• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

2.5 Kesantunan: Prinsip dan Maksim

Prinsip sopan santun merupakan komplemen yang perlu dalam menjelaskan implikatur percakapan dengan lebih baik. Untuk menjalin hubungan yang baik dan demi tercapainya tujuan dalam berkomunikasi perlu mempertimbangkan segi sopan- santun berbahasa. Sopan-santun dalam berkomunikasi dapat dipandang sebagai usaha untuk menghindari konflik antara penutur dengan mitrabicara. Dalam hal ini, kesopansantunan merupakan (1) hasil pelaksanaan kaidah, yaitu kaidah sosial, dan (2) hasil pemilihan strategi komunikasi.

Konsep strategi kesantunan yang dikembangkan oleh Brown dan Levinson diadaptasi dari konsep face yang diperkenalkan oleh seorang sosiolog bernama Erving Goffman (1956) (Renkema 2004: 24-25). Face merupakan gambaran citra diri dalam atribut sosial yang telah disepakati. Dengan kata lain, face dapat diartikan kehormatan, harga diri (self-esteem), dan citra diri di depan umum (public self-image) (dalam Peccei, 1999: 64). Menurut Goffman (1956) setiap partisipan memiliki dua kebutuhan dalam setiap proses sosial: yaitu kebutuhan untuk diapresiasi dan kebutuhan untuk bebas (tidak terganggu). Kebutuhan yang pertama disebut positive face, sedangkan yang kedua disebut negative face.

Berdasarkan konsep face yang dikemukakan oleh Goffman ini, Brown dan Levinson (1978) membangun teori tentang hubungan intensitas kesantunan yang terrealisasi dalam bahasa (Renkema 2004: 25). Intensitas ini diekspresikan dengan bobot atau weight (W) yang mencakup tiga parameter sosial, yaitu: pertama, tingkat gangguan atau rate of imposition (R), berkenaan dengan bobot mutlak (absolute weight) tindakan tertentu dalam kebudayaan tertentu, misalnya permintaan "May I borrow your car?" mempunyai bobot yang berbeda dengan permintaan "May I borrow your pen?"; kedua, jarak sosial atau social distance (D) antara pembicara dengan lawan bicaranya, misalnya bobot kedua permintaan di atas tidak terlalu besar jika kedua ungkapan tersebut ditujukan kepada saudara sendiri; dan ketiga, kekuasaan atau power (P) yang dimiliki lawan bicara (Renkema 2004:26). Peerhatikan ilustrasi berikut.

1. Maaf, Pak, boleh tanya? 2. Numpang tanya, Mas?

Dalam contoh di atas terlihat jelas, ujaran (1) mungkin diucapkan pembicara yang secara sosial lebih rendah dari lawan bicaranya, misalnya mahasiswa kepada dosen atau yang muda kepada yang tua; sedangkan ujaran (2) mungkin diucapkan kepada orang yang secara sosial jaraknya lebih dekat.

Seseorang yang mengetahui yang mengetahui dan menyadari jarak atau kedekatannya kepada mitrabicara dan menggunakan bahasa dengan baik sesuai dengan jarak atau kedekatannya itu disebut menggunakan bahasa secara santun atau

melakukan kesantunan bahasa. Dengan prinsip pengetahuan atau kesadaran tentang jarak dan kedekatan itu, jika pembicara dengan mitra bicara memiliki jarak dan memakai bahasa dengan prinsip kedekatan akan menimbulkan salah pengertian dan melanggar kesantunan bahasa. Demikian juga sebaliknya, orang yang dekat dengan mitrabicara yang menggunakan bahasa yang berindikasi jarak akan merusak kesantunan pemakaian bahasa karena mitrabicara akan merasa bahwa pembicara berupaya menjauhkan diri daripadanya. Hal ini memberi kesan bahwa mitrabicara tidak santun dalam berkomunikasi (Saragih, 2008:17).

Kesantunan yang beorientasi kepada jarak sosial antarpembicara akan menimbulkan sikap hormat (respect) dan kesantunan yang berorientasi untuk menjaga muka atau marwah karena kedekatan disebut akrab, persahabatan (friendliness) dan solidaritas (solidarity). Tindak ancaman terhadap muka atau marwah (face threatening act) adalah ucapan yang mengancam penghargaan atau pengharapan seseorang atas muka atau marwahnya. Tindak penyelamatan muka (face saving act) merupakan ucapan yang menyelamatkan atau mengurangi ancaman terhadap marwah seseorang. Sebagai contoh seorang ayah melakukan tindak ancaman marwah sedang si ibu melakukan tindak penyelamatan marwah ketika salah seorang anak tetangga mereka memukuli anak lelakinya, seperti dalam percakapan berikut. Ayah : Biar ku beri pelajaran anak bandel itu. Seenaknya saja memukuli anak

orang.

Ibu : Mungkin, lebih baik berbicara saja dahulu dengan orang tuanya. Biar mereka yang menasehatinya.

Tindak peneyelamatan muka yang berorientasi kepada muka atau marwah negative akan menghasilkan atau berasosiasi dengan ucapan hormat, ucapan maaf dan pengakuan atas keunikan atau kekuasaan seseorang. Kesantunan yang dilakukan dengan orientasi ini disebut kesantunan negatif (negative politeness). Keunikan atau kekuasaan seseorang dapat terjadi oleh beberapa faktor, seperti umur, keturunan, status sosial, pengetahuan, sex, asal darah, dan lain-lain. Tindak penyelamatan muka atau marwah yang berorientasi ke muka atau marwah positif menghasilkan ucapan solidaritas, kesamaan nasib dan tujuan, keakraban. Kesamaan atau solidaritas ini disebut kesantunan positif (positive politeness).

Realisasi aspek bahasa yang digunakan untuk strategi kesantunan positif adalah bahasa formal, dialek, slang, penggunaan gelar, keterlibatan kita, menyatakan sesuatu secara tidak langsung. Sedangkan aspek bahasa yang digunakan untuk strategi kesantunan negatif adalah hindari ucapan slang, penggunaan gelar, hindari bahasa informal, nirpersona, keterlibatan orang ketiga, dan dinyatakan dengan tidak langsung (Saragih, 2008: 17). Seperti dalam contoh berikut.

Strategi Kesantunan Positif : Mari kita pergi ke pesta pernikahan anak Bu Tuti. Strategi Kesantunan Negatif : Bapak diundang ke pesta pernikahan anak Bu Tuti.

Anda diundang ke pesta pernikahan anak Bu Tuti. Dari contoh tersebut diketahui bahwa aspek bahasa yang digunakan untuk kesantunan positif adalah dengam menggunakan bahasa yang formal dan menyatakan sesuatu

dengan tidak langsung. Berbeda halnya dengan kesantunan negatif yang menggunakan aspek bahasa yang informal serta dinyatakan secara langsung.

Dalam hubungannya dengan kesopansantunan, R. Lakoff mengusulkan tiga kaidah sopan-santun (seperti dituturkan oleh Gunarwan, 1993: 8) yaitu (1) formalitas, artinya jangan menyela, tetaplah bersabar, dan jangan memaksa, (2) kebebasan pilihan (keluwesan), artinya buatlah sedemikian rupa sehingga mitrabicara Anda dapat menentukan pilihan dari berbagai tindakan, (3) kesekawanan (kesederajatan), artinya bertindaklah seolah-olah antara Anda dengan mitrabicara Anda sama atau sederajat, dan buatlah agar mitrabicara Anda merasa senang. Dengan demikian, sebuah ujaran akan dinilai santun apabila penutur tidak terkesan memaksa, ujaran itu memberikan alternatif pilihan tindakan kepada mitrabicara, dan mitrabicara merasa senang. Dalam hal ini, berbagai bentuk strategi komunikasi dapat ditempuh agar ujaran bernilai sopan-santun tinggi. Dalam berkomunikasi terdapat dua kaidah kompetensi pragmatik yang sangat penting, yakni “buatlah perkataan Anda jelas” (make yourself clear), dan “bersopan-santunlah” (be polite).

Di samping tiga kaidah sopan-santun yang diusulkan Lakoff tersebut, Leech (1999: 194-195) mengemukakan adanya tiga skala yang perlu dipertimbangkan untuk menilai derajat kesopansantunan suatu ujaran, yaitu yang disebut “skala pragmatik”. Ketiga skala pragmatik itu adalah (1) skala biaya-keuntungan (cost and benefit), (2) skala keopsionalan, dan (3) skala ketaklangsungan.

Leech (1999: 205) membahas teori kesantunan dalam kerangka retorika interpersonal. Dalam hal ini, Leech menyebutkan enam maksim kesantunan, yaitu (1) Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim) yaitu buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin, buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin, (2) Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim) yaitu buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin, buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin, (3) Maksim Pujian (Approbation Maxim) yaitu kecamlah orang lain sedikit mungkin, pujilah orang lain sebanyak mungkin, (4) Maksim Kerendahan Hati (Modesty Maxim) yaitu pujilah diri sendiri sedikit mungkin, kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin, (5) Maksim Kesepakatan (Aggreement Maxim) yaitu usahakan agar ketidak sepakatan antara diri dan lain terjadi sedikit mungkin, usahakan agar kesepakatan antara diri dengan lain terjadi sebanyak mungkin, (6) Maksim Simpati (Sympathy Maxim) yaitu kurangilah rasa antipati antara diri dengan lain hingga sekecil mungkin, tingkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri dan lain.

Karena semua maksim ini menganjurkan agar mengungkapkan keyakinan- keyakinan yang sopan dan bukan keyakinan- keyakinan yang tidak sopan, maksim- maksim ini dimasukkan ke dalam prinsip sopan santun. Empat maksim yang pertama melibatkan skala-skala berkutub dua: skala untung-rugi dan skala pujian-kecaman. Dua maksim lainnya melibatkan skala-skala yang hanya satu kutubnya, yaitu skala kesepakatan dan skala simpati.

Walaupun antara skala yang satu dengan yang lain ada kaitannya, setiap maksim berbeda dengan jelas, karena setiap maksim mengacu pada sebuah skala

penilaian yang berbeda dengan skala penilaian maksim-maksim lainnya. Skala untung-rugi pada maksim kearifan dan kedermawanan memeringkatkan untung-rugi orang lain dan diri sendiri akibat suatu tindakan di masa depan, sedangkan skala-skala pada maksim pujian dan maksim kerendahan hati memeringkatkan baik tidaknya penilaian yang diungkapkan oleh diri sendiri mengenai orang lain dan mengenai diri sendiri (Leech, 1993: 209).

Maksim-maksim ini ditaati sampai batas-batas tertentu saja dan bukannya ditaati sebagai kaidah-kaidah absolut, khususnya berlaku bagi submaksim-submaksim yang lebih lemah, seperti ‘kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin’. Seseorang yang terus menerus merendahkan dirinya pada setiap kesempatan akan menjadi orang yang sangat membosankan. Sehingga dia akan dinilai sebagai orang yang tidak tulus, yang tidak sungguh. Jika terjadi demikian Prinsip Kerja sama (Maksim Kualitas) akan menghalangi kita agar tidak terlalu merendahkan diri; sebaliknya, dalam situasi yang lain Prinsip Kerja sama juga akan menghalangi kita agar tidak terlalu arif. Perhatikan contoh berikut.

A: Mereka baik sekali kepada kita. B: Ya, betul.

Kalimat ini menunjukkan bahwa memang sopan kalau kita sependapat dengan pujian orang lain, kecuali kalau pujian itu ditujukan kepada diri sendiri. Namun pada kalimat berikut.

A: Anda baik sekali kepada saya. B: Ya, betul.

Kalimat ini melanggar submaksim yang pertama Maksim Kerendahan Hati yang berarti membual, dan ini merupakan suatu pelanggaran sosial bila kemurahan hati ini dibesar-besarkan.

Dokumen terkait