• Tidak ada hasil yang ditemukan

Data 24 Dani Anwar:

B. Skala Frekuensi Data

Panelis III, Aviliani:

”...harusnya bagaimana Jakarta ini bisa meningkatkan investasi, sehingga para penganggur ini bisa eh....dioptimalkan?”

Adang Darajatun:

”Makasih, kita tahu bahwa Jakarta ke depan, kita akan membangun satu kota jasa, ya... Kota jasa berarti kita mengharapkan bahwa seperti di visi misi kita salah satunya adalah aman. Aman apa artinya? Dalam konteks ekonomi, berarti aman bagaimana investasi itu datang. Jadi, yang jelas masalah keamanan harus segera diselesaikan. Lalu kedua, yang paling penting, orang selalu kalau datang ke Jakarta mau membuat izin sulit”.

Dengan memilih kata ’selalu’ dalam tanggapannya pada data (28), Adang menyampaikan bentuk-bentuk negatif yang tatarannya lebih tinggi dalam skala frekuensi melalui implikatur (+ > kadang-kadang, + < sering).

Data 29

Panelis IV, Bambang Wijayanto:

”Bicara soal korupsi, itu adalah poinnya penyalahgunaan kewenangan. Jawaban dari kandidat selalu normatif dengan mengatakan perlu peningkatan insentif”.

Pada data (29) dengan memilih kata ’selalu’ sebelum mengajukan pertanyaan, panelis IV menyampaikan bentuk-bentuk negatif yang tatarannya lebih tinggi dalam skala frekuensi melalui implikatur (+ > kadang-kadang, + < sering). C. Skala Kepastian

Data 30 Fauzi Bowo:

"…saya akan membakukan visi dan misi yang sudah kami tawarkan dan kami paparkan, agar visi dan misi tersebut menjadi visi dan misi Pemerintah Daerah tahun 2007 sampai dengan tahun 2012, yang secara resmi mendapat legistimasi dari DPRD. Saya yakin legistimasi ini akan saya terima, karena saya mendapat dukungan dari 75% anggota DPRD yang ada.

Data 31

Adang Darajatun:

“Yang pasti, kalau nanti Bung Fauzi menang, karena saya adalah teman Anda pasti saya akan dukung Anda, gitu ya….”

Pada data (30 dan 31) dengan memilih kata ’yakin’ (Fauzi Bowo) dan kata ’pasti’ (Adang Darajatun) dalam tanggapannya, dapat menyampaikan bentuk-bentuk negatif yang tatarannya lebih rendah dalam skala kepastian melalui implikatur (+ > mungkin, + > barangkali).

Data 32 Dani Anwar:

”....andaikata lima tahun yang lalu Pak Adang dan saya sudah menjadi pemimpin di Ibukota Jakarta ini mungkin persoalan yang ditanyakan tadi sama Pak, Pak Azumardi Azra itu tidak akan terjadi di Jakarta ini”.

Implikatur berskala yang dihasilkan dari data (32) yaitu dengan menggunakan ungkapan ’mungkin’ oleh Dani Anwar diinterpretasikan sebagai suatu nilai yang lebih rendah pada skala kepastian (+ < pasti).

4.1.6 Pembatas (Hedges)

Pembatas (hedges) merupakan ungkapan-ungkapan dalam berinteraksi untuk menunjukkan bahwa apapun yang sedang dikatakan penutur tidak sepenuhnya tepat. Penutur menggunakan pembatas ini untuk menunjukkan kepedulian pada prinsip kerjasama.

Pada acara debat ini terdapat pula beberapa pembatas yang digunakan oleh panelis maupun para kandidat gubernur DKI Jakarta dalam berinteraksi. Seperti pada temuan berikut.

Data 32

Kesadaran tingkah laku yang diharapkan dapat menuntun penutur menghasilkan tipe pembatas berikut.

Fauzi Bowo :

“Saya yakin legistimasi ini akan saya terima, karena saya mendapat dukungan dari 75% anggota DPRD yang ada”.

Adang Darajatun:

“Yang pasti kalau nanti Bung Fauzi menang, karena saya adalah teman anda, pasti akan saya dukung anda”.

Dani Anwar:

“Tentunya dengan kondisi orang baru mudah-mudahan dengan ketauladanan yang kami bisa berikan ke depan akan mengerem setidak-tidaknya persoalan- persoalan yang terjadi di pemda DKI”.

Adang Darajatun :

”Saya yakin dengan 21 trilyun, apabila tidak ada korupsi, kolusi, dan nepotisme, saya yakin bahwa uang itu bisa dipergunakan secara efektif dan efisien”.

Data 33

Tanda-tanda pembatas yang terkait dengan harapan relevansi dapat ditemukan dalam debat ini dengan menggunakan ungkapan ‘bagaimanapun juga’, ‘namun’ seperti berikut.

Adang Darajatun:

“Bagaimanapun juga visi misi ke depan adalah bagaimana Jakarta yang sejahtera, Jakarta yang aman, dan Jakarta yang modern”.

Fauzi Bowo:

“Ya..bukan hanya dengan menggerakkan APBD, tapi kita harus punya political will yang kuat dan punya program yang jelas untuk mengundang investasi”. Dani Anwar :

“Pada tahun 2004 DPRD DKI sudah membuat satu Peraturan Daerah No.12 tentang perpasaran swasta, tetapi sangat disayangkan Peraturan Daerah tersebut tidak dilaksanakan sampai hari ini”.

Data 34

Pembatas juga dipakai untuk menunjukkan penutur sadar akan maksim kuantitas, seperti berikut ini.

Adang Darajatun :

“Jadi kalau untuk saya, berbicara tentang konsep strategis, pertama, sebagai seorang pemimpin dan kebetulan saya orang baru disana pasti akan melakukan suatu perubahan untuk lebih memberikan satu tata pemerintahan yang lebih baik”.

Adang Darajatun :

“Dalam konteks ekonomi, berarti aman bagaimana investasi itu datang. Jadi, yang jelas masalah keamanan harus segera diselesaikan.

Dani Anwar :

“Jadi insyaAllah mudah-mudahan dengan keseriusan kita berdua ini mudah- mudahan kita bisa menyelesaikan masalah ini”.

Data 35

Untuk berinteraksi dengan baik dalam maksim kualitas dapat diukur dengan sejumlah ungkapan. Dari acara debat ini diperoleh ungkapan ‘kira’ yang menunjukkan bahwa apa yang sedang dikatakan penutur tidak sepenuhnya tepat, seperti berikut.

Dani Anwar :

“Kaitannya dengan menciptakan iklim investasi yang baik, saya kira memang diperlukan keberanian”.

4.2 Pembahasan

Prinsip kerjasama dalam percakapan yang terdiri dari empat jenis maksim harus diketahui dan dikenali dalam sebuah program debat di televisi. Pada umumnya para penutur yang terlibat dalam suatu percakapan saling bekerja sama untuk mencapai satu tujuan, sehingga kolaborasi antar penutur merupakan faktor yang sangat penting. Pada umumnya para kandidat dalam debat tersebut berkata benar, relevan, dan berusaha memberikan tanggapan yang jelas. Jika seorang kandidat mengatakan “…saya kenal Jakarta, saya tahu masalahnya….” maka para pemirsa televisi akan beranggapan kalau kandidat ini benar-benar mengetahui atau paling tidak dia memiliki fakta tentang sesuatu yang dibicarakan dan tidak berusaha membohongi mitra bicaranya.

Temuan penelitian ini mencakup pelanggaran empat jenis maksim. Data ini diambil dari salah satu program televisi yaitu debat publik untuk pemilihan cagub dan cawagub DKI Jakarta. Dari hasil temun penelitian ini diketahui bahwa kandidat cagub dan cawagub ini melakukan pelanggaran maksim-maksim percakapan ketika

memberikan tanggapan atas pertanyaan yang diajukan oleh panelis. Pelanggaran empat jenis maksim ini menggambarkan bahwa para kandidat cagub dan cawagub ini tidak sepenuhnya mematuhi prinsip percakapan.

Dalam satu sesi debat tersebut, para kandidat terlihat memberikan tanggapan atau jawaban yang tidak jelas, tidak ada relevansinya, tidak memiliki bukti cukup, lebih informatif dari yang diinginkan. Pelanggaran maksim-maksim ini menjadi menarik untuk diteliti karena berdasarkan kontekslah makna ini dapat diinterpretasikan lebih dari yang dikatakan. Implikatur percakapan ini diperoleh dari reaksi mitra bicara ketika melakukan pelanggaran maksim, seperti contoh berikut. (1) Pelanggaran maksim kualitas terjadi ketika seorang kandidat mengatakan,

“Saya kenal Jakarta, saya tahu masalahnya, dan saya tahu juga solusinya. Untuk itulah kami berdua akan bekerja keras. Solusi ada di tangan kami”, untuk menjawab pertanyaan “Kira-kira apa yang akan saudara-saudara lakukan, pasangan baik yang pertama maupun yang kedua, untuk mengatasi masalah Jakarta ini?”

Interaksi seperti ini menggambarkan munculnya pelanggaran maksim kualitas yang menyatakan untuk tidak mengatakan sesuatu yang diyakini salah dan tidak mengatakan sesuatu jika tidak memiliki bukti yang memadai.

(2) Dari temuan penelitian ini juga terdapat pelanggaran maksim kuantitas yang mengatakan untuk membuat percakapan yang informatif seperti yang diminta dan tidak membuat percakapan lebih informatif dari yang diminta. Hal ini terjadi ketika salah seorang kandidat cagub mengatakan,

“Yang pertama ini adalah tiga bulan terakhir dari tahun 2007. Kita akan laksanakan apa yang tercantum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja tahun 2007 secara konsekwen, secara konsisten, dengan lebih efektif dan lebih efisien

untuk kepentingan rakyat Jakarta. Yang kedua, saya akan membakukan visi dan misi yang sudah kami tawarkan dan kami paparkan, agar visi dan misi tersebut menjadi visi dan misi Pemerintah Daerah tahun 2007 sampai dengan tahun 2012, yang secara resmi mendapat legistimasi dari DPRD. Saya yakin legistimasi ini akan saya terima, karena saya mendapat dukungan dari 75% anggota DPRD yang ada”.

Tanggapan yang seperti ini muncul ketika salah seorang panelis mengajukan pertanyaan,

”Seratus hari pertama menjabat jadi gubernur adalah penting. Apa program yang konkrit untuk dilakukan atau akan dilakukan nanti untuk mengatasi masalah Jakarta yang kompleks?”

(3) Pelanggaran maksim relevansi juga terjadi ketika seorang kandidat mengatakan, “Andaikata lima tahun yang lalu Pak Adang dan saya sudah menjadi pemimpin di Ibukota Jakarta ini mungkin persoalan yang ditanyakan sama Pak, Pak Azumardi itu tidak akan terjadi di Jakarta ini” untuk menjawab pertanyaan “Kira-kira apa yang akan saudara-saudara lakukan, pasangan baik yang pertama maupun yang kedua, untuk mengatasi masalah Jakarta ini?”

Para kandidat sering memberikan tanggapan yang tidak relevan atas pertanyaan yang diajukan oleh panelis sehingga gagasan atau ide yang mereka sampaikan tidak jelas.

(4) Selanjutnya juga terjadi pelanggaran maksim cara yang menyatakan untuk memberikan tanggapan yang jelas, tidak bermakna ganda, tidak panjang lebar dan teratur. Hal ini terjadi ketika salah seorang panelis mengajukan pertanyaan,

“…ketika akan melakukan pemberantasan korupsi perlu dilakukan kontrol terhadap kekuasaan. Bagaimana sebenarnya kontrol itu bisa dilakukan?”

Kemudian salah seorang kandidat memberikan jawaban yang melanggar maksim cara yaitu,

“Dalam visi dan misi yang kami eh…tawarkan dan kami sampaikan kepada rakyat Jakarta, jelas tercantum keinginan kuat dari Priyanto dan Fauzi Bowo untuk membangun suatu, mewujudkan suatu tata kelola pemerintahan yang baik, good governance. Diantara ciri-ciri good governance tersebut transparansi, accountability, partisipasi dan profesionalisme, ini akan kami jalankan secara konsekwen. Mulai hari pertama di setiap jajaran dan jenjang yang mengambil keputusan”.

Tanggapan Fauzi Bowo ini menggunakan istilah-istilah yang membuat audiens kurang mengerti dengan hal-hal yang ingin disampaikannya. Audiens bukan hanya yang berada dalam acara debat tersebut saja, namun juga dilihat oleh masyarakat yang tidak terlibat dalam acara debat tersebut. Selanjutnya dia ingin menjelaskan suatu istilah dengan mengatakan ‘tata kelola pemerintahan yang baik’ lalu ditambahkannya dengan kata ‘good governance’. Padahal kedua istilah tersebut memiliki makna yang sama.

Pelanggaran maksim-maksim percakapan ini menghasilkan implikatur percakapan. Seperti dalam ilustrasi (1) maka implikatur yang diperoleh adalah kandidat tersebut (Fauzi Bowo) seorang yang merasa lebih mengetahui persoalan Jakarta yang kompleks daripada masyarakat Jakarta. Dari ilustrasi (2) dapat diperoleh implikatur yaitu adanya beberapa program yang akan dilaksanakan oleh Fauzi dan wakilnya untuk mengatasi masalah Jakarta yang kompleks. Selanjutnya ilustrasi (3) implikatur yang diperoleh adalah pasangan kandidat ini (Dani dan Anwar) sangat pantas memerintah Jakarta karena persoalan kesenjangan sosial di Jakarta yang sangat mencolok ini tidak akan terjadi. Selanjutnya dalam ilustrasi (4) implikatur yang diperoleh dari pelanggaran maksim ini adalah kandidat ini (Fauzi Bowo) ingin

menunjukkan kepada pada audiens bahwa dia adalah orang yang pintar karena menguasai istilah-istilah asing. Selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah bahwa penuturlah yang menyampaikan makna lebih banyak daripada yang diutarakannya, dan mitrabicaralah yang dapat mengenali makna yang disampaikan itu melalui inferensi.

Selain maksim-maksim percakapan terdapat pula pembatas (hedges) dalam penelitian ini. Pembatas ini digunakan oleh para kandidat cagub untuk menunjukkan kalau mereka sangat peduli pada prinsip kerja sama dan akan sangat berbahaya jika ungkapan-ungkapan pembatas ini tidak dipakai dalam kalimat-kalimat yang mereka utarakan. Seperti dalam beberapa contoh berikut.

(1) Kesadaran tingkah laku yang diharapkan dapat menuntun penutur menghasilkan tipe pembatas berikut.

Fauzi Bowo :

“Saya yakin legistimasi ini akan saya terima, karena saya mendapat dukungan dari 75% anggota DPRD yang ada”.

(2) Tanda-tanda pembatas yang terkait dengan harapan relevansi dapat ditemukan dalam debat ini dengan menggunakan ungkapan ‘bagaimanapun juga’ seperti berikut. Adang Darajatun:

“Bagaimanapun juga visi misi ke depan adalah bagaimana Jakarta yang sejahtera, Jakarta yang aman, dan Jakarta yang modern”.

(3) Pembatas juga dipakai untuk menunjukkan penutur sadar akan maksim kuantitas, seperti berikut ini.

Adang Darajatun :

“Jadi kalau untuk saya, berbicara tentang konsep strategis, pertama, sebagai seorang pemimpin dan kebetulan saya orang baru disana pasti akan melakukan suatu perubahan untuk lebih memberikan satu tata pemerintahan yang lebih baik”.

(4) Untuk berinteraksi dengan baik dalam maksim kualitas dapat diukur dengan sejumlah ungkapan. Dari acara debat ini diperoleh ungkapan ‘kira’ yang menunjukkan bahwa apa yang sedang dikatakan penutur tidak sepenuhnya tepat, seperti berikut.

Dani Anwar :

“Kaitannya dengan menciptakan iklim investasi yang baik, saya kira memang diperlukan keberanian”.

Selain ditemukannya pembatas (hedges) pada penelitian ini, informasi tertentu yang disampaikan para kandidat cagub dan cawagub ini dengan memilih sebuah kata yang menyatakan suatu nilai dari suatu skala nilai. Hal ini secara khusus tampak jelas dalam istilah-istilah untuk mengungkapkan kuantitas, seperti yang ditunjukkan dalam skala ‘semua, sebagian besar, banyak, beberapa, sedikit’, ‘selalu, sering, kadang-kadang’, dimana istilah-istilah itu didaftar dari skala nilai tertinggi ke nilai terendah. Ketika sedang bertutur, seorang penutur memilih kata dari skala itu yang paling informatif dan benar, seperti pada contoh tanggapan Fauzi Bowo, “….kami akan menyusun anggaran tahun 2008 yang juga berpihak kepada kepentingan publik…Itupun saya akan lakukan dengan dukungan dari DPRD dimana hampir seluruh partai politik memberikan dukungan kepada kami”.

Dengan memilih kata ‘hampir seluruh’ dari data di atas, Fauzi Bowo menciptakan suatu implikatur (+ > sebagian, + < semua). Ini merupakan salah satu implikatur berskala. Dasar implikatur berskala adalah bahwa semua bentuk negatif dari skala yang lebih tinggi dilibatkan apabila bentuk apapun dalam skala itu dinyatakan. Dengan adanya batasan implikatur berskala dari data di atas, konsekuensinya adalah, dalam mengatakan ‘hampir seluruh partai politik memberikan dukungan kepada kami’, Fauzi Bowo juga menciptakan implikatur lain, (misalnya, + > sebagian besar, + > tidak semua).

Apabila penutur berusaha menjelaskan suatu informasi seperti dalam uraian yang disampaikan oleh Panelis IV, Bambang Wijayanto,

”Bicara soal korupsi, itu adalah poinnya penyalahgunaan kewenangan. Jawaban dari kandidat selalu normatif dengan mengatakan perlu peningkatan insentif”,

maka akan diketahui lebih banyak implikatur berskala lainnya. Seperti dari data ini, dengan menggunakan kata ’selalu’, penutur menyampaikan bentuk-bentuk negatif yang tatarannya lebih tinggi dalam skala frekuensi melalui implikatur (+ > sering, + > kadang-kadang).

Program debat kandidat ini merupakan suatu program yang menarik karena didalamnya terdapat pelanggaran prinsip kerjasama (maksim-maksim). Dari hasil temuan ini diketahui bahwa terdapat pelanggaran prinsip kerja sama (maksim- maksim) yaitu maksim kualitas, maksim kuantitas, maksim hubungan, dan maksim cara yang dilakukan oleh kandidat cagub dan cawagub ini ketika memberikan tanggapan terhadap pertanyaan panelis. Pelanggaran maksim-maksim ini disebabkan

kurang memahami inti pertanyaan tersebut ataupun belum menguasai bidang yang ditanyakan oleh panelis. Sebagai akibat terjadinya pelanggaran prinsip kerja sama ini kemudian diperoleh implikatur. Selanjutnya dalam temuan penelitian ini diupayakan ungkapan atau kalimat yang dapat digunakan oleh para kandidat tersebut sehingga tidak terjadi pelanggaran maksim-maksim percakapan.

Implikatur yang diperoleh dapat diklasifikasikan sebagai Implikatur Percakapan Khusus karena acara debat ini berlangsung di salah satu stasiun televisi dengan konteks yang khusus dengan memahami makna kata-kata yang disampaikan lewat inferensi. Mitrabicara yang mendengar kalimat-kalimat dalam debat ini pertama sekali harus berasumsi bahwa penutur sedang melaksanakan kerjasama dan bermaksud untuk menyampaikan informasi.

4.3 Diskusi

Penelitian tentang Implikatur Percakapan Dalam Acara Debat Kandidat Calon Kepala Daerah DKI Jakarta pada hakikatnya bersifat melengkapi dan memberi temuan baru pada penelitian sebelumnya. Hal ini disebabkan tidak terdapat penelitian yang sama dengan penelitian ini.

Sebelumnya, penelitian mengenai implikatur percakapan dilakukan oleh Pessy (2003) dengan memusatkan perhatian pada pemerolehan bahasa anak dan pemerolehan pragmatik pada seorang anak laki-laki Indonesia yang menitikberatkan pada lima jenis tindak tutur dan implikatur. Implikatur ini diperoleh dari ungkapan yang digunakannya ketika menginginkan sesuatu.

Penelitian mengenai implikatur percakapan dalam lingkup yang lebih luas dan memiliki hubungan yang kontekstual dengan penelitian ini dilakukan oleh Tuti Tresnawati (2005). Penelitian tersebut menggunakan teori H.P Grice yaitu prinsip kerja sama (coopertive principles) dalam menganalisis implikatur percakapan yang diperoleh akibat terjadinya pelanggaran (flouting) prinsip kerja sama tersebut. Penelitian tersebut menetapkan bahwa implikatur percakapan itu diperoleh bukan hanya akibat pelanggaran prinsip percakapan, akan tetapi akibat pematuhan prinsip percakapan, prinsip kesantunan Leech, dan tipe-tipe humor berdasarkan topik, motivasi, dan teknik penciptaannya pun dapat menimbulkan implikatur percakapan.

Dari kedua hasil penelitian tersebut, maka penelitian ini memiliki kontekstualitas yang bersifat melengkapi dan memberi temuan baru. Bersifat melengkapi karena penelitian ini menggunakan teori H.P Grice yaitu prinsip kerja sama dalam menganalisis implikatur percakapan dalam debat kandidat calon kepala daerah DKI Jakarta. Kemudian, bersifat memberi temuan baru karena penelitian ini menempatkan persoalan politik yang terjadi dalam pemilihan kepala daerah DKI Jakarta. Temuan baru tersebut memberi isyarat bahwa jika para calon pemimpin suatu daerah ingin menang dalam pemilihan kepala daerah, maka harus dapat berkomunikasi dengan baik dengan mematuhi prinsip percakapan. Oleh karena itu, para calon kandidat kepala daaerah harus meningkatkan kualitas bahasanya. Dengan demikian dapat menyampaikan agenda politiknya dengan lebih lugas dan jelas.

BAB V

Dokumen terkait