• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aliran Hakim Dalam Menemukan Hukum

BAB III PENGGABUNGAN TUNTUTAN

E. Aliran Hakim Dalam Menemukan Hukum

Sebagaimana penulis kemukakan di depan bahwa yang menjadi masalah dalam putusan nafkah anak adalah adanya perubahan nilai uang. Perubahan nilai uang ini akan menjadi bahan pertimbangan oleh hakim atau tidak dalam memutus perkara, tergantung teori penemuan hukum yang mana yang dianut oleh hakim. Penulis perlu mengemukakan beberapa teori tentang penemuan hukum. Penemuan hukum sangat diperlukan oleh hakim, karena tugas hakim adalah mengadili, memeriksa dan memutus perkara yang dihadapkan kepadanya.198 Sehingga tidak ada alasan bagi hakim untuk menolak perkara dengan alasan hukumnya belum ada atau tidak jelas. Adapun teori penemuan hukum adalah sebagai berikut:

1. Aliran Legisme

Pada abad ke 19 orang sudah tidak percaya lagi pada hukum alam yang rasionalistis. Akibat tidak dipercayanya hukum alam yang rasionalistis, maka orang semakin percaya pada aliran legisme atau biasa disebut juga dengan aliran positivisme hukum.199

Aliran ini menegaskan bahwa hakikat hukum itu adalah hukum yang tertulis (undang-undang), sehingga terlihat aliran legisme ini sangat mengagungkan hukum tertulis. Aliran ini juga menganggap tidak ada norma hukum di luar hukum tertulis.

197 Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit. hlm. 161

198 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hal.38

199 Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Ichtiar, Jakarta, 1983, hal 9

Adapun aliran positivisme, hukum menekankan bahwa hukum seyogyanya dipandang dari segi hukum positif.

Pandangan yang mengagungkan hukum tertulis atau hukum positif pada aliran legisme, sesungguhnya merupakan pandangan yang berlebihan terhadap kekuasaan yang menciptakan hukum tertulis, sehingga dianggap kekuasaan itu sebagai sumber hukum, dan kekuasaan adalah hukum.200

Hal ini menimbulkan masa, di mana kepercayaan sepenuhnya dialihkan pada undang-undang untuk mengatasi ketidakpastian hukum tidak tertulis. Kepastian hukum mungkin saja dapat diwujudkan dengan adanya undang-undang, tetapi kelemahan dari undang-undang itu adalah sifatnya yang statis dan kaku. Ciri-ciri positivisme hukum menurut H.L.A. Hart,201 adalah sebagai berikut :

a) Hukum adalah perintah penguasa

b) Tidak ada hubungan mutlak antara hukum dan moral dan etika.

c) Analisis tentang konsepsi-konsepsi hukum dibedakan dari penyelidikan sejarah dan sosiologi.

d) Sistem hukum haruslah sistem logis, tetap dan bersifat tertutup yang diperoleh atas dasar logika, tanpa mempertimbangkan aspek sosial, politik, moral maupun etik.

Aliran positivisme hukum telah memperkuat aliran legisme, yaitu suatu ajaran yang menyatakan tiada hukum di luar undang-undang, dan undang-undang menjadi satu-satunya sumber

200 Bontang Moerad BM, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan dalam Perkara Pidana, Alumni, Bandung, 2005, hal. 119

201 Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum Di Indonesia 1945-1990, Universitas Muhammadiyah, 2004, hal.63

hukum. Undang-undang dan hukum itu identik.202 Aliran legisme bersumber pada teori perjanjian negara, seperti yang dikemukakan Thomas Hobbes. Thomas Hobbes menghendaki adanya pemerintah yang absolut dan hanya kehendak pemerintah yang menjadi hukum. Adapun John Locke mengajarkan bahwa hukum adalah segala sesuatu yang ditentukan oleh kehendak bersama-sama. J.J. Roussaeu mengajarkan kehendak umum menjadi kekuasaan tertinggi. Undang-Undang menjadi satu-satunya kekuasaan tertinggi.

Legisme juga mengajarkan bahwa badan legislatif saja yang dapat membuat hukum. Jadi satu kaidah yang tidak ditentukan oleh badan legislatif bukanlah merupakan suatu kaidah hukum dan kewenangan pengadilan hanya menerapkan undang-undang saja.203 Lili Rasyidi berpendapat bahwa Indonesia terpengaruh oleh pemikiran legisme.204 Hal tersebut terbukti dengan adanya Pasal 15 AB (Algemene Bepalingen van Wetgeving) yang berbunyi :

“Kecuali penyimpangan-penyimpangan yang ditentukan bagi orang-orang Indonesia, maka kebiasaan bukanlah hukum kecuali bila undang-undang menentukannya”

Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa yang disebut hukum hanya hukum yang dalam bentuk tertulis. Hukum tertulis tidak pernah lengkap dan tidak selamanya jelas, dan hukum tertulis hanya menentukan kaidah secara umum, oleh

202 Utrecht, op.cit.hal. 44

203 Ahmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia (Penyebab dan Solusinya) Ghalia, Indonesia, Bogor, 2005, hal. 146.

204 Lili Rasyidi dan Ira Thania Rasyidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hal 34

karenanya aliran legisme semakin ditinggalkan orang. Sifat undang-undang yang abstrak dan umum sering menimbulkan kesulitan dalam penerapannya secara in-concreto oleh para hakim di Pengadilan. Tidak mungkin hakim akan dapat memutus suatu perkara, jika hakim hanya berfungsi sebagai terompet undang-undang belaka, sehingga hakim masih harus melakukan kreasi tertentu.205

2. Aliran Penemuan Hukum oleh Hakim

Penemuan hukum dilakukan oleh hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara. Penemuan hukum menurut Paul Scholten adalah sesuatu yang lain dari pada hanya penerapan peraturan-peraturan pada peristiwanya. Sering terjadi bahwa peraturannya tidak ada, sehingga harus ditemukan lebih dahulu, baik dengan jalan interpretasi maupun dengan jalan analogi ataupun rechsvervijning (penyempitan/pengonkretan hukum).

Menurut Sudikno Mertoskusumo, penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa hukum yang konkret. Ini merupakan proses konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkret.206

Penemuan hukum bisa dilaksanakan oleh hakim maupun oleh ilmuwan hukum. Penemuan hukum oleh hakim disebut hukum, sedangkan penemuan hukum oleh ilmuwan hukum

205Ahmad Ali Op.Cit, hal 146

206 Sudikno, Op.Cit, hal 4.

disebut ilmu atau doktrin. Aliran penemuan hukum oleh hakim berkembang menjadi beberapa aliran antara lain sebagai berikut : a. Aliran Begriffsjurisprudenz

Aliran ini menyatakan bahwa sekalipun undang-undang itu tidak lengkap, tetapi undang-undang masih dapat menutupi kekurangannya sendiri, karena undang-undang memiliki daya meluas. Hukum dipandang sebagai satu sistem tertutup, dimana pengertian hukum tidaklah sebagai sarana, tetapi sebagai tujuan.

Pekerjaan hakim dianggap sebagai pekerjaan intelek, di atas hukum-hukum rasional dan logis. Kepastian hukum merupakan tujuan dari aliran ini, sehingga keadilan dan kemanfaatan diabaikan.207

Penggunaan hukum-logika yang dinamakan silogisme menjadi dasar utama aliran ini, dan hakim mengambil kesimpulan dari adanya premise mayor, yaitu peraturan hukumnya dan premise minor, yaitu peristiwanya.208Kekurangan undang-undang dapat dilengkapi oleh hakim dengan penggunaan hukum logika dan memperluas pengertian undang-undang berdasarkan rasio.

Kritik terhadap aliran ini, bahwa hukum bukan sekedar persoalan logika dan rasio, tetapi juga merupakan persoalan hati nurani maupun pertimbangan akal budi manusia, yang kadang-kadang bersifat irrasional.209

b. Aliran Interessjurisprudenz (Freirechtslehre)

Aliran ini berpendapat bahwa undang-undang tidak lengkap. Undang-undang bukan satu-satunya sumber hukum,

207 Ahmad Ali, Op. Cit, hal 148.

208 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hal 6

209Ahmad Ali, Op.Cit, hal 148

sedangkan hakim dan pejabat lainnya mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya untuk melakukan penemuan hukum. Jadi hakim bukan sekedar menerapkan undang-undang saja, tetapi juga memperluas dan membentuk peraturan dalam putusan hakim. Untuk mencapai keadilan yang setinggi-tingginya hakim boleh menyimpang dari undang-undang demi kemanfaatan masyarakat.210

Menurut aliran interessenjurisprudenz, suatu peraturan hukum tidak boleh dipandang oleh hakim sebagai sesuatu yang formil logis belaka, tetapi harus dinilai menurut tujuannya, yaitu tujuan hukum pada dasarnya adalah melindungi, memuaskan atau memenuhi kepentingan (intereseen) atau kebutuhan hidup yang nyata. Oleh karena itu hakim harus memahami kepentingan sosial, kepentingan moral, kepentingan ekonomi, kepentingan kultural ataupun kepentingan-kepentingan lainnya, dalam suatu peristiwa konkret tertentu yang disodorkan kepadanya untuk diperiksa dan diadili.211

Peluang kesewenang-wenangan hakim dalam aliran ini dapat saja terjadi, karena hakim merupakan manusia biasa yang mungkin saja tidak terlepas dari berbagai kepentingan dan pengaruh sekelilingnya, termasuk kepentingan pribadi, keluarga dan sebagainya. Jadi aliran ini sangat berlebihan, karena aliran ini berpendapat bahwa hakim tidak hanya boleh mengisi kekosongan undang-undang saja, tetapi hakim boleh menyimpanginya.212

210 Ibid, hal 149

211 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2007, hal 100

212 Sudikno Mertokusumo dan A.Pitlo, Op Cit, hal 45

c. Aliran Soziologische Rechtsschule

Aliran ini tidak menyetujui hakim diberikan freies ermessen atau menolak adanya kebebasan hakim dalam melakukan penemuan hukum, namun demikian hakim bukan sekadar corong undang-undang yang hanya menerapkan hukum semata, tetapi hakim harus memperhatikan kenyataan-kenyataan masyarakat, perasaan dan kebutuhan hukum warga masyarakat serta kesadaran hukum warga masyarakat. Menurut aliran ini, hakim dalam melaksanakan tugasnya tetap mempunyai kebebasan, tetapi kebebasan yang terikat (gebonded-vrijheid) atau keterikatan yang bebas (vrij-gebondenheid). Jadi tugas hakim hanyalah menyelaraskan undang-undang dengan keadaan zaman. 213

F. Penyelesaian Perkara Wanprestsi dan PMH di Pengadilan Agama

Di kalangan para ahli hukum terdapat beda pendapat tentang penggabungan tuntutan wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum. Sebagian ahli hukum mengatakan bahwa penggabungan tuntutan wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum dapat dibenarkan. Hal tersebut tercermin dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 2686K/Pdt/1985 tanggal 29 Januari 1987. Dalam pertimbangannya disebutkan bahwa “meskipun dalil gugatan yang dikemukakan dalam gugatan adalah PMH, sedangkan peristiwa hukum yang sebenarnya adalah wanprestasi, namun gugatan dianggap tidak obscuur libel.“

Sebagian ahli hukum lainnya mengatakan bahwa penggabungan antara tuntutan wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum tidak

213 Pontang Moerad, B.M, Op.Cit, hal. 126.

dibenarkan. Hal tersebut tergambar dalam putusan Mahkamah Agung nomor 1875 K/Pdt/1984 tanggal 24 April 1986. Dalam pertimbangannya disebutkan bahwa penggabungan PMH dan wanprestasi dalam satu gugatan melanggar tata tertib beracara dan keduanya harus diselesaikan tersendiri. Hasil penelitian di lapangan, hakim Pengadilan Agama lebih cenderung untuk menyelesaikan perkara wanprestasi dan PMH dengan cara digabung dalam satu gugatan. Pendapat mereka yang demikian dapat dianalisis dari berbagai sudut pandang.

1. Dari Sisi Tujuan Hakim Memutus Perkara

Dari hasil penelitian di Pengadilan Agama, telah ditemukan data bahwa para hakim lebih banyak menggabungkan tuntutan wanprestasi dan PMH dalam satu gugatan. Ditinjau dari segi tujuan diputuskan suatu perkara oleh hakim, dapat penulis kemukakan dalam uraian di bawah ini.

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa tujuan dijatuhkannya putusan oleh Hakim adalah untuk kepastian, kemanfaatan dan keadilan. Penganut aliran Utilitarianisme berpendapat bahwa satu-satunya tujuan hukum adalah untuk mencapai kemanfaatan.

Hukum yang baik adalah hukum yang membawa kemanfaatan bagi manusia.214 Kemanfaatan yang dimaksud di sini adalah kebahagiaan (happiness) sehingga baik buruknya suatu hukum bergantung pada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan atau tidak. Walaupun ketiga tujuan hukum merupakan nilai dasar dari hukum, namun antara mereka terdapat spannungsverhaltnis, suatu ketegangan satu sama lain.215

214 Bernard L.Tanya, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, dkk, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010,hlm. 90

215 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, hlm.19

Dengan menggabungkan antara tuntutan wanprestasi dengan PMH dalam satu gugatan maka telah memberi manfaat kepada para pihak yang berperkara, baik ditinjau dari segi waktu maupun biaya. Dengan demikian penggabungan kedua tuntutan oleh hakim telah sesuai dengan teori keadilan yang dikemukakan oleh paham utilitarianisme. Penggabungan antara wanprestasi dengan PMH dalam satu gugatan, jika ditinjau dari teori penemuan hukum tersebut, maka penggabungan kedua hal tersebut telah sesuai dengan jenis teori Interessjurisprudenz (freirechtslehre).

2. Dari Segi Kemaslahatan

Kemaslahatan merupakan tujuan pokok hukum Islam. Oleh karena itu semua produk hukum Islam, baik yang bersumber dari dalil yang disepakati maupun dalil yang diperselisihkan, tidak satu pun yang terlepas dari prinsip untuk mewujudkan kemaslahatan manusia.216 Maslahah yakni merealisasikan adanya manfaat bagi manusia baik dalam kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat. Mohammad Hashim Kamali juga menjelaskan bahwa tujuan hukum Islam cukup luas yang semuanya ditujukan pada terciptanya kemanfaatan, keadilan dan terlaksananya ibadah, sebagaimana penjelasan beliau sebagai berikut:

In his pioneering work, Al-Muwafaqat fi Usul Shariah, al-Shatibi has in fact singled out maslahah as being the only overriding objective of Shari’ah which is broad enough to comprise all measures that are beneficial to the people, including the administration of justice and ibadat.

216 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam Di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 259

Maslahah mursalah menurut Hanafi adalah kebaikan (maslahah) yang tidak disinggung-singgung syara’ tetapi kalau dikerjakan akan membawa manfaat atau menghindari keburukan.217 Ada tiga tingkatan masalihul mursalah: (1) Kemaslahatan yang harus dilakukan, disebut dharariyah. (2) Kemaslahatan yang dibutuhkan, tetapi tidak sampai wajib.

Kemaslahatan ini disebut hajiat. (3) Kemaslahatan keindahan atau estetik. Kemaslahatan ini disebut tahsiniyyat.218 Penggabungan gugatan wanprestasi dan perbuatan melawan hukum telah menghemat waktu dan biaya bagi para pihak sehingga telah mewujudkan kemaslahatan yang sesuai dengan tujuan diciptakannya hukum menurut Islam.

217 A.Hanafi, Ushul Fiqh, Widjaya, Jakarta, 1975, hlm.144

218 Abdul Majid Khon, Ikhtisar Tarikh Tasyrii’ Sejarah Pembinaan Hukum Islam dari Masa ke Masa, Amzah, Jakarta, 2013, hlm. 112

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian tersebut maka peneliti dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Hakim Pengadilan Agama dalam menyelesaikan tuntutan ganti rugi hanya mengabulkan kerugian yang nyata (real loss ).

2. Hakim Pengadilan Agama dalam menyelesaikan tuntutan wanprestasi dan PMH Syariah dengan cara digabung dalam satu gugatan.

B. Saran

1. Perlu dibentuk aturan hukum tertulis untuk pedoman bagi hakim dalam menyelesaikan masalah tuntutan wanprestasi dan perbuatan melawan hukum syariah yang digabung dalam satu gugatan.

2. Para hakim dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah perlu memperhatikan fatwa Dewan Syariah Nasional yang berkaitan dengan perkara yang ditanganinya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta:

Akademi Presindo, 1992.

Ali, Ahmad, Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Chandra Pratama, Jakarta, 1996.

Ali, Ahmad, Keterpurukan Hukum di Indonesia Penyebab dan Solusinya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002.

Ali, Ahmad, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010.

Ali, Ahmad dan Wiwie Heryani, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, Kencana, Jakarta, 2013.

Ali, Moh. Daud, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996.

Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.

Alim, Muhamad, Asas-Asas Negara Hukum Modern dalam Islam, LKIS, Yogyakarta, 2010.

Al-Marsudi, Subandi, Pancasila dan UUD’45 dalam Paradigma Reformasi, Raja Grafindo Persada, 2003.

Amirin, Tatang M., Pokok-Pokok Teori Sistem, Rajawali Pers, Jakarta, 1996.

Arto, Mukti, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar,Yogyakarta, 1996.

Arto, Mukti, Pembaharuan Hukum Islam, Melalui Putusan Hakim, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2015.

Asshiddiqie, Jimly, Pokok-Pokok Hukum-Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Buana Ilmu Populer, Jakarta, 2007.

Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitutionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.

As-Syatibi, al-Mufaqat fil Ushul Asy-Syariah, Beirut, Libanon: Dar al Marifah, Juz I.

Ash-Shiddiqie, Hasbi, Sejarah dan Pengantar Imu Hadits, Bulan Bintang, Jakarta, 1980.

Ash-Shiddiqie, Hasbi, Filsafat Hukum Islam, Semarang, PT Pustaka Rizki Putra, 2001.

Al-Syatibi, Al Muwafaqat fi ushulal-ahkam, Beirut, Dar al-Fikri, Juz I Azhary, Muhammad Tahir, Negara Hukum Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007.

Azuhaili, Wahbah, Kebebasan dalam Islam, (terjemah) Pustaka Al Kautsar, Jakarta, 2005.

Basyir, Ahmad Azhar, Azas-Azas Hukum Muamalat, UII, Yogyakarta, 1983.

Danim, Sudarwan, Menjadi Peneliti Kualitatif, Putaka Setia, Bandung, 2002.

Darmodiharjo, Darji dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004.

Djamil, Fathurrahman, Hukum Ekonomi Islam, Sejarah, Teori, dan Konsep, Sinar Grafika, Jakarta, 2013.

E.C.S. Wadedan G. Gogfrey, Constitutional Law: An Outline of The Law and Pracice of The Citizen and The Including Central and Local Government, the Citizen and State and Administrative Law,7th Edition, Longmans, London,1965.

Fadjar, A. Mukthie, Tipe Negara Hukum, Malang, 2003.

Friedman, Lawrence M., The Legal System: Social Science Perspektive, New York, Ressel Sage Foundation, 1986.

Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang Jakarta, 1969.

Hanafi, Ahmad, Ushul Fiqh, Widjaya, Jakarta, 1975.

Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.

Huijbers, Theo, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Kanisius Yogyakarta, 1995.

Ibrahim, Johny, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia Publishing, Malang, 2006.

Kamali, Mohammad Hashim, Foundations of Islam, Shari’ah Law An Introduction, Oneworld Book, 2008.

Khadduri, Majid, Teologi Keadilan Perspektif Islam, Risalah Gusti, Surabaya, 1999.

Khadduri, Majid, The Islamic Conception of Justice, terjemahan H.

Mochtar Zoeni dengan judul Teologi Keadilan Perspektif Islam, Risalah Gusti, Surabaya, 1999.

Khallaf, Abdul Wahab, Mashadir al-Tasyri al Islami fi ma la Nashafihi, Bairut: Dar al-Qalam, 1970.

Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqih, Maktab Ad-Da’wah Al-Islamiyah Syabab Al-Azhar, 1990.

Khon, Abdul Majid, Ikhtisar Tarikh Tasyrii’ Sejarah Pembinaan Hukum Islam dari Masa ke Masa, Amzah, Jakarta, 2013.

Ka’bah, Rifyal, Sejarah Hukum, Program Magister Ilmu Hukum Tata Negara Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 2005.

Ka’bah, Rifyal, Peradilan Islam Kontemporer, Universitas Yarsi, Jakarta, 2009.

Kusumatatmaja, Mochtar, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional, Bina Cipta, 1975

Kusumaatmaja, Mochtar, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bandung, Bina Cipta, l976.

Kusumaatmadja, Mochtar, Pengantar Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000.

Lubis, Solly, Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan, Mandar Maju Bandung, 2009.

Manan, Abdul, Hakim Peradilan Agama Hakim di Mata Hukum Ulama di Mata Ummat, Pustaka Bangsa, Jakarta, 2003.

Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Prenada Media, Jakarta, 2005.

Manan, Abdul, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.

Manan, Abdul, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, Kencana, Jakarta, 2007.

Manan, Abdul, Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2014.

Makarao, Moh. Taufik, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Rineka Cipta, Jakarta, 2009.

Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah, Sinar Grafika, Jakarta.

Marzuki, Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007.

MD, Moh. Mahfud, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Rineka Cipta, Yogyakarta, 1993.

Mertokusumo, Sudikno, Asas-Asas Hukum Acara Perdata Dalam Ilmu Hukum, dalam Jurnal Mimbar Hukum Nomor 35 Tahun VIII 1997 November-Desember.

Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988.

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1991.

Mertokusumo, Sudikno, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Yogyakarta, 1993.

Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Acara di Indonesia, Alumni Bandung, 1978.

Muntaqo, Firman, Harmonisasi Hukum Investasi Bidang Perkebunan, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.

Musthofa, Sy, Kepaniteraan Pengadilan Agama, Kencana, Jakarta, 2005.

Nasution, Bahder Johan, Metode Penelitian Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2008.

Pound, Roscoe, Tugas Hukum, terjemahan Muhammad Rajab, Bharata, Jakarta, 1965.

Projodikoro, Wirjono, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur, Bandung, 1962.

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986.

Rasjidi, Lili dan I.B.Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, 2003.

Rawls, John, Theory of Justice, terjemah, Uzair Fauzan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011.

Rifai, Ahmad, Penemuan Hukum oleh Hakim, Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.

Saefuddin, A. M., Sistem Ekonomi Islam, Majalah Panji Masyarakat No. 411 Tahun 1983.

Saleh, Ismail, Majalah Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, No.119.

Samudra, Teguh. Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Alumni, Bandung, 1992.

Sidharta, Bernard Arief, Disiplin Hukum tentang Hubungan antara Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum (state of arts), Makalah disajikan dalam rapat tahunan Komisi Disiplin Ilmu Hukum, Jakarta:11-13 Februari 2001).

Sidharta, Bernard Arief, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian Tentang Fondasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional, Mandar Maju, Bandung, 1999.

Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Quran, Mizan, Bandung, 1999.

Soebiakto, Tentang Kejurusitaan Dalam Praktek Peradilan Perdata, Djambatan, Jakarta, 1998.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Radjawali Press, Jakarta, 1990.

Soekanto, Soerjono dan Purnadi Purbacaraka, Sendi-Sendi Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta.

Soemitro dan Ronny Hanitijo, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988.

Sprints, Darwan, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992.

Supramono, Gatot, Hukum Pembuktian di Pengadilan Agama, Alumni Bandung, 1993.

Suseno, Franz Magnis, Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994.

Syaifuddin, Mohammad, Struktur dan Prosedur Penelitian Hukum Hermeneutik, Palembang, Pascasarjana, Universitas Sriwijaya, 2010.

Syaifuddin, Muhammad, Perlindungan Hukum Hak Masyarakat Kurang Dan Tidak Mampu Atas Pelayanan Kesehatan Rumah

Sakit Swasta Berbadan Hukum Perseroan Terbatas, Universitas Brawijaya, Disertasi.

Syaltut, M., Al Islam Aqidah wa Syariah, Dar Al-Qalam, Mesir, 1966.

Tanya, Bernard L., Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010.

Taufiq, Asas-Asas Hukum Acara Peradilan Islam, Jurnal Mimbar Hukum, Nomor 35 Tahun 1977.

Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Kanisius Yogyakarta, 1995.

Wahyudi, Abdullah Tri, Hukum Acara Peradilan Agama, Mandar Maju, Bandung, 2014.

Wahyudi, Abdullah Tri, Hukum Acara Peradilan Agama, Mandar Maju, Bandung, 2014.