• Tidak ada hasil yang ditemukan

GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM SYARIAH (PMHS) DALAM HUKUM ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM SYARIAH (PMHS) DALAM HUKUM ISLAM"

Copied!
174
0
0

Teks penuh

(1)

PUSLITBANG HUKUM DAN PERADILAN BADAN LITBANG DIKLAT KUMDIL

MAHKAMAH AGUNG RI 2017

GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM SYARIAH (PMHS)

DALAM HUKUM ISLAM

(2)
(3)

GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM SYARIAH (PMHS)

DALAM HUKUM ISLAM

Disusun Oleh:

DR. DHOMIRI, SH., M.HUM.

PUSLITBANG HUKUM DAN PERADILAN BADAN LITBANG DIKLAT KUMDIL MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

2017

(4)
(5)

GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM SYARIAH (PMHS)

DALAM HUKUM ISLAM

Disusun Oleh:

DR. DHOMIRI, SH., M.HUM.

PUSLITBANG HUKUM DAN PERADILAN BADAN LITBANG DIKLAT KUMDIL MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

2017

(6)

Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Syariah (PMHS) Dalam Hukum Islam

© Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI

Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI Gedung Sekretariat Mahkamah Agung Lantai 10 Jl. Jend. Ahmad Yani Kav.58 By Pass Jakarta Pusat Hak Cipta terpelihara dan dilindungi Undang-Undang

All rights reserved

Cetakan Pertama, Desember 2017

Penulis :

Dr. Dhomiri, SH., M.Hum.

Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan Dr. Dhomiri, SH., M.Hum.

Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Syariah (PMHS) Dalam Hukum Islam

Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI 2017 xvi, 154 hlm; 16 x 23 cm

ISBN: 978-602-51043-0-5

(7)

KATA PENGANTAR

Badan Penelitian dan Pengembangan & Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI merupakan satuan kerja yang lahir setelah semua Lembaga Peradilan yaitu:

1. Peradilan Umum;

2. Peradilan Agama;

3. Peradilan Tata Usaha Negara;

4. Peradilan Militer;

berada di bawah "satu atap" Mahkamah Agung RI.

Salah satu tugas dan tanggung jawab Badan Litbang Diklat Hukum dan Peradilan adalah meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia bagi seluruh aparat Peradilan, baik bagi Tenaga teknis (Hakim, Panitera dan Jurusita) maupun tenaga non Teknis, termasuk Pejabat Struktural.

Dan dalam rangka Pelaksanaan tugas tersebut, Badan Litbang Diklat Kumdil meliputi 4 (empat) unit kerja yakni:

1. Sekretariat Badan;

2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan;

3. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Teknis Peradilan;

4. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Manajemen dan Kepemimpinan.

Salah satu unit dari Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI adalah Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan adalah Penelitian (Puslitbang).

Berdasarkan DIPA 2017 Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan (Puslitbang) telah melaksanakan berbagai macam kegiatan yang menjadi tupoksinya. Salah satunya adalah

(8)

Penelitian Tentang "Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Syariah (PMHS) Dalam Hukum Islam" yang merupakan Penelitian Lapangan. Penelitian tersebut dilaksanakan di wilayah Hukum Pengadilan di Surabaya, Medan, dan Makassar. Hasilnya telah disusun dan dibuat dalam bentuk Buku Laporan.

Untuk itu, kami menyampaikan ucapan terima kasih atas ketulusan dan keikhlasan semua pihak mulai dari pengumpulan bahan- bahan sampai dengan selesainya penelitian dan telah menjadi sebuah Buku Laporan Penelitian "Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Syariah (PMHS) Dalam Hukum Islam".

Insya Allah, jerih payah kita semua akan menjadi amal sholeh di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa, Amin.

KEPALA

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN & PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

HUKUM DAN PERADILAN MAHKAMAH AGUNG RI

DR. H. ZAROF RICAR, S.Sos., SH., M.Hum

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas segala limpahan nikmat dan karunianya, sehingga Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan melalui DIPA Badan Litbang Diklat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI Tahun Anggaran 2017 telah berhasil merealisasikan salah satu tugas pokok dan fungsinya yakni menyelenggarakan kegiatan penelitian dan pengkajian.

Pada tahun 2017, Puslitbang menyelenggarakan kegiatan penelitian dan pengkajian sebanyak 14 judul. Salah satu di antaranya, Penelitian Lapangan berjudul “Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Syariah (PMHS) Dalam Hukum Islam”, sebagaimana saat ini laporannya telah berada di tangan pembaca.

Rangkaian kegiatan penelitian dan pengkajian diawali dengan penyelenggaraan Focus Grup Discussion (FGD) untuk mendiskusikan Proposal yang disusun oleh Peneliti, dengan tujuan mendapatkan masukan dan kritik dari peserta FGD, untuk menyempurnakan judul, metode, pendekatan, tujuan, manfaat, serta pilihan bahan hukum maupun referensi yang akan digunakan dalam Penelitian. FGD Proposal berlangsung di Puslitbang Mahkamah Agung RI di Jakarta.

FGD dihadiri oleh beberapa Hakim Tinggi, Hakim Tinggi yang diperbantukan pada Balitbang Diklat, Hakim Yustisial, Hakim Tingkat Pertama, Fungsional Peneliti Puslitbang Mahkamah Agung, maupun Para Peneliti yang berasal dari Instansi atau Lembaga lain, serta Akademisi, serta pihak lain yang terkait.

Setelah dilakukan penyempurnaan terhadap proposal penelitian, selanjutnya koordinator peneliti beserta pembantu peneliti serta staf memulai pelaksanaan kegiatan Penelitian. Dimulai dengan melakukan kompilasi – seleksi terhadap bahan-bahan hukum yang dinilai relevan

(10)

meliputi asas-asas, teori, norma maupun putusan-putusan pengadilan yang selanjutnya dilakukan analisis untuk mengetahui ada-tidaknya korelasi serta relevansi antara satu dengan yang lain. Apakah terdapat kesesuaian ataukah pertentangan antara “das sollen” dengan “das sein”, antara “law in abstracto” dengan “law in concreto”nya. Apakah ratio legis dalam kaidah dan ratio decidendi yang digunakan dalam putusan. Untuk melengkapi analisis, peneliti juga melakukan serangkaian wawancara dengan beberapa narasumber yang dinilai kompeten di bidangnya.

Terhadap draf laporan hasil penelitian yang disusun oleh peneliti, dilakukan finalisasi koreksi terhadap draf Laporan Hasil Penelitian. Tahap selanjutnya adalah proses pencetakan Buku Laporan Hasil Penelitian, pengunggahan (uploading) ke Website Badan Litbang Diklat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, serta pengiriman ke Pimpinan Mahkamah Agung, Hakim Agung, Pejabat Struktural eselon 1 dan 2, Pengadilan Tingkat Banding serta Pengadilan- Pengadilan tingkat pertama dari 4 (empat) lingkungan peradilan, Kementerian/Lembaga, Perguruan Tinggi, serta berbagai pihak yang terkait. Mengingat keterbatasan anggaran, tidak semua pengadilan tingkat pertama mendapatkan kiriman Buku Laporan Hasil Penelitian.

Namun demikian softcopy Buku Laporan Hasil Penelitian dapat diunduh (download) melalui www.bldk.mahkamahagung.go.id c.q Puslitbang Hukum dan Peradilan.

(11)

Buku Laporan Hasil Penelitian ini disajikan sebagai bentuk pertanggungjawaban Kapuslitbang kepada Pimpinan Mahkamah Agung RI, serta sebagai dokumentasi telah selesainya pelaksanaan kegiatan tersebut. Semoga kiranya dapat memberikan manfaat sebagaimana mestinya.

KEPALA

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN PERADILAN

BADAN LITBANG DIKLAT KUMDIL MA-RI

Prof. Dr. BASUKI REKSO WIBOWO, S.H., M.S.

(12)
(13)

KATA PENGANTAR

Setiap negara yang menyatakan dirinya sebagai negara hukum harus memiliki lembaga peradilan. Indonesia adalah negara hukum sebagaimana ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Dasar Tahun 1945, maka Indonesia harus memiliki lembaga peradilan. Salah satu lembaga peradilan yang dimiliki negara Indonesia adalah lembaga Peradilan Agama yang keberadaannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Lembaga Peradilan Agama tersebut memiliki kewenangan absolut dan kewenangan relatif.

Kompetensi absolut adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili berdasarkan materi hukum (hukum materi). Kompetensi relatif adalah kompetensi yang berkaitan dengan wilayah hukum suatu pengadilan.

Kompetensi relatif peradilan agama merujuk pada Pasal 118 HIR atau Pasal 142 RBg.

Kemudian mengenai kewenangan absolut Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 49 Undang-undang nomor 7 tahun 1989 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam Undang-undang nomor 3 tahun 2006 disebutkan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a) Perkawinan, b) Waris, c) Wasiat, d) Hibah, e) Wakaf, f) Zakat, g) Infak, h) Shadaqah, dan i) Ekonomi syariah.

Dalam kajian ilmu hukum di Indonesia terdapat dua macam ekonomi yakni ekonomi syariah yang menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama dan ekonomi konvensional yang menjadi kewenangan Pengadilan Negeri. Masing-masing jenis ekonomi tersebut memiliki karakteristik sendiri-sendiri. Ekonomi konvensional memiliki

(14)

ciri-ciri yang berbeda dengan ekonomi syariah. Ciri ekonomi konvensional melekat pada dua paham ekonomi yakni paham kapitalisme dan paham sosialisme.

Potensi pelanggaran terhadap ekonomi konvensional ada dua macam yakni wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. Wanprestasi timbul akibat pelanggaran terhadap perjanjian yang telah dibuat, sedangkan perbuatan melawan hukum timbul akibat pelanggaran terhadap aturan hukum yang ada. Demikian juga dalam ekonomi syariah, terdapat dua macam pelanggaran yakni: pertama pelanggaran terhadap aturan hukum yang ada yang disebut perbuatan melawan hukum, kedua pelanggaran terhadap perjanjian syariah yang disebut dengan wanprestasi.

Tuntutan terhadap pihak yang melakukan perbuatan melawan hukum selalu berupa ganti rugi. Ganti rugi atas perbuatan melawan hukum dalam ekonomi konvensional ada dua macam yakni ganti rugi umum dan ganti rugi khusus. Ganti rugi umum diatur dalam KUH Perdata Pasal 1243 sampai dengan Pasal 1252, sedangkan ganti rugi khusus diatur dalam KUH Perdata Pasal 1365 sampai dengan Pasal 1380.

Sebagaimana sudah penulis kemukakan di depan, bahwa antara sistem ekonomi konvensional dengan sistem ekonomi syariah memiliki perbedaan yang cukup mendasar, maka perbedaan tersebut telah menimbulkan persoalan, apakah sistem ganti rugi yang diatur dalam KUH Perdata dapat diterapkan pada tuntutan ganti rugi akibat perbuatan melawan hukum syariah.

Pelanggaran terhadap ekonomi, sebagaimana sudah diuraikan di atas terdapat dua macam yakni pelanggaran terhadap perjanjian, yang disebut dengan wanprestasi dan pelanggaran terhadap aturan, yang disebut dengan perbuatan melawan hukum. Perbuatan wanprestasi dapat terjadi berdiri sendiri tanpa adanya perbuatan melawan hukum,

(15)

tetapi juga dapat terjadi secara bersamaan dengan perbuatan melawan hukum.

Dalam hal perbuatan wanprestasi yang bersamaan dengan PMH dalam penyelesaian gugatannya terdapat dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa penyelesaian gugatan wanprestasi dengan gugatan PMH dapat digabung. Pendapat kedua menyatakan bahwa gugatan wanprestasi dengan gugatan PMH tidak dapat digabung.

Kedua pendapat tersebut tercermin dari beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung RI. Berkaitan dengan persoalan tersebut, penulis perlu meneliti tentang bagaimana penyelesaian gugatan wanprestasi yang bersamaan dengan PMH Syariah di Pengadilan Agama. Penelitian tersebut telah melibatkan berbagai pihak, untuk itu seluruh tim peneliti mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu atas pelaksanaan penelitian ini. Oleh karena hasil penelitian ini masih banyak kekurangan maka tim peneliti mohon saran dan kritik untuk menyempurnakan hasil penelitian tersebut.

Koordinator Peneliti

Dr. H. Domiri, S.H, M.Hum

(16)
(17)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR KABALITBANG DIKLAT

KUMDIL ………... v

KATA PENGANTAR KAPUSLITBANG KUMDIL ……... vii

KATA PENGANTAR KOORDINATOR PENELITI ... xi

DAFTAR ISI ……… xv

BAB I PENDAHULUAN……..………... 1

A. Latar Belakang .……... 1

B. Permasalahan ... 12

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 13

D. Definisi Konsep ... 13

E. Kerangka Teoritis ... 14

F. Metode Penelitian ... 29

BAB II PENYELESAIAN GUGATAN GANTI RUGI DALAM PERKARA PERBUATAN MELAWAN HUKUM (PMH) ... 39

A. Ketentuan Ganti Rugi Menurut Pasal 1243 KUHPdt ………... 39

B. Asas-Asas Akad/Perjanjian Syariah …………. 39

C. Rukun dan Syarat Perikatan Islam ... 51

D. Prinsip-Prinsip Hukum Islam ... 68

E. Hal-Hal yang Dapat Merusak Kontrak ... 81

F. Fatwa DSN tentang Ta’widh ... 90

(18)

G. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sikap Hakim

Dalam Menyelesaikan Ganti Rugi ... 91

BAB III PENGGABUNGAN TUNTUTAN WANPRESTASI DENGAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM ... 95

A. Tahapan Persidangan Gugatan Wanprestasi dan PMH di Pengadilan Agama ... 95

B. Metode Penemuan Hukum ... 125

C. Teknik Pengambilan Putusan ... 128

D. Tujuan Hakim Memutus Perkara ... 132

E. Aliran Hakim Dalam Menemukan Hukum ... 135

F. Penyelesaian Perkara Wanprestasi dan PMH di Pengadilan Agama ... 141

BAB V PENUTUP ... 145

A. Kesimpulan ... 145

B. Saran ... 145

DAFTAR PUSTAKA ………..…..………..………. 147

(19)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi: Negara Indonesia adalah Negara hukum.1Pengertian negara hukum terdapat beberapa rumusan, antara lain rumusan yang terdapat dalam Ensiklopedia Indonesia. Dalam Ensiklopedia Indonesia dirumuskan sebagai berikut:

Negara hukum (bahasa Belanda: rechstaat): negara bertujuan untuk menyelenggarakan ketertiban hukum, yakni tata tertib yang umumnya berdasarkan hukum yang terdapat pada rakyat. Negara hukum menjaga ketertiban hukum supaya jangan terganggu dan agar semuanya berjalan menurut hukum.2

D. Mutiara dalam bukunya Ilmu Tata Negara Umum, sebagaimana yang dikutip Mukthie Fadjar3 memberikan definisi negara hukum sebagai berikut :

Negara hukum ialah negara yang susunannya diatur dengan sebaik- baiknya dalam undang-undang sehingga segala kekuasaan dari alat- alat pemerintahannya didasarkan hukum. Rakyat tidak boleh bertindak sendiri-sendiri menurut semaunya yang bertentangan dengan hukum. Negara hukum itu ialah negara yang diperintah bukan oleh orang-orang, tetapi oleh undang-undang (state the not

1 Lihat Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 1 ayat (3)

2 Negara Hukum, Ensiklopedia Indonesia, (N-Z),NV, W Van Hoeve hal. 983

3 Mukthie Fadjar, Tipe Negara Hukum, Malang, 2003, hal.6

(20)

governed by men, but by laws). Karena itu di dalam negara hukum, hak-hak rakyat dijamin sepenuhnya oleh negara, sebaliknya, kewajiban-kewajiban rakyat harus dipenuhi seluruhnya dengan tunduk dan taat kepada segala peraturan pemerintah dan undang- undang negara.

Konsepsi negara hukum, sudah dicetuskan sejak abad ke 17 di Negara-negara Eropa Barat, bersama-sama dengan timbulnya perjuangan kekuasaan yang tidak terbatas dari penguasa, yaitu para raja yang berkekuatan absolut. Cita-cita itu, pada mulanya sangat dipengaruhi oleh aliran individualisme dan mendapat dorongan yang kuat dari Renaissance serta Reformasi.4 Di Negara-negara Eropa Kontinental, konsep negara hukum tersebut, selanjutnya dikembangkan oleh Immanuel Kant, Friederich Julius Stahl, Laband, Buys, dan lain-lainnya, yang terkenal dengan istilah konsep rechtstaat.

Ciri-ciri rechtstaat adalah sebagai berikut:

1. Perlindungan hak asasi manusia 2. Pembagian kekuasaan

3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang 4. Peradilan Tata Usaha Negara5

Di Negara Anglo Saxon lahirlah konsep semacam, yang terkenal dengan konsep Rule of Law dipelopori oleh Dicey. A.C. Dicey seorang ahli dari Anglo Saxon, memberikan ciri Rule of Law sebagai berikut : 1. Supremasi hukum, dalam arti tidak boleh ada kesewenang- wenangan sehingga seorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum;

4 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal.29

5 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitutionalisme Indonesia, Jakarta, 2004, hal 122

(21)

2. Kedudukan yang sama di depan hukum, baik bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat;

3. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang dan keputusan- keputusan pengadilan.6

International Commision of Jurists pada konferensinya di Bangkok pada tahun l965 menekankan bahwa di samping hak-hak politik bagi rakyat, harus diakui pula adanya hak-hak sosial dan ekonomi, sehingga perlu dibentuk standar dasar sosial ekonomi.

Komisi ini dalam konferensi tersebut juga merumuskan syarat-syarat pemerintahan yang demokratis di bawah Rule of Law (yang dinamis) sebagai berikut:

1. Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individu, konstitusi harus pula menentukan cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin;

2. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;

3. Pemilihan umum yang bebas;

4. Kebebasan menyatakan pendapat;

5. Kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi;

6. Pendidikan kewarganegaraan.7

Dalam kajian hukum tata negara, di samping konsep negara hukum tersebut di atas juga terdapat konsep negara hukum Pancasila.

Konsep negara hukum Pancasila ini adalah konsep negara hukum yang dianut oleh bangsa Indonesia. Adapun ciri-ciri negara hukum Pancasila menurut Oemar Senoaji yang dikutip oleh Muhammad Tahir

6 E.C.S. Wadedan G. Gogfrey, Constitutional Law: An Outline of The Law and Pratice of The Citizen and The Including Central and Local Government, the Citizen and State and Administrative Law,7th Edition, Longmans, London, 1965, hal 50-51

7 Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Rineka Cipta, Yogyakarta, 1993, hal 30

(22)

Ashari 8 adalah sebagai berikut: (1) Adanya jaminan terhadap freedom of religion atau kebebasan beragama bagi warga negara. Kebebasan beragama di negara hukum Pancasila selalu dalam konotasi yang positif, 9 dalam arti tidak boleh ada warga negara Indonesia yang tidak memeluk agama, (2) tiada pemisahan yang rigid dan mutlak antara agama dan negara, (3) terdapat asas kekeluargaan yang tercantum dalam UUD 1945, dalam arti negara mengutamakan rakyat banyak, namun harkat dan martabat manusia tetap dihargai.

Setelah memperhatikan ciri-ciri negara hukum tersebut di atas dan memperhatikan sejarah konsep negara hukum yang tidak dipisahkan dari asas kedaulatan rakyat, asas demokrasi serta asas konstitusional, Mukthie Fajar10 berpendapat bahwa elemen dari negara hukum adalah sebagai berikut:

1. Asas pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia;

2. Asas legalitas;

3. Asas pembagian kekuasaan negara;

4. Asas peradilan yang bebas dan tidak memihak;

5. Asas kedaulatan rakyat;

6. Asas demokrasi;

7. Asas konstitusional.

Berdasarkan ciri-ciri negara hukum tersebut, maka setiap negara yang menyatakan dirinya sebagai negara hukum harus memiliki lembaga peradilan yang bebas dan tidak memihak. Oleh karena negara

8 Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum Suatu Studi Tentang Prinsip- Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007, hlm. 93

9 Berbeda dengan di Amerika Serikat yang memahami konsep freedom of religion baik dalam arti positif maupun dalam arti negatif. Sedangkan di negara komunis freedom of religion diartikan memberi jaminan konstitusional terhadap propaganda anti agama. Ibid, hlm 94

10 Mukthie Fajar, Op.Cit, hal. 43

(23)

Indonesia adalah negara hukum sebagaimana ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Dasar Tahun 1945, maka harus memiliki lembaga peradilan. Salah satu lembaga peradilan yang dimiliki negara Indonesia adalah lembaga Peradilan Agama yang keberadaannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

Lembaga Peradilan Agama tersebut memiliki kewenangan baik kewenangan absolut ataupun kewenangan relatif. Kompetensi absolut adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili berdasarkan materi hukum (hukum materi).11 Kompetensi relatif adalah kompetensi yang berkaitan dengan wilayah hukum suatu pengadilan.12 Kompetensi relatif peradilan agama merujuk pada Pasal 118 HIR atau Pasal 142 RBg. Pasal 118 ayat (1) HIR menganut asas actor sequitur forum rei, bahwa yang berwenang mengadili adalah pengadilan di tempat kediaman tergugat. Namun ada beberapa pengecualian, yaitu tercantum dalam Pasal 118 ayat (2) ayat (3), dan ayat (4), yaitu sebagai berikut:

1. Apabila tergugat lebih dari satu, maka gugatan yang diajukan kepada pengadilan di tempat tinggal penggugat;

2. Apabila tempat tergugat tidak diketahui, maka gugatan diajukan kepada pengadilan di tempat tinggal penggugat;

3. Apabila gugatan mengenai benda tidak bergerak, maka gugatan diajukan kepada pengadilan di wilayah hukum dimana barang itu terletak;

11 Musthofa, Sy, Kepaniteraan Pengadilan Agama, Kencana, Jakarta, 2005, hlm 9.

12 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm. 59

(24)

4. Apabila ada tempat tinggal yang dipilih dengan suatu akta, maka gugatan dapat diajukan kepada pengadilan tempat tinggal yang dipilih dalam akta tersebut.

Kemudian mengenai kewenangan absolut Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 49 Undang-undang nomor 7 tahun 1989 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Dalam Undang-Undang nomor 3 tahun 2006 disebutkan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a) Perkawinan, b) Waris, c) Wasiat, d) Hibah, e) Wakaf, f) Zakat, g) Infak, h) Shadaqah, dan i) Ekonomi syariah. Secara rinci kewenangan Pengadilan Agama sebagai berikut:

1. Perkara Perkawinan, meliputi 13:

a. Izin beristri lebih dari satu orang (poligami);

b. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berumur 21 tahun, dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;

c. Dispensasi kawin;

d. Pencegahan perkawinan;

e. Penolakan perkawinan oleh PPN (Pegawai Pencatat Nikah);

f. Pembatalan perkawinan;

g. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami istri;

h. Perceraian karena talak;

i. Gugatan perceraian;

j. Penyelesaian harta bersama;

k. Penguasaan anak;

13 Penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

(25)

l. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bila Bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak mampu memenuhinya;

m. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan kewajiban bagi bekas istri;

n. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;

o. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;

p. Pencabutan kekuasaan wali;

q. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh Pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut;

r. Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup berumur 18 tahun yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya padahal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya;

s. Pembebanan kewajiban kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang berada di bawah kekuasaannya;

t. Penetapan asal usul anak;

u. Putusan tentang penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran;

v. Pernyataan tentang sahnya perkawinan sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun l974 tentang perkawinan berlaku yang dijalankan menurut peraturan yang lain;

w. Wali adhal, yaitu wali yang enggan atau menolak menikahkan anak perempuannya dengan pria pilihan anaknya itu.

2. Perkara Kewarisan

a. Siapa-siapa yang menjadi ahli waris, meliputi penentuan kelompok ahli waris, siapa yang berhak mewarisi, siapa yang terhalang menjadi ahli waris, dan penentuan hak dan kewajiban ahli waris;

(26)

b. Penentuan mengenai harta peninggalan, antara lain tentang penentuan tirkah yang dapat diwarisi dan penentuan besarnya harta warisan;

c. Penentuan bagian harta waris;

d. Melaksanakan pembagian harta peninggalan.

3. Ekonomi syariah, meliputi:14 a. Bank syariah;

b. Lembaga keuangan mikro syariah;

c. Asuransi syariah;

d. Reasuransi syariah;

e. Reksa dana syariah;

f. Obligasi syariah & surat berharga berjangka menengah syariah g. Sekuritas syariah;

h. Pembiayaan syariah;

i. Pegadaian syariah;

j. Dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan;

k. Bisnis syariah.

Dari uraian tersebut maka dapat diketahui bahwa dalam kajian ilmu hukum di Indonesia terdapat dua macam ekonomi yakni ekonomi syariah yang menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama dan ekonomi konvensional yang menjadi kewenangan Pengadilan Negeri.

Masing-masing jenis ekonomi tersebut memiliki karakteristik sendiri- sendiri.

Ekonomi konvensional memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan ekonomi syariah. Ciri ekonomi konvensional melekat pada dua paham ekonomi yakni paham kapitalisme dan paham sosialisme. Ciri ekonomi kapitalisme adalah sebagai berikut:

14 Penjelasan Pasal 49 huruf ( i ) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006

(27)

1. Pengakuan yang luas atas hak-hak pribadi dimana pemilikan alat- alat produksi di tangan individu dan individu bebas memilih pekerjaan/usaha yang dipandang baik bagi dirinya;

2. Perekonomian diatur oleh mekanisme pasar dimana Pasar berfungsi memberikan “signal” kepada produsen dan konsumen dalam bentuk harga-harga. Campur tangan pemerintah diusahakan sekecil mungkin. “The invisible hand” yang mengatur perekonomian menjadi efisien serta motif yang menggerakkan perekonomian mencari laba;

3. Manusia dipandang sebagai makhluk homo-economicus, yang selalu mengejar kepentingan sendiri Pola produksi (aset dikuasai individu) melahirkan kesadaran individualisme (masyarakat kapitalis).

Sedangkan ciri ekonomi sosialis adalah sebagai berikut:

1. Lebih mengutamakan kebersamaan (kolektivisme);

2. Masyarakat dianggap sebagai satu-satunya kenyataan sosial, sedang individu-individu fiksi belaka;

3. Tidak ada pengakuan atas hak-hak pribadi (individu) dalam sistem sosialis;

4. Peran pemerintah sangat kuat;

5. Pemerintah bertindak aktif mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga tahap pengawasan;

6. Alat-alat produksi dan kebijaksanaan ekonomi semuanya diatur oleh Negara;

7. Mengabaikan pendidikan moral.

Kemudian mengenai ciri ekonomi syariah adalah sebagai berikut:

1. Nilai Ketuhanan (ilahiyah). Nilai ini beranjak dari filosofi dasar yang bersumber dari Allah dengan bertujuan semata-mata untuk mencari ridha Allah (limardhatillah). Oleh karena itu segala kegiatan ekonomi yang meliputi permodalan, proses produksi,

(28)

distribusi, konsumsi, dan pemasaran harus selalu dikaitkan dengan nilai-nilai Ilahiah dan harus selaras dengan tujuan yang telah ditetapkan oleh-Nya;

2. Nilai keadilan (al-Adl). Berlaku adil tidak hanya berdasarkan kepada Al-Qur’an dan Al-hadits, tetapi didasarkan pula pada pertimbangan hukum alam, yang didasarkan pada keseimbangan dan keadilan. Keadilan dalam ekonomi dapat diterapkan secara menyeluruh, antara lain dalam penentuan harga, kualitas produk, perlakuan terhadap para pekerja, dan dampak dari kebijakan ekonomi yang dikeluarkan;

3. Nilai Kenabian (al-Nubuwah). Nilai kenabian merupakan salah satu nilai universal dalam ekonomi Islam, sebab fungsi Nabi Muhammad SAW adalah sebagai sentral membawa syariat Islam di dunia ini. Dalam diri nabi terdapat sifat luhur yang layak menjadi panutan pribadi muslim, termasuk dalam bidang ekonomi;

4. Nilai Pemerintahan (al-Khalifah). Prinsip khalifah adalah ketentuan Allah yang menjelaskan status dan peran manusia sebagai wakil Allah di muka bumi. Oleh karena itu segala perbuatan manusia harus dipertanggung jawabkan kepada Allah di hari kemudian. Dasar pemikiran ini memberikan ketegasan kepada segenap manusia tentang fungsi dan tujuan dari keberadaannya di muka bumi, yaitu sebagai agent of Development;

5. Hasil atau keuntungan (al-Ma’ad). Tujuan ekonomi Islam adalah sebagaimana difirmankan Allah dalam surat al-Qashas ayat 77, yang artinya: Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.

Berdasarkan ayat tersebut, manusia diperintahkan untuk tidak menjadikan dunia sebagai tujuan pokok dan tidak selayaknya hanya

(29)

mementingkan dan tidak selayaknya hanya mementingkan kehidupan dunia saja, tetapi juga harus memperhatikan kehidupan jangka panjang di akhirat nanti. Oleh karena itu manusia sebagai pelaku ekonomi berupaya memperoleh keuntungan (ma’ad) yang bernilai tinggi yaitu harus mencakup dua kehidupan, yaitu kehidupan dunia dan akhirat.

Potensi pelanggaran terhadap ekonomi konvensional ada dua macam yakni wanprestasi dan perbuatan melawan hukum.

Wanprestasi timbul akibat pelanggaran terhadap perjanjian yang telah dibuat, sedangkan perbuatan melawan hukum timbul akibat pelanggaran terhadap aturan hukum yang ada. Demikian juga dalam ekonomi syariah, terdapat dua macam pelanggaran yakni: pertama pelanggaran terhadap aturan hukum yang ada yang disebut perbuatan melawan hukum, kedua pelanggaran terhadap perjanjian syariah yang disebut dengan wanprestasi.

Tuntutan terhadap pihak yang melakukan perbuatan melawan hukum selalu berupa ganti rugi. Ganti rugi atas perbuatan melawan hukum dalam ekonomi konvensional ada dua macam yakni ganti rugi umum dan ganti rugi khusus. Ganti rugi umum diatur dalam KUH Perdata Pasal 1243 sampai dengan Pasal 1252, sedangkan ganti rugi khusus diatur dalam KUH Perdata Pasal 1365 sampai dengan Pasal 1380.

Sebagaimana sudah penulis kemukakan di depan, bahwa antara sistem ekonomi konvensional dengan sistem ekonomi syariah memiliki perbedaan yang cukup mendasar, maka perbedaan tersebut telah menimbulkan persoalan, apakah sistem ganti rugi yang diatur dalam KUH Perdata dapat diterapkan pada tuntutan ganti rugi akibat perbuatan melawan hukum syariah.

(30)

Pelanggaran terhadap ekonomi, sebagaimana sudah diuraikan di atas terdapat dua macam yakni pelanggaran terhadap perjanjian, yang disebut dengan wanprestasi dan pelanggaran terhadap aturan, yang disebut dengan perbuatan melawan hukum. Perbuatan wanprestasi dapat terjadi berdiri sendiri tanpa adanya perbuatan melawan hukum, tetapi juga dapat terjadi secara bersamaan dengan perbuatan melawan hukum.

Dalam hal perbuatan wanprestasi yang bersamaan dengan PMH dalam penyelesaian gugatannya terdapat dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa penyelesaian gugatan wanprestasi dengan gugatan PMH dapat digabung. Pendapat kedua menyatakan bahwa gugatan wanprestasi dengan gugatan PMH tidak dapat digabung.

Kedua pendapat tersebut tercermin dari beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung RI. Berkaitan dengan persoalan tersebut, penulis perlu meneliti tentang bagaimana penyelesaian gugatan wanprestasi yang bersamaan dengan PMH Syariah di Pengadilan Agama.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah sistem ganti rugi yang diatur dalam KUHP Perdata dapat diterapkan pada gugatan ganti rugi perbuatan melawan hukum syariah?

2. Bagaimana penyelesaian penggabungan antara gugatan wanprestasi dan perbuatan melawan hukum di Pengadilan Agama?

(31)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari Penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk menjelaskan tentang penggunaan ganti rugi yang diatur KUH Perdata dalam ganti rugi akibat PMH Syariah;

2. Untuk menjelaskan proses gugatan wanprestasi dan PMH yang dilakukan secara bersamaan di Pengadilan Agama.

Manfaat Penelitian : 1. Manfaat Teoritikal

Memberikan sumbangan hukum dalam membangun sistem peradilan agama khususnya dalam sistem penyelesaian gugatan Perbuatan Melawan Hukum.

2. Manfaat Praktekal

a. Menjadi pedoman bagi aparat Peradilan Agama dalam menangani perkara perbuatan melawan hukum

b. Memberikan petunjuk yang jelas bagi para pencari keadilan dalam menyelesaikan sengketa perbuatan melawan hukum dan wanprestasi

c. Sebagai bahan bagi pemegang kebijakan dalam pembentukan hukum baru yang mengatur proses penyelesaian sengketa perbuatan melawan hukum di Indonesia.

D. Definisi Konsep

1. Gugatan adalah suatu upaya atau tindakan untuk menuntut hak atau memaksa pihak lain untuk melaksanakan tugas atau kewajibannya, guna memulihkan kerugian yang diderita oleh Penggugat.15 Yang dimaksud dengan gugatan dalam penelitian ini adalah hal-hal yang dapat ditempuh oleh pihak yang dirugikan akibat perbuatan

15 Darwan Sprints, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992

(32)

melawan hukum untuk mendapatkan ganti rugi di Pengadilan Agama.

2. Perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang yang karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain.

3. Syariah, menurut ulama ushul fiqh, adalah titah (kitab) Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf baik berupa tuntutan, pilihan, atau perantara (sebab, syarat atau penghalang).16 Menurut Mahmud Syaltut, Syariah adalah peraturan yang diturunkan Allah kepada manusia agar dijadikan pedoman dalam berhubungan dengan Tuhannya, dengan sesamanya, dengan lingkungan, dan dengan kehidupan.17

E. Kerangka Teoritis

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Teori Keadilan

Sejak zaman dahulu hingga sekarang pembicaraan tentang keadilan tidak pernah berhenti, sebab masalah keadilan merupakan masalah yang esensial dalam kehidupan manusia.

Keadilan selalu diperjuangkan oleh individu maupun masyarakat agar dapat memperoleh kehidupan yang aman dan sentosa.

Keadilan juga merupakan salah satu tujuan setiap agama yang ada di dunia, termasuk agama Islam. Islam menempatkan keadilan di tempat yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan

16 Abdul Wahab Khollaf, Ilmu Ushul Fiqih, Maktab Ad-Da’wah Al-Islamiyah Syabab Al-Azhar, 1990, hlm. 96

17 Mahmud Syaltut, Al Islam Aqidah wa Syariah, Dar Al-Qalam, Mesir, 1966, hlm 12

(33)

bernegara.18 Keadilan harus ditegakkan agar kehidupan manusia berjalan serasi dan seimbang.19 Keadilan adalah kepentingan manusia yang paling luhur di bumi ini.20 Karena pentingnya masalah keadilan, teori hukum alam sejak Socrates hingga Francois Geny tetap mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum.21

Menurut ajaran Islam keadilan tidak hanya terbatas pada keadilan formal atau aturan belaka tetapi keadilan menurut Islam merupakan bagian dari keyakinan dan akhlak seseorang. Keadilan menurut Islam berarti keseimbangan antara hak dan kewajiban sehingga akan menghilangkan kesenjangan dalam masyarakat.

Kemudian keadilan yang diterapkan dalam Islam terdiri dari keadilan korektif, retributif dan keadilan distributif. Hal tersebut dijelaskan oleh Mohammad Hashim Kamali sebagai berikut:

The Islamic concept of justice is not confined to a merely formal or regulatory justice, but makes it part of faith, character and personality of believers. ‘Adl literally means placing things in their right places where they belong. It is to establish an equilibrium by way of fulfilling right and obligations and by eliminating excess and disparity in all spheres of life. The Shari’ah seeks to establish justice not only in its corrective and restributive sense of adjudicating grievances, but also in the sense of distributive justice,

18 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm.112

19 Rifyal Ka’bah, Peradilan Islam Kontemporer, Universitas Yarsi, Jakarta, 2009, hlm.11

20 Roscoe Pound, Tugas Hukum, terjemahan Muhammad Rajab, Bharata, Jakarta, 1965, hlm.9

21 Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Kanisius Yogyakarta, 1995, hlm.196

(34)

estalishing an equilibrium of benefit and advantages in society.22

Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa Islam tidak mengindentikan keadilan dengan kesamaan tetapi Islam menitikberatkan pada keadilan yang berimbang. Mengenai keadilan terdapat beberapa teori yang dikemukakan oleh para pakar di bidang hukum. Teori tersebut antara lain dikemukakan oleh:

a. Filsuf Barat

Ada beberapa filosof Barat yang mengemukakan pendapatnya tentang keadilan. Filosof tersebut antara lain: adalah Jeremy Bentham yang dikenal sebagai tokoh aliran utilitarianisme. Tokoh utilitarianisme selain Bentham, masih terdapat tokoh lain yakni, James Mill dan John Stuart Mill, tetapi yang paling radikal di antara tokoh tersebut adalah Jeremy Bentham.23

Prinsip utilitarianisme dikemukakan oleh Bentham dalam karyanya, Introduction to the Principles of Morals and Legislation. Di dalam karyanya itu Bentham mendefinisikan benda sebagai sesuatu yang menghasilkan kesenangan, kebaikan atau kebahagiaan, atau mencegah terjadinya kerusakan, penderitaan atau kejahatan serta ketidakbahagiaan pada pihak yang kepentingannya dipertimbangkan.

22 Mohammad Hashim Kamali, Foundations of Islam, Shari’ah Law An Introduction, Oneworld Book, 2008, hlm.30

23 Ahmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Kencana, Jakarta, 2009, hlm. 272

(35)

Menurut Bentham tujuan hukum dan wujud keadilan adalah untuk mewujudkan the greatest happiness of the greatest number (kebahagiaan yang sebesar-besarnya untuk sebanyak-banyak orang). Kemudian tujuan perundang-undangan untuk menghasilkan kebahagiaan bagi masyarakat. Perundang- undangan harus berusaha untuk mencapai empat tujuan, yaitu (1) to providesusistence (untuk memberi nafkah hidup), (2) to provide abundance (untuk memberi makanan yang berlimpah), (3) to provide security (untuk memberikan perlindungan), (4) to attain equility (untuk mencapai persamaan).24

b. Keadilan Menurut Ajaran Islam

Secara etimologi pengertian keadilan disebutkan bahwa

“adil” berarti tidak berat sebelah, tidak memihak atau menyamakan sesuatu dengan yang lain (al-musawah).25 M.

Quraish Shihab menulis “ Persamaan yang merupakan makna asal kata adil itulah yang menjadikan pelakunya “tidak berpihak” dan pada dasarnya pula seseorang yang adil “berpihak pada yang benar” karena baik yang benar maupun yang salah sama-sama harus memperoleh haknya. Dengan demikian, ia melakukan sesuatu “yang patut” lagi “tidak sewenang-wenang”.26

Keadilan merupakan salah satu tujuan setiap agama yang ada di dunia, termasuk agama Islam menempatkan keadilan di tempat yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat.27 Begitu pentingnya masalah

24 Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm. 204

25 Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta, PT. Ichtiar Baru van Koever, Jakarta, 1996, hlm. 25

26 M.Quraish Shihab, Wawasan Alquran, Mizan, 1999, Bandung, hlm. 114

27Abdul Manan, Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Kencana Prenada Media Group, 2014, Jakarta, hlm. 61

(36)

keadilan dalam Islam sehingga menurut A.M. Saefuddin28 dalam al-Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam, kata keadilan disebut lebih dari seribu kali, menempati posisi terbanyak ketiga, setelah kata Allah dan ilmu pengetahuan. Banyaknya kata keadilan yang disebut dalam Al-Qur’an sehingga Mohammad Daud Ali menyebutnya sebagai asas yang sangat penting dalam hukum Islam sehingga asas keadilan dapat dikatakan sebagai asas semua asas hukum Islam.

Para pakar hukum Islam sepakat bahwa sumber keadilan adalah Firman Allah dan Sunnah. Karena sumber keadilan tersebut bersumber dari Firman Allah dan Sunnah Nabi maka keadilan tersebut disebut dengan Keadilan Ilahi.29Meskipun para pakar sepakat tentang hakikat Keadilan Ilahi, namun mereka tidak bersepakat tentang bagaimana keadilan tersebut dapat direalisasikan di muka bumi. Perbedaan tersebut berakar pada dua konsepsi mengenai tanggung jawab manusia untuk menegakkan keadilan ilahiah, dan perdebatan tentang hal tersebut melahirkan dua mazhab utama teologi, yaitu: Asy’ariyah dan Mu’tazilah.

c. Keadilan Menurut Ajaran Pancasila

Menurut Notonegoro, nilai dapat dibedakan menjadi 3 macam, yakni: (1) nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi unsur manusia. (2) nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas, (3) Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Selanjutnya nilai kerohanian dapat

28 A. M. Saefuddin, Sistem Ekonomi Islam, dalam majalah Panji Masyarakat no.411 Tahun l983, hlm. 45.

29 Majid Khadduri, Teologi Keadilan Perspektif Islam, Risalah Gusti, Surabaya, 1999, hlm.3

(37)

dibedakan lagi atas 4 macam, yakni: (1) nilai kebenaran/

kenyataan, yang bersumber pada unsur akal manusia (rasio, budi, cipta); (2) Nilai keindahan, yang bersumber pada unsur rasa manusia (perasaan, esthetis); (3) nilai kebaikan atau nilai moral, yang bersumber pada unsur kehendak/kemauan manusia (will, ethic); (4) Nilai religius, yang merupakan nilai ketuhanan, kerohanian yang tinggi dan mutlak.30 Pancasila termasuk nilai kerohanian yang di dalamnya termasuk nilai keadilan. Kemudian bagaimana konsepsi keadilan menurut Pancasila.

Menurut Darji Darmodiharjo keadilan menurut konsepsi bangsa Indonesia adalah keadilan sosial.31 Kemudian H.A.W Widjaya dalam menjelaskan sila kelima menyatakan bahwa keadilan sosial adalah keadilan yang berlaku dalam hubungan manusia dalam masyarakat. Adil apabila memberikan hak kepada orang lain yang memiliki hak tersebut, dan sebaliknya memberikan hak kepada dirinya sendiri yang memiliki haknya, utuh tanpa cela. Di dalam keadilan yang demikian tidak dibenarkan adanya penghisaban, penindasan dan sebaliknya yang ada adalah saling membantu satu sama lain. Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa yang adil apabila setiap warga negara menikmati hasil sesuai dengan fungsi dan peranannya dalam masyarakat. Kemudian bukanlah suatu keadilan jika ada pembagian yang merata “sama rasa sama rata” tanpa dikaitkan

30 Subandi Al-Marsudi, Pancasila dan UUD’45 dalam Paradigma Reformasi, Raja Grafindo Persada,2003, hlm.46

31 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004 hlm.

166

(38)

dengan peranan dan dharma baktinya atau pengorbanannya dalam masyarakat, bangsa, dan negara atau pemerintah.32

2. Teori Tujuan Hukum

Menurut Gustav Radbruch tujuan dari hukum terdiri dari:

a. Keadilan

Mengenai definisi keadilan, sangat beragam. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai pendapat tentang definisi keadilan yang dikemukakan oleh para pakar di bidang hukum.

Aristoteles berpendapat ada dua macam keadilan yakni justitia distributiva dan justitia commutativa.33 Keadilan distributif adalah memberi hak sesuai dengan jatahnya. Jatah ini tidak sama untuk setiap orang, tergantung kepada kekayaan, kelahiran, pendidikan, kemampuan dan sebagainya. Sifat keadilan ini adalah proporsional. Keadilan komutatif adalah memberi kepada setiap orang secara sama rata. John Rawls dalam membahas keadilan, mengemukakan dua prinsip. Pertama, setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan dasar yang luas, seluas kebebasan dasar yang sama bagi semua orang. Kedua, ketimpangan sosial dan ekonomi mesti diatur sedemikian rupa sehingga dapat memberi keuntungan semua orang dan semua jabatan terbuka bagi semua orang.34

Majid Khadduri membagi keadilan hukum (legal justice) itu ke dalam (1) substantive justice, dan (2) procedural justice atau

32 HAW Widjaya, Penerapan Nilai-Nilai Pancasila & HAM di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hlm. 20

33 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit. hlm.59

34 John Rawls, Theory of Justice, terjemah, Uzair Fauzan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011, hlm. 258

(39)

formal justice.35 Dalam keadilan prosedur, hakim harus bersikap netral, kedua belah pihak harus diberlakukan sama. Substantive justice adalah keadilan materiil yang mengarah pada bagian yang patut, berpihak kepada yang benar.36

b. Kepastian Hukum

Kepastian hukum mengandung dua pengertian. Pertama, adanya aturan yang bersifat umum yang membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan.

Kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu.

Termasuk dalam pengertian kepastian hukum adalah adanya konsistensi dalam putusan hakim yang satu dengan yang lain untuk kasus yang serupa yang telah diputuskan.37 Frans Magnis Suseno dalam menjelaskan tentang pengertian kepastian hukum mengatakan bahwa hukum yang resmi diperundangkan harus dilaksanakan dengan pasti oleh negara dan setiap orang dapat menuntut agar hukum dilaksanakan dan tuntutan itu harus dipenuhi.38

35 Majid Khadduri, The Islamic Conception of Justice, terjemahan H.Mochtar Zoeni dengan judul Teologi Keadilan Perspektif Islam, Risalah Gusti, Surabaya, 1999, hlm. 136

36 Muhamad Alim, Asas-Asas Negara Hukum Modern dalam Islam, LKIS, Yogyakarta, 2010, hlm. 319

37 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009, hlm.158

38 Franz Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994, hlm. 79

(40)

c. Kemanfaatan

Nilai kemanfaatan dalam norma hukum sangat berguna, khususnya dalam norma hukum yang bersifat mengatur.

Masyarakat akan menaati hukum kalau mereka merasakan hukum itu bermanfaat bagi dirinya. Penganut aliran Utilitarianisme berpendapat bahwa satu-satunya tujuan hukum adalah untuk mencapai kemanfaatan. Hukum yang baik adalah hukum yang membawa kemanfaatan bagi manusia.39

3. Teori Maslahah

Tujuan pokok hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan. Peranan maslahat dalam menetapkan hukum sangatlah dominan dan menentukan, karena Alquran dan Assunah sebagai sumber hukum Islam sangat memperhatikan prinsip kemaslahatan. Demikian juga dengan metode istinbat yang lain, juga sangat memperhatikan kemaslahatan dalam mengembangkan hukum Islam. Oleh karena itu semua produk hukum Islam, baik yang bersumber dari dalil yang disepakati maupun dalil yang diperselisihkan, tidak satu pun yang terlepas dari prinsip untuk mewujudkan kemaslahatan manusia.40

Betapa pentingnya persoalan maslahah maka disebutkan bahwa salah satu tujuan dari hukum Islam adalah mewujudkan maslahah yakni merealisasikan adanya manfaat bagi manusia baik dalam kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat. Di samping itu hukum Islam juga berusaha melindungi manusia dari segala

39 Bernard L. Tanya, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010,hlm. 90

40 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 259

(41)

bentuk kejahatan. Hal tersebut ditegaskan oleh Mohammad Hashim Kamali sebagai berikut:

A principle objective of the Syariah is realization of benefit to the people concerning their affairs both in this world and the hereafter. It is generally held that the Shari’ah in all of its parts aims at securing a benefit for the people or protecting them against corruption and evil. 41

Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa Islam selalu menjunjung tinggi nilai keseimbangan (tawazun) antara kehidupan di dunia dan kehidupan di akhirat, serta selalu melindungi umat manusia dari kerusakan dan kejahatan.

Mohammad Hashim Kamali juga menjelaskan bahwa tujuan hukum Islam cukup luas yang semuanya ditujukan pada terciptanya kemanfaatan, keadilan dan terlaksananya ibadah, sebagaimana penjelasan beliau sebagai berikut:

In his pioneering work, Al-Muwafaqat fi Usul al-Shariah, al- Shatibi has in fact singled out maslahah as being the only overriding objective of Shari’ah which is broad enough to comprise all measures that are beneficial to the people, including the administration of justice and ibadat.

Dari pernyataan tersebut telah terbukti bahwa masalah keadilan dan ibadat dalam Islam merupakan syari’at yang harus dilaksanakan dengan baik. Maslahah mursalah menurut Hanafi adalah kebaikan (maslahah) yang tidak disinggung-singgung syara’ tetapi kalau dikerjakan akan membawa manfaat atau

41 Mohammad Hashim Kamali, Foundations of Islam, Shari’ah Law An Introduction, A. Oneword Book, Published by Oneworld Publications 2008, hlm.32

(42)

menghindari keburukan.42 Ada tiga tingkatan masalihul mursalah: (1) Kemaslahatan yang harus dilakukan, disebut dharariyah. (2) Kemaslahatan yang dibutuhkan, tetapi tidak sampai wajib yang disebut hajiat. (3) Kemaslahatan keindahan atau estetik yang disebut tahsiniyyat.43

Abdul Manan44 berpendapat bahwa maslahat mursalah hanya dapat digunakan dalam bidang yang mengatur hubungan sesama manusia yang mencakup segala bidang, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus, karena dalam bidang tersebut sangat sedikit ditemukan nash. Misalnya bidang hukum acara, hukum administrasi negara, hukum internasional dan hukum pidana. Sedangkan dalam bidang ibadah, semuanya tidak masuk dalam bidang ijtihad dan karenanya tidak diperkenankan menggunakan maslahah mursalah sebagai dalil hukum karena urusan ibadah adalah urusan manusia dengan Tuhannya. Dalam hal ibadah diharuskan mencukupi sekadar yang ada nashnya tanpa menambah dan menguranginya, karena tidak diperbolehkan mengadakan suatu ibadah dengan alasan maslahat.

Di antara tokoh ushuliyin yang paling banyak menggunakan maslahah mursalah sebagai dalil hukum dan hujjah syar’iyyah adalah asy-Syatibi dan at-Thufi. Pendapat as-Syatibi tentang maslahah mursalah dikemukakan dalam kitab al-Mufaqat dan al- I’tisam. Dalam kitab al-Mufaqat, as-Syatibi45 mengemukakan bahwa setiap prinsip hukum Islam yang berhubungan dengan

42 A. Hanafi, Ushul Fiqh, Widjaya, Jakarta, 1975, hlm.144

43 Abdul Majid Khon, Ikhtisar Tarikh Tasyrii’ Sejarah Pembinaan Hukum Islam dari Masa ke Masa, Amzah, Jakarta, 2013, hlm. 112

44 Abdul Manan, Op.Cit., hlm. 270

45 As-Syatibi, al-Mufaqat fil Ushul Asy-Syariah, Beirut, Libanon: Dar al Marifah, Juz I, hlm 16

(43)

maslahah dan tidak ditunjukkan nash tertentu, tetapi ia sejalan dengan tindakan syara’ dan maknanya diambil dari dalil-dalil syara’ maka maslahah itu benar, dapat dijadikan hujjah syariah.

4. Teori Sistem Hukum

Dalam ilmu hukum terdapat istilah sistem hukum. Untuk mengenal lebih dalam mengenai istilah sistem hukum maka lebih dahulu harus mengenal istilah “sistem”. Istilah “sistem” berasal dari bahasa Yunani “systema” yang mengandung arti keseluruhan (a whole) yang terdiri dari banyak bagian. Systema juga berarti, hubungan yang berlangsung di antara satuan-satuan atau komponen secara teratur.46 Sedangkan definisi “sistem” menurut Bartalanffy yang dikutip oleh Lili Rasjidi adalah a complex ofelements in mutual interaction.47 Sistem diartikan sebagai suatu komplek elemen dalam suatu kesatuan interaksi. Kemudian definisi “sistem” menurut Campbell yang dikutip oleh Tatang Amirin adalah We might define a system as any group of interrelated component or parts which function together to achieve a goal. Yang artinya bahwa sistem itu merupakan himpunan komponen atau bagian yang saling berkaitan yang bersama-sama berfungsi untuk mencapai suatu tujuan.

Menurut Soerjono Soekanto48 faktor-faktor yang relevan untuk dibahas dalam masalah sistem adalah : (1) elemen-elemen suatu sistem (2) pembagian sistem, (3) konsistensi, (4) pengertian-pengertian dasar (grondbegrippena) dari sistem.

46 Tatang M. Amirin, Pokok-Pokok Teori Sistem, Rajawali Pers, Jakarta, 1996, hlm. 18

47 Lili Rasjidi, I.B.Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, 2003, Bandung, hlm.63

48 Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, Sendi-Sendi Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm.39.

(44)

Menurut Winardi49, sistem ada dua macam yakni sistem terbuka dan sistem tertutup. Sistem terbuka adalah sebuah sistem yang mempunyai hubungan dengan lingkungan. Sedangkan sistem tertutup adalah sistem yang terisolasi dari lingkungan.

Setelah mengetahui istilah dan pengertian sistem, tidak kalah pentingnya juga harus mengetahui tentang ciri-ciri

“sistem”. Ciri-ciri “sistem” menurut Ismail Saleh,50 adalah sebagai berikut: (1) saling keterkaitan antara satu komponen dengan komponen lain, saling membatasi, tetapi juga saling memperkuat, (2) dinamis, tetapi tetap terjaga keserasian dan keseimbangannya, (3) terbuka, tetapi tetap tidak kehilangan eksistensinya dan identitasnya, (4) galir dalam arti tidak kaku, sehingga dapat menampung.

Menurut Solly Lubis,51 hukum merupakan suatu sistem, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan sistem dan bukan pendekatan kekuasaan. Oleh karena pembahasan tersebut berkaitan dengan sistem hukum maka perlu dipahami juga mengenai pengertian sistem hukum. Dalam menjelaskan tentang hukum sebagai suatu sistem, Sudikno Mertokusumo52, mengatakan sebagai berikut:

Hukum merupakan sistem berarti bahwa hukum itu merupakan tatanan, merupakan suatu kesatuan yang utuh yang

49 Winardi, Pengantar Tentang Teori Sistem dan Analisis Sistem, Mandar Maju, Bandung, hlm.10

50 Ismail Saleh, Majalah Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, No.119, Edisi Khusus, hlm 13

51 Solly Lubis, Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan, Mandar Maju Bandung, 2009, hlm.5

52 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1991, hlm.102

(45)

terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan erat satu sama lain. Dengan perkataan lain sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi antara satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut. Kesatuan tersebut diterapkan terhadap kompleks unsur-unsur yuridis seperti peraturan hukum, asas hukum dan pengertian hukum.

Berdasarkan definisi sistem hukum tersebut di atas maka dalam sistem hukum terdapat unsur-unsur sebagai berikut : (1) adanya berbagai komponen, (2) adanya fungsi masing-masing komponen, (3) adanya saling ketergantungan dan saling hubungan antar komponen, (4) adanya keterpaduan antara komponen, (5) semua komponen mengarah kepada tujuan yang telah ditetapkan.

Menurut C.F.G Sunaryati Hartono, yang dikutip oleh Firman Muntaqo sistem hukum adalah seluruh falsafah hukum, nilai-nilai, asas-asas, dan norma hukum, maupun aparatur dan lain-lain sumber daya manusia yang tergabung dalam lembaga dan organisasi hukum selanjutnya, proses dan prosedur serta interaksi dan pelaksanaan hukum yang secara utuh mewujudkan dan menggambarkan kehadiran tatanan hukum (rechtsorde dan rechtsordening) yang menumbuhkembangkan tatanan hukum kehidupan berbangsa dan bernegara dan bermasyarakat yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.53 Fungsi dari sistem hukum menurut Friedmann sebagaimana dikutip oleh Muhammad Syaifuddin adalah to distribute and maintain an alocation of values that society feels to be right. This allocation,

53 Firman Muntaqo, Harmonisasi Hukum Investasi Bidang Perkebunan, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, hlm 59

(46)

invested with a sense of rightness, is what is commonly referred to as justice, yang artinya untuk mendistribusikan dan memelihara nilai-nilai yang dinilai benar oleh masyarakat, yang merujuk pada keadilan. Jadi, output atau tujuan akhir dari sistem hukum adalah terwujudnya keadilan dalam masyarakat.54

Kemudian mengenai komponen sistem hukum terdiri dari:

Pertama, struktur yaitu keseluruhan institusi hukum yang ada beserta aparatnya, yang antara lain terdiri dari kepolisian dengan para polisinya, kejaksaan dengan para jaksanya, pengadilan dengan para hakimnya. Kedua, substansi yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum dan asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan. Ketiga, kultur hukum yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan, kebiasaan- kebiasaan, cara berpikir dan cara bertindak, baik dari penegak hukum maupun warga masyarakat tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum.55

Menurut Achmad Ali, komponen sistem hukum tidak hanya tiga macam, tetapi ada 5 lima macam, yakni struktur, substansi, budaya, profesionalisme dan kepemimpinan. Profesionalisme adalah kemampuan dan keterampilan secara person dari sosok- sosok penegak hukum. Kepemimpinan adalah kemampuan dan keterampilan secara individu dari sosok penegak hukum, terutama kalangan petinggi hukum.

54 Muhammad Syaifuddin, Perlindungan Hukum Hak Masyarakat Kurang Dan Tidak Mampu Atas Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit Swasta Berbadan Hukum Perseroan Terbatas, Universitas Brawijaya, Disertasi, hlm 24

55Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hlm. 204

(47)

Efektif tidaknya penegakan hukum di dunia ini, termasuk Indonesia, terkait erat dengan efektif tidaknya ketiga komponen hukum tersebut. Apabila ketiga unsur tersebut berjalan tidak efektif, maka supremasi hukum dan keadilan akan sulit terealisasikan, yang mengakibatkan kepercayaan warga terhadap law enforcement menjadi luntur dan masyarakat masuk dalam suasana bad trust society, bahkan masuk dalam kualifikasi worst trust society.56

F. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian terhadap aturan hukum yang mengatur tentang gugatan perbuatan melawan hukum di Pengadilan Agama. Penelitian ini berlandaskan “paradigma hermeneutik”. Hal ini dilandasi oleh pemahaman “filsafat dan paradigma hermeneutik” sebagaimana dijelaskan oleh Bernard Arief Sidharta57 sebagai berikut:

Ilmu hukum adalah ilmu normatif yang termasuk ke dalam kelompok ilmu-ilmu praktekal yang dalam pengembangannya berkonvergensi semua produk-produk ilmu lain (khususnya filsafat hukum, sosiologi hukum, sejarah hukum) yang relevan untuk (secara hermeneutis) menetapkan proposisi hukum yang akan ditawarkan untuk dijadikan isi putusan hukum sebagai penyelesaian masalah hukum konkret yang dihadapi. Penetapan proposisi hukum tersebut dilakukan berdasarkan aturan hukum

56 Achmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia Penyebab dan Solusinya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, hlm.9

57 Bernard Arief Sidharta, Disiplin Hukum tentang Hubungan antara Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum (state of arts), Makalah disajikan dalam rapat tahunan Komisi Disiplin Ilmu Hukum, Jakarta:11-13 Februari 2001), hlm 9

(48)

positif yang dipahami (diinterpretasi) dalam konteks keseluruhan kaidah-kaidah hukum positif yang tertata dalam suatu sistem (sistematikal) dan latar belakang sejarah (historikal) dalam kaitan dengan tujuan pembentukannya dan tujuan hukum pada umumnya (taleologika) yang menentukan isi aturan hukum positif tersebut dan secara kontekstual merujuk pada faktor-faktor sosiologikal dengan mengacu nilai-nilai kultural dan kemanusiaan yang fundamental dalam proyeksi ke masa depan.

Pada dasarnya dalam penelitian hukum menggunakan metode penelitian normatif yang sering kali juga disebut metode penelitian doktrinal dengan optik preskriptif. Menurut Peter Mahmud Marzuki penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip hukum, maupun doktrin- doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Hal tersebut sesuai dengan preskriptif ilmu hukum.58 Penelitian hukum tidak mengenal field research (penelitian lapangan).

Artinya apa yang diteliti dalam kegiatan penelitian hukum adalah bahan hukum dalam bentuk riset kepustakaan yang fokus pada bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder.59 Namun adakalanya suatu penelitian dalam pengembangan tidak cukup menggunakan metode pendekatan normatif belaka. Dengan demikian maka pintu masuk penelitian yang dilakukan adalah bersifat normatif, namun dalam menggali informasi dan data yang digunakan untuk melengkapi hasil penelitian tidak cukup menggunakan pendekatan normatif tetapi harus menelusuri disiplin ilmu lain (perspektif eksternal), seperti ilmu sosial dan

58 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007, hlm 35

59 Johny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia Publishing, Malang, 2006, hlm 46

Gambar

Gambar 1. Penemuan Hukum dan Penerapannya

Referensi

Dokumen terkait

Adapun permasalahan adalah perlindungan hukum terhadap debitur dihubungkan dengan penjualan jaminan oleh pihak bank dan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Negeri

Berdasarkan penjelasan di atas dapat peneliti kemukakan bahwa hakim dalam memutuskan perkara gugatan perbuatan melawan hukum atas jual beli tanah dan bangunan dalam

Berdasarkan analisis diatas dapat disimpulkan bahwa dasar hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim dalam menetapkan putusan Nomor 63/Pdt.G/2011/PTA.Yk sudah sesuai dengan

Melawan hukum artinya meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan (melawan hukum formil) namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena

Keenam, pertimbangan hakim bahwa sesuai fakta informasi diperoleh selama persidangan pada perkara, hakim tak menemukan hal bisa membebaskan anak dari

Pada pertimbangannya majelis hakim dalam memutuskan perkara ini beragam atau berfariasi, tidak semua perkara dikabulkannya, tetapi hampir semua. Contoh ada beberapa perkara

Menurut Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, maka yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan hukum

Menimbang, bahwa dari uraian tersebut di atas Majelis Hakim telah menemukan fakta di persidangan bahwa memang benar antara Penggugat dengan Tergugat telah