• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup

Dalam dokumen Draf RPPLH Nasional (Halaman 36-39)

DAYA DUKUNG DAN DAYA TAMPUNG LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL

B. Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup

Dari waktu ke waktu, pemakaian energi fosil di Indonesia menunjukan tren yang terus meningkat di semua sektor. Selama 1990 – 2000 meningkatnya konsumsi energi pada sektor domestik terus menunjukkan peningkatan meskipun tidak terlalu besar dibandingkan sektor industri dan transportasi. Transportasi menjadi salah satu sektor yang paling banyak menggunakan bahan bakar fosil. Sektor ini terus menunjukkan tren naik di semua jenis transportasi : darat, udara dan air (SLHI 2010). Peningkatan terbesar terjadi pada transportasi darat, dengan kenaikan total kendaraan bermotor berkisar 10 persen (BPS, 2012). Sepeda motor merupakan merupakan moda transportasi darat yang mengalami peningkatan paling tinggi dan terjadi merata hampir di seluruh provinsi.

Dampak dari pemakaian energi fosil sangat besar pengaruhnya pada kualitas udara. Pencemar udara yang umum dihasilkan dari proses pembakaran, termasuk bahan bakar fosil, adalah Nitrogen oksida (NOx), Karbon monoksida (CO), Sulfur dioksida (SO2), debu diameter 10 mikron dan 2,5 mikron ke

bawah (PM10 dan PM2,5), dan hidrokarbon (HC). Proses-proses lain dapat

menghasilkan pencemar, seperti H2S dan NH3, logam berat, aerosol dan gas

sekunder, seperti ozon (O3).

Secara global, pencemaran air berasal dari limbah cair domestik dan industri yang tidak dikelola, sampah domestik, pemakaian air berlebihan, dan penataan fungsi lahan yang tidak baik. Hal tersebut kemudian diperparah dengan masih banyaknya masyarakat (30 persen) yang masih buang air besar sembarangan di badan air. Setiap hari sekitar 14.000 ton tinja manusia belum dikelola dengan benar sehingga berdampak pada menurunnya kualitas air. Selain hal tersebut, kondisi ketersediaan air juga terganggu. Alih fungsi lahan pada daerah-daerah resapan air meningkatkan aliran permukaan (run-off) di kawasan hilir, yang menyebabkan meningkatnya potensi banjir.

Hasil pemantauan 2008 – 2012 menunjukkan kualitas air sungai cenderung menurun, terutama di Pulau Jawa dan Sumatera, seperti terlihat pada gambar 2.23. Sumber utama pencemar berasal dari aktivitas domestik, yang terlihat dari parameter organik (proporsi BOD/COD dan kandungan Coliform)

terutama di Maluku, Sulawesi Tenggara dan Sumatera Utara. Kualitas air sungai sebagian besar provinsi memiliki nilai kandungan organik melebihi baku mutu (diwakili parameter COD), yaitu sebesar 25 mg/l (PP Nomor 82/2001). Nilai organik tertinggi terpantau di Jawa Barat yang diperkirakan berkaitan dengan tingkat sanitasi rendah. Khusus Pulau Jawa, terlihat ada tendensi menurunnya kualitas air dari perindustrian. Sumber pencemar dari pertanian belum bisa diidentifikasi karena monitoring rutin pencemar spesifik sektor ini belum dilakukan.

Selanjutnya, pemantauan kualitas air di 15 danau utama pada 2011 menunjukkan, sebagian besar masuk dalam kategori eutrof, kondisi terestrial daerah tangkapan air terancam, dan kondisi sempadan danau terancam (tabel 2.2.) Pada 2012, pemantauan di lima danau, terdapat dua danau yaitu Danau Batur dan Danau Singkarak yang menunjukkan sedikit perbaikan.

Eutrofikasi disebabkan peningkatan kadar unsur hara, terutama Nitrogen dan Fosfor pada air danau ataupun waduk. Kondisi Oligotrof adalah status trofik air danau atau waduk yang mengandung kadar unsur hara rendah. Status ini menunjukkan kualitas air masih bersifat alamiah, belum tercemar Nitrogen dan Fosfor.

Ancaman pencemaran juga mengincar sumber daya laut. Beberapa wilayah perairan Indonesia ternyata juga rentan terhadap pencemaran minyak. Dalam kurun 1997 – 2012 telah terjadi 36 kasus tumpahan minyak, yang berdampak pada sumber daya hayati dan non hayati laut (BPS, 2012). Pada 2012, pemantauan kualitas air laut menggunakan parameter baku mutu air laut (BMAL) untuk kualitas pelabuhan dan wisata bahari (Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004) di beberapa lokasi pelabuhan dan wisata bahari seperti Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta; Pelabuhan Ciwandan, Banten; Pelabuhan Gorontalo dan Parigi, Teluk Tomini menunjukkan terdapat beberapa parameter yang melebihi baku mutu, yaitu kecerahan (BMAL > 3meter). Parameter amoniak yang melampaui baku mutu terdeteksi di Pelabuhan Tanjung Priok, yang dekat dengan industri, pelabuhan peti kemas, dan pemecah gelombang. Sementara di Pelabuhan Parigi , parameter amoniak ditemukan di outlet Sungai Olaya. Parameter Total Padatan Tersuspensi (TSS) di lokasi wisata Parigi, Teluk Tomini, melebihi baku mutu, yaitu 24 mg/L. Kandungan Oksigen Terlarut (DO) diperkampungan Bajo di Pahuwato, Gorontalo, berada di luar baku mutu, sedangkan lokasi lainnya

masuk dalam baku mutu. Kandungan Minyak Lemak di laut lepas dekat perkampungan Bajo dan wisata Parigi terdeteksi melebihi baku mutu.

Hutan tropis merupakan ekosistem yang kaya akan keanekaragaman hayati, berperan dalam penyediaan jasa lingkungan dan tempat bergantung masyarakat di yang hidup di sekitar hutan. Selain itu, hutan tropis merupakan ekosistem yang menyimpan karbon terrestrial dalam jumlah yang sangat besar. Deforestasi dan degradasi hutan akan menyebabkan pelepasan emisi karbon dioksida ke atmosfer, sehingga mempengaruhi iklim secara global. Pada tahun 2008, emisi dunia dari proses deforestasi dan degradasi hutan mencapai 4,4 Giga ton CO atau 11% dari total emisi emisi anthropogenik (UNEP, 2012), karena itu perlindungan hutan tropis menjadi agenda internasional dalam rangka mitigasi perubahan iklim melalui mekanisme Reduction Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD+). REDD+ telah disepakati dalam Conference On Parties 16 (COP 16) di Cancun, tahun 2010. Indonesia dan Brasil berperan penting dalam upaya mitigasi REDD+ karena memiliki hutan yang sangat luas.

Dari penafsiran Citra Satelit Landsat 7 ETM+, 2000 - 2011, luas tutupan hutan mengalami penurunan, dari 104.747.566 hektar pada 2000, menjadi 98.242.002 hektar pada 2011 (Gambar 2.33), atau terjadi deforestasi seluas 6,5 juta hektar selama 11 tahun.

Dinamika deforestasi terkait dengan berbagai faktor, baik secara langsung (agent) maupun tidak langsung (driving force) (Sunderlin, W.D. & Resosudarmo, 1996). Faktor penyebab ada dua: langsung dan tidak langsung. Faktor langsung berarti pelaku dan penyebab secara langsung mengubah tutupan hutan menjadi peruntukan lain, misalnya kebakaran hutan, ekspansi lahan pertanian, perumahan dan pertambangan. Faktor secara tidak langsung berupa kondisi sosial, ekonomi dan politik pada skala nasional, regional maupun global.

Mencermati perubahan tutupan hutan selama 2000 – 2011, sebenarnya sejak 2003 laju deforestasi semakin mengecil. Laju deforestasi per tahun pada periode 2000 – 2003: 344.657 hektar (0,33 persen); 2003 – 2006: 808.754 hektar (0,78 persen); 2006 – 2009: 747.754 hektar (0,74 persen); dan 2009 – 2011: 401.253 hektar (0,41 persen).

Sebelum 2003 adalah masa transisi otonomi yang menyebabkan ketidakpastian hukum dalam kasus penyerobotan kawasan hutan. Selama

transisi (1999-2001), terjadi 205 kasus penyerobotan kawasan hutan; pada 2002-2003 kasus menurun menjadi 66 (Wulan, et al. 2004). Prasetyo (2008) juga menemukan kasus perambahan kawasan konservasi yang lebih luas pada masa transisi itu dibandingkan periode sebelum otonomi.

Analisis lebih rinci menunjukkan tutupan hutan pada 2000 seluas 102 juta hektar, 31,33 persen diantaranya telah berubah menjadi lahan tidak produktif; 10,34 persen dibuka untuk pertanian; dan 2,69 persen untuk perkebunan. Sedangkan hutan mangrove sebagian besar masih utuh, hanya sebagian kecil dieksploitasi.

Beban pencemaran dan kerusakan tutupan hutan pada akhirnya mengancam keragaman keanekaragaman hayati Indonesia. Pembangunan ekonomi yang dilaksanakan dengan tidak memperhatikan kondisi lingkungan akan mendorong laju kepunahan dan tingkat keterancaman keanekaragaman hayati, karena itu perlindungan terhadap jenis flora dan fauna terancam menjadi prioritas pemerintah.

C. Ekoregion, Jasa Lingkungan Hidup, Daya Dukung dan Daya Tampung

Dalam dokumen Draf RPPLH Nasional (Halaman 36-39)

Dokumen terkait