• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

E. Tinjauan Pustaka

2. Kerangka Teori

a. Wacana dan Analisis Wacana Kritis

Menurut Deddy Mulyana, istilah wacana berasal dari bahasa sansekerta yaitu wac/wak/uak yang artinya “berkata” atau “berucap” sementara kata ana merupakan bentuk akhiran yang bermakna membendakan. Secara sederhana wacana bisa diartikan sebagai perkataan atau tuturan (Mulyana, 2005:3). Di Indonesia wacana seringkali dipakai oleh para ahli bahasa sebagai terjemahan dari istilah bahasa Inggris discourse. Discourse sendiri berakar dari bahasa latin discursus (lari ke sana lari ke mari) (Oetomo, 1993:3). Sementara di Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer, kata wacana memiliki tiga pemahaman. Pertama, perkataan, tuturan, atau percakapan. Kedua, keseluruhan tutur atau kecakapan dalam satu kesatuan. Ketiga, sebuah satuan bahasa yang besar dan lengkap yang direalisasikan dalam suatu bentuk karangan utuh (Salim, 2002:1709).

14 Meski bisa dipahami dari sisi etimologi, akan tetapi menurut Jorgensen dan Philips sampai saat ini belum ada konsensus yang jelas mengenai apa itu wacana dan bagaimana menganalisisnya (2010:1-2). Padahal wacana telah menjadi suatu bahasan yang populer di mana-mana, baik dalam perdebatan maupun teks-teks ilmiah. Namun kedua peneliti tersebut mengatakan penggunaan istilah wacana masih cenderung sembarangan bahkan seringkali tanpa di definiskan terlebih dahulu.

Hal itu berakibat pada kaburnya makna wacana itu sendiri. Lebih jauh, Jorgensen dan Philips mengkritik gagasan umum mengenai wacana sebagai bahasa yang ditata menurut pola-pola yang berbeda dalam konteks-konteks berbeda. Bagi mereka definisi tersebut belum mampu menjelaskan apa sesungguhnya wacana itu? Bagaimana wacana berfungsi? Serta bagaimana cara menganalisisnya? Berangkat dari hal itu, Jorgensen dan Philips pun menawarkan definisi wacana sebagai “cara tertentu untuk membicarakan dan memahami dunia (atau aspek dunia) ini.”

Teori mengenai wacana atau discourse sendiri sebetulnya tak bisa lepas dari pemikiran seorang Michel Foucault. Bagaimanapun, Foucault telah memainkan peran utama dalam perkembangan analisis wacana melalui karya teoretis dan penelitian praktis (Jorgensen dan Philips, 2010:23). Hampir di semua pendekatan analisis wacana, Foucault selalu menjadi sosok utama yang dikutip, dihubungkan, dikomentari, dimodifikasi, dan juga dikritik.

Menurut Foucault, dalam buku Archaelogy of Knowledge (1972:80), wacana di definisikan sebagai "general domain of statements.”

"Lastly, instead of gradually reducing the rather fluctuating meaning of the word 'discourse', I believe that I have in fact added to its meanings: treating it sometimes as the general domain of all statements, sometimes as an individualizable group of statements, and sometimes as a regulated practice that accounts for a certain number of statements". (Foucault, 1972:80).

Maknanya ialah, wacana acap kali menjadi domain umum dari segala pernyataan, kadang sebagai pernyataan sekelompok individu, dan bahkan sejumlah praktik

15 kebijakan bagi sejumlah pernyataan. Artinya wacana adalah berbagai pernyataan atau ungkapan yang diproduksi sehingga memiliki makna serta efek. Dengan kata lain, Foucault tidak memandang wacana sebagai teks semata, akan tetapi bagaimana teks tersebut diproduksi sedemikian rupa sehingga memiliki kekuatan.

Lebih jauh, Foucault menjelaskan bahwa wacana berasal dari kekuasaan yang bekerja melalui jaringan relasi serta interaksi (Haryatmoko, 2010:12-15). Kekuasaan bisa di mana saja karena ia tidak berada di luar relasi sosial atau berada di tangan agen-agen tertentu, melainkan turut bermain di dalamnya. Selain itu, kekuasaan dalam pandangan Foucault tidak semata-mata dipahami sebagai bentuk penindasan, akan tetapi sebagai sebuah hal yang memiliki sifat produktif (Jorgensen dan Philips, 2010:25). Karena itu bagi Foucault, kekuasaan mampu memproduksi pengetahuan tersendiri mengenai suatu kebenaran yang pada akhirnya akan berkembang dan melahirkan berbagai wacana.

Misalnya, tata norma dalam masyarakat mengatur bagaimana kita berlaku secara baik dan benar. Dalam hal ini, tata norma yang berasal dari kesepakatan masyarakat merupakan wacana yang mengatur gerak laku kita. Darinyalah berbagai macam tindakan yang dianggap baik atau buruk berasal. Seterusnya, tindakan kita yang mematuhi wacana norma tersebut juga akan memberi dampak lain atau katakanlah mempoduksi sesuatu yang lain lagi. Dengan demikian, wacana akan berlangsung dan berkembang secara terus-menerus dalam kehidupan.

Teori wacana Foucault ini memberi pengaruh kuat bagi perkembangan model analisis wacana kritis yang juga memperlakukan kekuasaan sebagai sesuatu yang produktif serta memandang pentingnya pola-pola dominasi di mana suatu kelompok sosial merupakan subordinasi kelompok sosial lain.

Tujuan dari analisis wacana kritis atau yang kerap disingkat AWK, menurut Habermas (dalam Darma, 2009: 53) ialah untuk mengembangkan asumsi-asumsi ideologis yang terkandung di dalam suatu teks atau ucapan dengan

16 maksud menjelajah secara sistematis keterkaitan antara praktik-praktik diskursif, teks, peristiwa, serta sosial budaya yang lebih luas.

Menurut Jorgensen dan Philips (2010:114), analisis wacana kritis digunakan untuk melakukan kajian empiris tentang hubungan-hubungan antara wacana, perkembangan sosial, serta kultural dalam domain-domain sosial yang berbeda. Ada lima ciri umum analisis wacana kritis dalam pendekatan-pendekatan yang berbeda sebagaimana disajikan oleh Jorgensen dan Philips (2010: 115-120) dari tinjauan Fairclough dan Wodak, yang kurang lebih antara lain:

1. Sifat struktur, proses budaya, dan sosial merupakan sebagian Linguistik-Kewacanaan. Dengan kata lain, praktik-praktik kewacanaan (dari mulai produksi hingga konsumsi) dilihat sebagai bentuk dari praktik sosial yang berkontribusi besar terhadap penyusunan dunia sosial yang mencakup berbagai hubungan serta identitas sosial.

2. Wacana tersusun dan bersifat konstitutif. Artinnya wacana merupakan bentuk praktik sosial yang disusun oleh praktik-praktik sosial yang lain. Sederhananya, kita melihat bagaimana sebuah struktur sosial memainkan pengaruh terhadap praktik kewacanaan yang pada akhirnya juga berpengaruh terhadap suatu tatanan sosial.

3. Penggunaan bahasa hendaknya dianalisis secara empiris sesuai konteks sosialnya. Ini menegaskan bahwa analisis wacana tak lepas dari bagaimana bahasa dalam interaksi sosial. Dengan kata lain, mesti memetakan bagaimana hubungan kultural, sosial, serta nonwacana dalam struktur yang menyusun konteks wacana itu sendiri.

4. Melihat fungsi wacana secara ideologis. Dalam hal ini, wacana dipandang sebagai praktik sosial yang mengonstruk representasi dunia, subjek sosial, dan hubungan-hubungan kekuasaan serta peran kelompok-kelompok tertentu guna melanggengkan kepentingannya.

5. Analisis wacana kritis bukan pendekatan yang secara politik netral. Sebab analisis wacana kritis memihak pada kelompok-kelompok sosial yang tertindas.

17 Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan analisis wacana kritis model Fairclough. Bagi Fairclough wacana secara ideologis berkontribusi dalam usaha untuk mempertahankan dan mentrasformasikan hubungan-hubungan kekuasaan (Jorgensen dan Philips, 2012:22). Dalam Discourse and Social Change, Norman Fairclough memandang bahasa sebagai praktik sosial (Fairclough, 1992:63-64). Pandangan Fairclough ini kemudian menempatkan wacana sebagai bentuk tindakan seseorang atau kelompok ketika melihat realitas. Selain itu, pandangan Fairclough juga mengimplikasikan terjadinya hubungan timbal balik antara wacana dan struktur sosial. Maka analisis wacana kritis model Fairclough pun, dalam Critical Discourse Analysis, dipusatkan pada bagaimana bahasa terbentuk dan dibentuk dari hubungan sosial serta konteks sosial tertentu (Fairclough, 1998: 131-132).

Berkaitan dengan hal tersebut, Fairclough memandang posisi wacana pada teks sebagai praktik transfer makna yang berlandaskan pada ideologi-ideologi tertentu sebagai bagian dari pengukuhan dominasi dan subordinasi terhadap masyarakat. Meski begitu, Fairclough berpendapat bahwa setiap orang bisa diposisikan ke dalam ideologi-ideologi yang berbeda di mana hal itu berpotensi menimbulkan persaingan antar kelompok dalam menghegemoni kesadaran publik. Fairclough menyebut fenomena ini sebagai “keseimbangan yang saling bertentangan dan tidak stabil” (Jorgensen dan Philips, 2010: 141-142).

Ada tiga dimensi yang ditawarkan Fairclough dalam analisis wacana kritisnya yang antara lain sebagai berikut:

1. Teks (tuturan, pencitraan visual, atau gabungan ketiganya)

2. Praktik kewacanaan yang melibatkan pemroduksian dan pengonsumsian teks

3. Praktik sosial, menganalisis hubungan praktik kewacanaan dengan praktik sosial yang menyusun konteks dari wacana tersebut

18 Tujuan umum model tiga dimensi itu adalah untuk membentuk suatu kerangka analitis bagi analisis wacana. Model ini memakai prinsip-prinsip yang mengatakan bila teks tidak bisa dipahami atau dianalisis secara terpisah,melainkan hanya bisa dipahami melalui jaringan antartekstualitas serta hubungannya dengan konteks sosial (Jorgensen dan Philips, 2010:130).

Bertolak dari skema analisis wacana kritis yang ditawarkan Fairclough inilah, peneliti akan memetakan bagaimana konflik lingkungan dalam media mainstream dan alternatif diwacanakan melalui teks-teks berita media online mereka masing-masing untuk menciptakan suatu kebenaran tertentu mengenai konflik semen di Rembang.

b. Jurnalisme Lingkungan

Ana Nadya Abrar mendefinisikan jurnalisme lingkungan atau environmetal journalism sebagai cara-cara jurnalistik yang mengedepankan masalah lingkungan hidup dan berpihak pada kesinambungannya (Abrar, 1993:9). Di Indonesia, peran jurnalisme lingkungan sangat penting. Sebab, seperti disampaikan Agus Sudibyo dalam bukunya, bahwa tujuan utama dari jurnalisme lingkungan adalah usaha menyampaikan seruan kepada publik untuk berpartisipasi terhadap kelestarian lingkungan hidup (Sudibyo, 2015:4). Oleh karenanya, hal tersebut berkaitan erat dengan kepentingan publik itu sendri. Di sisi lain, aktivitas jurnalisme lingkungan juga didasari atas pemahaman bahwa persoalan lingkungan hidup acap kali bersentuhan langsung dengan masalah politik nasional, politik lokal, hubungan internasional, keadilan ekonomi, dan keadilan sosial.

Pada sisi lain, jurnalisme lingkungan sendiri pada dasarnya merupakan jurnalisme yang mesti berpihak. Dalam artian berpihak pada upaya-upaya meminimalisir berbagai tindakan yang merugikan lingkungan hidup serta memihak segala bentuk kegiatan yang bertujuan melestarikan alam. Oleh karena itu, menurut Muhammad Badri (dalam Agus Sudibyo, 2014: 5-6) ada beberapa sikap yang mesti tumbuh dalam wartawan lingkungan, di antaranya:

19 1. Pro-keberlanjutan: artinya turut berkontribusi dalam mewujudkan lingkungan hidup yang mendukung kehidupan berkelanjutan, yaitu kondisi lingkungan yang bisa dinikmati generasi saat ini tanpa harus mengurangi kesempatan generasi mendatang.

2. Biosentris: berkontribusi dalam mewujudkan kesetaraan spesies, mengakui bahwa setiap spesies memiliki hak yang sama untuk berada di lingkungan hidup. Sehingga setiap perubahan yang hendak dilakukan mesti mempertimbangkan keunikan masing-masing spesies dan sistem di dalamnya.

3. Pro-keadilan lingkungan: berpihak kepada kaum yang lemah, agar bisa mendapat akses terhadap lingkungan yang bersih, aman, serta bebas dari berbagai dampak kerusakan lingkungan.

4. Profesional: memahami materi-materi tentang lingkungan, kaidah-kaidah jurnalistik, taat pada etika profesi serta tunduk pada hukum.

Terkait hal yang disebutkan di atas, ada beberapa persoalan yang cukup dilematis untuk dicermati. Pertama, jika jurnalisme lingkungan adalah jurnalisme yang ekosentris, berpihak pada lingkungan, lalu bagaimana jadinya bila prinsip tersebut berbenturan dengan kepentingan publik? Seperti banyaknya pembangunan jalan tol. Pada satu sisi hal itu merusak banyak ekosistem tetapi di sisi lain pembangunan jalan tol mempermudah arus transportasi, mengurangi kemacetan, dan menghemat BBM. Penggunaan benih transgenik dan pupuk pestisida berpotensi mengganggu keseimbangan alam, akan tetapi masih banyak negara yang tetap mengizinkan pemakaiannya demi meningkatkan produktivitas pertanian. Semua itu adalah upaya-upaya pemenuhan kepentingan publik.

Persoalan berikutnya, bila jurnalisme lingkungan adalah jurnalisme yang berpihak, lantas bagaimana ia mampu memenuhi kaidah-kaidah jurnalistik, bagaimana ia akan menegakkan etika pers yang mesti independen, tidak berpihak, imparsial, dan selalu proporsional?

20 I Gede Gusti Maha Adi, Direktur Eksekutif Society Of Indonesian Environmental, mengatakan jurnalisme lingkungan sebagai jurnalisme yang rawan terjebak dalam jurnalisme yang ke-aktivis-aktivisan (Sudibyo, 2014:127). Dampak negatifnya, menurut IGG Maha Adi, ialah kecenderungan penulisannya yang tidak lengkap, kurang cover both side, serta seringkali jump to conclusion (langsung menarik kesimpulan).

Semua persoalan tersebut menjadikan jurnalisme lingkungan semakin menantang untuk dipelajari. Sebab, jurnalisme lingkungan bagaimanapun caranya mesti tetap berpihak pada kelestarian alam namun tak mengabaikan standar-standar jurnalistik yang ada di samping tetap mempertimbangkan kemaslahatan publik. Untuk itu, seorang wartawan lingkungan mesti memegang kode etik wartawan, selain itu seorang wartawan lingkungan juga wajib menelusuri fakta hingga tuntas mengenai suatu problema kerusakan alam, bukan fakta yang setengah-setengah.

Para akademisi serta praktisi media dalam acara Asian Federation of Environmental Journalists pernah melakukan sebuah ratifikasi code of ethics pada tahun 1998, tepatnya dalam event 6th world congress of environmental journalism di Colombo, Sri Lanka2.Adapun poin-poin yang diratifikasi ialah sebagai berikut:

1. Jurnalis lingkungan wajib menginformasikan kepada khalayak mengenai hal-hal yang menjadi ancaman bagi lingkungan hidup mereka, baik itu yang berskala regional, nasional, maupun global.

2. Tugas para jurnalis lingkungan adalah untuk meningkatkan kesadaran publik akan pentingnya isu-isu lingkungan. Karena itu, jurnalis harus melaporkan dari beragam pandangan.

2Accountablejournalisme.org. “Asian Federation of Environmental Journalists Code of ethics.”https://accountablejournalism.org/ethics-codes/international-asian-federation-of-environmental-journalist. Diakses 20 Februari 2018.

21 3. Tugas jurnalis tidak hanya membangun kewaspadaan masyarakat atas berbagai macam hal yang dapat mengancam lingkungan mereka, akan tetapi juga turut membangun kesadaran berkelanjutan. Untuk itu, wartawan juga mesti berusaha menuliskan solusi-solusi atas permasalahan lingkungan.

4. Mampu memelihara jarak dari berbagai kepentingan politik baik itu dari perusahaan, pemerintah, politisi, maupun organisasi sosial dengan tidak memasukkan kepentingan mereka. Dengan kata lain, hal ini membuat seorang jurnalis mesti melaporkan berita dari berbagai sisi.

5. Jurnalis harus menghindar sejauh mungkin dari info-info yang sifatnya spekulatif dan komentar-komentar tendensius. Memastikan otentitas narasumber dari berbagai pihak mejadi penting.

6. Jurnalis lingkungan harus mengembangkan keadilan informasi, dalam artian membantu pihak siapapun untuk mendapat informasi tersebut. 7. Jurnalis lingkungan harus menghormati hak-hak individu yang terkena

dampak permasalahan lingkungan, misalnya korban bencana.

8. Jurnalis lingkungan tidak boleh ragu untuk mengoreksi apa saja yang ia yakini sebagai sebuah kebenaran.

Kehadiran jurnalisme lingkungan dalam kehidupan bangsa Indonesia memang sangat penting, sebab masih banyak tindakan-tindakan di negeri ini, baik oleh industri mauapun warga setempat, yang belum memperhatikan kelestarian lingkungan. Selain itu,kita tak bisa memungkiri bahwa terdapat pemahaman umum jika respon manusia terhadap lingkungan hidup bergantung pada sejauh mana pengetahuan dan pengalaman mereka tentang lingkungan hidup itu sendiri (Abrar, 1993:1).

c. Media Mainstream dan Media Alternatif

Sampai saat ini, di Indonesia belum ada penelitian yang secara tegas dan eksplisit mendefinisikan media arus utama atau mainstream dan media alternatif. Karenanya cukup susah menemukan literatur yang spesifik membahas karakteristik dua media tersebut.

22 Definisi serta karakteristik mengenai media mainstream dan media alternatif ini peneliti ambil dari riset Crhistian Fuhz dalam European Journal Of Social Theory yang diterbitkan tahun 2010 berjudul Alternative Media As Critical Media. Mengutip salah satu dari empat pendekatan definisi media alternatif Bailey, Cammaerts, dan Carpentier (Dalam Fuhz, 2010:176), peneliti menemukan beberapa karakteristik dari media mainstreamdan media alternatif. Pertama, media mainstream cenderung merupakan media yang memiliki skala penerbitan besar, bisa dimiliki negara atau bisa komersial, sangat hierarkis, serta mendominasi wacana sementara media alternatif sebagai media dengan skala penerbitan kecil, independen, non-hirarkis, dan tidak mendominasi wacana.

Dari segi isi dan bentuk, media mainstream mengarah pada isu apa yang dianggap populer dan menjual. Walaupun dorongan untuk mendapatkan keuntungan bisa berakibat pada kurangnya kualitas, kompleksitas, dan kecanggihan (Dalam hal ini Fuhz menyamakannya dengan jurnalisme kuning yang menyederhanakan kenyataan dan difokuskan pada contoh tunggal, emosionalisme, dan sensasionalisme).

Konten-konten dilaporkan seolah itu sesuatu yang penting, namun sebenarnya tidak terlalu penting bagi masyarakat luas. Bahkan seringkali konten semacam itu ditujukan untuk mengalihkan perhatian audiens dari konfrontasi dengan masalah sosial aktual dan penyebabnya. Sebaliknya media alternatif seringkali ditandai oleh bentuk dan konten kritis. Ada konten oposisi yang memberikan alternatif bagi perspektif dominan yang mencerminkan peraturan modal, patriarki, rasisme, seksisme, nasionalisme, dan sebagainya. Isi semacam itu mengungkapkan sudut pandang oposisi yang mempertanyakan semua bentuk heteronomi dan dominasi (Fuhz, 2010: 179).

Mengenai struktur organisasi, perusahaan media mainstream yang kapitalis hierarkis mendapat penghasilan dengan menjual konten ke khalayak dan atau dengan iklan. Ada kepemilikan pribadi atas perusahaan media dan ada struktur hierarkis dengan perbedaan kekuatan yang jelas, di mana hal tersebut

23 menciptakan aktor pembuat keputusan berpengaruh dan peran yang kurang berpengaruh serta pembagian kerja di dalam organisasi media.

Sedangkan media alternatif biasanya adalah organisasi media akar rumput. Maksudnya menggunakan sistem keputusan kolektif dan pengambilan keputusan konsensus oleh mereka yang bekerja dalam organisasi, tidak ada hierarki dan otoritas, distribusi kekuatan simetris, tidak ada kepemilikan pribadi. Media semacam ini tidak dibiayai oleh iklan atau penjualan komoditas, namun oleh sumbangan, pendanaan publik, sumber daya pribadi, atau bahkan tanpa strategi biaya sama sekali. Pembagian kerja terbagi antara peran penulis, perancang, penerbit, dan distributor, cenderung saling tumpang tindih (Fuhz, 2010:179).

Dalam media mainstream distribusi merupakan bentuk pemasaran yang memanfaatkan teknologi tinggi. Ada departemen distribusi, pemasaran dan hubungan masyarakat, spesialis dan strategi, departemen penjualan, iklan, dan kontrak distribusi. Dalam media alternatif, teknologi yang digunakan biasanya diutamakan yang lebih mudah dan murah. Strategi seperti anti hak cipta, akses gratis, atau konten terbuka memungkinkan konten dibagikan, disalin, didistribusikan, atau bahkan seringkali diubah secara terbuka.

Semua pengertian di atas barangkali tak sepenuhnya bisa digunakan untuk melihat konteks dari media mainstream dan media alternatif sepenuhnya. Tetapi paling tidak, berangkat dari pengertian-pengertian di atas kita bisa memahami orientasi dari kedua media tersebut, kecenderungan pemberitaannya, serta karakteristiknya.

F. Metode Penelitian

Dokumen terkait