changes that increase will affect the welfare of society. This is done by BMT in the suburban area that reach a maximum well-being. This is different from BMT in the rural areas, which do not conduct training and guidance so that the maximum welfare is obtained

(4)

SURAYA. Model Komunikasi Baitul Maaal Wat Tamwil (BMT) dengan Petani (Studi Kasus Dua Tipe Desa Berbeda di Bantul dan di Ciamis, Dibimbing oleh SUMARDJO, SJAFRI MANGKUPRAWIRA, dan DIDIN HAFIDHUDDIN

Sektor pertanian saat ini menjadi andalan mata pencaharian sebagian besar masyarakat Indonesia dan berperan sebagai penyumbang penting Produk Domestik Bruto (PDB), menjadi sumber devisa negara, serta menjadi pemasok bahan baku sekaligus sebagai pasar bagi sektor industri. Hal ini menimbulkan paradoks sehingga perkembangan sektor pertanian menjadi lambat. Petani memiliki keterbatasan modal/dana yang disebabkan oleh kesulitan akses pembiayaan, ketidak mampuan menyediakan agunan, terbatasnya jumlah dan jangkauan bank. Sebagian besar petani lebih akrab dengan sumber-sumber pembiayaan informal karena lebih mengerti kebutuhan petani. Hal ini menjadi peluang bagi Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) untuk membantu petani mengatasi persoalan permodalan. Perilaku petani dalam mendapatkan pembiayaan syariah dari BMT merupakan fenomena sosial yang dikonstruksikan menurut pengalaman masing-masing. Penelitian ini melihat konstruksi realitas petani di daerah Bantul dengan etnis Jawa dan Ciamis dengan etnis Sunda dalam mengembangkan modal sosial BMT.

(5)

syariah. Petani syariah ini memiliki konsep diri atau memiliki karakteristik sebagai petani yang terbuka, amanah dan tawadhu, tabligh, saling menolong, takut pada riba yang sifatnya haram dan menepati janji serta petani yang sehat jiwa dan raganya.

Petani di Ciamis dan Bantul mengelola proses komunikasi ketika berinteraksi dengan BMT maupun dengan anggota kelompok taninya di lingkungan tempat tinggalnya. Ternyata di antara keduanya tidak ditemukan perbedaan penggunaan bahasa verbal antara proses komunikasi tersebut. Petani biasa menggunakan bahasa Indonesia ataupun bahasa Sunda dan bahasa Jawa. Beberapa simbol nonverbal yang dikelola oleh petani dalam memberikan kesan kepada BMT baik di Ciamis maupun di Bantul dibagi ke dalam kelompok : isyarat dan gerakan tubuh, penampilan, ekspresi wajah. Kebanyakan informan ketika berkomunikasi dengan sesama anggota kelompok tani ataupun dengan BMT adalah sambil menggenggam kedua tangan, dan menggerak-gerakan tangan untuk menjelaskan sesuatu sangatlah bersemangat sehingga perlu penegasan dengan menggerak-gerakan kedua tangannya mengikuti verbalnya. Secara verbal petani mengekspresikan komunikasinya melalui pembicaraan secara langsung dengan pihak BMT atau secara tidak langsung melalui kelompok tani. Tindakan komunikasi petani selalu menciptakan komunikasi terbuka, bersedia mendengarkan, mempersuasi dan mengutamakan dialog (komunikasi dialogis).

BMT Miftahussalam mendapatkan penghargaan Ketahanan Pangan dari Gubernur Jawa Barat berkat usahanya memberikan pembiayaan dan pembinaan kepada petani nasabahnya. Hal ini memperlihatkan adanya kesadaran petani sebagai anggota kelompok tani berkomunikasi dengan BMT agar mendapatkan pembiayaan. Setelah petani mendapatkan pembiayaan, BMT memberikan pelatihan dan pendampingan berupa teknis, mental dan manajemen. Setelah petani mengambil keputusan untuk mengelola pembiayaan modal syariah dalam usaha pertaniannya dan menjalankan pertanian dan pelatihan yang didapat maka taraf kehidupannya bisa berubah menuju yang dicita-citakan, yaitu hidup sejahtera.

(6)

meliputi konsep diri petani, memandang manusia sebagai individu yang otonom. Kemampuan leadership di kedua BMT tersebut adalah kepemimpinan kharisma. Perbedaannya adalah : di BMT Miftahussalam, kabupaten Ciamis, petani sebagai modal manusia yang mendapatkan pembiayaan syariah diberikan pendampingan dan pelatihan di bidang mental, teknis dan manajemen, sehingga petani menjadi lebih maju dan sejahtera. Kemampuan komunikasi dan kerjasama adalah dua kompetensi pada individu yang akan berpotensi dalam membangun jaringan informasi secara kolektif. Modal manusia yang tinggi dalam kegiatan usaha tani akan meningkatkan interaksi, komunikasi dan jaringan kerjasama sehingga dapat mempengaruhi modal sosial. Sebaliknya, modal sosial yang kuat akan memperkuat modal manusia sehingga keduanya mempunyai hubungan timbal balik. Sumber informasi utama bagi petani adalah sesama petani, pemimpinnya dan/atau kelompok tani, tetangga kebun/sawah, tetangga rumah, petani berhasil, kios sarana produksi, tokoh masyarakat, PINBUK, BMT, Puskopsyah, dinas pertanian, dinas koperasi dan sumber lain yang diyakini petani memiliki informasi yang dapat dipercaya. Komunikasi interpersonal yang paling dominan digunakan petani dalam melakukan komunikasi dan mengakses informasi yang dibutuhkan.

Modal struktural pada model etnis Sunda terdiri dari inovasi terhadap pengolahan lahan, seperti: padi, jagung, coklat, perikanan, sapi, kambing. Inovasi juga dibidang pemasaran baik secara offline maupun online. Proses operasional yang dilakukan dengan proses syariah. Organisasi yang awalnya adalah organisasi dari pesantren akhirnya berkembang menjadi organisasi menengah. Modal struktural pada model etnis Jawa baik produk dan pemasarannya belum dilakukan inovasi. Proses operasional BMT berdasarkan syariah. Organisasinya masih kecil, yaitu berupa koperasi kecil.

(7)

dipercaya (trust communication). Ketika petani sebagai anggota kelompok tani didasari oleh motif sosial-nya maka petani akan mendapatkan dukungan dan solidaritas dari sesama anggota kelompok tani. Petani sebagai mahluk religi didasari oleh motif agama, karena itu petani akan mengutamakan pelaksanaan BMT dengan mematuhi ketentuan syariah (syariah compliance-nya). Petani sebagai nasabah dari BMT didasari oleh motif ekonomi. Ketiga hal tersebut mendasari petani agar mendapatkan pembiayaan syariah dari BMT. Tindakan komunikasi petani terutama berupa komunikasi interpersonal melalui komunikasi verbal dan nonverbal yang mengutamakan kompetensi komunikasi. Tindakan komunikasi yang kompeten ini akan mempengaruhi perubahan sosial. Perubahan sosial yang meningkat akan mempengaruhi kesejahteraan hidup masyarakat yang meningkat pula. Hal ini dilakukan oleh BMT di wilayah Ciamis sehingga kesejahteraan yang dicapai menjadi maksimal. BMT di wilayah Bantul, yang tidak melakukan pelatihan dan pendampingan sehingga kesejahteraan yang didapat tidak maksimal. Kemampuan komunikasi dan kerjasama adalah dua kompetensi pada individu yang akan berpotensi dalam membangun jaringan informasi secara kolektif. Modal manusia yang tinggi dalam kegiatan usaha tani akan meningkatkan interaksi, komunikasi dan jaringan kerjasama sehingga dapat mempengaruhi modal sosial. Sebaliknya, modal sosial yang kuat akan memperkuat modal manusia sehingga keduanya mempunyai hubungan timbal balik.

(8)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(9)

BAITUL MAAL WAT TAMWIL (BMT) DENGAN PETANI

(Studi Kasus Dua Tipe Desa Berbeda di Ciamis dan Bantul)

SURAYA

I362070031

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Komunikasi Pembangunan dan Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Sarwititi Sarwoprasodjo 2. Dr. Irfan Syauqi Beik, M.Sc

(11)

(studi Kasus Dua Tipe Desa Berbeda di Ciamis dan di Bantul

Nama : Suraya

NIM : I362070031

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Sumardjo, MS Ketua

Prof. Dr. Sjafri Mangkuprawira Prof. Dr. Didin Hafidhuddin, MS

Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Komunikasi Pembangunan dan Pedesaan

Dr. Djuara P. Lubis, MS Dr. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

(12)

Puji Syukur Alhamdulillah bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga disertasi ini dapat terselesaikan juga. Segala daya dan upaya disertai dengan pengorbanan di sana-sini, terutama pada waktu dan keluarga harus dikeluarkan agar disertasi ini dapat terwujud. Kenapa hal tersebut diungkap ? Disertasi ini adalah wujud dari jerih payah dan effort yang sangat besar karena di tengah penulisan ini harus dibarengi oleh perjalanan kuliah dan penelitian Magister Bisnis dan Keuangan Islam di Universitas Paramadina, kesibukan mengajar di program studi Ilmu Komunikasi Paramadina serta yang tak kalah pentingnya adalah kewajiban mengayomi keluarga.

Tema penelitian disertasi ini berawal dari keprihatinan terhadap nasib petani Indonesia yang sering sudah terjatuh tertimpa tangga pula. Maksudnya, mereka sering kali meminjam modal kepada patron/majikan bahkan kepada rentenir/tengkulak. Belum selesai mereka mencicil ataupun membayar hutang, mereka harus berhadapan dengan resiko lain seperti pemakaian pupuk palsu ataupun gagal panen. Petani perlu didukung ketersediaan pembiayaan dalam jumlah yang memadai dan sesuai dengan karakteristik usaha pertanian. Selain itu, ketersediaan sumber pembiayaan di pedesaan yang mudah diakses menjadi sebuah kebutuhan dalam pembangunan pertanian.

Penyusunan disertasi ini tidak terlepas dari banyaknya pihak yang memberikan kontribusi. Secara khusus penulis mengucapkan terimakasih kepada bapak Prof. Dr. Sumardjo, Prof. Dr. Sjafri Mangkuprawira, dan Prof. Dr. Didin Hafidhuddin selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pikirannya dalam membimbing dan mengarahkan penulis selama kuliah di mayor Komunikasi pembangunan serta dalam penyusunan disertasi sehingga bisa rampung. Ucapan terimakasih penulis sampaikan atas jasanya telah memberikan beasiswa kepada penulis, yaitu kepada Bapak Ir. Beni Subianto yang telah memberikan Paramadina Fellowship, Bapak. Anies R. Baswedan, Ph.D selaku Rektor Paramadina, Totok A. Soefijanto Ed.D, Deputi Rektor I Bidang Akademik dan Riset; Bima Priya Santosa, Ak., BAP, MFM., Deputi Rektor II Bidang Keuangan dan Operasional; Wijayanto, MPP, Deputi Rektor III Bidang Kerjasama, Pengembangan Bisnis dan Keuangan serta Kurniawaty Yusuf, Direktur Fellowship dan Kerjasama.

(13)

Ucapan terimakasih secara special juga penulis haturkan kepada teman program studi Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina (Nurhayani Saragih, Rini Sudarmanti, Juni Alfiah Chusjairi, AG. Eka Wenats, Wahyutama, Ika Karlina) terimakasih atas dukungan dan pengertiannya.

Penulis menghaturkan terimakasih banyak bagi kedua orang tua, serta ibu mertua yang telah memberikan doa, membesarkan dan mendidik dan yang telah mengajarkan bahwa harta yang paling berharga adalah ilmu yang bermanfaat. Tesis ini juga penulis persembahkan bagi keempat anak, Fatimah Azzahra, Ali Syariati Kamil, Huzaifah Malahayati dan Ayu Sabrina Anshari serta suami tercinta (Muflihun) yang telah mengikhlaskan waktu dan kasih sayang mereka bagi penulis.

Buat teman-teman satu angkatan (KMP 2007) selain ucapan terimakasih atas kekompakan dan diskusi-diskusinya. Juga buat teman, rekan sejawat lainnya serta pihak-pihak lainnya yang tidak bisa penulis uraikan satu persatu. Semoga segala dukungan, bantuan baik materil maupun moril serta doa bagi penulis akan dibalas Allah dengan kebaikan yang berlimpah pula. Mudah-mudahan karya ini dapat bermanfaat dan Allah SWT meridhoi ikhtiar kita semua.

Jakarta, Mei 2012

(14)

Penulis dilahirkan di Jakarta, 27 Nopember 1968 dari Abu Mansur Amin dan Umi Mahyuni. Penulis merupakan putri pertama dari lima bersaudara. Pendidikan Dasar dan menengah ditempuh pada : SD Negeri Depok Baru II Depok (1976-1981), SMP Negeri II Depok (1981-1984), dan SMA Negeri I Depok (1984-1987). Memperoleh gelar Sarjana Sosial dari Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta, Fakultas Ilmu Komunikasi, Jurusan Ilmu Jurnalistik (1987-1991) dengan IPK 3.23 dengan judul skripsi Perbandingan penyajian Tata Letak Suratkabar Berita Buana Sebelum dan Sesudah edisi 1 Desember 1990 Hubungannya dengan Ketertarikan Pembaca Pelanggannya di Mariyo-riyo Agency. Kemudian melanjutkan studi pasca sarjana pada Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (1997-1999) dengan IPK 3.51 menyusun tesis yang berjudul studi Ideologi Melalui Pemberitaan Kasus Aceh dalam wacana Pers Indonesia. Selanjutnya melanjutkan studi pasca sarjana kedua pada program Magister Bisnis dan Keuangan Islam (MBKI) Paramadina Graduate School of Business (2006-2010). Saat ini sedang melanjutkan Program Doktor Mayor Komunikasi Pembangunan di Institut Pertanian Bogor (IPB) (2007-sekarang).

(15)

iv

Teks Halaman

2.1. Bentuk dan Implikasi Komunikasi ……….. 82

2.2. Perbedaan Lembaga Keuangan Konvensional dan Syariah ………… 96

2.3. Perbedaan antara Bank Syariah dan Konvensional ………. 96

3.1. Lembaga Keuangan Mikro didirikan oleh petani ……… 129

3.2. Profil Singkat Petani Informan ……… 132

3.3. Teknik Pengumpulan Data Fenomenologi ………. 133

3.4. Teknik Analisa Dalam Fenomenologi ……… 142

4.1. Indikator Kependudukan Kabupaten Ciamis 2010 ..………. 143

4.2. Tata Guna Lahan Bantul 2009 ..……… 146

4.3. Data Kependudukan Bantul 2009 ……… 147

4.4. Kepadatan Penduduk Geografis Bantul 2010 ..………. 147

4.5. Kepadatan Penduduk Agraris Bantul 2010………. 148

4.6. Distribusi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan ……….. 150

4.7. Distribusi Penduduk Menurut Mata Pencaharian ……… 151

4.8. Data Perkembangan BMT Miftahussalam ……….. 154

4.9. Data Perkembangan BMT Al Barokah ……… 162

4.10. Gambaran Umum, Potensi, Desa, Profil BMT di Ciamis dan Bantul.. 163

5.1. Etos Kerja dan norma Masyarakat Ciamis dan Bantul ………….…. 171

6.1. Aspek pendorong dan Penarik Sebagai Motif Mendapatkan Pembiayaan Syariah ……….. 194

6.2. Konstruksi Realitas Petani ……… 209

7.1. Kecenderungan Model Komunikasi Antar Pelaku dalam Permodalan Syariah ……….. 213

7.2. Proses Komunikasi,Makna Simbolik dan Kompetensi Komunikasi … 262 8.1. Analisis Proses komunikasi dalam Interaksi Petani dan Pihak BMT ……….. 294

8.2. Analisis Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Interaksi Petani dengan BMT ……….………. 296

8.3. Analisis Faktor Internal Petani di Ciamis dan Baatul …..……… 298

8.4. Dampak Kebutuhan Modal Bagi Petani dan BMT di Ciamis dan Bantul ………..……….. 299

(16)

v

DAFTAR GAMBAR

Teks Halaman

2.1. Pandangan Hidup Orang Sunda tentang Manusia sebagai pribadi dalam konteks Hubungan Penguasa dan Rakyat (Balarea) – Pola I ………

48 2.2. Pandangan Hidup Orang Sunda tentang Manusia sebagai pribadi dalam

konteks sebagai Kelompok Sosial – Pola II ………. 49

2.3. Pola Pandangan Hidup Orang Jawa ………. 53

2.4. Model Komunikasi Gudykunst and Kim ………. 75

2.5. Model Komunikasi Schramm ……….. 76

2.6. Kerangka Perilaku Konsumen Mendapatkan Mashalah dan Berkah ….. 99

2.7. Cara Kerja dan Perputaran Dana di BMT ……… 100

2.8. Kerangka Konseptual ……… 115

2.9. Kerangka Pemikiran Teoritik ……… 117

2.10. Posisi Penelitian dibanding Penelitian Sebelumnya ……… 125

5.1. Pandangan Hidup Orang Sunda di Ciamis ……… 168

5.2. Pandangan Hidup Orang Jawa di Bantul ……….. 170

6.1. Aspek Pendorong dan Penarik Menjadi Motif Berinteraksi dengan BMT 196 6.2. Karakter Petani di Sub urban Area Ciamis ………. 199

6.3. Karakter Petani di Rural Area (Bantul) ……… 203

6.4. Pola Konstruksi Sosial Petani ……….. 209

7.1. Keterkaitan Antar Pelaku ………. 212

7.2. Proses Komunikasi Pengajuan Pembiayaan Syariah ……….. 232

7.3. Alur Akad Mudharabah ………... 235

7.4. Alur Akad Murabahah ………. 235

7.5 Proses Komunikasi Pada Akad Murabahah ……..………. 236

7.6 Proses Komunikasi Pada Akad Mudharabah ……… 237

7.7. Pembiayaan dalam Bentuk Akad Al Qardhul Hasan ……….. 238

7.8. Pola Komunikasi Antara PINBUK, Petani dan BMT ……….. 239

7.9. Pola Komunikasi BMT dan Petani setelah Mendapat Pembiayaan Syariah ……….. 240

7.10. Pola Komunikasi Antara BMT, Petani dan Tokoh Masyarakat ………. 241

7.11. Pola Komunikasi Syariah ………. 242

8.1. Konsep Diri Petani Syariah ………. 280

(17)

i Fenomenologi dan Petani Sebagai Aktor Sosial dan Subyektif ... Konstruksi Realitas Sosial Petani ... Petani dalam Konsep Interaksi Simbolik ... Etos Kerja sebagai Dasar Moral ………. Budaya Sunda ………. Budaya Jawa ……….. Pandangan Hidup Orang Sunda Sebagai Manusia Pribadi ……… Pandangan Hidup Orang Jawa Sebagai Manusia Pribadi ……….. Modal Sosial ... Komunikasi yang dapat di percaya (Trust Communication)... Bahasa Sebagai Alat Komunikasi ……….. Lembaga Keuangan Mikro Syariah ... 95

Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) ... 97

Kerangka Pemikiran Konseptual………... ... 115

Kerangka Pemikiran Teoritik ………... 117

Hasil Penelitian Sebelumnya... 119 BAB III METODE PENELITIAN ... 126

Paradigma Penelitian ... 126

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 128

Informan Penelitian ... Proses Pendekatan ke Subyek Penelitian ... 136

Teknik Keabsahan Data ... 137

(18)

ii DAN DESA BLAWONG KABUPATEN BANTUL

Kabupaten Ciamis ………. 143

Kabupaten Bantul ……….. 144

Desa Cijeunjing Kabupaten Ciamis ……….. 149

Desa Blawong Kabupaten Bantul ………. 150

BMT Miftahussalam ………. 151

BMT Al Barokah ……….. 154

BAB V ETOS KERJA MASYARAKAT DESA CIJEUNJING DAN DESA BLAWONG 165 Etos Kerja Orang Sunda pada Warga Desa Cijeunjing Ciamis ………. 165

Etos Kerja Orang Jawa pada Warga Desa Blawong Bantul ……….. 168

BAB VI KONSTRUKSI REALITAS SOSIAL PETANI 174 Proses Mendapatkan Pembiayaan di BMT (Motif) di Kabupaten Ciamis …… 174

Aspek Pendorong ……….. 174

Aspek Penarik ……… 181

Proses Mendapatkan Pembiayaan di BMT (Motif) di Desa Blawong Kabupaten Bantul ……….. 186 Aspek Pendorong ……… 186

Aspek Penarik ………. 191

Konsep Diri/Karakter Petani ……….. 196

Petani di Desa Cijeunjing Kabupaten Ciamis ………. 196

Petani di Desa Blawong Kabupaten Bantul ……… 199

Pembahasan Hasil Penelitian ……….. 203

Eksplorasi Kebenaran Empirik Logik ………. 204

Aspek Kebenaran Empirik Etik Komunikasi Petani ……….. 205

Aspek Kebenaran empirik Transendental ……… 207

. BAB VII MODEL KOMUNIKASI SYARIAH 212 Proses Komunikasi Petani ………. 212

Proses Komunikasi Petani dan BMT Ketika Mengajukan Pembiayaan Syariah di Ciamis ……….……… 213

Proses Komunikasi Petani dan BMT Ketika Mengajukan PEmbiayaan Syariah di Bantul ……… 215 Makna Simbolik pada Petani ………. 216

Kompetensi Komunikasi Petani ……… 222

Petani sebagai aktor kehidupan ……….. 224

Pesan Komunikasi Islami ……….………. 226

Proses Komunikasi dalam Proses Akad Kredit……….. 232

Pembahasan Penelitian ……….. 245

Eksplorasi Kebenaran Empirik Logik ……… 245

Eksplorasi Kebenaran Empirik Etik ……… 249

Eksplorasi Kebenaran Empirik Transendental ……… 251

(19)

iii

BMT dalam Pembangunan ………..……… 266

Kabupaten Ciamis dan Bantul ……… 268

Pembentukan Modal Sosial BMT ……….………. 269

BMT di Ciamis dan Bantul ………. 275

Sumber Daya Manusia dan Kepemimpinan ………... 276

Kepemimpinan di Ciamis …..……… 281

Kepemimpinan di Bantul ……….. 284

Refleksi Teoritik ………. 303

BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN 309 Kesimpulan ………. 309

Saran ………... 312

DAFTAR PUSTAKA ……… 313

(20)

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Lembaga keuangan Mikro Syariah mengalami perkembangan yang sangat pesat saat ini, terutama BMT. Ada sekitar 3.900 BMT yang yang beroperasi di Indonesia pada akhir tahun 2010. Aset BMT-BMT berkisar di atas 1 milyar (4,5 persen), 500 juta - 1 milyar (7 persen), 250 juta - 500 juta (39.5 persen), 50 juta – 250 juta (40 persen), dan dibawah 50 juta (9 persen) (Pinbuk.org, 2012)

Selama ini menurut Hafidhuddin (2008) BMT telah membuktikan bahwa dari sisi bisnis, pembiayaan pada UMK merupakan bisnis sektor riil, terbukti menurut catatan BMT centre terdapat pertumbuhan aset sebesar 59,71 persen pada tahun 2004-2005 dan peningkatan SHU sebesar 46,71 persen pada tahun yang sama. Penerimaan masyarakat yang semakin besar pada adanya manfaat dari kehadiran BMT ini terlihat dari pesatnya pertumbuhan BMT di daerah-daerah. Berdasarkan data terakhir, terdapat sekitar 2.938 unit BMT di seluruh Indonesia. Di Jawa Barat hampir 22 persen, 20 persen di Jawa Timur, 17,5 persen di Jawa Tengah, di luar Jawa yang terbesar adalah di Sulawesi Selatan 6 persen, dan Sumatera Utama 5 persen. Berdasarkan data tahun 2000, rata-rata setiap BMT memiliki sekitar 199 penabung dan 83 orang peminjam, dengan rata-rata simpanan sebesar Rp. 265.000 dan rata-rata pinjaman sebesar Rp. 698.000.

Kesejahteraan petani menurut BPS tahun 2005-2007 menunjukkan fluktuatif pada tahun 2005-2007 berturut-turut kesejahteraan petani mencapai 102,99 persen, 105,07 persen dan 104,62 persen. Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa petani sudah sejahtera. Faktanya di lapangan petani berhadapan dengan harga kebutuhan yang terus meningkat, termasuk harga bahan konsumsi dan bahan produksi untuk lahan pertanian. Sementara sebelumnya dari hasil survei BPS (2005) lebih dari 60 persen petani mengatakan kondisi ekonomi rumah tangga mereka tidak berubah dari tahun-tahun sebelumnya. Survei tersebut juga memperlihatkan rata-rata penghasilan tertinggi petani dalam setahun adalah Rp. 11,3 juta (di Sumatera Barat) dan terendah Rp. 7,7 (di Nusa Tenggara Barat). Pendapatan tersebut masih jauh dikatakan layak untuk mencukupi kebutuhan keluarga petani.

(21)

oleh peningkatan nilai indikator-indikator perbankan syariah, seperti aset, dana pihak ketiga (DPK), dan pembiayaan. Sebagai contoh, aset perbankan syariah (belum termasuk BPRS) telah berkembang sekitar 54 kali lipat selama 10 tahun, dari Rp 1,79 trilyun pada akhir tahun 2000 menjadi Rp 97,52 trilyun pada akhir tahun 2010. Selama kurun itu, pertumbuhan rata-rata setiap tahunnya adalah sekitar 54 persen. Dana Pihak Ketiga yang berhasil dihimpun pada kurun waktu yang sama meningkat sekitar 74 kali lipat, dari Rp 1,03 trilyun menjadi Rp 76,04 trilyun. Sedangkan pembiayaan yang diberikan juga meningkat sekitar 54 kali lipat, dari Rp 1,27 trilyun menjadi Rp 68,18 trilyun (2010).

Perbankan Syariah sudah melakukan ekspansi dengan memberikan pembiayaan kepada sektor pertanian bagi masyarakat di pedesaan. Sektor pertanian saat ini menjadi andalan mata pencaharian sebagian besar masyarakat Indonesia dan berperan sebagai penyumbang penting Produk Domestik Bruto (PDB), menjadi sumber devisa negara, serta menjadi pemasok bahan baku sekaligus sebagai pasar bagi sektor industri. Menurut data BPS (2008) GNP tahun 2008, 20,9 juta rupiah dengan growth index 24,3 persen atau dalam USD $2.190,6. Cadangan devisa Indonesia hingga awal Februari 2008 turun sebesar USD$ 960 juta menjadi USD $ 56 miliar. Salah satu masalah penting yang sampai saat ini masih dihadapi bangsa ini adalah kemiskinan dan kesenjangan ekonomi antara kelompok kaya dan miskin.

Menurut data BPS (2008) jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 34,96 juta orang atau 15,42 persen dari total penduduk. Mengutip data BPS 2006, Hafidudin dan Syukur (2008) mengatakan walaupun sektor pertanian menyerap jumlah tenaga kerja yang paling banyak dan menggunakan sebagian besar lahan yang ada, namun sumbangan sektor ini pada Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tidak sebesar kontribusinya dalam penyerapan tenaga kerja dan penggunaan lahan. Pada tahun 2005 sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan hanya memberikan kontribusi sebesar 254,9 triliun rupiah (13,4 persen dari total PDB).

(22)

Ada paradoks pada kondisi pertanian saat ini, di satu sisi, sektor pertanian menyerap tenaga kerja yang sangat besar sekitar 44 persen dari total tenaga kerja di Indonesia dan pertanian berperan memberikan 13,4 persen pada PDB, selebihnya dari sektor perdagangan, industri, jasa, dan lain-lain (BPS, 2005). Paradoks ini menimbulkan masalah serius sehingga perkembangan sektor pertanian menjadi lambat. Pertama, keterbatasan modal/dana petani yang disebabkan oleh kesulitan akses pembiayaan, ketidak mampuan menyediakan agunan, terbatasnya jumlah dan jangkauan bank. Kedua, SDM yang rendah, rata-rata petani mengenyam pendidikan hanya sampai tingkat pendidikan yang rendah. Hal ini menyebabkan pengelolaan pertanian menjadi tidak optimal, rendahnya daya saing dan terbatasnya penguasaan sarana dan teknologi. Ketiga, persepsi negatif bahwa sektor pertanian beresiko tinggi, ketergantungan pada musim dan ketersediaan air, jaminan harga yang fluktuatif, dan sebagainya. Keempat, kondisi petani lokal di pedesaan seperti yang dikatakan Scott (1981) bahwa mereka memiliki persepsi moral yang tidak akan mengambil resiko yang berbahaya, beresiko tinggi dan mengancam subsistensi mereka. Secara dialektis Samuel Popkins (1979) menunjukkan bahwa bukan soal moral yang paling menentukan setiap tindakan petani melainkan rasionalitas kerjanya. Maksudnya, petani bukan tidak mau mengambil resiko dalam segala tindakannya tetapi juga ada aspek-aspek spekulatif dan perhitungan untung rugi yang sangat cerdik.

Pemerintah setidaknya berkewajiban untuk meningkatkan dan melakukan pemerataan terhadap kesejahteraan para petani. Hal-hal yang harus diperhatikan untuk mendukung pengembangan revitalisasi pertanian ini, antara lain : aspek kebijakan, lintas sektoral, aspek teknologi, aspek kelembagaan, aspek sumber daya manusia dan aspek permodalan. Pada aspek permodalan ini yang menjadi masalah paling krusial yang dialami para petani.

(23)

pada umumnya masih membiayai usaha produksi, belum menyentuh kegiatan praproduksi, pasca produksi, dan pascapanen. Padahal kegiatan off farm ini memberikan tingkat keuntungan yang lebih baik bila dibandingkan dengan kegiatan on farm; (e) Belum berkembangnya lembaga penjaminan usaha di bidang pertanian (Asuransi Pertanian) yang mengakibatkan lembaga keuangan maupun investor enggan untuk menyalurkan dananya pada kegiatan agribisnis; (f) Belum adanya lembaga keuangan yang khusus membiayai sektor pertanian. Hal ini mengakibatkan dukungan pembiayaan sektor pertanian tidak sesuai dengan tuntutan pembangunan nasional yang memprioritaskan pertanian sebagai tulang punggung perekonomian nasional; dan (g) Belum berkembangnya Lembaga Keuangan Pedesaan/Lembaga Kredit Mikro di pedesaan sehingga terjadi ketidakseimbangan antara kemampuan masyarakat untuk menabung dengan jumlah modal yang keluar pedesaan (capital outflow).

(24)

ataupun umum juga harus memiliki persepsi bahwa dalam menjalankan usaha tidak ada keuntungan tanpa resiko yang harus dihadapi.

Bank Indonesia menilai perbankan syariah memiliki produk yang paling cocok untuk mengembangkan pembiayaan di sektor pertanian yang memiliki karakter berbeda dengan sektor lainnya karena adanya faktor cuaca dan musim tanam. Pembiayaan syariah dapat mendorong pertumbuhan perekonomian di sektor pertanian yang menyediakan lahan kerja sekitar 40,3 persen dalam lima tahun terakhir. (Republika, 2 Maret 2011)

Menurut hasil survey Bank Indonesia 2011, sekitar 97,5 persen atau 24 juta petani di Indonesia mengaku tidak pernah menerima kredit dari pemerintah. Hanya 2,5 persen atau 616 ribu petani yang mengaku pernah mendapatkan kredit dari pemerintah. Komposisi jenis kreditnya adalah uang 55,1 persen, sarana produksi 37,3 persen dan lainnya 7,6 persen. Sebanyak 95,1 persen atau 23 juta petani mengaku tidak pernah mendapatkan kredit dari lembaga non pemerintah. Hanya sekitar 4,9 persen atau 1,2 juta petani yang mengaku sebaliknya. Jenis bantuan seperti benih 38,2 persen, pupuk 15,2 persen, pestisida 2,7 persen, alat pertanian 1,3 persen, ternak 6 persen dan lainnya 36,6 persen. Sisi penyuluhan, sebanyak 86 persen atau 21 juta petani tidak pernah mendapatkan penyuluhan pertanian. Hanya 13,7 persen atau sekitar 3 juta petani mengaku pernah mendapatkannya. Jenis penyuluhan yang didapat petani, berupa budidaya 40,1 persen, pengolahan hasil 25,2 persen, pemasaran hasil 13,2 persen dan lainnya 21,6 persen. Sementara, untuk jenis lahan, survey BI menunjukan adanya pengurangan lahan pertanian di Pulau Jawa hingga 4,845 hektar, di wilayah luar Jawa terdapat penambahan lahan pertanian hingga 64,834 hektar. Sampai akhir 2010 penyaluran kredit kepada sektor pertanian mencapai Rp. 91 triliun atau 5,15 persen dari total kredit perbankan. Perbankan syariah hanya memberikan kontribusi sebesar 1,76 triliun atau 5,15 persen untuk sektor pertanian. (dalam Republika, 2 Maret 2011)

(25)

Terdapat persepsi masyarakat bahwa pasar non-syariah atau pasar konvensional selalu lebih menguntungkan secara finansial dibandingkan pasar syariah karena sistem bunganya. Pasar syariah sendiri hanya dipahami sebagai pasar kaum muslim saja, seolah merupakan pasar yang tertutup untuk kalangan non muslim. Padahal, sistem bagi hasil yang merupakan salah satu elemen penting dari pasar syariah sudah sejak lama diterapkan di negara-negara Eropa dan negara-negara Arab (Kartajaya & Syula, 2006:xxv).

Pasar syariah bagi pembiayaan sektor riil sangatlah diutamakan. Sumber pembiayaan pembangunan pertanian di Indonesia juga disediakan oleh pemerintah dan lembaga keuangan sebagai bagian dari paket pembangunan pertanian. Kredit memberikan manfaat bagi pelaku usaha pertanian terutama yang menjalankan usaha skala kecil. Ada beberapa manfaat kredit bagi pelaku usaha pertanian menurut Hafiduddin dan Syukur (2008), yaitu : Pertama, kredit merupakan modal kerja bagi pelaku usaha pertanian yang memiliki keterbatasan modal sendiri. Kedua, kredit dapat menjadi pendorong bagi pelaku usaha pertanian untuk mandiri sehingga dapat terlepas dari ketergantungan pada pedagang perantara, toke maupun tengkulak yang merugikan pelaku usaha pertanian. Ketersediaan kredit untuk pembiayaan pertanian masih sangat minim, ditambah lagi penyebaran informasi mengenai hal ini yang jauh dari kata sangat kurang. Sejak lama, pembiayaan dengan pola syariah ini sebenarnya tidak terlalu asing bagi masyarakat karena sudah terbiasa dengan sistem bagi hasil, seperti sistem maro dalam tanaman pangan, sistem gaduhan dalam peternakan dan sistem bagi hasil dalam perikanan tangkap.

Pemahaman masyarakat di daerah pedesaan mengenai lembaga keuangan mikro syariah sangat diperlukan. Hal ini dikarenakan masyarakat di daerah dan pedesaan masih sulit tersentuh oleh bank, maka dibutuhkan lembaga keuangan alternatif yang menyentuh masyarakat pedesaan. Potensi pendanaan masyarakat yang ada belum dikelola secara optimal. Hal ini diduga berkaitan dengan jumlah penyebaran bank terbatas, tersebar di ibukota propinsi, sehingga peranan lembaga keuangan mikro yang ada belum melayani masyarakat secara optimal.

(26)

banyak tenaga kerja/masyarakat miskin, namun dukungan permodalan masih minimal. Usaha Mikro Kecil, Menengah dan Koperasi (UMKMK) berperan sangat strategis, karena 99,9 persen dari 43 juta unit usaha di Indonesia adalah usaha mikro dan kecil. 99,5 persen kesempatan kerja disediakan oleh UMKMK. 57 persen kebutuhan barang dan jasa disediakan oleh UMKMK. 19 persen ekspor merupakan hasil UMKMK yang keseluruhannya memberikan kontribusi 2-4 persen terhadap pertumbuhan nasional (PT.Permodalan Nasional Madani, 2007).

Lembaga keuangan syariah ini mempunyai peluang yang besar dalam menggerakan sektor riil. Hal ini dapat terwujud apabila dapat mengoptimalkan pembiayaan mikro syariah ini. Menurut data statistik BI, (2007) porsi produk pembiayaan murabahah mencapai 60,67 persen, musyarakah 14,32 persen dan mudharabah 20,40 persen. Rendahnya porsi pembiayaan pada bank syariah ini umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain persepsi dan preferensi nasabah di daerah pada pola pembiayaan syariah.

Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Antonio (1999) mengenai kendala yang timbul berkaitan dengan perkembangan perbankan syariah, yaitu : (1) Pemahaman masyarakat yang belum tepat terhadap kegiatan operasional bank syariah, (2) Peraturan perbankan yang berlaku belum sepenuhnya mengakomodasi operasional bank syariah, (3) Jaringan kantor bank syariah yang belum luas, (4) Sumber daya manusia yang memiliki keahlian dalam bank syariah masih sedikit. Pola-pola pembiayaan syariah yang ditemukan di lapangan yang bersumber dari lembaga perbankan syariah adalah mudharabah/musyarakah, bai salam, dan bai murabahah. Umumnya nasabah perbankan syariah ini masih kurang paham terhadap jenis produk dan karakteristik produk pembiayaan syariah. Praktik pembiayaan dengan pola syariah masih ada kesenjangan antara konsep yang diatur dalam fikih muamalat dengan saat implementasinya.

(27)

mereka ke sekolah yang lebih tinggi, dan lebih tahu tentang berita nasional dan internasional. Jahi melanjutkan bahwa dalam pembangunan yang partisipatif, partisipan harus mampu mengekspresikan kebutuhan mereka dan memiliki kesempatan untuk mendapatkan informasi yang mereka butuhkan melalui saluran-saluran komunikasi yang tersedia. BMT haruslah memberikan edukasi informasi kepada petani melalui saluran-saluran informasi yang tersedia, misalnya komunikasi interpersonal, kelompok diskusi atau majlis ta’lim, suratkabar, majalah, radio, atau televisi bahkan melalui internet.

Salah satu lembaga pembiayaan syariah yang menfokuskan kepada petani adalah Lembaga keuangan mikro agribisnis syariah yang dikelola oleh Kementrian Pertanian. Kelompok Tani ini mendapatkan bantuan penguatan modal dari pemerintah Jepang lewat program CF-SKR yang dikelola oleh sub direktorat pembiayaan pertanian di Kementrian pertanian yang dikelola dengan menggunakan sistem syariah, sehingga pembiayaan ini dinamakan lembaga keuangan mikro agribisnis syariah. Daerah yang menjadi percontohan dan berhasil dalam mengelola lembaga keuangan mikro syariah ini (Deptan, 2005) adalah BMT Miftahussalam Kecamatan Cijeungjing Kabupaten Ciamis Jawa Barat dan Kelompok Tani yang mendirikan BMT Al Barokah Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta. Penyaluran pembiayaan dengan sistem syariah ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya petani. Bergulirnya pembiayaan syariah ini diharapkan dapat menyebabkan bergeraknya roda perekonomian di daerah tersebut.

(28)

Penduduk di kedua wilayah tersebut, baik Bantul maupun Ciamis, sama-sama memiliki mata pencaharian sebagai petani. Mereka mengolah lahan pertaniannya menanam padi maupun jagung. Para petani memiliki kendala dalam hal permodalan untuk membiayai produksi lahan pertaniannya. Permodalan tersebut bisa didapatkan dari pembiayaan kredit syariah di BMT yang ada di sekitar wilayah pertaniannya.

Menurut Ancok (2007) pertumbuhan ekonomi suatu bangsa akan lebih maju bila masyarakatnya memiliki kepercayaan satu sama lain sebagai pengikatnya dan menjadi modal sosial. Menurut Fukuyama (2007) trust adalah sebagai perekat modal sosial. Pada saat ini tidak lagi bisa memisahkan antara kehidupan ekonomi dengan kehidupan budaya. Selanjutnya Ia berpendapat bahwa dalam sebuah era dimana faktor modal sosial sudah sepenting modal fisikal, hanya masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan sosial tinggi yang akan mampu menciptakan organisasi-organisasi bisnis fleksibel berskala besar yang diperlukan untuk bersaing di arena ekonomi global baru.

Membangun kepercayaan menurut Ancok (2007) harus dimulai dengan membangun sistem sosial yang bercirikan adanya kompetensi, keterbukaan, reliabilitas dan keadilan. Apabila BMT akan berkomunikasi dengan calon nasabahnya, terlebih dahulu adalah membangun kepercayaan di antara keduanya (kreditur dan debitur). Apakah BMT tersebut memiliki kompetensi, dapat berkomunikasi secara terbuka, dapat diandalkan dan memiliki rasa keadilan? Kepercayaan itu pulalah yang membuat Muhamad Yunus (2007) melakukan gebrakan yang berani untuk memberikan kredit mikro kepada kaum miskin. Ketika mengawali program kredit mikro di desa Jobra, Yunus mendebat manajer bank yang bersikeras bahwa bank tidak mungkin memberi pinjaman tanpa jaminan pada kaum miskin karena resiko tidak kembalinya sangat besar. Yunus membantah :”mereka sangat punya alasan untuk membayar anda kembali, yakni untuk mendapatkan pinjaman lagi dan melanjutkan hidup esok harinya ! Itulah jaminan terbaik yang bisa anda dapatkan : Nyawa mereka!” Kepercayaan pada kaum miskin inilah sebenarnya inti filosofi Grameen Bank. Namun, program penyaluran kredit Grameen Bank yang ditujukan kepada kelompok-kelompok ibu rumah tangga agar dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga, namun masih menggunakan unsur bunga dalam perhitungan keuntungannya.

(29)

yang terjadi antara petani dengan BMT sebagai sebuah fakta sosial. Para petani melihat bahwa perbankan adalah “lembaga yang sulit disentuh” dan agar mengena pada masyarakat petani di perdesaan maka disentuh melalui BMT. BMT sendiri menganggap usaha yang dilakukan oleh petani sebagai “usaha dengan resiko tinggi (high risk)” sehingga resiko penyaluran kredit kepada petani sangat tinggi. Padahal tidak ada usaha yang akan mendapatkan keuntungan tanpa menghadapi resiko. Pandangan seperti ini bukanlah pandangan yang salah, namun hanyalah merupakan sudut pandang orang luar (pandangan etik), sebagai sebuah fakta yang semestinya berlaku seperti itu, bukan pandangan emik (bagaimana petani dan lembaga keuangan mikro syariah melihat kehidupan mereka sendiri). Menurut pandangan kedua lebih bersifat interpretif atau fenomenologis, petani dan lembaga keuangan syariah sebagai subyek (aktor kehidupan) memiliki keinginan, harapan, dan kehidupan sendiri yang unik. Pandangan subyektif ini dibutuhkan untuk mengimbangi pandangan sebelumnya yang obyektif yang melihat bahwa petani sebagai korban kehidupan, kesenjangan ekonomi dan ketidakadilan sosial, bukan sebagai anggota masyarakat yang memiliki pemikiran dan pengalaman hidup yang mereka rasakan dan alami sendiri.

Pendekatan interaksi simbolik sebagai salah satu pendekatan komunikasi dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena bagaimana para petani berinteraksi di antara mereka dan petani dengan lembaga keuangan mikro syariah. Apa yang ditampilkan oleh petani untuk mendorong lembaga keuangan mikro syariah agar mempercayainya dalam menyalurkan pembiayaan syariah, melalui bahasa verbal atau non verbal, apa dan bagaimana proses komunikasi yang terjadi di antara sesama petani, penuh dengan simbol-simbol yang khas.

Perumusan Masalah

(30)

membangun kepercayaan tersebut melalui blog perusahaan (Corporate Blog). Perilaku komunikasi dalam membangun kepercayaan juga harus dilakukan seperti terungkap dalam penelitian yang dilakukan pada kolaborasi team secara Online di internet (Bulu & Yildirim, 2008), pada team virtual multikultural (Lateenmahki, et all, 2007; Jarmon & Keating, 2007).

Peranan komunikasi interpersonal sangatlah penting dalam mengembangkan kepercayaan dan kedekatan pada klien. Hal ini diteliti oleh Kirchmajer dan Petterson (2003) pada konteks pelayanan profesional provider dan perencana keuangan pada usaha kecil menengah (Small to Medium Enterprise/SME) di Australia dan New Zealand. Ada juga penelitian yang dilakukan oleh Botan dan Taylor (2005) yang meneliti masalah peranan kepercayaan terhadap media sebagai strategi komunikasi dalam membangun masyarakat madani (civil Society). Penelitian lain dilakukan Wilson (2000) mengenai masalah kepercayaan dalam ekonomi agribisnis sehingga membentuk kapital sosial. Penelitian yang dilakukan oleh Bank Indonesia (2000) bekerjasama dengan IPB, UNDIP telah melihat sejauhmana ada potensi, preferensi dan perilaku masyarakat mengenai lembaga keuangan syariah di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Hasil analisisnya menunjukkan bank syariah lebih diminati kalangan berpenghasilan menengah ke bawah. Hal ini terutama karena didukung dengan sistem jemput bola yang merupakan andalan utama dalam melayani nasabah (terutama BPRS) yang sangat diminati masyarakat dari kalangan tersebut. Temuan hasil studi menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat terhadap bank syariah baik yang berkaitan dengan sistem maupun jenis layanan/jasa, masih dapat dikatakan rendah. Selain itu aksesibilitas/keberadaan bank syariah juga menjadi salah satu faktor yang menentukan keinginan masyarakat untuk mengadopsi (terus mengadopsi) bank syariah.Yan Orgianus (2004) meneliti bagaimana Rekayasa Model Bagi Hasil dan Bagi Resiko Pembiayaan Usaha Kecil dan Menengah Agroindustri dengan Pola syariah pada agroindustri kentang. Pada pembiayaan dengan pola syariah dilakukan bagi hasil dan bagi resiko antara pihak bank sebagai pemilik modal dan nasabahnya sebagai pengelola dana.

(31)

(2007) lembaga informal pembiayaan mikro dinilai lebih dekat dengan petani. Penelitian yang dilakukan Asif Dowla (2005) mengenai “dengan kredit kami percaya : membangun modal sosial oleh Grameen Bank di Bangladesh, menunjukkan dengan menggunakan jaringan secara horizontal dan vertikal, dapat digunakan untuk membangun norma baru dan meningkatkan kepercayaan sosial, memecahkan masalah kolektif dari orang-orang miskin agar dapat mengakses modal.

Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, menunjukkan penelitian menggunakan asumsi bahwa komunikasi yang dapat dipercaya atau bagaimana membangun kepercayaan melalui komunikasi adalah sangat penting. Terkait dengan penelitian ini bahwa BMT dituntut untuk berkomunikasi dengan petani, yaitu ketika mengaplikasikan sikap kehati-hatian (prudential-nya). BMT dituntut dapat membangun kepercayaan dan meyakinkan produk pembiayaannya kepada para petani agar mereka mau menggunakan pembiayaan tersebut guna mengatasi permodalan mereka sehingga berimplikasi pada kenaikan kesejahteraan para petani dan keluarganya. Beberapa pertanyaan pokok timbul dari pemikiran di atas, yaitu :

(1) Bagaimana petani di kota Ciamis dan Bantul mengkonstruksikan realitas sosial meliputi proses, motif, dan konsep diri yang dimiliki menurut pandangan mereka sendiri ?

(2) Bagaimana petani di kota Ciamis dan Bantul mengelola komunikasi mereka dan komponen utama komunikasi manakah yang membentuk peristiwa-peristiwa komunikasi tersebut yang efektif dalam mengembangkan modal sosial BMT dengan petani? (3) Bagaimana rancangan pengembangan pola-pola komunikasi yang tepat untuk

mengembangkan modal sosial petani BMT?

Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan bagaimana proses komunikasi dalam membangun kepercayaan melalui penyaluran pembiayaan mikro syariah kepada petani. Berdasarkan uraian permasalahan, kegiatan penelitian ini bertujuan untuk :

(1) Menganalisis perubahan petani di kota Ciamis dan Bantul dalam mengkonstruksikan realitas sosial meliputi proses, motif, dan konsep diri yang dimiliki menurut pandangan mereka sendiri.

(32)

petani yang membentuk peristiwa-peristiwa komunikasi yang efektif dalam mengembangkan modal sosial BMT.

(3) Merancang strategi pengembangan pola-pola komunikasi yang tepat untuk mengembangkan modal sosial petani dan BMT.

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian diharapkan berguna untuk memahami bagaimana proses komunikasi yang terjadi dalam membangun kepercayaan antara petani dan BMT. Secara spesifik kegunaan penelitian ini adalah :

(1) Membantu mengembangkan kelembagaan dan memperjelas posisi BMT dalam kehidupan petani dimulai dengan mempercayai BMT dapat meningkatkan kesejahteraan petani di Indonesia khususnya.

(2) Sebagai sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu komunikasi, khususnya bagi penelitian konstruktivis dalam membangun kepercayaan melalui proses komunikasi yang terjadi pada masyarakat petani.

(3) Selain itu sebagai masukan praktis bagi perbankan syariah khususnya BMT di Indonesia dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan petani.

Novelty

Penelitian ini telah berusaha mengungkapkan keunikan perilaku komunikasi petani berdasarkan pendekatan subyektif atau berdasarkan petani yang mengalaminya sendiri sehingga diperoleh data yang menyuarakan aspirasi kebutuhan dan kepentingan khas petani dalam mendapatkan pembiayaan syariah. Kebanyakan penelitian perilaku kredit petani menyatakan bahwa petani kesulitan dalam mengakses kredit melalui bank. Perilaku kredit tersebut berhubungan dengan lembaga keuangan umum, sementara penelitian terhadap BMT masih sedikit. Setidaknya dari hasil penelitian ini diperlihatkan bahwa nasabah dengan strata dhuafa-lah yang lebih dapat dipercaya dibandingkan dengan kalangan atas, dari masyarakat bawah untuk dapat membentuk modal sosial yang kuat dalam masyarakat tersebut.

(33)
(34)

BAB II

KERANGKA TEORITIS

Tinjauan Pustaka

Permasalahan yang dianalisis dalam penelitian ini berkenaan dengan situasi dan kondisi subyektif yang dialami sendiri oleh petani ketika akan mendapatkan pembiayaan syariah melalui BMT. Pada penelitian objektif–kuantitatif, teori digunakan sebagai landasan penelitian yang penting karena teori tersebut harus diuji oleh penelitinya sehingga teori tersebut akan terus menempel peneliti sampai akhir penelitian. Sedangkan pada penelitian interpretif-kualitatif (subyektif) teori hanya digunakan sebagai arahan bagi peneliti.

Pada penelitian ini teori digunakan sebagai pedoman atau arahan untuk mengungkapkan fenomena agar lebih fokus. Selanjutnya dikembangkan konsep-konsep yang sejalan dengan kenyataan yang ada di lapangan. Kerangka berfikir yang diuraikan dalam penelitian ini menjelaskan keterkaitan satu dengan yang lainnya. Kerangka pemikiran dibangun untuk menjelaskan mengenai fenomena proses komunikasi dalam masyarakat petani terkait dengan BMT sebagai bagian dari struktur dan lapisan masyarakat. Sedangkan wujud komunikasi yang terjadi ditentukan oleh (1) pihak-pihak yang terlibat dalam proses komunikasi (komunikator dan komunikannya); (2) cara yang ditempuh; (3) kepentingan dan tujuan komunikasi; (4) ruang lingkup yang melakukannya; (5) saluran yang digunakan; dan (6) isi pesan yang disampaikan. Proses komunikasi dalam masyarakat dapat berupa komunikasi tatap muka yang terjadi pada proses komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok, komunikasi organisasi, bahkan komunikasi yang terjadi dalam komunikasi massa.

Perilaku petani berinteraksi dengan Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) syariah guna mendapatkan pembiayaan ini merupakan fenomena sosial. Petani berinteraksi melakukan komunikasi baik dengan dirinya sendiri maupun dalam masyarakatnya dan BMT.

Manusia Melakukan Tindakan Sosial

(35)

pendekatan terhadap kehidupan sosial yang jauh lebih bervariasi ketimbang Marx. Marx lebih banyak memasuki ranah kajian ekonomi sedangkan Weber lebih tertarik pada berbagaia spek fenomena sosial. Konsep Weber mengenai “tindakan sosial” ini telah memberikan arahan bagi perkembangan teori sosiologi yang membahas mengenai interaksi sosial.

Weber (2007) menyatakan :

By action in this definition is meant human behavior when and to the extent that the agents or agents see it as subjectively meaningful : the behavior may be either internal or external, and may consist in the agent’s doing something, omitting to do something, or having something done to him. By sosial, action is meant an action in which the meaning intended by the agent or agents involves a relation to another person’s behavior and in which that relation determines the way in which the action proceeds.

Weber membedakan tindakan sosial dari tingkah laku pada umumnya dengan mengatakan bahwa sebuah gerakan bukanlah sebuah tindakan kalau gerakan itu tidak memiliki makna subyektif untuk orang-orang yang bersangkutan. Tindakan sosial merupakan sesuatu yang lebih dari sekedar kesamaan diantara tingkah laku banyak orang (tingkah laku massa), walaupun tidak perlu mengandung kesadaran timbal balik karena satu orang bisa bertingkah laku dengan sadar menuju orang lain tanpa yang lainnya itu sadar akan fakta ini.

Selanjutnya menurut Weber (2007) ada banyak kelompok dalam masyarakat, didalamnya terdapat 3 macam keteraturan yang mengikat orang dengan sesamanya, yaitu ekonomi, politik, dan kebudayaan. Masing-masing tatanan ini mempengaruhi perilaku manusia dengan hasil yang tidak sama untuk semua orang. Jadi pada kenyataannya masyarakat terdiri dari institusi-institusi yang tunduk pada keteraturan ekonomi, politik dan kebudayaan.

(36)

Pernyataan Kedua, Hakikat kausal dari makna : sejauhmana makna menjadi kausa perilaku? Seseorang harus menyadari keberadaan rentang pengalaman ilmu makna dapat tampil secara beragam. Sesuatu fakta tidaklah memiliki makna akan tetapi penting untuk menjelaskan aksi menyangkut berbagai fenomena psikologis seperti kelesuan, kebiasaan, kegembiraan, dan sebagainya. Kajian mengenai perilaku manusia menunjukan bahwa makna hanyalah satu dari elemen kausa aksi. Makna merupakan suatu hubungan yang terasa secara sadar antara cara-cara dan tujuan-tujuan. Berbagai makna dapat diorganisasikan dengan sejumlah cara, dengan efisiensi menetapkan keunggulan tujuan dan cara yang benar menurut agama, dengan munculnya emosi, penetapan tradisi-tradisi dan kebiasaan-kebiasaan.

The meaning to which we refer may be either (a) meaning actually intended by an individual agent on a particular historical occasion or by a number of agents on an approximate average in a given set a cases, or (b) the meaning attributed to the agents, as types, in a pure type constructed in the abstract. In the neither case is the meaning to be throught of as somehow objectively correct or true by some metaphysical criterion. This is the different between the empirical sciences of action, such as sociology and history, and any kind a priori discipline (Weber, 2007:7).

Not every kind of human contact is sosial in character : it is only sosial when one’s person behavior is related in its meaning to the behavior of other people. Sosial action in not to be identified either (a) with several people acting in a similarway together, or (b) with one person’s acting under the influence of the behavior of others. It is a familiar fact that an individual who finds himself in the midst of a crowd gathered together in the same place will be strongly influenced in his action by that fact. Behaviour which is traditional in a strong sense lies, like purely reactive imitation, directly on and often beyond, the boundary marking out the are of what can in general be called meaningful action. (Weber, 2007)

Seorang manusia tidaklah pasif menghadapi dunia sosialnya, ia akan melakukan tindakan sosial. Seperti yang diungkapkan oleh Weber bahwa manusia itu melakukan tindakan sosial dengan proses berfikir. Ia mengatakan, “masyarakat adalah suatu entitas aktif yang terdiri dari orang-orang yang berfikir dan melakukan tindakan-tindakan sosial yang bermakna” (Mulyana, 2008).

(37)

merupakan tindakan atau perilaku subyektif yang bermakna yang melalui proses berfikir dan ditujukan untuk mempengaruhi atau berorientasi kepada khalayaknya atau perilaku orang lain.

Pada penelitian ini, petani sebagai aktor sosial melakukan tindakan-tindakan komunikasi agar dipercaya mendapatkan pembiayaan kredit dari BMT. Petani aktif memaknai lingkungan sosial (masyarakat)–nya secara subyektif. Petani melakukan tindakan-tindakan yang tidak saja bermakna bagi dirinya sendiri tapi juga bermakna bagi BMT bahkan bagi masyarakatnya.

Fenomenologi dan Petani Sebagai Aktor Sosial dan Subyektif

Asumsi-asumsi yang dikemukakan oleh Weber mengenai tindakan sosial di atas dikembangkan oleh Alfred Schutz, seorang sosiolog kelahiran Wina Austria, tahun 1899 (Ritzer, 2008). Schutz memusatkan perhatian pada cara orang memahami kesadaran orang lain sementara mereka hidup dalam kesadaran mereka sendiri. Schutz juga menggunakan perspektif subjektifitas dalam memahami kehidupan lebih sosial, terutama mengenai ciri sosial pengetahuan.

Banyak pemikiran Schutz yang dipusatkan pada satu aspek dunia sosial yang disebut kehidupan dunia (life-world) atau dunia kehidupan sehari-hari. Inilah yang dimaksud schutz sebagai dunia intersubjektif. Orang dalam dunia intersubjektif ini menciptakan realitas sosial dan dipaksa oleh kehidupan sosial yang telah ada dan struktur kultural ciptaan leluhur mereka. Dunia kehidupan itu banyak aspek kolektifnya, tetapi juga ada aspek pribadinya (yang dapat diungkap melalui biografi). Schutz membedakan dunia kehidupan antara hubungan tatap muka yang akrab (relasi kami) dan hubungan interpersonal dan renggang (relasi mereka). Hubungan tatap muka yang akrab sangat penting dalam kehidupan dunia yang dilandasi oleh kesadaran, makna, dan motif tindakan individual. Secara keseluruhan, Schutz memusatkan perhatian pada hubungan dialektika antara cara individu membangun realitas sosial dan realitas kultural yang mereka warisi dari para pendahulu mereka dalam dunia sosial.

(38)

Schutz setuju dengan pemikiran Weber tentang pengalaman dan tindakan sosial manusia dalam kehidupannya sehari-hari sebagai realitas yang bermakna secara sosial. Schutz menyebut manusia yang berperilaku tersebut sebagai “aktor”. Ketika seseorang mendengar dan melihat apa yang dikatakan atau diperbuat aktor, dia akan memahami makna dari tindakan sosial tersebut, dan dunia sosial seperti itu disebut sebagai sebuah ‘realitas interpretif’.

Fenomenologi Schutz ini digunakan untuk mengupas dan memahami bagaimana suatu tindakan sosial manusia yang diperoleh dari pengalaman subyektif dalam kehidupan sehari-hari. Tindakan sosial ini dilihat dari bagaimana manusia berkomunikasi berdasarkan pengalaman yang pernah mereka alami sendiri sebagai sesuatu yang bermakna dan membentuk gambaran mengenai dunia keseharian intersubjektif.

Menurut Schutz (Mulyana, 2008) orang-orang begitu saja menerima bahwa dunia keseharian itu eksis dan orang lain berbagi pemahaman atas segala hal yang ada di dunia ini. Lebih dari itu, orang-orang merujuk pada obyek dan tindakan dengan mengasumsikan bahwa mereka berbagi perspektif dengan orang lain. Setiap fenomenologis, yakni konteks ruang, waktu dan historis yang secara unik menempatkan individu, memiliki pengetahuan mengenai hal tersebut (stock of knowledge) yang terdiri dari semua fakta, kepercayaan, keinginan, prasangka dan aturan yang dipelajari dari pengalaman pribadi dan pengetahuan siap pakai yang tersedia di dunia sejak lahir.

Kategori pengetahuan menurut pandangan Schutz, yang pertama bersifat pribadi dan unik ketika berinteraksi tatap muka dengan orang lain. Kategori pengetahuan yang kedua adalah berbagai pengkhasan (typication) yang telah terbentuk dan dianut semua anggota suatu budaya, terdiri dari mitos, pengetahuan, budaya, dan akal sehat (common sense). Berdasarkan hal itu, intersubjektivitas berlangsung dalam berbagai macam hubungan dengan orang lain, termasuk orang-orang dekat yang berbagi ruang dan waktu (dalam komunikasi tatap muka), yang hidup sejaman tetapi tidak dikenal (pembaca, pendengar atau pemirsa lain yang belum pernah ditemui), mereka yang telah mendahului sebelum dilahirkan, dan mereka yang akan datang setelah mati. Pengetahuan mengenai diri berubah ketika masuk dan keluar dari hubungan dengan orang lain.

(39)

intersubjektif dalam arti anggota masyarakat berbagi persepsi dasar mengenai dunia yang diinternalisasikan melalui sosialisasi dan memungkinkan melakukan interaksi atau komunikasi.

Menurut pemikiran Schutz (Kuswarno, 2009), aktor memiliki dua motif, yaitu : motif yang berorientasi ke depan (in order motive); dan motif berorientasi ke masa lalu (because motive). Motif-motif tersebut akan menentukan penilaian terhadap dirinya sendiri dalam statusnya sebagai aktor. Menurut Scott dan Lyman, mungkin saja mereka tidak merasa sebagai aktor dengan mengajukan pembelaan diri dengan mengemukakan alasan tertentu atau bahkan mungkin secara jujur dan penuh percaya diri menyatakan ke-aktor-annya melalui pembenaran (justifications).

Berdasarkan uraian di atas, dalam konteks fenomenologis, petani adalah aktor yang melakukan tindakan komunikasi sosial (mendapatkan pembiayaan kredit) bersama aktor lainnya sehingga memiliki kesamaan dan kebersamaan dalam ikatan makna intersubjektif. Para aktor juga memiliki historitas dan dapat dilihat dalam bentuk yang alami. Kesadaran terhadap pengalaman-pengalaman intersubjektif ketika berinteraksi dan berkomunikasi memberikan skema pengetahuan bagi dirinya. Skema yang terbentuk ini seakan menjadi pedoman (motif komunikasi) yang menentukan si aktor mengambil tindakan-tindakan komunikasi yang dilakukannya agar mendapatkan pembiayaan kredit dari BMT.

Konstruksi Realitas Sosial Petani

Manusia pada hakikatnya manusia melakukan komunikasi. Selama manusia itu melakukan komunikasi akan selalu berhubungan dengan kegiatan mengkonstuksikan makna. Kemampuan manusia dalam mengkonstruksikan makna akan mendasarinya untuk melakukan tindakan sosial, yang akhirnya akan mengkonstruksikan realitas sosialnya.

Guba dan Lincoln seperti yang dikutip oleh Patton (2002) mengungkapkan gagasan konstruktivis, yaitu :

(40)

Konstruktivis memiliki gagasan yang berawal dari premis bahwa dunia ini berbeda dengan alamiahnya karena manusia membangun dan membentuknya berdasarkan interpretasinya sendiri. Studi konstruktivis memandang bahwa realitas ini sangatlah beragam karena masing-masing individu memiliki pengalaman dan pandangannya sendiri-sendiri, akibatnya implikasi tindakan yang terlihat pun berbeda-beda.

Denzin dan Lincoln (2000) mengemukakan dalam konstruktivis ada asumsi A paradigm encompasses three elements : epistemology, ontology, dan methodology, tetapi sejumlah pakar lain secara implisit ataupun eksplisit menilai sebuah paradigma juga memuat elemen axiology (Littlejohn, 1999).

Lebih jauh Denzin dan Lincoln (2000) menjelaskan secara rinci dalam asumsi-asumsi konstruktivis menurut ontologis, bahwa realitas merupakan konstruksi sosial, dan kebenaran suatu realitas bersifat relatif, berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial. Menurut epistemologis, pemahaman tentang suatu realitas atau temuan suatu penelitian merupakan produk interaksi antara peneliti dengan yang diteliti. Secara aksiologis, nilai, etika dan pilihan moral merupakan bagian tidak terpisahkan dari suatu penelitian. Peneliti sebagai passionate participant, fasilitator yang menjembatani keragaman subyektivitas pelaku sosial. Tujuan penelitiannya pada rekonstruksi realitas sosial secara dialektis antara peneliti dengan pelaku sosial yang diteliti.

Secara metodologis, reflektif/dialektif pada paradigma konstruktivis menekankan empati dan interaksi dialektis antara peneliti dengan responden untuk merekonstruksi realitas yang diteliti melalui metode-metode kualitatif seperti partisipan observer. Kriteria kualitas penelitian adalah pada authenticity dan reflectivity, yaitu sejauhmana temuan merupakan refleksi otentik dari realitas dihayati oleh para pelaku sosial.

Konstruktivisme dapat dikatakan sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada, karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang di sekitarnya. Individu membangun sendiri pengetahuan atas realitas yang dilihatnya berdasarkan pada struktur pengetahuannya yang telah ada sebelumnya. Konstruksi seperti inilah yang disebut oleh Berger dan Luckmann sebagai konstruksi sosial.

(41)

menganggap realitas sosial eksis dengan sendirinya dan struktur dunis sosial tergantung pada manusia yang menjadi subyeknya. Realitas sosial secara objektif memang ada, tetapi maknanya berasal dari dan oleh hubungan subyektif (individu) dengan dunia obyektif (suatu perspektif interaksionis simbolik).

Berger dan Luckmann (1990) menuangkan pemikirannya dalam buku ‘The Sosial Construction of Reality’ yang menyebutkan bahwa seseorang hidup dalam kehidupannya mengembangkan suatu perilaku yang repetitif, yang disebut ‘kebiasaan’ (habits). Kebiasaan ini memungkinkan seseorang mengatasi suatu situasi secara otomatis. Kebiasaan seseorang ini juga berguna bagi orang lain. Situasi komunikasi interpersonal, para partisipan (aktor) saling mengamati dan merespon kebiasaan orang lain dan dengan cara seperti ini semua partisipan dapat mengantisipasi dan menggantungkan diri pada kebiasaan orang lain tersebut.

Berger dan Luckmann (1990) memulai penjelasan realitas sosial dengan memisahkan pengalaman “kenyataan” dan “pengetahuan”. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas, yang diakui memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak kita sendiri. Pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik.

Institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara obyektif, namun pada kenyataannya semua dibangun dalam definsi subjektif melalui proses interaksi. Obyektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subyektif yang sama. Pada tingkat generalitas yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolis yang universal, yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh, yang memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberi makna pada berbagai bidang kehidupannya (Berger & Luckmann, 1990). Intinya Berger dan Luckmann mengatakan, di sini terjadi dialektika antara individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu. Proses dialektika ini terjadi melalui eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi.

(42)

proses institusionalisasi; sedangkan (3) internalisasi, yaitu proses yang mana individu mengidentifikasikan dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya. Parera menambahkan, tiga momen dialektika ini memunculkan suatu proses konstruksi sosial yang dilihat dari segi asal mulanya merupakan hasil cipta manusia, yaitu buatan interaksi intersubyektif.

Realitas sosial yang dialami setiap individu sepanjang kehidupannya berbeda-beda karena pengalaman yang pernah dialaminya berbeda-beda. Kesadaran setiap orang terhadap pengalaman kesadaran orang lain dalam dunia sosial ini tergantung pada bagaimana kadar pengalaman intersubyektif, kedekatan dan intensitasnya.

Sebuah wilayah penandaan (signifikansi) menjembatani wilayah-wilayah kenyataan, dapat didefinisikan sebagai sebuah simbol dan modus linguistik, dengan apa transendensi seperti itu dicapai, dapat juga dinamakan bahasa simbol. Pada tingkat simbolisme, siginifikansi linguistik terlepas secara maksimal dari “disini dan sekarang” dalam kehidupan sehari-hari (Berger & Luckmann, 1990). Bahasa memegang peranan penting dalam objektivasi terhadap tanda-tanda. Bahasa dapat mendirikan bangunan-bangunan representasi simbolis yang sangat besar, yang tampak menjulang tinggi di atas kenyataan kehidupan sehari-hari. Agama, filsafat, kesenian dan ilmu pengetahuan, secara historis merupakan sistem-sistem simbol paling penting semacam ini.

Bahasa menurut Berger dan Luckmann (1990) merupakan alat simbolis untuk melakukan signifikansi, dimana logika ditambahkan secara mendasar kepada dunia sosial yang diobjektivasi. Bangunan legitimasi disusun di atas bahasa dan menggunakan bahasa sebagai instrumen utama. “Logika” yang dengan cara tersebut, diberikan kepada tatanan kelembagaan, merupakan bagian dari cadangan pengetahuan masyarakat (sosial stock of knowledge) dan diterima sebagai sesuatu yang sewajarnya. Ketika manusia memaknai realitas sosial, manusia berusaha untuk mengelaborasi stock of knowledge terbaru yang dimilikinya dengan situasi dan kondisi dihadapannya. Motif-motif yang dimiliki manusia untuk melihat dan berorientasi untuk melakukan suatu tindakan terutama tindakan komunikasi. Motif ini berorientasi pada masa depan dan merujuk kepada pengalaman masa lalu.

Gambar

Gambar 2.2. Pandangan Hidup Orang Sunda tentang Manusia sebagai Pribadi
Gambar 2.3. Pola Pandangan Hidup Orang Jawa
Tabel 2.1.
Gambar 2.6. kerangka perilaku konsumen mendapatkan mashlahah dan berkah (sumber
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menjelaskan bahwa pengelolaan manajemen logistik obat di instalasi farmasi RSUD Lanto Daeng Pasewang mulai dari perencanaan (dilaksanakan oleh

Temuan penelitian yang menarik dikaji berkaitan dengan hasil analisis korelasi yang bahwa, variabel kinerja pengawas di Lingkungan Dinas Pendidikan Kota Bekasi dipengaruhi

Keberhasilan   program   pemberantasan   penyakit   kusta   memerlukan   dukungan   surveilans  

Banyaknya pemilih pemula yang golput atau memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya sudah menjadi sebuah indikasi bahwa pemilih pemula yang juga anggota dalam

71 tahun 2010 Pada Laporan Keuangan Badan Layanan Umum (Studi Kasus: Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang). Pembimbing : Yona Octiani Lestari,

Langkah pertama yang dilakukan dalam memodifikasi alat tenun adalah dengan melakukan Pemilihan Alat yang dapat dimodifikasi dengan menambahkan mesin pada alat

Setelah dilakukan simulasi untuk optimasi penempatan SVC dan TCSC pada sistem Jawa-Bali 500 kV didapatkan perbandingan tegangan tiap bus pada sistem sebelum