• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian terhadap aturan hukum yang mengatur tentang gugatan perbuatan melawan hukum di Pengadilan Agama. Penelitian ini berlandaskan “paradigma hermeneutik”. Hal ini dilandasi oleh pemahaman “filsafat dan paradigma hermeneutik” sebagaimana dijelaskan oleh Bernard Arief Sidharta57 sebagai berikut:

Ilmu hukum adalah ilmu normatif yang termasuk ke dalam kelompok ilmu-ilmu praktekal yang dalam pengembangannya berkonvergensi semua produk-produk ilmu lain (khususnya filsafat hukum, sosiologi hukum, sejarah hukum) yang relevan untuk (secara hermeneutis) menetapkan proposisi hukum yang akan ditawarkan untuk dijadikan isi putusan hukum sebagai penyelesaian masalah hukum konkret yang dihadapi. Penetapan proposisi hukum tersebut dilakukan berdasarkan aturan hukum

56 Achmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia Penyebab dan Solusinya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, hlm.9

57 Bernard Arief Sidharta, Disiplin Hukum tentang Hubungan antara Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum (state of arts), Makalah disajikan dalam rapat tahunan Komisi Disiplin Ilmu Hukum, Jakarta:11-13 Februari 2001), hlm 9

positif yang dipahami (diinterpretasi) dalam konteks keseluruhan kaidah-kaidah hukum positif yang tertata dalam suatu sistem (sistematikal) dan latar belakang sejarah (historikal) dalam kaitan dengan tujuan pembentukannya dan tujuan hukum pada umumnya (taleologika) yang menentukan isi aturan hukum positif tersebut dan secara kontekstual merujuk pada faktor-faktor sosiologikal dengan mengacu nilai-nilai kultural dan kemanusiaan yang fundamental dalam proyeksi ke masa depan.

Pada dasarnya dalam penelitian hukum menggunakan metode penelitian normatif yang sering kali juga disebut metode penelitian doktrinal dengan optik preskriptif. Menurut Peter Mahmud Marzuki penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Hal tersebut sesuai dengan preskriptif ilmu hukum.58 Penelitian hukum tidak mengenal field research (penelitian lapangan).

Artinya apa yang diteliti dalam kegiatan penelitian hukum adalah bahan hukum dalam bentuk riset kepustakaan yang fokus pada bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder.59 Namun adakalanya suatu penelitian dalam pengembangan tidak cukup menggunakan metode pendekatan normatif belaka. Dengan demikian maka pintu masuk penelitian yang dilakukan adalah bersifat normatif, namun dalam menggali informasi dan data yang digunakan untuk melengkapi hasil penelitian tidak cukup menggunakan pendekatan normatif tetapi harus menelusuri disiplin ilmu lain (perspektif eksternal), seperti ilmu sosial dan

58 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007, hlm 35

59 Johny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia Publishing, Malang, 2006, hlm 46

budaya. Setelah data dan informasi terkumpul, maka proses analisis kembali masuk menggunakan analisis normatif. Menurut Zaenuddin Ali, penelitian hukum normatif adalah penelitian yang membahas doktrin-doktrin atau asas-asas dalam ilmu hukum.60 2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Pendekatan Kefilsafatan

Pendekatan kefilsafatan menurut Bahder Johan Nasution61 adalah pendekatan mengenai bidang-bidang yang menyangkut dengan obyek kajian filsafat hukum yang meliputi: (1) Ontologi hukum, yaitu mengkaji hakikat hukum seperti hakikat demokrasi, hubungan hukum dengan moral, dan sebagainya. (2) Aksiologi hukum, yaitu mempelajari isi dari nilai seperti nilai kebenaran, nilai keadilan, nilai kebebasan, dan sebagainya. (3) Epistemologi hukum, yaitu cara mendapatkan pengetahuan yang benar tentang ilmu hukum. (4) Taleologi hukum, yaitu menentukan isi dan tujuan hukum. (5) Ideologi hukum, yaitu pemahaman secara menyeluruh tentang manusia dan masyarakat. (6) Logika hukum, yaitu mempelajari kaidah-kaidah berpikir secara hukum dan argumentasi hukum. (7) Keilmuan hukum, yaitu merupakan meta teori bagi hukum.

b. Pendekatan Sosiologi Hukum

Pendekatan sosiologi hukum digunakan secara proporsional dan terbatas digunakan untuk meneliti proses hukum (law in

60 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm.

24

61 Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2008, hlm. 93

process), dalam arti hukum dari sisi tampak kenyataannya,62 karena fakta kemasyarakatan tersebut dapat dijelaskan dengan bantuan hukum dan kaidah-kaidah hukum dapat dijelaskan dengan bantuan fakta kemasyarakatan. Dengan menggunakan pendekatan sosiologi hukum dapat diteliti fakta kemasyarakatan dalam proses penyelesaian gugatan perbuatan melawan hukum di Pengadilan Agama.

c. Pendekatan Politik Hukum

Pendekatan politik hukum digunakan untuk menyusun formulasi aturan ganti rugi dalam perbuatan melawan hukum di masa mendatang yang berbasis pada nilai-nilai dan asas-asas hukum Islam. Dengan politik hukum tersebut diharapkan negara dapat memberlakukan aturan ganti rugi akibat perbuatan melawan hukum yang bersumber dari hukum Islam di negara Indonesia.

d. Pendekatan Konseptual

Pendekatan ini diperlukan untuk mengetahui pandang-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Pandangan dan doktrin yang ditemukan tersebut digunakan untuk membangun argumentasi dan mengkonstruksi konsep hukum mengenai ganti rugi akibat perbuatan melawan hukum di Pengadilan Agama.

e. Pendekatan Normatif atau Dogmatik Hukum

Pendekatan ini sebagai pendekatan yang utama dalam penelitian ini. Pendekatan ini dilaksanakan dengan tujuan meneliti hukum positif dengan cara menghimpun, memaparkan, memperkirakan, menganalisis, menafsirkan dan menilai

62 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hlm 326

norma hukum positif yang mengatur tentang ganti rugi akibat perbuatan melawan hukum di Pengadilan Agama. Penulis akan mengkritisi ketentuan dalam KUH Perdata yang berkaitan dengan ganti rugi akibat perbuatan melawan hukum dengan cara disandingkan dengan ketentuan ganti rugi menurut hukum ekonomi syariah

f. Pendekatan Perbandingan Hukum

Pendekatan perbandingan hukum digunakan untuk melakukan perbandingan antara aturan ganti rugi akibat perbuatan hukum dengan aturan ganti rugi akibat perbuatan hukum dalam hukum Islam. Dari perbandingan tersebut akan ditemukan persamaan dan perbedaan antara hukum ganti rugi dalam KUH Perdata dengan dengan hukum ganti rugi dalam Islam.

g. Pendekatan Futuristik

Pendekatan futuristik mengedepankan perumusan kembali mengenai aturan hukum tentang ganti rugi akibat perbuatan hukum di Pengadilan Agama dengan cara menemukan hukum (rechsvinding) dan pembentukan hukum (rechtsvorming), sehingga menghasilkan suatu kerangka konseptual berupa hukum yang dicitakan (ius constituendum) bagi politik hukum yang sesuai dengan cita hukum Pancasila.

3. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Penelitian hukum hermeneutik terutama didasarkan pada bahan-bahan hukum bersifat normatif-preskriptif yang didukung dan dilengkapi dengan fakta kemasyarakatan bersifat empiris-deskriptif. Penggunaan istilah dan pengklasifikasian “bahan hukum” dan “fakta kemasyarakatan” karena kegiatan pengembangan ilmu hukum selalu melibatkan dua aspek, yakni

kaidah hukum dan fakta (kenyataan) kemasyarakatan. Dengan kata lain aspek normatif-preskriptif untuk menemukan kaidah hukumnya dan aspek empiris-deskriptif untuk menetapkan fakta yang relevan dari kenyataan kemasyarakatan dan bahwa dalam proses pengembangannya kedua aspek tersebut berinteraksi atau harus diinteraksikan.63

Bahan-bahan hukum bersifat normatif-preskriptif digunakan untuk mengkaji persoalan hukum yang terkait dengan substansi peraturan hukum positifnya (ius constituendum), sifatnya memberi manfaat pada pengembangan aturan hukum tentang ganti rugi akibat perbuatan melawan hukum di Pengadilan Agama. Bahan hukum diklasifikasikan sebagai bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier sebagai berikut:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan yang mempunyai kekuatan mengikat meliputi peraturan perundang-undangan dan peraturan pemerintah yang berkaitan dengan pokok masalah pembahasan penelitian ini

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang berhubungan dengan obyek penelitian, seperti: rancangan undang-undang, literatur, jurnal ilmiah, hasil penelitian, artikel dan karya lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.64

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum

63 Mohammad Syaifuddin, Struktur dan Prosedur Penelitian Hukum Hermeneutik, Palembang, Pascasarjana, Universitas Sriwijaya, 2010

64 Menurut Ronny Hanitijo Soemitro, dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum termasuk dalam bahan hukum sekunder sepanjang relevan dengan obyek penelitian hukum yang dikaji, Ronny Hanitijo Soemitro, 1988, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm 24

primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari bahan yang diambil dari media massa seperti majalah, surat kabar, kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia.65

Fakta kemasyarakatan bersifat empiris-deskriptif sebagai bahan untuk meneliti dan memperoleh data primer berupa informasi langsung berbentuk hasil wawancara kepada narasumber yang relevan dengan obyek penelitian. Penelitian lapangan ini dilakukan karena tidak semua bahan-bahan hukum yang diperlukan dapat diperoleh atau tersedia di perpustakaan.

Fakta kemasyarakatan bersifat empiris-deskriptif diperoleh dari informan yang dipilih pada beberapa instansi dan lembaga sosial dan keagamaan dengan cara purposive sample. Artinya penentuan informan didasarkan pada kewenangan, pengetahuan dan pengalaman, sehingga dapat memberikan informasi dan menjelaskan pandangan dan sikap normatif yang ada.

4. Pengumpulan dan Pengklasifikasian Bahan-Bahan Penelitian

Pengumpulan bahan-bahan hukum yang bersifat normatif-preskriptif dilakukan dengan cara penelusuran, pengumpulan dan studi dokumen baik secara konvensional maupun menggunakan teknologi informasi (internet). Cara yang dilakukan tersebut untuk mendapatkan gambaran tentang perumusan norma yang ada, serta membuat formula ke depan sebagai langkah perbaikan dari norma yang ada. Selanjutnya pengumpulan fakta kemasyarakatan bersifat empiris-deskriptif dilakukan dengan cara pengklasifikasian terhadap informan menggunakan teknik

65 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Radjawali Press, Jakarta, 1990, hlm 14

wawancara mendalam yang dilakukan terhadap sejumlah informan, yaitu pejabat di lingkungan Peradilan Agama.

5. Pengolahan Bahan-Bahan Penelitian

Bahan-bahan hukum yang bersifat normatif-preskriptif diolah dengan tahapan sebagaimana dijelaskan oleh van Hoecke yang dikutip oleh Bernard Arief Sidharta, yaitu: menstrukturkan, mendeskripsikan dan menyusun bahan-bahan hukum dilakukan dalam tiga tahapan, yaitu:

a. Tataran teknis, kegiatan menghimpun, menata memaparkan peraturan hukum berdasarkan hierarki sumber hukum untuk membangun landasan legitimasi dalam menafsirkan peraturan hukum dengan menerapkan metode logika sehingga tertata dalam suatu sistem hukum yang koheren.

b. Tataran teleologis, yaitu menyusun peraturan hukum berdasarkan substansi hukum, dengan cara memikirkan menata ulang dan menafsirkan material yuridis dalam perspektif teologis, sehingga sistemnya menjadi lebih jelas dan berkembang, dengan menerapkan metode teleologis sebagai patokan sistematisasi.

c. Tataran sistematisasi eksternal, mensistematisasi hukum dalam rangka mengintegrasikannya ke dalam tatanan dan pandangan hidup, sehingga dapat menafsir ulang pengertian yang ada dan pembentukan pengertian baru dengan menerapkan metode interdisipliner atau transdisipliner, yakni dengan pendekatan antisipatif ke masa depan (futurologi).66

66 Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian Tentang Fondasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional, Mandar Maju, Bandung, 1999, hlm. 209

Selanjutnya mengenai fakta kemasyarakatan yang bersifat empiris-deskriptif diolah dengan cara klasifikasi yang dibuat dengan melihat karakter yang sama, kategorisasi yaitu mengelompokkan bahan-bahan hukum yang sejenis yang sesuai dengan kategorinya, untuk kemudian menemukan hubungan di antara berbagai kategori tersebut. Kemudian sistematisasi, yaitu suatu cara menghubungkan suatu kesamaan dalam suatu kelompok atau dalam kelompok berbeda. Selanjutnya interpretasi atau penafsiran yaitu, membuat jelas suatu hal, dimana kemudian dilakukan proses deskripsi, guna penyusunan transkrip wawancara untuk menemukan pola-pola dalam mencari pokok persoalan yang penting untuk disajikan.67

6. Analisis Bahan Penelitian

Metode yang digunakan dalam menganalisis bahan-bahan hukum yang bersifat normatif adalah metode normatif, artinya:

Metode doktrinal dengan optik preskriptif untuk secara hermeneutis dalam menemukan kaidah hukum yang menentukan apa yang menjadi kewajiban dan hak yuridis subyek hukum dalam situasi kemasyarakatan tertentu berdasarkan dan dalam kerangka tatanan hukum yang berlaku dengan selalu mengacu positivitas, koherensi, keadilan dan martabat manusia, yang dalam implementasinya (dapat dan sering harus) memanfaatkan metode dan produk penelitian ilmu-ilmu sosial.68

Hasil analisis bahan-bahan hukum yang bersifat normatif-deskriptif tersebut untuk selanjutnya diinteraksikan dengan fakta kemasyarakatan yang bersifat empiris-deskriptif yang dianalisis

67 Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif, Putaka Setia, Bandung, 2002

68 Bernad Arief Sidharta, Op.Cit, hlm 218

dengan menggunakan metode kualitatif,69 yaitu suatu tata cara analisis yang menghasilkan data deskriptif analitis, artinya apa yang dinyatakan oleh informan baik secara lisan ataupun tertulis, dan perilakunya yang nyata yang kemudian diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.70

7. Penafsiran Bahan-Bahan Penelitian dan Pengambilan Kesimpulan

Bahan hukum yang bersifat normatif-preskriptif ditafsirkan dengan menggunakan metode penafsiran bertujuan (purpossive interpretation). Di samping juga menggunakan penafsiran hukum lain, seperti penafsiran otentik, penafsiran gramatikal, penafsiran sejarah, penafsiran sistematis, penafsiran sosiologis, dan penafsiran teologis. Kesimpulan dilakukan dengan cara perpaduan antara metode deduktif untuk bahan-bahan hukum normatif-preskriptif dan metode induktif untuk bahan hukum yang bersifat empiris-deskriptif. Perpaduan antara metode deduktif dengan induktif tersebut, diawali dengan penalaran hukum deduktif melalui penerapan teori-teori dan konsep-konsep hukum dalam melakukan analisis bahan penelitian yang bersifat normatif-preskriptif yang ditafsirkan dan dikonstruksikan dengan hasil analisis fakta kemasyarakatan yang bersifat empiris-deskriptif secara induktif yang bertujuan untuk menghasilkan, menstrukturkan, dan mensistematisasi temuan-temuan hukum baru dalam pengambilan kesimpulan dan saran-saran perbaikan tentang gugatan dalam perbuatan melawan hukum syariah dalam hukum Islam.

69 Muhammad Syaifuddin, Op.Cit, hlm 57

70 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jkarta, hlm 250

BAB II

PENYELESAIAN GUGATAN GANTI RUGI DALAM PERKARA PERBUATAN MELAWAN HUKUM (PMH)

A. Ketentuan Ganti Rugi Menurut Pasal 1243 KUHPdt

Ganti rugi menurut KUHPdt ada 3 macam yakni: Biaya, rugi dan bunga. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan. Pengertian rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian debitur. Kemudian yang dimaksud dengan bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hakim dalam memutus gugatan ganti rugi, hanya mengabulkan pada kerugian yang sudah nyata (real loss) bukan kerugian yang dapat diperkirakan (potensial loss). Sikap hakim yang demikian, apakah sesuai dengan prinsip hukum ekonomi syariah.

B. Asas-Asas Akad/Perjanjian Syariah

Dalam Hukum Islam terdapat asas-asas dari suatu perjanjian.

Asas ini berpengaruh pada status akad. Ketika asas ini tidak terpenuhi, maka akan mengakibatkan batal atau tidak sahnya akad yang dibuat.

Asas-asas akad ini tidak berdiri sendiri melainkan saling berkaitan antara satu dan lainnya. Adapun asas-asas itu adalah sebagai berikut:

1. Kebebasan (Al-Hurriyah)

Asas ini merupakan prinsip dasar dalam hukum Islam dan merupakan prinsip dasar pula dari akad/hukum perjanjian. Pihak-pihak yang melakukan akad mempunyai kebebasan untuk membuat perjanjian, baik dari segi materi/isi yang diperjanjikan,

menentukan pelaksanaan dan persyaratan-persyaratan lainnya, melakukan perjanjian dengan siapa pun, maupun bentuk perjanjian (tertulis atau lisan) termasuk menetapkan cara-cara penyelesaian bila terjadi sengketa. Kebebasan membuat perjanjian ini dibenarkan selama tidak bertentangan dengan ketentuan syariah Islam.

Dengan kata lain, syariah Islam memberikan kebebasan kepada setiap orang yang melakukan akad sesuai yang diinginkan, tetapi yang menentukan akibat hukumnya adalah ajaran agama.

Tujuannya untuk menjaga agar tidak terjadi penganiayaan antara sesama manusia melalui akad dan syarat-syarat yang dibuatnya.

Asas ini pula menghindari semua bentuk paksaan, tekanan, dan penipuan dari pihak manapun. Perbuatan-perbuatan tersebut merupakan bagian ketertiban umum, sehingga apabila dilanggar maka termasuk melanggar ketentuan umum dan/atau kesusilaan.

Adanya unsur pemaksaan dan pemasungan kebebasan bagi pihak-pihak yang melakukan perjanjian, maka legalitas perjanjian yang dilakukan bisa dianggap meragukan bahkan tidak sah. Landasan asas kebebasan (al-hurriyyah) ini antara lain didasarkan pada ayat-ayat Alquran dan Hadis Rasululullah saw. Ayat-ayat Alquran tersebut antara lain terdapat dalam QS. Al-Baqarah (2):

256; QS. Al-Ma'idah (5): 1; QS. Al-Hijr (15): 29; QS. Ar-Rum (30): 30; QS. At-Tin (95): 4; dan QS. Al-Ahzab (33): 72. Bunyi dari sebagian ayat-ayat tersebut adalah sebagai berikut.

ِتوُغ ََّّٰطلٱِب ۡرُف ۡكاي ناماف ِِّۚ ياغۡلٱ انِم ُد ۡش ُّرلٱ انَّيابَّت داق ِِۖنيِ دلٱ يِف اها ار ۡكِإ ٓ الَ

او ۡرُعۡلٱِب اكاس ۡمات ۡسٱ ِداقاف ِ َّللَّٱِب ۢنِم ۡؤُي او اس ُ َّللَّٱ او ۗااهال امااصِفنٱ الَ َّٰىاقۡث ُوۡلٱِة

ٌ يِم

ميِلاع ٢٥٦

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);

Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang

sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus dan

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.

Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.

Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya. (QS. Al-Maidah (5):1).

َّٰاس ۥُهال ْاوُعاقاف ي ِحو ُّر نِم ِهيِف ُت ۡخافان او ۥُهُتۡي َّواس ااذِإاف انيِد ِج

٢٩

Maka apabila Aku telah menyempurnakan (kejadian)nya, dan Aku telah meniupkan roh (ciptaan)-Ku ke dalamnya, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud. (QS. Al-Hijr (15):

29).

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;

(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.

(Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. Ar-Rum (30): 30).

ٖميِوۡقات ِناس ۡحاأ ٓيِف انَّٰاسنِ ۡلۡٱ اانۡقالاخ ۡداقال

٤

Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk y.atig sebaik-baiknya. (QS. At-Tin (95): 4).

ناأ ان ۡياباأاف ِلااب ِجۡلٱ او ِض ۡرا ۡلۡٱ او ِت َّٰاو َّٰامَّسلٱ ىالاع اةانااما ۡلۡٱ اان ۡض اراع اَّنِإ ٗلَوُهاج ا ٗموُلاظ انااك ۥُهَّنِإ ُِۖن َّٰاسنِ ۡلۡٱ ااهالاماح او ااهۡنِم انۡقاف ۡشاأ او ااهانۡلِم ۡحاي ٧٢

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh. (QS. Al-Ahzab (33): 72).

Hadis Nabi Riwayat Tirmizi dari’Amir bin’Auf:

Perdamaian dapat dilakukan kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat-syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.

Konsep kebebasan (al-hurriyyah) ini dalam KUH Perdata dinamakan asas kebebasan berkontrak dan asas kepastian hukum (pacta sunt servanda). Menurut asas tersebut, semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 KUH Perdata). Kebebasan berkontrak mengandung makna bahwa orang bebas untuk mengadakan perjanjian baru di luar Perjanjian bernama yang diatur dalam KUH Perdata dan bahkan isinya menyimpang dari perjanjian bernama. Berdasarkan asas kebebasan berkontrak, setiap orang memiliki kebebasan untuk mengadakan perjanjian

dengan isi yang bagaimanapun juga sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku, ketertiban umum dan kesusilaan yang baik.

2. Persamaan atau Kesetaraan (Al-Musawah)

Asas ini memberikan landasan bahwa kedua belah pihak yang melakukan perjanjian mempunyai kedudukan yang sama antara satu dan lainnya. Pada saat menentukan hak dan kewajiban masing-masing didasarkan pada asas persamaan atau kesetaraan ini. Dasar hukum dari asas ini adalah QS. Al-Hujurat (49): 13.

اَ ِئٓااباق او اٗبوُعُش ۡمُكَّٰانۡلاعاج او َّٰىاثنُأ او ٖراكاذ نِ م مُكَّٰانۡقالاخ اَّنِإ ُساَّنلٱااهُّياأَّٰٓاي َِّللَّٱ ادنِع ۡمُكام ار ۡكاأ َّنِإ ِّْۚا ٓوُف ارااعاتِل ٞريِباخ ميِلاع ا َّللَّٱ َّنِإ ِّۚۡمُكَّٰىاقۡتاأ

١٣

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu.

Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

(QS. Al-Hujurat (49): 13).

Asas persamaan atau kesetaraan (al-musawah) sering dinamakan juga asas keseimbangan para pihak dalam perjanjian.

Sebagaimana asas equality before the law, maka kedudukan para pihak dalam perjanjian adalah seimbang (equal). Meskipun demikian, secara faktual terdapat keadaan di mana salah satu pihak memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibanding pihak lainnya, seperti hubungan pemberi fasilitas dengan penerima fasilitas, adanya perjanjian-perjanjian baku (standard contract) yang memaksa pihak lain seolah-olah tidak memiliki pilihan selain take it or leave it. Hukum Islam mengajarkan bahwa

standard contract tersebut tetap sifatnya hanya merupakan usulan atau penyajian ('ardh al-syuruth) dan bukan bersifat final yang harus dipatuhi pihak lainnya (jardh al-syuruth).

Pentingnya pelaksanaan asas ini, meskipun secara faktual hal-hal di atas terjadi, dalam perkembangannya diakui bahwa perlu ada ketentuan untuk melindungi pihak yang kedudukannya lebih lemah. Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, yaitu dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, antara lain melarang adanya ketentuan baku/klausul baku yang dapat merugikan konsumen. Dalam Pasal 18 UU No.8 Tahun 1999 antara lain diatur sebagai berikut:

a. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausul baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

1) Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

2) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

3) Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

4) Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

b. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausul baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.

c. Setiap klausul baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.

3. Keadilan (Al-'Adalah)

Keadilan adalah salah satu sifat Tuhan dan Alquran menekankan agar manusia menjadikannya sebagai ideal moral (QS. Al-' Araf (7): 29, QS. An-Nahl (16): 90, dan QS. Asy-Syura (42): 15). Bahkan Alquran menempatkan keadilan lebih dekat kepada takwa (QS. Al-Ma'idah (5): 8-9). Pelaksanaan asas ini dalam akad, di mana para pihak yang melakukan akad dituntut untuk berlaku benar dalam pengungkapan kehendak dan keadaan, memenuhi perjanjian yang telah mereka buat, dan memenuhi semua kewajibannya (QS. Baqarah (2): 177, QS. Al-Mu'minun (23): 8, dan QS. Al-Ma'idah (5): 1).

Asas ini berkaitan erat dengan asas kesamaan, meskipun

Asas ini berkaitan erat dengan asas kesamaan, meskipun