• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tantangan Lingkungan Hidup 30 Tahun ke Depan

Dalam dokumen Draf RPPLH Nasional (Halaman 71-75)

DAYA DUKUNG DAN DAYA TAMPUNG LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL

E. Tantangan Lingkungan Hidup 30 Tahun ke Depan

Pada tahun 2013, Bappenas bersama Badan Pusat Statistik telah melakukan kajian terkait pertumbuhan penduduk Indonesia yang salah satunya menghasilkan data proyeksi pertumbuhan dan jumlah penduduk Indonesia sampai tahun 2035. Meskipun ada tren penurunan laju pertumbuhan, akan tetapi jumlah penduduk Indonesia diperkirakan masih akan bertambah sangat besar, yaitu sekitar 50 juta jiwa pada tahun 2035 dibandingkan jumlah penduduk tahun 2015. Berdasarkan data yang sama, konsentrasi penduduk Indonesia masih akan berpusat di Jawa dan Sumatera akan tetapi ada laju pertumbuhan penduduk yang signifikan di Indonesia bagian timur. Pertambahan penduduk di Maluku, Papua, dan Kalimantan diproyeksikan akan bertambah antara 32% - 36% pada tahun 2035.

Disamping pertumbuhan penduduk, pembangunan Indonesia 20 – 30 tahun ke depan masih akan diwarnai oleh percepatan pembangunan ekonomi yang salah satu tujuannya adalah pemerataan pembangunan antar daerah melalui pendekatan sektoral dan regional, membangun pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, pembangunan konektivitas dan pengembangan SDM melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta inovasi. Akan terjadi mobilisasi sumberdaya alam untuk mendukung dan memastikan keberhasilan program-program yang dicanangkan, terutama yang berkaitan dengan sumber energi, bahan baku, dan lahan.

Tantangan terbesar dalam pembangunan lingkungan adalah bagaimana agar lingkungan hidup mampu mempertahankan fungsi dan jasa lingkungan alaminya untuk mendukung kehidupan manusia secara berkelanjutan. Setidaknya ada 3 (Tiga) Jasa Lingkungan yang bernilai sangat penting dan saling terkait dalam mendukung kehidupan, yaitu Jasa Penyedia Pangan, Jasa Penyimpan Air, dan Jasa Regulator Air.

Hal yang terkait langsung dengan meningkatnya jumlah penduduk adalah kebutuhan akan pangan yang juga semakin meningkat. Kestabilan dan keberlangsungan negara akan sangat bergantung pada ketahanan pangannya. Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/ atau pembuatan makanan atau minuman2 . Berdasarkan

Peta Indeks Ketahanan dan Kerawanan Pangan Nasional Tahun 2015 dari Kementerian Pertanian, secara umum ketahan pangan nasional masih dalam kondisi terjaga, kecuali di sebagian besar Papua, sebagian Maluku dan Nusa Tenggara Timur.

Bappenas telah melakukan studi tentang pangan dan pertanian yang komperhensif. Studi ini telah membahas isu penting pembangunan pertanian yang mencakup: harga komoditas pertanian yang berfluktuasi dan terus meningkat, defisit beberapa jenis komoditas terutama kedelai dan daging sapi, hambatan peningkatan produksi, pembiayaan pertanian, pembibitan dan pembenihan, konsumsi pangan dan isu kesejahteraan petani. Studi ini membuat analisis mendalam tentang: padi/beras, jagung, kedelai, gula, daging sapi, cabai, bawang merah dan kelapa sawit. Permasalahan lingkungan tidak dibahas secara khusus tetapi, tetapi eksplisit dalam pembahasan komoditi pertanian. Ada tiga permasalahan yang diungkapkan yaitu: alih fungsi lahan pertanian yang mendapat tekanan urbanisasi, kerusakan sistem irigasi karena kelemahan dalam pengelolaan sumberdaya air, dan variabilitas iklim.

Namun demikian, alih fungsi lahan pertanian pertanian berkembang terus karena beberapa hal sebagai berikut:

a. Permintaan lahan untuk pemukiman, perkembangan industri, pambangunan infrastruktur (jalan raya/toll, bandara, dll. );

b. Kebijakan alih fungsi lahan tidak tegas dan tidak konsisten (kontradiktif, cakupan terbatas dan perencanaan tataguna tanah tidak konsisten), peraturan perundangan masih mengandung kelemahan, pandangan Pemda tentang alih fungsi lahan berbeda-beda, target konkrit masing- masing lembaga tidak tegas, dan otonomi daerah;

c. Efek domino pembangunan jala raya/toll; d. Fragmentasi pemilikan lahan; dan

e. Keuntungan relatif dan risiko usahatani.

Selain tekanan tersebut, produk pertanian utama nasional masih sangat mengandalkan Padi yang cenderung fluktuatif pasokannya dengan sebaran daerah penghasil produk yang tidak merata, memerlukan teknologi dan inovasi yang makin beragam dimasa yang akan datang. Produsen pertanian tidak mampu merespon permintaan pasar karena adanya keterbatasan infrastruktur yang menghubungkan kota dengan sentra produksi, lemahnya kelembagaan petani dan kecenderungan petani bekerja secara individualistik (kepercayaan kepada orang lain rendah), buruknya kelembagaan pasar (sistem mafia) dan tingginya biaya transaksi; dan rendahnya aktivitas penciptaan nilai tambah dan pengolahan produk primer di pedesaan. Disamping itu, sebagian besar padi diproduksi oleh petani yang berstatus sebagai petani penggarap dengan luas garapan lahannya yang kecil-kecil (< 0,50 ha). Bagi petani kecil, peranan sawah sebagai sumber pendapatan kurang memadai, sehingga mereka menjadikan pertanian sawah sebagai usaha sambilan. Karena sebagai usaha sambilan, maka intensitas pemeliharaan menjadi kurang, dan mereka banyak bekerja di luar usaha tani padi sebagai buruh tani, tukang/kuli bangunan, dan pekerjaan kasar lainnya dengan upah rendah. Teknologi baru yang diintroduksi tidak diadopsi secara penuh karena kondisi diatas.

UNEP pada tahun 2012 menyatakan bahwa trend perubahan iklim global yang terjadi harus menjadi bahan evaluasi dalam persiapan dan kesiapan sektor pertanian untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional. Peningkatan suhu laut dan fenomena El-nino dan La-nina menyebabkan terjadinya perubahan kondisi lingkungan yang mempengaruhi curah hujan bulanan (Gambar 2.30 dan Gambar 2.31) sehingga mengganggu pola dan produksi hasil pertanian.

Selain pangan, kondisi ketersediaan air nasional juga mengalami ancaman dari berkurangnya daerah-daerah resapan air dan berubah fungsinya daerah-

daerah penyimpan air. Hal tersebut dapat dilihat secara jelas di Pulau Jawa dan Sumatera yang daya dukung airnya jauh menurun.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, tantangan lingkungan hidup untuk dapat tetap mempertahankan daya dukung dan daya tampungnya dengan baik sangatlah besar. Disamping itu, dorongan dan komitmen bangsa-bangsa di dunia terkait upaya-upaya mengatasi perubahan iklim yang bergulir sangat cepat, menjadikan usaha-usaha perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup nasional menjadi lebih berat lagi.

Bab III

PERMASALAHAN, INDIKATOR, DAN TARGET

Dalam dokumen Draf RPPLH Nasional (Halaman 71-75)

Dokumen terkait