• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

E. Kerangka Teoritis

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Teori Keadilan

Sejak zaman dahulu hingga sekarang pembicaraan tentang keadilan tidak pernah berhenti, sebab masalah keadilan merupakan masalah yang esensial dalam kehidupan manusia.

Keadilan selalu diperjuangkan oleh individu maupun masyarakat agar dapat memperoleh kehidupan yang aman dan sentosa.

Keadilan juga merupakan salah satu tujuan setiap agama yang ada di dunia, termasuk agama Islam. Islam menempatkan keadilan di tempat yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan

16 Abdul Wahab Khollaf, Ilmu Ushul Fiqih, Maktab Ad-Da’wah Al-Islamiyah Syabab Al-Azhar, 1990, hlm. 96

17 Mahmud Syaltut, Al Islam Aqidah wa Syariah, Dar Al-Qalam, Mesir, 1966, hlm 12

bernegara.18 Keadilan harus ditegakkan agar kehidupan manusia berjalan serasi dan seimbang.19 Keadilan adalah kepentingan manusia yang paling luhur di bumi ini.20 Karena pentingnya masalah keadilan, teori hukum alam sejak Socrates hingga Francois Geny tetap mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum.21

Menurut ajaran Islam keadilan tidak hanya terbatas pada keadilan formal atau aturan belaka tetapi keadilan menurut Islam merupakan bagian dari keyakinan dan akhlak seseorang. Keadilan menurut Islam berarti keseimbangan antara hak dan kewajiban sehingga akan menghilangkan kesenjangan dalam masyarakat.

Kemudian keadilan yang diterapkan dalam Islam terdiri dari keadilan korektif, retributif dan keadilan distributif. Hal tersebut dijelaskan oleh Mohammad Hashim Kamali sebagai berikut:

The Islamic concept of justice is not confined to a merely formal or regulatory justice, but makes it part of faith, character and personality of believers. ‘Adl literally means placing things in their right places where they belong. It is to establish an equilibrium by way of fulfilling right and obligations and by eliminating excess and disparity in all spheres of life. The Shari’ah seeks to establish justice not only in its corrective and restributive sense of adjudicating grievances, but also in the sense of distributive justice,

18 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm.112

19 Rifyal Ka’bah, Peradilan Islam Kontemporer, Universitas Yarsi, Jakarta, 2009, hlm.11

20 Roscoe Pound, Tugas Hukum, terjemahan Muhammad Rajab, Bharata, Jakarta, 1965, hlm.9

21 Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Kanisius Yogyakarta, 1995, hlm.196

estalishing an equilibrium of benefit and advantages in society.22

Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa Islam tidak mengindentikan keadilan dengan kesamaan tetapi Islam menitikberatkan pada keadilan yang berimbang. Mengenai keadilan terdapat beberapa teori yang dikemukakan oleh para pakar di bidang hukum. Teori tersebut antara lain dikemukakan oleh:

a. Filsuf Barat

Ada beberapa filosof Barat yang mengemukakan pendapatnya tentang keadilan. Filosof tersebut antara lain: adalah Jeremy Bentham yang dikenal sebagai tokoh aliran utilitarianisme. Tokoh utilitarianisme selain Bentham, masih terdapat tokoh lain yakni, James Mill dan John Stuart Mill, tetapi yang paling radikal di antara tokoh tersebut adalah Jeremy Bentham.23

Prinsip utilitarianisme dikemukakan oleh Bentham dalam karyanya, Introduction to the Principles of Morals and Legislation. Di dalam karyanya itu Bentham mendefinisikan benda sebagai sesuatu yang menghasilkan kesenangan, kebaikan atau kebahagiaan, atau mencegah terjadinya kerusakan, penderitaan atau kejahatan serta ketidakbahagiaan pada pihak yang kepentingannya dipertimbangkan.

22 Mohammad Hashim Kamali, Foundations of Islam, Shari’ah Law An Introduction, Oneworld Book, 2008, hlm.30

23 Ahmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Kencana, Jakarta, 2009, hlm. 272

Menurut Bentham tujuan hukum dan wujud keadilan adalah untuk mewujudkan the greatest happiness of the greatest number (kebahagiaan yang sebesar-besarnya untuk sebanyak-banyak orang). Kemudian tujuan perundang-undangan untuk menghasilkan kebahagiaan bagi masyarakat. Perundang-undangan harus berusaha untuk mencapai empat tujuan, yaitu (1) to providesusistence (untuk memberi nafkah hidup), (2) to provide abundance (untuk memberi makanan yang berlimpah), (3) to provide security (untuk memberikan perlindungan), (4) to attain equility (untuk mencapai persamaan).24

b. Keadilan Menurut Ajaran Islam

Secara etimologi pengertian keadilan disebutkan bahwa

“adil” berarti tidak berat sebelah, tidak memihak atau menyamakan sesuatu dengan yang lain (al-musawah).25 M.

Quraish Shihab menulis “ Persamaan yang merupakan makna asal kata adil itulah yang menjadikan pelakunya “tidak berpihak” dan pada dasarnya pula seseorang yang adil “berpihak pada yang benar” karena baik yang benar maupun yang salah sama-sama harus memperoleh haknya. Dengan demikian, ia melakukan sesuatu “yang patut” lagi “tidak sewenang-wenang”.26

Keadilan merupakan salah satu tujuan setiap agama yang ada di dunia, termasuk agama Islam menempatkan keadilan di tempat yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat.27 Begitu pentingnya masalah

24 Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm. 204

25 Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta, PT. Ichtiar Baru van Koever, Jakarta, 1996, hlm. 25

26 M.Quraish Shihab, Wawasan Alquran, Mizan, 1999, Bandung, hlm. 114

27Abdul Manan, Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Kencana Prenada Media Group, 2014, Jakarta, hlm. 61

keadilan dalam Islam sehingga menurut A.M. Saefuddin28 dalam al-Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam, kata keadilan disebut lebih dari seribu kali, menempati posisi terbanyak ketiga, setelah kata Allah dan ilmu pengetahuan. Banyaknya kata keadilan yang disebut dalam Al-Qur’an sehingga Mohammad Daud Ali menyebutnya sebagai asas yang sangat penting dalam hukum Islam sehingga asas keadilan dapat dikatakan sebagai asas semua asas hukum Islam.

Para pakar hukum Islam sepakat bahwa sumber keadilan adalah Firman Allah dan Sunnah. Karena sumber keadilan tersebut bersumber dari Firman Allah dan Sunnah Nabi maka keadilan tersebut disebut dengan Keadilan Ilahi.29Meskipun para pakar sepakat tentang hakikat Keadilan Ilahi, namun mereka tidak bersepakat tentang bagaimana keadilan tersebut dapat direalisasikan di muka bumi. Perbedaan tersebut berakar pada dua konsepsi mengenai tanggung jawab manusia untuk menegakkan keadilan ilahiah, dan perdebatan tentang hal tersebut melahirkan dua mazhab utama teologi, yaitu: Asy’ariyah dan Mu’tazilah.

c. Keadilan Menurut Ajaran Pancasila

Menurut Notonegoro, nilai dapat dibedakan menjadi 3 macam, yakni: (1) nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi unsur manusia. (2) nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas, (3) Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Selanjutnya nilai kerohanian dapat

28 A. M. Saefuddin, Sistem Ekonomi Islam, dalam majalah Panji Masyarakat no.411 Tahun l983, hlm. 45.

29 Majid Khadduri, Teologi Keadilan Perspektif Islam, Risalah Gusti, Surabaya, 1999, hlm.3

dibedakan lagi atas 4 macam, yakni: (1) nilai kebenaran/

kenyataan, yang bersumber pada unsur akal manusia (rasio, budi, cipta); (2) Nilai keindahan, yang bersumber pada unsur rasa manusia (perasaan, esthetis); (3) nilai kebaikan atau nilai moral, yang bersumber pada unsur kehendak/kemauan manusia (will, ethic); (4) Nilai religius, yang merupakan nilai ketuhanan, kerohanian yang tinggi dan mutlak.30 Pancasila termasuk nilai kerohanian yang di dalamnya termasuk nilai keadilan. Kemudian bagaimana konsepsi keadilan menurut Pancasila.

Menurut Darji Darmodiharjo keadilan menurut konsepsi bangsa Indonesia adalah keadilan sosial.31 Kemudian H.A.W Widjaya dalam menjelaskan sila kelima menyatakan bahwa keadilan sosial adalah keadilan yang berlaku dalam hubungan manusia dalam masyarakat. Adil apabila memberikan hak kepada orang lain yang memiliki hak tersebut, dan sebaliknya memberikan hak kepada dirinya sendiri yang memiliki haknya, utuh tanpa cela. Di dalam keadilan yang demikian tidak dibenarkan adanya penghisaban, penindasan dan sebaliknya yang ada adalah saling membantu satu sama lain. Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa yang adil apabila setiap warga negara menikmati hasil sesuai dengan fungsi dan peranannya dalam masyarakat. Kemudian bukanlah suatu keadilan jika ada pembagian yang merata “sama rasa sama rata” tanpa dikaitkan

30 Subandi Al-Marsudi, Pancasila dan UUD’45 dalam Paradigma Reformasi, Raja Grafindo Persada,2003, hlm.46

31 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004 hlm.

166

dengan peranan dan dharma baktinya atau pengorbanannya dalam masyarakat, bangsa, dan negara atau pemerintah.32

2. Teori Tujuan Hukum

Menurut Gustav Radbruch tujuan dari hukum terdiri dari:

a. Keadilan

Mengenai definisi keadilan, sangat beragam. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai pendapat tentang definisi keadilan yang dikemukakan oleh para pakar di bidang hukum.

Aristoteles berpendapat ada dua macam keadilan yakni justitia distributiva dan justitia commutativa.33 Keadilan distributif adalah memberi hak sesuai dengan jatahnya. Jatah ini tidak sama untuk setiap orang, tergantung kepada kekayaan, kelahiran, pendidikan, kemampuan dan sebagainya. Sifat keadilan ini adalah proporsional. Keadilan komutatif adalah memberi kepada setiap orang secara sama rata. John Rawls dalam membahas keadilan, mengemukakan dua prinsip. Pertama, setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan dasar yang luas, seluas kebebasan dasar yang sama bagi semua orang. Kedua, ketimpangan sosial dan ekonomi mesti diatur sedemikian rupa sehingga dapat memberi keuntungan semua orang dan semua jabatan terbuka bagi semua orang.34

Majid Khadduri membagi keadilan hukum (legal justice) itu ke dalam (1) substantive justice, dan (2) procedural justice atau

32 HAW Widjaya, Penerapan Nilai-Nilai Pancasila & HAM di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hlm. 20

33 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit. hlm.59

34 John Rawls, Theory of Justice, terjemah, Uzair Fauzan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011, hlm. 258

formal justice.35 Dalam keadilan prosedur, hakim harus bersikap netral, kedua belah pihak harus diberlakukan sama. Substantive justice adalah keadilan materiil yang mengarah pada bagian yang patut, berpihak kepada yang benar.36

b. Kepastian Hukum

Kepastian hukum mengandung dua pengertian. Pertama, adanya aturan yang bersifat umum yang membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan.

Kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu.

Termasuk dalam pengertian kepastian hukum adalah adanya konsistensi dalam putusan hakim yang satu dengan yang lain untuk kasus yang serupa yang telah diputuskan.37 Frans Magnis Suseno dalam menjelaskan tentang pengertian kepastian hukum mengatakan bahwa hukum yang resmi diperundangkan harus dilaksanakan dengan pasti oleh negara dan setiap orang dapat menuntut agar hukum dilaksanakan dan tuntutan itu harus dipenuhi.38

35 Majid Khadduri, The Islamic Conception of Justice, terjemahan H.Mochtar Zoeni dengan judul Teologi Keadilan Perspektif Islam, Risalah Gusti, Surabaya, 1999, hlm. 136

36 Muhamad Alim, Asas-Asas Negara Hukum Modern dalam Islam, LKIS, Yogyakarta, 2010, hlm. 319

37 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009, hlm.158

38 Franz Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994, hlm. 79

c. Kemanfaatan

Nilai kemanfaatan dalam norma hukum sangat berguna, khususnya dalam norma hukum yang bersifat mengatur.

Masyarakat akan menaati hukum kalau mereka merasakan hukum itu bermanfaat bagi dirinya. Penganut aliran Utilitarianisme berpendapat bahwa satu-satunya tujuan hukum adalah untuk mencapai kemanfaatan. Hukum yang baik adalah hukum yang membawa kemanfaatan bagi manusia.39

3. Teori Maslahah

Tujuan pokok hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan. Peranan maslahat dalam menetapkan hukum sangatlah dominan dan menentukan, karena Alquran dan Assunah sebagai sumber hukum Islam sangat memperhatikan prinsip kemaslahatan. Demikian juga dengan metode istinbat yang lain, juga sangat memperhatikan kemaslahatan dalam mengembangkan hukum Islam. Oleh karena itu semua produk hukum Islam, baik yang bersumber dari dalil yang disepakati maupun dalil yang diperselisihkan, tidak satu pun yang terlepas dari prinsip untuk mewujudkan kemaslahatan manusia.40

Betapa pentingnya persoalan maslahah maka disebutkan bahwa salah satu tujuan dari hukum Islam adalah mewujudkan maslahah yakni merealisasikan adanya manfaat bagi manusia baik dalam kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat. Di samping itu hukum Islam juga berusaha melindungi manusia dari segala

39 Bernard L. Tanya, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010,hlm. 90

40 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 259

bentuk kejahatan. Hal tersebut ditegaskan oleh Mohammad Hashim Kamali sebagai berikut:

A principle objective of the Syariah is realization of benefit to the people concerning their affairs both in this world and the hereafter. It is generally held that the Shari’ah in all of its parts aims at securing a benefit for the people or protecting them against corruption and evil. 41

Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa Islam selalu menjunjung tinggi nilai keseimbangan (tawazun) antara kehidupan di dunia dan kehidupan di akhirat, serta selalu melindungi umat manusia dari kerusakan dan kejahatan.

Mohammad Hashim Kamali juga menjelaskan bahwa tujuan hukum Islam cukup luas yang semuanya ditujukan pada terciptanya kemanfaatan, keadilan dan terlaksananya ibadah, sebagaimana penjelasan beliau sebagai berikut:

In his pioneering work, Al-Muwafaqat fi Usul Shariah, al-Shatibi has in fact singled out maslahah as being the only overriding objective of Shari’ah which is broad enough to comprise all measures that are beneficial to the people, including the administration of justice and ibadat.

Dari pernyataan tersebut telah terbukti bahwa masalah keadilan dan ibadat dalam Islam merupakan syari’at yang harus dilaksanakan dengan baik. Maslahah mursalah menurut Hanafi adalah kebaikan (maslahah) yang tidak disinggung-singgung syara’ tetapi kalau dikerjakan akan membawa manfaat atau

41 Mohammad Hashim Kamali, Foundations of Islam, Shari’ah Law An Introduction, A. Oneword Book, Published by Oneworld Publications 2008, hlm.32

menghindari keburukan.42 Ada tiga tingkatan masalihul mursalah: (1) Kemaslahatan yang harus dilakukan, disebut dharariyah. (2) Kemaslahatan yang dibutuhkan, tetapi tidak sampai wajib yang disebut hajiat. (3) Kemaslahatan keindahan atau estetik yang disebut tahsiniyyat.43

Abdul Manan44 berpendapat bahwa maslahat mursalah hanya dapat digunakan dalam bidang yang mengatur hubungan sesama manusia yang mencakup segala bidang, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus, karena dalam bidang tersebut sangat sedikit ditemukan nash. Misalnya bidang hukum acara, hukum administrasi negara, hukum internasional dan hukum pidana. Sedangkan dalam bidang ibadah, semuanya tidak masuk dalam bidang ijtihad dan karenanya tidak diperkenankan menggunakan maslahah mursalah sebagai dalil hukum karena urusan ibadah adalah urusan manusia dengan Tuhannya. Dalam hal ibadah diharuskan mencukupi sekadar yang ada nashnya tanpa menambah dan menguranginya, karena tidak diperbolehkan mengadakan suatu ibadah dengan alasan maslahat.

Di antara tokoh ushuliyin yang paling banyak menggunakan maslahah mursalah sebagai dalil hukum dan hujjah syar’iyyah adalah asy-Syatibi dan at-Thufi. Pendapat as-Syatibi tentang maslahah mursalah dikemukakan dalam kitab Mufaqat dan al-I’tisam. Dalam kitab al-Mufaqat, as-Syatibi45 mengemukakan bahwa setiap prinsip hukum Islam yang berhubungan dengan

42 A. Hanafi, Ushul Fiqh, Widjaya, Jakarta, 1975, hlm.144

43 Abdul Majid Khon, Ikhtisar Tarikh Tasyrii’ Sejarah Pembinaan Hukum Islam dari Masa ke Masa, Amzah, Jakarta, 2013, hlm. 112

44 Abdul Manan, Op.Cit., hlm. 270

45 As-Syatibi, al-Mufaqat fil Ushul Asy-Syariah, Beirut, Libanon: Dar al Marifah, Juz I, hlm 16

maslahah dan tidak ditunjukkan nash tertentu, tetapi ia sejalan dengan tindakan syara’ dan maknanya diambil dari dalil-dalil syara’ maka maslahah itu benar, dapat dijadikan hujjah syariah.

4. Teori Sistem Hukum

Dalam ilmu hukum terdapat istilah sistem hukum. Untuk mengenal lebih dalam mengenai istilah sistem hukum maka lebih dahulu harus mengenal istilah “sistem”. Istilah “sistem” berasal dari bahasa Yunani “systema” yang mengandung arti keseluruhan (a whole) yang terdiri dari banyak bagian. Systema juga berarti, hubungan yang berlangsung di antara satuan-satuan atau komponen secara teratur.46 Sedangkan definisi “sistem” menurut Bartalanffy yang dikutip oleh Lili Rasjidi adalah a complex ofelements in mutual interaction.47 Sistem diartikan sebagai suatu komplek elemen dalam suatu kesatuan interaksi. Kemudian definisi “sistem” menurut Campbell yang dikutip oleh Tatang Amirin adalah We might define a system as any group of interrelated component or parts which function together to achieve a goal. Yang artinya bahwa sistem itu merupakan himpunan komponen atau bagian yang saling berkaitan yang bersama-sama berfungsi untuk mencapai suatu tujuan.

Menurut Soerjono Soekanto48 faktor-faktor yang relevan untuk dibahas dalam masalah sistem adalah : (1) elemen-elemen suatu sistem (2) pembagian sistem, (3) konsistensi, (4) pengertian-pengertian dasar (grondbegrippena) dari sistem.

46 Tatang M. Amirin, Pokok-Pokok Teori Sistem, Rajawali Pers, Jakarta, 1996, hlm. 18

47 Lili Rasjidi, I.B.Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, 2003, Bandung, hlm.63

48 Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, Sendi-Sendi Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm.39.

Menurut Winardi49, sistem ada dua macam yakni sistem terbuka dan sistem tertutup. Sistem terbuka adalah sebuah sistem yang mempunyai hubungan dengan lingkungan. Sedangkan sistem tertutup adalah sistem yang terisolasi dari lingkungan.

Setelah mengetahui istilah dan pengertian sistem, tidak kalah pentingnya juga harus mengetahui tentang ciri-ciri

“sistem”. Ciri-ciri “sistem” menurut Ismail Saleh,50 adalah sebagai berikut: (1) saling keterkaitan antara satu komponen dengan komponen lain, saling membatasi, tetapi juga saling memperkuat, (2) dinamis, tetapi tetap terjaga keserasian dan keseimbangannya, (3) terbuka, tetapi tetap tidak kehilangan eksistensinya dan identitasnya, (4) galir dalam arti tidak kaku, sehingga dapat menampung.

Menurut Solly Lubis,51 hukum merupakan suatu sistem, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan sistem dan bukan pendekatan kekuasaan. Oleh karena pembahasan tersebut berkaitan dengan sistem hukum maka perlu dipahami juga mengenai pengertian sistem hukum. Dalam menjelaskan tentang hukum sebagai suatu sistem, Sudikno Mertokusumo52, mengatakan sebagai berikut:

Hukum merupakan sistem berarti bahwa hukum itu merupakan tatanan, merupakan suatu kesatuan yang utuh yang

49 Winardi, Pengantar Tentang Teori Sistem dan Analisis Sistem, Mandar Maju, Bandung, hlm.10

50 Ismail Saleh, Majalah Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, No.119, Edisi Khusus, hlm 13

51 Solly Lubis, Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan, Mandar Maju Bandung, 2009, hlm.5

52 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1991, hlm.102

terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan erat satu sama lain. Dengan perkataan lain sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi antara satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut. Kesatuan tersebut diterapkan terhadap kompleks unsur-unsur yuridis seperti peraturan hukum, asas hukum dan pengertian hukum.

Berdasarkan definisi sistem hukum tersebut di atas maka dalam sistem hukum terdapat unsur-unsur sebagai berikut : (1) adanya berbagai komponen, (2) adanya fungsi masing-masing komponen, (3) adanya saling ketergantungan dan saling hubungan antar komponen, (4) adanya keterpaduan antara komponen, (5) semua komponen mengarah kepada tujuan yang telah ditetapkan.

Menurut C.F.G Sunaryati Hartono, yang dikutip oleh Firman Muntaqo sistem hukum adalah seluruh falsafah hukum, nilai-nilai, asas-asas, dan norma hukum, maupun aparatur dan lain-lain sumber daya manusia yang tergabung dalam lembaga dan organisasi hukum selanjutnya, proses dan prosedur serta interaksi dan pelaksanaan hukum yang secara utuh mewujudkan dan menggambarkan kehadiran tatanan hukum (rechtsorde dan rechtsordening) yang menumbuhkembangkan tatanan hukum kehidupan berbangsa dan bernegara dan bermasyarakat yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.53 Fungsi dari sistem hukum menurut Friedmann sebagaimana dikutip oleh Muhammad Syaifuddin adalah to distribute and maintain an alocation of values that society feels to be right. This allocation,

53 Firman Muntaqo, Harmonisasi Hukum Investasi Bidang Perkebunan, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, hlm 59

invested with a sense of rightness, is what is commonly referred to as justice, yang artinya untuk mendistribusikan dan memelihara nilai-nilai yang dinilai benar oleh masyarakat, yang merujuk pada keadilan. Jadi, output atau tujuan akhir dari sistem hukum adalah terwujudnya keadilan dalam masyarakat.54

Kemudian mengenai komponen sistem hukum terdiri dari:

Pertama, struktur yaitu keseluruhan institusi hukum yang ada beserta aparatnya, yang antara lain terdiri dari kepolisian dengan para polisinya, kejaksaan dengan para jaksanya, pengadilan dengan para hakimnya. Kedua, substansi yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum dan asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan. Ketiga, kultur hukum yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan, kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir dan cara bertindak, baik dari penegak hukum maupun warga masyarakat tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum.55

Menurut Achmad Ali, komponen sistem hukum tidak hanya tiga macam, tetapi ada 5 lima macam, yakni struktur, substansi, budaya, profesionalisme dan kepemimpinan. Profesionalisme adalah kemampuan dan keterampilan secara person dari sosok-sosok penegak hukum. Kepemimpinan adalah kemampuan dan keterampilan secara individu dari sosok penegak hukum, terutama kalangan petinggi hukum.

54 Muhammad Syaifuddin, Perlindungan Hukum Hak Masyarakat Kurang Dan Tidak Mampu Atas Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit Swasta Berbadan Hukum Perseroan Terbatas, Universitas Brawijaya, Disertasi, hlm 24

55Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hlm. 204

Efektif tidaknya penegakan hukum di dunia ini, termasuk Indonesia, terkait erat dengan efektif tidaknya ketiga komponen

Efektif tidaknya penegakan hukum di dunia ini, termasuk Indonesia, terkait erat dengan efektif tidaknya ketiga komponen