• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tahapan Persidangan Gugatan Wanprestasi dan

BAB III PENGGABUNGAN TUNTUTAN

A. Tahapan Persidangan Gugatan Wanprestasi dan

1. Persiapan Persidangan

Ada beberapa hal yang harus disiapkan sebelum sidang perkara wanprestasi dan PMH dilaksanakan. Persiapan ini termasuk tahap yang penting karena dalam tahap persiapan tersebut dapat diatur tentang perencanaan-perencanaan yang matang dan perencanaan ini termasuk unsur manajemen yang cukup menentukan keberhasilan suatu pekerjaan. Dikatakan oleh Georgios I Zakes:

Most if not all. Organization adopt some from of planing.

Planing processes need to be carefully, conceived to be effective, perhaps limited in scope, and suitable for the context. Morever, planing includes the determinate on of the means to achieve certain ends, enveronmental scanning, accessing sourches both internal and external to the organization.123

Hal-hal yang harus disiapkan adalah:

a. Pemanggilan terhadap Para Pihak

Pemanggilan tersebut tidak dapat dipandang ringan, sebab kalau salah dalam cara memanggil para pihak yang berperkara tersebut maka akan membawa akibat negatif pada

123 Georgios I Zakes, Globalization and Digital Economy, Legal and Economi Aspects, Manegerial Lawam Vol 45 2003 hlm. 80

proses pemeriksaan perkara. Surat panggilan disebut juga dengan “relaas”. Dalam Hukum Acara Perdata, relaas ini dikategorikan sebagai akta autentik. Dalam Pasal 165 HIR dan Pasal 285 R.Bg B.W., disebutkan bahwa akta otentik adalah suatu akta yang dibuat di hadapan pegawai umum dalam bentuk yang ditentukan undang-undang yang berlaku.

Demikian juga dengan relaas panggilan. Dengan demikian apa yang termuat di dalam relass harus dianggap benar, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.124 Pemanggilan yang sah adalah panggilan yang dilakukan secara resmi dan patut.

b. Protokoler Persidangan

Protokoler persidangan adalah rangkaian kegiatan dalam mengatur tata tertib persidangan yang dimulai sebelum persidangan dimulai sampai selesainya persidangan dilaksanakan oleh Majelis Hakim.125 Protokoler persidangan sebelum sidang dilaksanakan oleh seorang petugas yang khusus ditunjuk untuk melakukan tugas-tugas tersebut, seperti menyiapkan perlengkapan persidangan, menulis jadwal persidangan pada papan pengumuman yang telah disediakan sesuai dengan urutan pendaftaran.

2. Prinsip-Prinsip Persidangan

Peraturan perundang-undangan telah mengatur prinsip-prinsip persidangan yang harus diikuti oleh Ketua Majelis Hakim dalam sidang. Prinsip-prinsip persidangan tersebut tidak boleh diabaikan oleh Majelis Hakim, sebab hal tersebut menyangkut

124 Soebiakto, Tentang Kejurusitaan dalam Praktek Peradilan Perdata, Djambatan, 1998, hlm.22

125 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Prenada Media, Jakarta, 2005, hlm. 202

keabsahan sidang yang dilaksanakannya. Jika prinsip-prinsip persidangan yang telah ditentukan tersebut diabaikan, maka persidangan menjadi cacat hukum, dan oleh karenanya dapat dibatalkan pada tingkat banding dan kasasi. Adapun prinsip-prinsip persidangan yang harus dilaksanakan sebagai berikut:126

a. Prinsip Personalitas Ke-Islaman

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menegaskan bahwa Peradilan Agama hanya mengadili mereka yang mengaku dirinya memeluk agama Islam. Orang yang beragama selain Islam, tidak tunduk dan tidak dapat dipaksakan tunduk kepada kekuasaan lingkungan Peradilan Agama. Prinsip personalitas ke-Islaman hanya dikaitkan dengan hal-hal yang berkaitan dengan sengketa yang menjadi yurisdiksi lingkungan Peradilan Agama saja, yaitu perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang dilaksanakan berdasarkan hukum Islam, wakaf dan sedekah.127 Jadi kekuasaan Peradilan Agama itu hanya terbatas pada kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu.

b. Prinsip Persidangan Terbuka untuk Umum

Menurut ketentuan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa sidang pemeriksaan perkara perdata harus dilaksanakan da-lam sidang terbuka untuk umum. Hal ini berarti bahwa setiap

126 Ibid, hlm 195

127 Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.37

orang boleh mendengarkan dan mengikuti jalannya persidangan, dengan demikian persidangan terbuka untuk umum tersebut diharapkan: (1) Dapat menjamin adanya social control atas tugas-tugas yang dilaksanakan oleh hakim tersebut, sehingga dengan demikian hakim dapat mempertanggungjawabkan pemeriksaan yang fair serta tidak memihak kepada salah satu pihak yang berperkara; (2) Untuk memberi edukasi dan prepensi kepada masyarakat tentang suatu peristiwa. Dari peristiwa yang sedang diperiksa itu akan memberikan pelajaran kepada masyarakat agar bertingkah laku yang sebaik-baiknya supaya tidak terperosok kepada hal-hal yang tidak baik; (3) Masyarakat dapat menilai mana yang baik dan mana yang buruk, sehingga akan membentuk daya tangkal prepensi dalam hati, dan pikiran mereka untuk melakukannya.128

c. Prinsip Persamaan Hak dan Kedudukan dalam Persidangan

Dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disebutkan bahwa dalam mengadili menurut hukum dan tidak membeda-bedakan orang. Dalam Hukum Acara Perdata prinsip ini dikenal dengan "audi et alteram partern" atau "Eines Mannes Rede, man soli sie horen alle beide", yang berarti bahwa pihak-pihak yang berperkara harus diperlakukan sama adil, masing-masing pihak harus diberi kesempatan yang sama dalam memberikan

128 Moh. Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Rineka Cipta, Jakarta, 2009, hlm.11

pendapatnya. Ada juga para praktisi hukum menyebutnya dengan asas legalitas dan asas equality, mempunyai arti persamaan hak dan kedudukan di hadapan hukum.129 Lawan dari kedua asas ini adalah diskriminasi yang berarti membeda-bedakan hak dan kedudukan dalam sidang pengadilan. Wujudnya biasanya berupa tindakan yang membedakan aturan hukum kepada salah satu pihak yang berperkara, atau juga hak-hak yang seharusnya dipenuhi oleh salah satu pihak dalam persidangan dibatasi oleh Majelis Hakim, atau tindakan-tindakan lain yang merugikan salah satu pihak yang berperkara. Seperti Majelis Hakim membentak-bentak para pihak, bersikap marah ketika memeriksa para pencari keadilan, dan sebagainya.

d. Prinsip Hakim Aktif Memberi Bantuan

Dalam Pasal 119 HIR dan Pasal 143 R.Bg ditentukan bahwa pemeriksaan perkara di depan sidang, hakim bertindak memimpin persidangan, yakni mengatur, mengarahkan, dan menentukan hukumnya. Hakim berperan aktif memimpin dari awal sampai akhir pemeriksaan. Hakim juga berwenang untuk memberikan petunjuk kepada para pihak yang beperkara agar perkara yang diajukan itu menjadi jelas duduk perkaranya, sehingga memudahkan hakim dalam memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara tersebut.130

129 Sudikno Mertukusumo,Op.Cit.,hlm. 120

130 Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 88

e. Prinsip Setiap Berperkara Dikenakan Biaya

Dasar hukum tentang biaya perkara adalah HIR/RBG.

Dalam peraturan tersebut dikemukakan bahwa setiap orang yang bermaksud memasukkan perkaranya ke pengadilan harus terlebih dahulu membayar uang muka (vorschot) biaya perkara dan berapa habisnya biaya perkara secara keseluruhan akan diperhitungkan kemudian kalau perkara sudah selesai disidangkan.131 Uang muka biaya perkara tersebut ditentukan oleh Ketua Pengadilan, selanjutnya berapa biaya yang diperlukan dalam penyelesaian perkara ditentukan oleh Majelis Hakim yang menyidangkan perkara tersebut. Jumlah keseluruhan biaya perkara dicantumkan dalam amar putusan dan sekaligus kepada siapa biaya perkara dibebankan. Di samping itu, Majelis Hakim juga harus mencantumkan biaya perkara yang telah dipergunakan secara rinci pada kaki putusan, sebagai pertanggungjawaban pengadilan kepada pihak-pihak yang berperkara.

f. Prinsip Persidangan Harus Majelis

Susunan persidangan untuk semua badan peradilan, harus majelis yang terdiri sekurang-kurangnya tiga orang.132 Pengertian sekurang-kurangnya berarti boleh lebih dari tiga orang asalkan ganjil, dengan maksud apabila terjadi ketidaksepahaman atau ketidaksepakatan dalam suatu masalah yang disidangkan ada perimbangan suara, dan perkara tersebut dapat diselesaikan sebagaimana mestinya.

Prinsip Hakim Majelis ini dimaksudkan agar dalam

131 Pasal 121 ayat (4) HIR dan Pasal 145 ayat (4) RBG.

132 Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

pemeriksaan perkara dapat melahirkan objektivitas yang sebenarnya, dengan demikian perlindungan hak asasi pencari keadilan dapat terlaksana dengan baik.

3. Proses Pemeriksaan Perkara a. Mediasi

Apabila Penggugat dan Tergugat hadir maka berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, majelis hakim memerintahkan para pihak untuk menempuh mediasi.

Mediasi tidak mudah didefinisikan secara lengkap dan menyeluruh, karena cakupannya cukup luas. Mediasi tidak memberikan suatu model yang dapat diuraikan secara terperinci dan dibedakan dari proses pengambilan keputusan lainnya.133

Dalam Collinis English Dictionary and Thesaurus disebutkan bahwa mediasi adalah kegiatan menjembatani antara dua pihak yang bersengketa guna menghasilkan kesepakatan (agreement).134 Kemudian ahli hukum lainnya, Lourence Bolle menyatakan: “Mediation is adecision making process in which the paties are assisted by a mediator, the mediator attempt to improve the process of decision making and to assit the parties the reach an outcome to which of them can assent.”135 Sedangkan J. Folberg dan A. Taylor

133 Gatot Sumartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006, hlm. 119

134 Martin H. Manser, Oxford Leanner’s Pocket Dictionary, New Edition, Oxford University Press, Oxford 1995, hlm.259

135 Laurence Bolle, Mediation: Principlees, Process, and Practice, New York, 1996, hlm. 1

memaknai mediasi dengan ….the process by which the participant, together with the assistance of neutral persons, systematically isolate dispute in order to develop options, consider alternative, and rech consensual settlement that will accommodate their needs.136 Garry Goodpaster, memberikan definisi sebagai proses negosiasi pemecahan masalah di mana pihak luar yang tidak memihak (imparsial) bekerja sama dengan pihak-pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian yang memuaskan.137 Dalam mediasi penyelesaian perselisihan atau sengketa lebih banyak muncul dari keinginan dan inisiatif para pihak, sehingga mediator berperan membantu mereka mencapai kesepakatan-kesepakatan.138 Pengertian mediasi yang agak luas diberikan oleh The National Alternative Dispute Resolution Advisory Council, sebagai berikut:

Mediation is a process in which the parties to a dispute, with the assistance of a dispute resolution practitioner (a mediator) identify the dispute issues, develop option, consider alternatives and endeavour to rech an agreement. The mediator has no advisory or determinative role in regard to content of dispute or the outcome of its

136 J. Folberg dan A. Taylor, Mediation: A Comprehensive Guide to Resolving Conflict without Litigation, University Press, Combridge 1984, hlm.7.

137 Gary Goodpaster, Negosiasi dan Mediasi: Sebuah Pedoman Negosiasi dan Penyelesaian Sengketa Melalui Negosiasi, ELIPS Project, Jakarta,1993, hlm. 201

138 Allan J. Stitt, Mediation: A Practical Guide, Routledge Gavendish, London, 2004, hlm.2

resolution, but may advise on or determine the process of mediation whereby resolution is sttempted.139

Dengan mediasi tersebut diharapkan tercapai perdamaian antara para pihak. Keuntungan perdamaian, adalah pihak lawan tidak dianggap sebagai musuh tetapi sebagai teman untuk mencari solusi dalam menyelesaikan persengketaan. Lawyers increasingly view opponent as the any my and are personally offended by opponent efforts to advance client interests-Attorneys must realize that opponents are not the enemy but their best friends, since they enable them to earn a living.140

b. Pembacaan Gugatan

Apabila tidak tercapai perdamaian maka persidangan dilanjutkan dengan pembacaan gugatan. Setelah gugatan dibacakan, sebelum tahap jawaban tergugat, penggugat diberi kesempatan untuk menyatakan sikap sehubungan dengan gugatannya. Ada tiga kemungkinan sikap penggugat141: 1) Mencabut gugatan

2) Mengubah gugatan

3) Tetap mempertahankan gugatan

Gugatan yang dibaca tersebut adalah gugatan yang diajukan di luar persidangan. Dalam beracara di Pengadilan Agama di samping ada gugatan yang diajukan di luar

139 David Spancer dan Michael Brogan, Mediation Law and Practice, Combridge University Press, Combridge, 2206 hlm, 9

140 Charles B Crover, Effrective Legal Negotiation And Settlement Seven th iddtion, George Washington University Law School Washington, DC, hlm 17

141 Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm.40

persidangan, ada juga gugatan yang diajukan dalam persidangan. Gugatan tersebut adalah sebagai berikut:

1) Gugatan Provisional

Supomo, menyebutkan tuntutan provisional dengan provisionele eis.142 Demikian juga dengan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 1965 tanggal 30 Desember 1965 dan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 16 Tahun 1969 tanggal 11 Oktober 1969 menyebutkan istilah provisionele eis untuk tuntutan provisional. Darwan Sprints memakai istilah gugatan provisional dan mendefinisikan sebagai suatu gugatan untuk memperoleh tindakan sementara selama proses perkara masih berlangsung.143

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa gugatan provisional adalah gugatan yang bertujuan agar hakim menjatuhkan putusan yang sifatnya mendesak untuk dilakukan terhadap salah satu pihak dan bersifat sementara di samping adanya tuntutan pokok dalam surat gugatan.

2) Gugatan Rekonvensi

Dalam Hukum Acara Perdata, gugat rekonvensi ini dikenal dengan “gugat balik” berhubung Tergugat juga melakukan wanprestasi pada Tergugat. Tergugat baru dapat melakukan gugat rekonvensi apabila secara kebetulan

142 Soepomo, Hukum Acara Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993, hlm 45

143 Darwan Sprints, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hlm. 13

berkaitan dengan hukum kebendaan yang sedang diperiksa dalam sidang pengadilan. Gugat rekonvensi tidak boleh dilaksanakan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan hukum perorangan atau menyangkut dengan status orang.144Jadi tidak semua gugatan Penggugat dibalas dengan gugat rekonvensi. Tujuan gugat rekonvensi ini adalah untuk mengimbangi gugatan Penggugat, agar sama-sama dapat diperiksa sekaligus.

Di samping itu, tujuan daripada gugat rekonvensi ini adalah menggabungkan dua tuntutan yang berhubungan untuk diperiksa dalam persidangan sekaligus, mempermudah prosedur pemeriksaan, menghindarkan putusan yang saling bertentangan satu sama lain, menetralisir tuntutan konvensi, memudahkan acara pembuktian, dan menghemat biaya.

Menurut ketentuan hukum acara Tergugat dapat mengajukan rekonvensi terhadap Penggugat, kecuali dalam tiga hal,145 yaitu:

a) Penggugat dalam kualitas yang berbeda

b) Pengadilan yang memeriksa konvensi tidak berwenang memeriksa gugatan konvensi

c) Dalam perkara mengenai pelaksanaan putusan

Gugat rekonvensi tidak boleh dilakukan dalam hal pelaksanaan keputusan hakim, sebab dalam pelaksanaan putusan hakim itu sudah tidak ada lagi penetapan hak karena perkaranya sudah diputus, tinggal pelaksanaannya sebagaimana yang telah diputus oleh hakim.

144 Yahya Harahap, Hukum Acara.... Op.Cit.,hlm. 471

145 Pasal 132a HIR dan Pasal 157 R.Bg

peraturan mengenai tata cara pemeriksaan perkara di depan sidang pengadilan berlaku seluruhnya bagi gugatan rekonvesi. Maksudnya terhadap gugat rekonvensi juga diberlakukan jawab menjawab dan sebagainya.

3) Gugatan Intervensi

Dalam praktek acara perdata selama ini, dikenal dua macam intervensi yaitu :

a) Tussenkoms (Menengahi)

Tussenkoms adalah masuknya pihak ketiga atas kemauannya sendiri dalam perkara yang sedang berlangsung dalam sidang pengadilan. Masuknya pihak ketiga hanya untuk memperjuangkan kepentingannya sendiri, ia tidak memihak kepada Penggugat atau Tergugat.146Adapun ciri-ciri tussenkoms adalah: (1) sebagai pihak ketiga yang berkepentingan yang masuk dalam perkara yang sedang berlangsung, berdiri sendiri dan bukan perkara baru, (2) adanya kepentingan dari pihak yang berkepentingan untuk mencegah timbulnya kerugian atau haknya yang terancam dan apabila dibiarkan akan bertambah rugi, (3) pihak yang mengadakan intervensi itu melawan Tergugat dan Penggugat sekaligus, dia tidak memihak kepada siapa-siapa hanya semata-mata untuk membela kepentingan sendiri, (4) pihak yang mengadakan intervensi itu mengajukan gugatan secara tertulis kepada Ketua Pengadilan Agama dengan memohon agar diberi izin untuk ikut bergabung dalam perkara yang sedang diperiksa itu.

146 Mukti Arto, Op.Cit.,hlm.114.

b) Voeging (Menyertai)

Voeging adalah suatu aksi hukum yang dilakukan oleh pihak ketiga dengan jalan memasuki perkara perdata yang sedang berlangsung antara Penggugat dan Tergugat.

Masuknya pihak ketiga ini dilakukan secara sukarela untuk membela kepentingan salah satu pihak yang sedang bersengketa yang saat itu sedang diperiksa dalam sidang pengadilan.147

c) Vrijwaring (Garantie)

Vrijwaring sebagaimana tersebut dalam Pasal 70-76 Rv bukanlah interventie, tetapi merupakan aksi hukum yang dilakukan oleh Tergugat untuk menarik pihak ketiga dalam perkara yang sedang berlangsung guna menjamin kepentingan Tergugat dalam menghadapi gugatan Penggugat. Tujuan menarik pihak ketiga itu adalah agar pihak ketiga itu dapat membebaskan pihak yang menariknya agar ia terbebas dari pokok sengketa yang sedang diperiksa di pengadilan.148

c. Jawab Menjawab (Replik-Duplik)

Sesudah pembacaan surat gugatan/permohonan dan anjuran damai tetapi tidak berhasil, ketua majelis akan menanyakan kepada tergugat/termohon, apakah ia akan menjawab secara lisan atau tertulis. Jika akan menjawab secara tertulis, apakah sudah siap, atau kalau belum kapan tergugat termohon siapnya. Sejak saat itu, masuklah ke dalam

147 Abdullah Tri Wahyudi, Hukum Acara Peradilan Agama, Mandar Maju, Bandung, 2014, hlm.114.

148 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hlm 185

tahap jawab menjawab, baik antara para pihak, maupun antara hakim dengan pihak.

d. Pembuktian

Tugas pokok hakim dalam pemeriksaan perkara adalah pertama mengkonstatir perkara, yaitu melihat benar tidaknya peristiwa dan fakta-fakta yang diajukan, kedua mengkualifisir peristiwa yang telah dikonstatir itu termasuk hubungan hukum apa untuk menemukan hukumnya, dan yang ketiga adalah mengonstituir yaitu memberikan konstitusinya, hakim menetapkan hukumnya untuk memberi keadilan. Menurut Sudikno Mertokusumo,149 dalam mengkonstatir tersebut, bukan sekadar dugaan atau kesimpulan yang dangkal dan gegabah. Hakim harus menggunakan sarana atau alat-alat untuk memastikan dirinya tentang kebenaran peristiwa yang bersangkutan. Untuk memastikan kebenaran peristiwa tersebut melalui pembuktian.

Membuktikan artinya mempertimbangkan secara logis kebenaran suatu fakta/peristiwa berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan menurut hukum pembuktian yang berlaku.

Tujuannya adalah untuk mendapatkan kepastian bahwa suatu peristiwa/fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi, guna mendapatkan putusan yang benar dan adil.

Menurut M. Yahya Harahap,150 dalam pengertian yang luas, pembuktian adalah kemampuan Penggugat atau Tergugat memanfaatkan hukum pembuktian untuk mendukung dan membenarkan hubungan hukum dan

149 Ibid, hlm.89

150 Yahya Harahap, Hukum Acara...Op.Cit., hlm 497

peristiwa-peristiwa yang didalilkan atau dibantahkan dalam hubungan hukum yang diperkarakan. Sedangkan dalam arti sempit, pembuktian hanya diperlukan sepanjang mengenai hal-hal yang dibantah atau hal yang masih disengketakan atau hanya sepanjang yang menjadi perselisihan di antara pihak-pihak yang berperkara. Menurut R. Subekti,151 yang dimaksud dengan pembuktian adalah suatu daya upaya para pihak yang beperkara untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakannya dalam suatu perkara yang sedang dipersengketakan di muka pengadilan dan yang diperiksa oleh hakim.

Dari pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pembuktian adalah upaya para pihak yang beperkara untuk meyakinkan hakim akan kebenaran peristiwa atau kejadian yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa dengan alat-alat bukti yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Tujuan pembuktian menurut Milton C. Jacobs adalah untuk mencapai kebenaran dan untuk dapat menghasilkan putusan, sesuai dengan pernyataan dia, the object of evidence is to inform the trial tribunal of the mterial facts, which are relevant as bearing upon the issues, in order that the truth may be elicited and a just determination of the contoversy reached.152

1) Urgensi Pembuktian dalam Pemeriksaan Perkara Pembuktian memegang peranan penting dalam pemeriksaan perkara dalam persidangan di pengadilan.

Dengan adanya pembuktian, hakim akan mendapat gambaran

151 Subekti, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 1995, hlm.5

152 Milton C.Jacobs “Civil Trial Evidence” Second Edition ,New York hlm 1

yang jelas terhadap peristiwa yang sedang menjadi sengketa di pengadilan. Sehubungan dengan hal ini maka perlu pembahasan tentang apa yang harus dibuktikan, siapa yang seharusnya dibebani pembuktian dan hal-hal yang tidak perlu dibuktikan lagi dalam menyelesaikan suatu perkara.

2) Apa yang Harus Dibuktikan

Sesuai dengan tujuan pembuktian yaitu untuk memberikan kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa tertentu, maka yang harus dibuktikan adalah peristiwa atau kejadian yang dikemukakan oleh para pihak dalam sesuatu yang belum jelas atau yang menjadi sengketa.

Jadi yang harus dibuktikan adalah peristiwa dan kejadiannya yang telah dikonstatir dan dikualifisir.153

Syarat bagi peristiwa-peristiwa yang harus dibuktikan di muka sidang pengadilan adalah syarat-syarat sebagai berikut: (l) peristiwa atau kejadian tersebut harus merupakan peristiwa atau kejadian yang disengketakan, sebab pembuktian itu merupakan cara untuk menyelesaikan sengketa. (2) peristiwa atau kejadian tersebut harus dapat diukur, terikat dengan ruang dan waktu. (3) peristiwa atau kejadian tersebut harus berkaitan dengan hak yang disengketakan, karena pembuktian itu tidak mengenai hak yang disengketakan itu sendiri. (4) peristiwa kejadian itu efektif untuk dibuktikan. (5) peristiwa atau kejadian tersebut tidak dilarang oleh hukum kesusilaan.154

153 Gatot Supramono, Hukum Pembuktian Di Pengadilan Agama, Alumni Bandung, 1993, hlm.16

154 Ibid., hlm 22

3) Pihak yang Dibebani Pembuktian

Berdasarkan ketentuan Pasal l63 HIR yang harus membuktikan atau dibebani pembuktian adalah para pihak yakni pihak yang berkepentingan di dalam suatu perkara, terutama Penggugat yang mengajukan dalil-dalil gugatannya, sedangkan Tergugat berkewajiban untuk membuktikan bantahannya. Pada umumnya sepanjang undang-undang tidak mengatur maka hakim bebas menilai pembuktian itu.

Hal ini adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 165 HIR dan 285 R.Bg. Di mana dikemukakan bahwa yang menilai alat-alat bukti adalah hakim dan ia terikat dengan penilaiannya.

Hakim juga berhak untuk tidak mempercayai keterangan saksi-saksi jika ia menganggap bahwa keterangan-keterangan persaksian tersebut tidak relevan atau kurang meyakinkan dirinya. Hakim bebas menilai kesaksian, hal ini sesuai dengan

Hakim juga berhak untuk tidak mempercayai keterangan saksi-saksi jika ia menganggap bahwa keterangan-keterangan persaksian tersebut tidak relevan atau kurang meyakinkan dirinya. Hakim bebas menilai kesaksian, hal ini sesuai dengan