• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.2 Hasil Analisis Data

4.3.3 Kesembronoan yang Disengaja

Berdasarkan hasil temuan peneliti, dari sebanyak 65 tuturan, 15 tuturan diantaranya merupakan jenis ketidaksantunan berbahasa yang berupa kesembronoan yang disengaja. Ketidaksantunan berbahasa yang berupa kesembronoan yang disengaja merupakan tuturan yang ditemukan dan telah ditranskrip dalam komunikasi antara guru dan siswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun Ajaran 2012/2013 selama bulan November 2012.

Ketidaksantunan berbahasa yang berupa kesembronoan yang disengaja menurut pandangan Derek Bousfield (2008: 3), ketidaksantunan dalam berbahasa diberikan penekanan pada dimensi ‘kesembronoan’ (gratuitous), dan konfliktif (conflictive) dalam praktik berbahasa yang tidak santun itu. Perilaku berbahasa tidak santun tersebut terdapat dalam perilaku berbahasa yang mengancam muka, ancaman terhadap muka itu dilakukan secara sembrono (gratuitous), hingga akhirnya tindakan berkategori sembrono demikian itu mendatangkan konflik, atau bahkan pertengkaran, dan tindakan tersebut dilakukan dengan kesengajaan (purposeful). Berikut ini adalah contoh tuturannya.

(C4) Buk, bajunya seksi bangeeettt.

(Konteks tuturan: Suasana ketika di dalam kelas. Penutur melihat bahwa baju yang dipakai mitra tutur terlalu seksi).

(C9) Slemaaaaannnn….

(Konteks tuturan: Suasana ketika mitra tutur menanyakan ujung bumi pada zaman Yesus. Penutur menjawab untuk menarik perhatian siswa lain).

(C11) Buk, how are you?

(Konteks tuturan: Penutur sedang berpapasan dengan mitra tutur pada saat jam pergantian pelajaran. Penutur ingin menyapa mitra tutur).

(C12) Itu buk, soalnya kelihatan betisnya gedheeee bangeeeeeettttt…

(Konteks tuturan: Penutur bertemu dengan mitra tutur di meja piket. Penutur mengatakan kepada mitra tutur bahwa ia seperti melihat salah satu guru yang sangat dikenal dari jarak jauh. Mitra tutur menanyakan kepada penutur mengapa penutur bisa mengetahui hal tersebut).

(C15) Buk, dulu ibuk waktu malam pertama ngapain?

(Konteks tuturan: Mitra tutur sedang menunjukkan video tentang seksualitas kepada siswa-siswa. Penutur penasaran dengan yang dilakukan mitra pada waktu malam pertama dahulu).

Tuturan (C4), (C9), (C11), (C12), dan (C15) termasuk ke dalam jenis ketidaksantunan berbahasa yang berupa kesembronoan yang disengaja. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik. Menurut Pranowo (2009:76), penentu kesantunan dalam bahasa verbal lisan meliputi aspek intonasi, aspek nada bicara, faktor diksi, dan faktor struktur kalimat. Oleh karena itu, analisis dan pembahasan mengenai penanda ketidaksantunan berbahasa secara linguistik dapat dilihat berdasarkan nada, tekanan, intonasi, dan diksi. Penanda ketidaksantunan pragmatik dilihat berdasarkan konteks. Hal ini sejalan pula dengan Abrurrahman (2006:125) yang menyatakan bahwa ilmu pragmatik mengacu pada

kajian penggunaan bahasa yang berdasarkan pada konteks. Penanda ketidaksantunan berbahasa tidak hanya dilihat berdasarkan dari penanda linguistik dan pragmatik, tetapi diperjelas dengan adanya informasi indeksal yang berupa penutur, mitra tutur, tujuan tutur, tindak verbal, dan tindak perlokusi.

Tuturan (C4), (C9), (C11), (C12), dan (C15) sama-sama dituturkan dari seorang siswa kepada gurunya. Tuturan (C4), (C9), (C11), (C12), dan (C15) di atas melanggar skala kesantunan Leech (1983) mengenai skala ketidaklangsungan yang menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Tuturan yang langsung dan transparan atau terus terang, lazimnya memang dapat diidentikkan dengan tuturan yang tidak santun (Rahardi, 2009:27). Tuturan (C4), (C9), (C11), (C12), dan (C15) disampaikan secara langsung dari siswa kepada gurunya secara terus terang. Pembedaan di antara kelima tuturan tersebut terletak pada penanda linguistik, penanda pragmatik, dan informasi indeksal. Penanda ketidaksantunan linguistik yang pertama yaitu nada. Aspek nada dalam bertutur lisan memengaruhi kesantunan berbahasa seseorang. Nada adalah naik turunnya ujaran yang menggambarkan suasana hati penutur ketika sedang bertutur (Pranowo, 2009:77).

Nada dalam tuturan (C4), (C9), (C11), dan (C12) termasuk ke dalam nada sedang. Nada sedang tersebut menunjukkan ekspresi sindiran penutur kepada mitra tutur. Nada dalam tuturan (C4) menggambarkan suasana hati penutur yang merasa aneh ketika melihat baju yang dikenakan gurunya terlihat sangat seksi sehingga penutur cenderung bertutur dengan maksud untuk menyindir gurunya ketika melihat

baju yang dikenakan mitra tutur terlalu seksi. Nada dalam tuturan (C9) jelas terlihat suasana hati penutur yang sedang senang karena nada bicara penutur menaik dengan ceria sehingga terasa menyenangkan (Pranowo, 2009:77). Namun, keceriaan nada dalam tuturan (C9) menimbulkan kesembronoan siswa kepada gurunya ketika menjawab pertanyaan. Hal tersebut juga terlihat dalam tuturan (C11) yang menunjukkan suasana hati penutur yang senang sehingga menyapa gurunya, akan tetapi sapaan tersebut menjadi sebuah kesembronoan di mana penutur bertutur “how are you?” kepada gurunya sambil berjalan begitu saja. Nada dalam tuturan (C12) juga terlihat dengan jelas adanya tuturan yang ‘sembrono’ yang dituturkan dari seorang siswa kepada gurunya untuk memperbincangkan guru lain. Siswa tersebut terlihat senang ketika bisa menghafal guru lain tetapi dilihat dari fisik guru yang bersangkutan. Berbeda halnya dengan tuturan (C15) yang memiliki nada rendah. Nada dalam tuturan (C15) menunjukkan keingintahuan penutur kepada mitra tutur semata.

Penanda ketidaksantunan linguistik berikutnya dilihat dari aspek tekanan. Tekanan dalam tuturan (C4), (C9), dan (C12) bertekanan sedang. Tekanan mempunyai pengaruh yang besar terhadap bunyi dan arti (Lubis, 1985:22). Tekanan dalam tuturan (C4) ditunjukkan dengan penekanan pada kata buk dan seksi bangeeettt. Tekanan tersebut mengandung arti bahwa penutur memang ingin mengungkapkan kepada gurunya bahwa baju yang dikenakannya dirasa seksi. Baju tersebut menurut penutur mungkin tidak pantas dikenakan guru tersebut saat mengajar. Tekanan dalam tuturan (C9) ditunjukkan dengan penekanan pada kata

slemaaaannn. Tekanan dalam kata sleman jelas menunjukkan bahwa penutur menjawab dengan ‘sembrono’. Guru menanyakan tempat ujung bumi pada saat zaman Yesus, tetapi jawaban penutur terkesan ‘celelekan’ dan tidak serius. Tekanan tersebut sekaligus menunjukkan candaan penutur kepada mitra tutur. Tekanan dalam tuturan (C12) ditunjukkan pada frasa betisnya gedheeee bangeeeeetttt. Tekanan tersebut dengan jelas memperlihatkan bahwa penutur ingin berbincang-bincang dengan mitra tutur terkait guru lain yang dapat dengan mudah dikenali melalui visual saja, yakni dari betis sang guru yang terlihat besar. Lain halnya dengan tekanan dalam tuturan (C11) dan (C15) yang memiliki tekanan lemah. Tekanan tersebut hanya menunjukkan pertanyaan biasa saja kepada gurunya.

Berkaitan dengan penanda ketidaksantunan linguistik yaitu intonasi, intonasi tuturan (C4), (C9), dan (C12) berupa intonasi berita. Aspek intonasi dalam bahasa lisan sangat menentukan santun tidaknya pemakaian bahasa (Pranowo, 2009: 76-77). Intonasi berita tersebut menunjukkan bahwa tuturan (C4), (C9), dan (C12) berupa pemberitahuan penutur kepada mitra tutur. Intonasi berita dalam tuturan (C4) merupakan pemberitahuan penutur kepada mitra tutur akan baju mitra tutur yang terlalu seksi apabila dipakai ketika mengajar di kelas. Intonasi tuturan (C9) berupa pemberitahuan tetapi bersifat sangat ‘sembrono’ karena penutur menjawab pertanyaan mitra tutur dengan tidak serius. Terakhir, intonasi dalam tuturan (C12) merupakan pemberitahuan akan adanya seorang guru yang sangat mudah dikenal melalui ciri-ciri fisiknya. Lain halnya dengan intonasi dalam tuturan (C11) dan (C15) berupa intonasi tanya. Intonasi tanya menunjukkan rasa ingin tahu penutur kepada

mitra tutur akan suatu hal. Intonasi tanya dalam tuturan (C11) berupa keingintahuan penutur akan kabar dari mitra tutur tetapi dengan cara yang tidak sopan karena penutur menyampaikan hal tersebut dengan ‘sembrono’ sambil berlalu ketika bertemu di koridor sekolah. Intonasi dalam tuturan (C15) juga berupa intonasi tanya tetapi pertanyaan yang diberikan penutur sangat tidak sopan kepada gurunya karena pertanyaan tersebut mengarah dalam pertanyaan pribadi.

Diksi merupakan salah satu penentu kesantunan dalam bahasa lisan maupun dalam bahasa tulis. Ketika seseorang sedang bertutur, kata-kata yang digunakan dipilih sesuai dengan topik yang dibicarakan, konteks pembicaraan, suasana mitra tutur, pesan yang disampaikan, dan sebagainya (Pranowo, 2009: 77). Namun, terkadang diksi yang dipakai seseorang ketika bertutur dapat menyebabkan mitra tutur tersinggung, kesal, bahkan melukai hati. Diksi yang digunakan dalam tuturan (C4), (C11), (C12), dan (C15) menggunakan bahasa nonstandar. Bahasa nonstandar dalam tuturan (C4) ditunjukkan dengan penggunaan kata tidak baku buk dan bangeeettt. Penggunaan kata tidak baku buk dan banget dirasa tidak santun karena situasi saat itu ialah formal di dalam pembelajaran. Bahasa nonstandar dalam tuturan (C11) ditunjukkan dengan penggunaan kata tidak baku buk dan penggunaan interferensi ke dalam bahasa Inggris how are you. Penggunaan interferensi ke dalam bahasa Inggris dirasa tidak santun karena penutur terlihat seperti sembrono dalam menyapa mitra tutur yang layaknya seperti temannya sendiri. Bahasa nonstandar dalam tuturan (C12) ditunjukkan dengan penggunaan bahasa tidak baku buk dan banget, serta penggunaan interferensi ke dalam bahasa Jawa yaitu gedhe. Penggunaan

bahasa tidak baku buk dan banget menunjukkan keakraban penutur dan mitra tutur. Penggunaan interferensi ke dalam bahasa Jawa gedhe untuk semakin meyakinkan mitra tutur akan apa yang penutur lihat. Terakhir, bahasa nonstandar dalam tuturan (C15) ditunjukkan dengan penggunaan kata tidak baku buk, ibuk, dan ngapain. Kata tidak baku tersebut dirasa tidak santun karena menanyakan suatu hal kepada gurunya dengan tidak menggunakan bahasa yang baik.

Penanda ketidaksantunan yang kedua berupa ketidaksantunan pragmatik yang dilihat berdasarkan konteks yang menyertai tuturan tersebut. Hal ini sejalan dengan Verschueren (1998:76) bahwa bagi sebuah pesan (message), untuk dapat sampai kepada ‘interpreter’ (I) dari seorang ‘utterer’ (U), selain akan ditentukan oleh keberadaan konteks linguistiknya (linguistic context), juga oleh konteks dalam pengertian yang sangat luas, yang mencakup latar belakang fisik tuturan (physical world of the utterance), latar belakang sosial dari tuturan (social world of the utterance), dan latar belakang mental penuturnya (mental world of the utterance). Konteks tuturan (C4) terjadi di kelas tanggal 13 November 2012. Penutur melihat bahwa baju yang dipakai mitra tutur terlalu seksi. Penutur menganggap bahwa pakaian yang dikenakan mitra tutur tidak pantas dikenakan ketika mengajar. Pembicara dan lawan bicara, penutur dan mitra tutur, atau ‘the utterer’ and ‘the interpreter’ adalah dimensi paling signifikan dalam pragmatik (Verschueren, 1998). Penutur dalam tuturan (C4) ialah siswa kelas XII berumur 18 tahun dan mitra tuturnya ialah guru perempuan berumur 30 tahun.

Dimensi-dimensi mental penutur dan mitra tutur, ‘utterer’ dan ‘interpreter’ sangat penting dalam kerangka perbincangan konteks pragmatik itu. Dimensi mental ‘langugae users’ itu dekat dengan aspek-aspek kepribadian penutur dan mitra tutur itu (Verschueren, 1998). Kepribadian penutur dalam tuturan (C4) dirasa belum matang karena masih remaja apabila dilihat dari segi usianya sehingga tuturan yang muncul terkesan santai tetapi lebih dari itu, tuturan tersebut bermaksud menyindir mitra tutur akan baju yang dikenakannya yang terlalu seksi. Akan berbeda halnya dengan kepribadian mitra tutur yang sudah matang sehingga ketika penutur menyampaikan sindiran kepada mitra tutur, maka mitra tutur mengucapkan terima kasih dan mengatakan bahwa di lain kesempatan tidak akan mengenakan baju itu kembali ketika mengajar. Hal ini sejalan dengan Verscueren (1998) yang mengatakan bahwa seseorang yang kepribadiannya tidak cukup matang, sehingga terhadap segala sesuatu yang hadir baru cenderung ‘menentang’ dan ‘melawan’, sekalipun tidak selalu memiliki dasar alasan yang jelas dan tegas, akan sangat mewarnai bentuk kebahasaan yang digunakan di dalam setiap pertutursapaan. Demikian pula seseorang yang sudah sangat matang dan dewasa, akan dengan serta-merta berbicara sopan dan halus kepada setiap orang yang ditemuinya, karena dia mengerti bahwa setiap orang itu memang harus selalu dihargai dan dijunjung tinggi harkat dan martabatnya.

Dimensi berikutnya yang berkaitan dengan penutur dan mitra tutur adalah dimensi motivasi (Verschueren, 1998). Dimensi motivasi penutur dalam tuturan (C4) ialah penutur mengharapkan supaya mitra tutur di lain kesempatan ketika mengajar tidak menggunakan baju yang terlalu seksi kembali. Hal tersebut juga berlaku untuk

mitra tutur, dimensi motivasi dari mitra tutur ialah mitra tutur merasa diperhatikan oleh siswa-siswanya yang berusaha memeringatkan walaupun harus menggunakan sindiran. Mitra tutur walaupun merasa tidak nyaman akan tuturan yang disampaikan penutur, tetapi mitra tutur tetap berbangga hati karena penutur masih memeringatkannya.

Aspek-aspek sosial, atau dapat pula diistilahkan sebagai ‘social setting’ alias seting sosial, selain juga aspek-aspek mental harus diperhatikan dengan benar-benar baik dalam analisis pragmatik yang dalam istilah Verschueren (1998) disebut ‘ingredient of the communicative context’. Aspek kultur merupakan satu hal yang sangat penting sebagai penentu makna dalam pragmatik, khususnya yang berkaitan dengan aspek ‘norms and values of culture’ dari masyarakat bersangkutan. Aspek budaya merupakan salah satu penentu makna dalam pragmatik, khususnya yang berkaitan dengan aspek norma dan nilai dari masyarakat bersangkutan. Berkaitan dengan hal ini, Verschueren (1998:92) menyatakan sebagai berikut, ‘Culture, with its invocation of norms and values has indeed been a favourite social-world correlate to linguistic choices in the pragmatik literatures.’ Berdasarkan hal tersebut, maka dimensi sosial budaya dalam tuturan (C4) ialah adanya norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat ilmiah akademis. Tuturan (C4) sangat jelas menunjukkan tidak adanya norma dan nilai yang berlaku di dalam kelas tersebut. Hal tersebut ditunjukkan adanya tuturan secara langsung dan transparan; apa adanya dari siswa kepada gurunya. Rahardi (2010:69) menyatakan bahwa pertimbangan etika dan moral serta karakter masyarakat ilmiah akademis yang semestinya dibangun bersama dari

dalam kelas, sama sekali tidak memungkinkan dan tidak menerima bentuk kebahasaan yang demikian itu disampaikan kepada guru dalam forum terbuka oleh seorang siswa. Tuturan (C4) selain merupakan kesembronoan juga dapat menimbulkan konflik. Konflik tersebut dimungkinkan timbul pada saat tuturan tersebut baru saja dituturkan dari siswa. Mitra tutur merasa bahwa penutur terlalu transparan ketika mengatakannya sehingga mitra tutur dapat saja timbul perasaan ketidaksukaan terhadap penutur. Ketidaksukaan tersebut bisa saja ditunjukkan dengan sikap dan perilaku mitra tutur kepada penutur yang agak sinis ketika bertemu.

Tuturan (C4) juga merupakan tindak verbal ekspresif yang mengungkapkan ekspresi penutur yang merasa baju yang dikenakan mitra tutur terlalu seksi. Tuturan penutur di dalam konteks tersebut tidak santun karena situasi pada saat itu ialah waktu pembelajaran berlangsung walaupun dalam keadaan santai. Penutur seharusnya mengetahui posisinya sebagai siswa yang harus menghormati mitra tutur sebagai guru sehingga penutur seharusnya menyampaikan teguran kepada mitra tutur dengan cara yang lebih sopan. Tindak perlokusinya ialah mitra tutur mengenakan baju yang lebih sopan. Tuturan (C4) bermakna memberikan teguran kepada mitra tutur yang bersifat sembrono. Berdasarkan konteks tersebut, tuturan yang disampaikan penutur lebih mengarah ke perilaku berbahasa yang sembrono. Hal tersebut karena penutur sengaja menyampaikan tuturan tersebut secara langsung di depan mitra tutur dengan maksud sebatas menegur dengan candaan. Sekalipun sebatas menegur dengan candaan tetapi bagi mitra tutur dapat dianggap menghina sehingga pada akhirnya dapat menimbulkan konflik. Tuturan (C4) juga disampaikan secara langsung dan terus

terang dengan sikap yang tidak serius sehingga menimbulkan kerugian bagi mitra tutur. Kerugian tersebut ialah mitra tutur merasa tersinggung karena teguran penutur yang tidak serius.

Kesembronoan yang disengaja lebih jelas terlihat dalam tuturan (C12). Konteks tuturan (C12) terjadi di meja piket tanggal 21 November 2012 ketika penutur bertemu dengan mitra tutur. Penutur mengatakan kepada mitra tutur bahwa ia seperti melihat salah satu guru yang sangat dikenal dari jarak jauh. Mitra tutur menanyakan kepada penutur mengapa penutur bisa mengetahui hal tersebut. Tuturan penutur seperti mengajak menggosip mitra tutur untuk membicarakan guru lain di meja piket. Penutur dalam tuturan (C12) ialah siswa kelas XI berumur 16 tahun dan mitra tuturnya ialah guru perempuan berumur 43 tahun. Tuturan (C12) tersebut dengan jelas memerlihatkan kesembronoan seorang siswa kepada gurunya yang mengajak berbicara untuk membicarakan guru yang lain. Topik pembicaraan tersebut juga sudah sangat tidak santun karena memperbincangkan ciri-ciri fisik guru yang dimaksud.

Tuturan (C12) tersebut juga dapat menimbulkan konflik yang berawal dari sebuah kesembronoan. Konflik tersebut bisa timbul apabila mitra tutur (juga sebagai guru) memberitahukan kepada guru yang sedang dibicarakan akan pembicaraan yang baru saja dibicarakan. Guru yang sedang dibicarakan tersebut bisa saja timbul rasa tidak suka kepada penutur yang telah membicarakannya sebelumnya bersama guru lain. Tuturan (C12) merupakan tindak verbal ekspresif penutur ketika melihat guru lain yang tampaknya sudah sangat dikenal penutur dari ciri-ciri fisiknya saja. Tuturan

yang disampaikan penutur (C12) juga terkesan mengejek orang yang dibicarakan dalam tuturan tersebut. Penutur seharusnya membicarakan orang dalam tuturan (C12) dengan kata-kata yang lebih sopan, bukan menggunakan kata lugas. Tindak perlokusinya ialah mitra tutur mengetahuinya dan memberi nasihat kepada penutur agar tidak membicarakan orang lain dengan cara seperti itu. Tuturan (C12) memiliki makna mengajak mitra tutur untuk bersantai-santai dengan obrolan yang terkesan sembrono karena memberikan komentar terkait penampilan fisik guru lain. Berdasarkan konteks tersebut, tuturan yang disampaikan penutur lebih mengarah ke perilaku berbahasa yang sembrono. Hal tersebut karena penutur dengan sengaja membicarakan orang lain terkait hal yang seharusnya tidak perlu dibicarakan. Tuturan (C12) disampaikan secara langsung dan terus terang dengan sikap yang tidak serius sehingga menimbulkan kerugian bagi mitra tutur. Kerugian tersebut ialah mitra tutur merasa tidak enak hati apabila ia menanggapi tuturan penutur karena orang yang dibicarakan dalam tuturan tersebut tidak lain ialah teman mitra tutur.

Selanjutnya, konteks tuturan (C15) terjadi di ruang BK tanggal 21 November 2012 ketika mitra tutur sedang menunjukkan video tentang seksualitas kepada siswa- siswa. Penutur penasaran dengan yang dilakukan mitra tutur pada waktu malam pertama dahulu. Tuturan (C15) merupakan tindak verbal ekspresif penutur yang merasa penasaran dengan apa yang dilakukan mitra tutur saat malam pertama. Tuturan yang disampaikan penutur (C15) dirasa tidak santun karena penutur terkesan menyudutkan mitra tutur sebagai guru, terlebih pertanyaan yang dilontarkan ialah pertanyaan yang bersifat pribadi. Penutur dalam tuturan (C15) ialah siswa kelas X

berumur 16 tahun dan mitra tuturnya ialah guru perempuan berumur 30 tahun. Tindak perlokusinya ialah mitra tutur merespon penutur. Tuturan (C15) memiliki makna keingintahuan penutur terhadap yang dilakukan mitra tutur saat malam pertama. Pertanyaan yang disampaikan penutur terkesan tidak sopan dan sembrono sehingga dapat menimbulkan konflik. Berdasarkan konteks tersebut, tuturan yang disampaikan penutur lebih mengarah ke perilaku berbahasa yang sembrono. Hal tersebut karena penutur menanyakan hal yang bersifat pribadi kepada mitra tutur. Pertanyaan tersebut selain merupakan kesembronoan juga pada akhirnya dapat menimbulkan konflik berupa mitra tutur tidak suka kepada penutur. Tuturan (C15) disampaikan secara langsung dan terus terang dengan sikap yang tidak serius sehingga menimbulkan kerugian bagi mitra tutur. Kerugian tersebut ialah mitra tutur merasa tersinggung dengan pertanyaan penutur.

Aspek mental yang berupa dimensi kepribadian penutur dalam tuturan (C15) ialah penutur belum memiliki kepribadian yang cukup matang, hal tersebut ditunjukkan dengan tuturan penutur yang secara polos bertanya sesuatu yang pribadi kepada gurunya. Padahal, seharusnya dalam forum resmi ketika pembelajaran, bentuk kebahasaan yang demikian tidak dapat diterima. Pertanyaan yang diberikan penutur benar-benar membuat rasa tidak nyaman mitra tutur. Selain dimensi kepribadian, dimensi warna emosi juga sangat berpengaruh. Warna emosi penutur masih labil, hal tersebut dapat diketahui dari usia penutur yang masih sangat muda yakni 15 tahun. Tuturan yang dituturkan juga sangat terus terang dan tranparan kepada gurunya.

Selain aspek mental, dimensi sosial dan budaya juga berpengaruh. Pelanggaran dimensi sosial dan budaya juga sama seperti tuturan (C4).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tuturan (C4), (C9), (C11), (C12), dan (C15) termasuk ke dalam jenis ketidaksantunan berbahasa yang berupa kesembronoan yang disengaja karena tuturan yang disampaikan dengan sekenanya dan dapat menimbulkan konflik apabila ada tuturan yang dapat menyinggung perasaan mitra tutur. Hal ini sejalan dengan teori Bousfield (2008:3) yang menyatakan bahwa ketidaksantunan dalam berbahasa dipahami sebagai, ‘The issuing of intentionally gratuitous and conflictive face-threatening acts (FTAs) that are purposefully perfomed.’ Bousfield memberikan penekanan pada dimensi ‘kesembronoan’ (gratuitous), dan konfliktif (conflictive) dalam praktik berbahasa yang tidak santun itu. Perilaku berbahasa yang tidak santun terdapat dalam perilaku berbahasa yang mengancam muka tetapi ancaman terhadap muka itu dilakukan secara sembrono (gratuitous), hingga akhirnya tindakan berkategori sembrono demikian itu mendatangkan konflik, atau bahkan pertengkaran, dan tindakan tersebut dilakukan dengan kesengajaan (purposeful). Hal tersebut dapat dikatakan demikian karena dilihat berdasarkan penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik.

Tuturan (C4), (C9), (C11), (C12), dan (C15) memiliki tujuan tutur yang sama yaitu untuk menanggapi secara sembrono mitra tutur. Hal yang membedakan kelima tuturan tersebut berkenaan dengan penanda lingual, penanda nonlingual, dan informasi indeksal. Adapun penanda lingual dapat dilihat berdasarkan nada, tekanan, intonasi, dan diksi. Hal ini sejalan dengan pendapat Pranowo (2009:76) yang

menyatakan bahwa penentu kesantunan dalam bahasa verbal lisan meliputi aspek intonasi, aspek nada bicara, faktor diksi, dan faktor struktur kalimat. Penanda nonlingual dapat dilihat berdasarkan konteks. Sedangkan implikatur tambahan atau informasi indeksal dapat dilihat berdasarkan penutur, mitra tutur, tujuan tutur, tindak verbal, dan tindak perlokusi, hal ini sejalan dengan konteks menurut Leech (1993:19).

Tuturan (C4), (C9), (C11), (C12), dan (C15) merupakan tindak verbal ekspresif yang mengungkapkan ekspresi penutur yang berupa pemberitahuan dan sindiran kepada mitra tutur. Hal ini sejalan pula dengan Searle (1983, dalam Rahardi: Ibid. dan Rahardi: 2005:36-37) yang menyatakan bahwa bentuk tuturan yang berupa ekspresif (expressives) yakni bentuk tutur yang berfungsi untuk menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan. Tindak perlokusi dari tuturan (C4), (C9), (C11), (C12), dan (C15) ialah penutur mengharapkan supaya mitra tutur terhibur, tetapi tidak menutup kemungkinan kesembronoan yang disengaja tersebut dapat menimbulkan konflik.

Dokumen terkait