• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KREDITUR

D. Permasalahan yang Dihadapi Debitur

2. Kerugian-kerugian yang Diderita Oleh Debitur

Perjanjian kredit, khususnya perjanjian Kredit Pemilikan Rumah bila ditinjau dari Undang-Undang atau peraturan perbankan itu sendiri dangat merugikan nasabah debitur, di mana dalam perjanjian kredit terdapat klausula yang secara tidak terinci ditentukan oleh pihak bank.

Bahwa perjanjian kredit Bank selalu merupakan perjanjian yang bersifat konsensuil yaitu yang jelas-jelas mencantumkan syarat-syarat tangguh atau klausula conditions precedents ialah fakta atau peristiwa yang harus atau terjadi terlebih dahulu setelah perjanjian ditanda tangani oleh para pihak sebelum bank berkewajiban untuk menyediakan kredit.86

Ada beberapa klausula-klausula yang terdapat dalam perjanjian kredit yang merupakan kontrak baku yang berkaitan dengan Kredit Pemilikan Rumah, yaitu:87

86 St. Remy Sjahdeini, op.cit., hal. 158. 87

1. Bank berwenang secara sepihak menentukan harga jual dari barang agunan dalam hal penjualan barang agunan karena kredit nasabah debitur macet.

2. Nasabah debitur diwajibkan untuk tunduk kepada segala petunjuk dan peraturan bank yang telah ada dan masih akan ditetapkan kemudian oleh bank.

3. Nasabah debitur harus memberi kuasa yang tidak dapat dicabut kembali kepada bank untuk melakukan segala tindakan yang dipandang perlu oleh bank.

4. Dicantumkan klausula-klausula eksemsi yang membebaskan bank dari tuntutan ganti rugi yang diderita oleh nasabah debitur sebagai akibat dari tindakan bank. 5. Kelalaian nasabah debitur dibuktikan secara sepihak oleh pihak bank semata-

mata.

6. Bunga bank ditetapkan dan dihitung secara merugikan nasabah debitur.

Bila dilihat dari ketentuan-ketentuan di atas, bahwa nasabah debitur yang terlibat dalam perjanjian kredit dengan bank secara formil atau sah secara hukum banyak mengalami kerugian-kerugian dalam perjanjian kredit yang telah disepakati bersama dengan bank, bilamana kita lihat bagi nasabah debitur yang menerima pengalihan hak kredit atau melanjutkan angsuran dari pihak debitur yang pertama yaitu dengan membuat akta pengikatan jual beli dan kuasa di mana oleh bank dianggap merupakan perjanjian di bawah tangan, hal ini akan sangat merugikan dan berpengaruh terhadap hak dari agunan kredit tersebut bila mengalami kredit macet, kerugian ini lebih diperjelas dengan dibuatnya Akta Pemberian Hak Tanggungan pada setiap perjanjian Kredit Pemilikan Rumah dengan bank, dapat dilihat pada Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan yang berbunyi sebagai berikut:

“Apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan Pertama mempunyai hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”.

Dengan dibuatnya Akta Pemberian Hak Tanggungan pada perjanjian Kredit Pemilikan Rumah, sehingga bila dilihat menurut Undang-Undang Hak Tanggungan, jika nasabah debitur telah dinyatakan wanprestasi ataupun dalam kondisi Non Performance Loan/NPL, maka pihak bank akan mengambil tindakan untuk melaksanakan apa yang telah ditetapkan dalam Pasal 6 Undang-Undang tersebut pasal inipun masih diperkuat dengan janji yang disebut dalam Pasal 11 ayat (2) huruf e Undang-Undang Hak Tanggungan yaitu janji bahwa pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek hak tanggungan apabila debitur cidera janji. Tata cara eksekusi tersebut adalah yang paling singkat karena kreditur tidak perlu mengajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan atau Ketua Pengadilan Negeri.

Dengan adanya ketentuan-ketentuan tersebut, maka kedudukan nasabah debitur semakin lemah sehingga untuk nasabah debitur yang menerima pengalihan hak kredit atau melanjutkan angsuran di mana pada bank namanya tidak terdaftar dan tidak mempunyai kewenangan sama sekali atas agunan yang menjadi obyek perjanjian kredit. Bila terjadi hal seperti ini, maka pihak bank masih tetap meminta kehadiran nasabah debitur yang pertama untuk menerima sisa pengembalian uang atau pembayaran bilamana agunan tersebut telah laku dijual, dalam kaitannya dengan

debitur penerima pengalihan hak tidak dapat menerima uang pengembalian tersebut karena dianggap tidak ada kuasa untuk itu.

Di samping kerugian-kerugian yang menyangkut agunan dan kepemilikan rumah yang tidak jelas pada bank, pihak penerima pengalihan hak kredit juga mengalami beberapa kerugian, yaitu:

1. Bilamana mengalami wanprestasi tidak dapat mengalihkan lagi baik secara di bawah tangan atau melalui alih debitur.

2. Tidak dapat melakukan penjualan agunan secara di bawah tangan.

3. Alternatif penyelesaian dengan bank bilamana telah disita atau masuk dalam Badan Urusan Piutang Negara/BUPN dan Badan Urusan Piutang Lelang/BUPN, masih harus menghadirkan nasabah debitur yang pertama untuk menerima pengembalian uangnya dari bank. Sedangkan pihak nasabah debitur pertama belum tentu diketahui tempat tinggalnya yang terakhir.

4. Tidak adanya jaminan kepemilikan rumah dari pihak bank sampai dengan kreditnya dilunasi.

5. Tdak dapat memanfaatkan asuransi yang berkaitan dengan agunan rumah tersebut.

6. Dengan lamanya kredit dan pelunasannya maka akan semakin naik atau tinggi pajak-pajak yang harus dibayar yaitu Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) karena harus menanggung pajak penjual dan pembeli.

Dari kerugian-kerugian tersebut diatas yang paling fatal yang diderita oleh nasabah debitur penerima pengalihan hak kredit adalah bilamana telah masuk dalam

kategori Non Performance Loan/NPL dari bank sehingga bank akan mengambil tindakan-tindakan sebagai berikut:

1. Menyita aset/bangunan.

2. Perintah pengosongan agunan dengan segera.

3. Dimasukkan dalam Bada Urusan Piutang Lelang Negara/BUPLN.

4. Tidak dapat mewakili menerima pembayaran untuk pengembalian sisa uang pelunasan dari bank bila agunan terjual karena tidak dibuat kuasa untuk itu.

E. Perlindungan Hukum Bagi Pihak Ketiga yang Beritikad Baik

Sistem pendaftaran tanah menganut sistem negatif maksudnya ialah bahwa pendaftaran hak-hak atas tanah yaitu Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan Hak Tanggungan merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya serta peralihan hak-hak tersebut. Hal ini membawa akibat bahwa sistem pendaftaran tersebut tidak menjamin bahwa seseorang yang namanya terdaftar adalah pemilik/pemegang hak atas tanah dalam arti materiil.

Dapat kita lihat pada bagan berikut:88

88 Cyntia P. Dewantoro, 43 Kasus Hukum & Solusi Pengalihan Hak Tanah & Properti,

(Jakarta: Gramedia, 2009), hal. 6.

Peralihan Hak Atas Tanah

Dibuat dengan Akta PPAT

Pendaftaran peralihan hak di Kantor BPN

Dari bagan di atas dapat dilihat prosedur hukum yang harus dilalui yaitu: dibuatnya akta di depan PPAT/pejabat yang berwenang dan dilanjutkan dengan proses pendaftaran peralihan hak di Kantor Pertanahan/BPN setempat atau yang berwenang.

Apabila ketiga langkah prosedur hukum tersebut tidak dilaksanakan memang tidak menjadikan peristiwa peralihan hak atas tanah menjadi tidak sah. Ketiga langkah prosedur hukum ini perlu dilakukan guna memberi perlindungan hukum kepemilikan hak atas tanah bagi si penerima peralihan hak atas tanah atau pihak ketiga. Bila pendaftaran peralihan itu tidak dilakukan inilah yang sering terjadi di lapangan, karena pihak ketiga tidak mengerti bagaimana prosedur yang harus dilakukan dalam hal oper kredit pemilikan rumah. Bank juga sebagai pemberi kreditur tetap hanya mau berurusan dengan pihak pertama/pemberi kredit.

Badan Pertanahan Nasional berdasarkan hal pengendalian pemilikan tanah yang semula diatur melalui mekanisme ijin pemindahan hak yang diatur dengan Peraturan Menteri Agraria Nomor 14 Tahun 1961, tentang Permintaan dan Pemberian Izin Pemindahan Hak Atas Tanah.89

Kemudian berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) Nomor SK 59/DDA/1970 tentang Penyederhanaan Peraturan Perizinan Hak Atas Tanah, izin diperlukan bagi penerima hak yang ternyata sudah memiliki lima bidang tanah atau lebih. Ketentuan ini kemudian dengan PMNA/KaBPN Nomor 6 Tahun 1998, tentang

89 Muctar Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah, (Jakarta: Republika,

Pemberian Hak Atas Tanah untuk Rumah Tinggal, diperluas obyeknya untuk tanah perumahan.

Ketentuan izin pemindahan hak tanah kemudian disempurnakan melalui PMNA/KaBPN No.3/1997, yang diatur dalam Pasal 99 bahwa mekanisme pengendalian pemilikan tanah tidak lagi melaui izin pemindahan hak dari pejabat yang berwenang (BPN) tetapi melalui pernyataan penerima hak sebelum pembuatan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang menyatakan dengan pemindahan hak tersebut tidak akan melanggar ketentuan batas maksimum pemilikan tanah dana ketentuan absentee. Nasabah debitur dan pihak bank pemberi kredit, dan yang dimaksud dengan konsumen itu sendiri adalah nasabah debitur itu sendiri yang terikat dengan perjanjian kredit.

Maka yang sangat berhubungan dengan perjanjian Kredit Pemilikan Rumah yaitu bahwa setiap perjanjian Kredit Pemilikan Rumah selalu atau telah menjadi kewajiban dengan dibuatnya akta pemberian Hak Tanggungan oleh pihak bank pemberi kredit.

Sementara dari Undang-Undang khususnya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bentuk perlindungan hukum yang berkaitan dengan asas-asas dalam hukum perjanjian Indonesia, yaitu antara lain asas ketertiban umum, asas kepatutan dan asas itikad baik sebagaimana tercantum dalam Pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi sebagai berikut:90

90 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, op.cit, Pasal 1339

“Suatu Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”.

Dengan berlakunya UUPA, proses terjadinya peralihan hak milik yang sudah dibukukan sebagai berikut:

1. Fase pertama: fase yang mendahului akta PPAT, berupa perjanjian konsensuil, yang merupakan causa (title) dari penyerahan hak.

2. Fase kedua: Akta PPAT, pihak penjual dan pembeli harus menuangkan kehendak tentang penyerahan itu dalam akta PPAT.

3. Akta PPAT semacam transport dan hal tanah kekuatan sebagi alat bukti untuk dapat melakukan pendaftaran.

4. Fase ketiga: Pendaftaran di Kantor Pertanahan.91

Jual beli KPR yang dialihkan pada pihak ketiga pada saat ini belum ada perlindungan hukum bagi pihak ketiga yang beritikad baik. Maksudnya di sini, apabila jual beli KPR yang dialihkan kepada pihak ketiga hanya berdasarkan selembar kwitansi saja, maka perlindungan hukum belum dapat diberikan pada mereka. Padahal jual beli yang terjadi antar mereka bila dilihat dari akibat hukum perjanjian, yang memenuhi keabsahan memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak karena:

91 Mariam Darus Badrulzaman, Bab-bab Tentang Hypotheek, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991), hal. 34

1. Para pihak terikat pada isi perjanjian dan juga berdasarkan kepatutan, kebiasaan dan Undang-Undang (Pasal 1338, 1339 dan 1340 KUH Perdata).

2. Perjanjian dilaksanakan dengan itikad baik (good faith) sesuai Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata.

3. Kreditur dapat memintakan pembatalan perbuatan debitur yang merugikan kreditur (action pauliana, Pasal 1341 KUH Perdata).

Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung tentang Jual beli, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 350K/Sip/1968 menyatakan “Jual beli adalah bersifat obligatoir sedangkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan baru berpindah bila barang tersebut telah diserahkan secara yuridis.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, jika ditinjau dari sistem UUPA dan sejarah pembentukannya, maka putusan Mahkamah Agung tersebut dapat dipertanggungjawabkan.92

Jadi bila terjadi jual beli KPR yang kemudian dialihkan kepada pihak ketiga seharusnya perlindungan hukum itu telah terjadi berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung. Hal-hal yang terjadi pada saat pengambilan sertifikat di bank bagi orang yang awam tentang proses alih debitur memang sangat disesalkan, karena ketidaktahuan, mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena bank tidak bisa memberikan sertifikat Hak Milik yang diagunkan di bank, karena pihak pertama tidak diketahui

92 Mariam Darus Badrulzaman, Beberapa Masalah Hukum dalam Perjanjian Kredit Bank dengan Jaminan Hypotheek Serta Hambatannya

dalam Praktek di Medan, (Bandung: Alumni, 1978), hal . 118.

di mana keberadaannya, di mana bank hanya mau berurusan dengan pihak pertama yang terikat perjanjian KPR dengan bank, baik itu di BTN maupun Bank X.

Guidelines yang sebaiknya diperhatikan oleh pemberi pinjaman/bank sebelum pemberi pinjaman/bank menghentikan izin tarik dan menagih pinjaman kredit dari penerima pinjaman/nasabah debitur antara lain sebagai berikut:93

1. Penerima pinjaman hendaknya tetap diberitahu tentang maksud-maksud yang sebenarnya dari pemberi pinjaman akan menghentikan atau terus memberikan kredit.

2. Berikanlah pemberitahuan tertulis yang memadai kepada penerima pinjaman sebelum pinjamannya dinyatakan sampai pada batas waktunya agar supaya penerima pinjaman mempunyai kesempatan yang layak untuk mendapatkan alternatif pembiayaan yang lain.

3. Hindarilah melakukan ancaman-ancaman mengenai terjadinya default agar supaya penerima pinjaman bersedia menuruti petunjuk-petunjuk pemberi pinjaman.

Hal-hal tersebut adalah salah satu tindakan bank kepada nasabah debitur bilamana nasabah debitur mengalami tanda-tanda wanprestasi atau kredit macet. Sehingga perlindungan ini mencegah akibat yang lebih buruk lagi dari nasabah debitur. Sementara perlindungan hukum dalam hal ini dalam Kredit Pemilikan Rumah khususnya yang menerima pengalihan hak/oper kredit untuk melanjutkan angsuran kredit rumah pada obyek perjanjian yang dilakukan dengan pengikatan jual

93 Sutan Remy Sjadeini, op.cit., hal. 10

beli dan kuasa atau perjanjian di bawah tangan menurut bank yaitu bila dilihat dari kekuatan akta dibuat dihadapan Notaris.

a. Kekuatan Pembuktian Lahiriah (Uitwendege Bewijskracht)

Yaitu maksudnya bahwa kemampuan dari akta pengikatan jual beli dan kuasa yang dibuat dihadapan Notaris membuktikan sebagai akta otentik (kemampuan mana menurut Pasal 1875 KUH Perdata tidak diberikan kepada akta di bawah tangan, hal ini berhubungan erat dengan perjanjian pengikatan jual beli dan kuasa walaupun menurut pendapat pihak bank bahwa perjanjian tersebut dianggap perjanjian di bawah tangan, akan tetapi menurut ketentuan Undang-Undang Akta Pengikatan Jual Beli dan Kuasa tersebut adalah merupakan suatu akta yang otentik atau yang membuktikan sendiri keabsahannya.

b. Kekuatan Pembuktian Formal (Formele Bewijskracht)

Bahwa apa yang tercantum dalam akta itu adalah merupakan hal yang benar/berlaku sebagai hal yang benar, isinya mempunyai kepastian sebagai yang sebenarnya, sehingga akta otentik dapat menjadi bukti yang sah diantara pihak dan ahli waris serta para penerima hak mereka, dengan pengertian bahwa:

1. Akta itu, bila dipergunakan di muka pengadilan adalah cukup dan bahwa hakim tidak diperkenankan untuk meminta tanda pembuktian lainnya di samping itu. (Dalam hal akta otentik, Undang-Undang mengikat hakim pada alat bukti itu). 2. Pembuktian sebaliknya senantiasa diperkenankan dengan alat-alat pembuktian

Di dalam pengikatan jual beli dan kuasa itu sendiri akta yang dibuat oleh Notaris memberikan perlindungan dan kepastian hukum akan akibat dari yang telah dilakukannya pengikatan jual beli dan kuasa tersebut. Dengan demikian tidak akan mempersulit nasabah debitur yang menerima pelimpahan kewajiban angsuran kredit yang dalam salah satu pasalnya berbunyi:94

“Bilamana pihak pertama lupa dan (atau berhalangan untuk melaksanakan jual beli sebagimana mestinya dihadapan pembuat akta tanah yang berwenang, sedangkan seluruh harga tanah dan bangunan atas nama pihak pertama telah dilunasi, demikian pula dokumen-dokumen asli mengenai tanah dan bagunan tersebut diantaranya sertifikat tanda bukti hak atas tanahnya telah diterima oleh dan dari Bank Tabungan Negara, maka pihak pertama baik sekarang ini juga untuk nanti pada waktunya dengan ini memberi kuasa kepada pihak kedua dan/atau baik bersama-sama maupun masing-masing;

---KHUSUS--- - Untuk dan atas nama pihak pertama, menjual, mengoper/memindahkan dan/atau melepaskan hak atas tanah dan bangunan tersebut kepada pihak kedua sendiri, dengan harga dan ketentuan-ketentuan serta syarat-syarat atau perjanjian-perjanjian sebagaimana lazimnya untuk suatu jual beli tanah dan bangunan serta untuk keperluan tersebut yang diberi kuasa berhak untuk menghadap kepada siapapun dan dimanapun juga, diantaranya dan terutama menghadap kepada Pejabat Pembuat Akte Tanah yang berwenang dan/atau Notaris, menerima serta memberikan keterangan- keterangan yang membuat, minta dibuatkan dan menanda tangani akta jual belinya dan akta-akta maupun surat-surat lainnya yang diperlukan serta melakukan segala tindakan apapun juga yang dianggap baik dan berguna untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut di atas tidak ada tindakan yang dikecualikan.

Maksud dan ketentuan dari pasal tersebut adala memberi jaminan dan kepastian kepada nasabah debitur yang menerima pengalihan hak kredit dengan cara melanjutkan angsuran bilamana angsurannya telah lunas atau dilunasi lebih cepat dan sertifikat tanda bukti haknya telah diambil dari pihak bank, maka dengan sendirinya

94 Akta Pengikatan Jual Beli dan Kuasa, Pasal 8

tanpa harus menghadirkan pihak pertama lagi telah dapat melakukan jual beli dihadapan pejabat yang berwenang dalam hal ini Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang dikehendaki, sehingga dengan adanya pengikatan jual beli dan kuasa tersebut pihak penerima pengalihan hak tersebut tidak akan mendapat kesulitan untuk proses balik nama sertifikat.

Dari hasil penelitian di lapangan, dengan adanya surat kuasa jual beli dan kuasa mengambil sertifikat yang dibuat dihadapan notaris, maka pihak ketiga bisa mengambil sertifikat Hak Milik yang diagunkan di bank. Tetapi bila hanya berdasarkan kwitansi saja, hal ini tidak bisa dilakukan karena tidak memberikan kepastian hukum. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari dan demi memberi perlindungan hukum bagi pihak ketiga, pengalihan hak/oper kredit untuk KPR sebaiknya bank lebih membuka diri dan tidak terlalu kaku pada peraturan yang ada sehingga pihak ketiga mau melakukan pengalihan hak dengan sepengetahuan bank dan tidak melakukan oper kredit di bawah tangan.

Dokumen terkait