• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.2 Hasil Analisis Data

4.3.4 Mengancam Muka

Berdasarkan hasil temuan peneliti, dari sebanyak 65 tuturan, 14 tuturan diantaranya merupakan jenis ketidaksantunan berbahasa yang mengancam muka mitra tuturnya. Ketidaksantunan berbahasa yang berupa mengancam muka mitra tuturnya merupakan tuturan yang ditemukan dan telah ditranskrip dalam komunikasi antara guru dan siswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun Ajaran 2012/2013 selama bulan November 2012.

Ketidaksantunan berbahasa yang berupa mengancam muka menurut Marina Terkourafi (2008:3—4) memandang ketidaksantunan berbahasa dalam pandangannya akan dikatakan tidak santun bilamana mitra tutur (addressee) merasakan ancaman terhadap kehilangan muka (face threaten), dan penutur (speaker) tidak mendapatkan maksud ancaman muka itu dari mitra tuturnya. Berikut ini adalah contoh tuturannya.

(D1) Masih kurang!

(Konteks tuturan: Ada kelompok yang sedang maju presentasi. Penutur tiba-tiba memotong presentasi mitra tutur karena dirasa penjelasannya masih kurang).

(D2) Patenii seek HPne!

(Konteks tuturan: Suasana ketika mitra tutur terlalu cepat dalam menjelaskan. Penutur tidak dapat mengikuti pelajaran tersebut). Suasana ketika remedial berlangsung di kelas. Tiba-tiba terdengar bunyi HP dari dalam tas mitra tutur. Penutur berusaha mencari tahu tas yang di dalamnya terdapat HP yang aktif tersebut. Saat diketahui ternyata pemilik HP tersebut adalah mitra tutur yang mengikuti remedial).

(D7) Sekarang jawab! Nggak usah baca!

(Konteks tuturan: Suasana terjadi ketika penutur sedang menjelaskan materi. Mitra tutur ribut sendiri di belakang dan tidak memerhatikan. Penutur memberikan pertanyaan kepada mitra tutur terkait materi yang baru saja diberikan. Penutur meminta mitra tutur untuk menjawab pertanyaan).

(D12) Makanya bilang dong buk!

(Konteks tuturan: Penutur merasa kesal dengan mitra tutur karena tugas yang dikumpulkan berkali-kali diminta untuk revisi. Penutur selalu menanyakan kepada mitra tutur terkait bagian yang salah. Mitra tutur tidak menjawab supaya penutur berusaha berpikir. Mitra tutur kesal).

(D14) Kamu mau ikut olahraga tidak? Kalau tidak, silahkan keluar saja!

(Konteks tuturan: Penutur sedang menjelaskan materi pelajaran di lapangan olahraga. Mitra tutur sibuk berbicara dengan teman sebelahnya di belakang. Penutur masih sambil menjelaskan materi, Penutur tiba-tiba mendatangi mitra tutur).

Tuturan tersebut di atas termasuk ke dalam jenis ketidaksantunan berbahasa yang mengancam muka mitra tuturnya karena tuturan yang disampaikan dapat memojokkan mitra tutur. Tuturan (D1), (D2), (D7), dan (D14) merupakan tuturan yang dituturkan dari seorang guru kepada siswanya, sedangkan tuturan (D12) merupakan tuturan yang dituturkan dari siswa kepada gurunya. Kelima tuturan tersebut di atas termasuk ke dalam tuturan yang mengancam muka mitra tuturnya karena dilihat berdasarkan penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik serta informasi indeksal yang menyertai tuturan tesebut. Penanda ketidaksantunan linguistik dapat dilihat berdasarkan nada, tekanan, intonasi, dan diksi. Hal ini sejalan dengan pendapat Pranowo (2009:76) yang menyatakan bahwa penentu kesantunan dalam bahasa verbal lisan meliputi aspek intonasi, aspek nada bicara, faktor diksi, dan faktor struktur kalimat. Penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks. Hal ini sejalan pula dengan Abrurrahman (2006:125) yang menyatakan bahwa ilmu pragmatik mengacu pada kajian penggunaan bahasa yang berdasarkan pada konteks. Sedangkan implikatur tambahan meliputi tindak verbal dan tindak perlokusi.

Nada dalam tuturan (D1), (D2), (D7), (D12), dan (D14) termasuk nada tinggi. Aspek nada dalam bertutur lisan memengaruhi kesantunan berbahasa seseorang. Nada adalah naik turunnya ujaran yang menggambarkan suasana hati penutur ketika sedang bertutur (Pranowo, 2009:77). Berdasarkan nada dalam tuturan (D1), (D2), (D7), (D12), dan (D14), menurut Pranowo (2009:77) termasuk ke dalam nada menaik keras. Nada tersebut menggambarkan suasana hati penutur yang sedang marah, kecewa, emosi, sehingga terasa kasar dan menakutkan. Nada tersebut cenderung tidak santun karena sebagian besar tuturan tersebut disampaikan dari seorang guru kepada siswanya. Guru sebagai pendidik seharusnya memberikan tuturan yang santun sehingga siswanya dapat meneladani dengan baik. Namun, tuturan yang terjadi ialah tuturan tersebut bernada tinggi dan banyak dituturkan oleh guru.

Tekanan dalam tuturan (D1), (D2), (D12), dan (D14) termasuk tekanan sedang, sedangkan tekanan dalam tuturan (D7) bertekanan keras. Tekanan pada bunyi ialah besarnya tenaga yang digunakan untuk mengucapkan bunyi dan tergantung kepada desakan udara ke luar dari paru-paru. Tekanan mempunyai pengaruh yang besar terhadap bunyi dan arti (Lubis, 1985:22). Tekanan dalam tuturan (D1) ditunjukkan dengan adanya penekanan pada kata kurang. Hal ini menunjukkan bahwa presentasinya dirasa memang masih kurang dalam hal materinya. Tekanan dalam tuturan (D2) ditunjukkan dengan penekanan pada kata pateni. Hal tersebut dapat dilihat bahwa memang penutur menginginkan bahwa mitra tutur segera mematikan ponselnya. Tekanan dalam tuturan (D12) ditunjukkan dengan penekanan pada kata bosen, di sekolah, lama, dan jadi diri Bapak sendiri. Tekanan dalam tuturan ini

berarti penutur memang sedang merasa bosan di sekolah dan meminta supaya mitra tutur menjadi diri sendiri saja, yaitu untuk tidak perlu memberikan penekanan materi yang penting tetapi waktu di akhir minggu tersebut digunakan untuk bersantai saja karena sudah lelah. Tekanan dalam tuturan (D14) ditunjukkan dengan penekanan pada frasa mau ikut olahraga tidak dan silahkan keluar saja. Jadi, penutur dalam tuturan (D14) ingin memberitahukan kepada mitra tutur jika mitra tutur tidak akan mengikuti olahraga sebaiknya keluar. Terakhir, tekanan dalam tuturan (D7) dikatakan dengan tekanan keras sehingga penutur saat itu memang sedang marah kepada mitra tutur.

Aspek intonasi dalam bahasa lisan sangat menentukan santun tidaknya pemakaian bahasa. Ketika penutur menyampaikan maksud kepada mitra tutur dengan menggunakan intonasi keras, padahal mitra tutur berada pada jarak yang sangat dekat dengan penutur, sementara mitra tutur tidak tuli, penutur akan dinilai tidak santun. Sebaliknya, jika penutur menyampaikan maksud dengan intonasi lembut, penutur akan dinilai sebagai orang yang santun. Namun, intonasi kadang-kadang dipengaruhi oleh latar belakang budaya masyarakat (Pranowo, 2009:76-77). Intonasi dalam tuturan (D1) merupakan intonasi berita. Intonasi berita tesebut menunjukkan bahwa tuturan tersebut berupa pemberitahuan dari penutur kepada mitra tutur.Pemberitahuan tersebut berupa kekurangan materi dalam presentasi. Tuturan (D2), (D7), (D12), dan (D14) berupa intonasi perintah atau seruan. Intonasi tersebut menunjukkan kemarahan atau pun kekecewaan penutur kepada mitra tutur. Kekecewaan penutur dalam tuturan (D2) ialah penutur mendapatkan siswanya mengaktifkan ponsel ketika

sedang remedial di kelas. Ponsel tersebut diketahui setelah ada bunyi panggilan. Kemarahan penutur dalam tuturan (D7) ialah penutur sangat marah ketika melihat siswanya tidak memerhatikan penjelasan guru karena sibuk sendiri dan ketika diminta untuk menjelaskan, mitra tutur tidak bisa menjawab. Kekesalan penutur dalam tuturan (D12) ialah penutur merasa kesal terhadap mitra tutur karena menurut penutur, mitra tutur dianggap seperti menirukan guru lain yang memberikan penekanan materi menjelang ujian sekolah. Terakhir, kemarahan penutur dalam tuturan (D14) terlihat ketika penutur sedang menjelaskan materi olahraga tetapi siswanya tidak memerhatikan.

Penanda ketidaksantunan linguistik yang terakhir ialah diksi. Diksi dalam tuturan (D1) menggunakan bahasa standar yang ditunjukkan dengan penggunaan bahasa yang baku seperti dalam tuturan (D1). Bahasa standar adalah dialek kelas dan dibatasi sebagai tutur dari mereka yang mengenyam kehidupan ekonomis atau menduduki status sosial yang cukup dalam suatu masyarakat (Keraf, 1985) .Diksi dalam tuturan (D2) menggunakan bahasa nonstandar yang ditunjukkan dengan penggunaan partikel ne dan penggunaan interferensi ke dalam bahasa Jawa yaitu pateni dan sek. Penggunaan interferensi ke dalam bahasa Jawa dirasa tidak santun karena suasana saat itu sedang proses belajar tetapi menggunakan bahasa Jawa, bukan bahasa Indonesia. Diksi dalam tuturan (D7) menggunakan bahasa nonstandar yang ditunjukkan dengan penggunaan kata tidak baku nggak. Penggunaan kata tidak baku nggak cenderung tidak santun karena penutur yang notabene adalah seorang guru seharusnya memberikan contoh berbahasa Indonesia yang baik.

Diksi dalam tuturan (D12) menggunakan bahasa nonstandar yang ditunjukkan dengan penggunaan kata fatis deh, kata tidak baku bosen, banget, aja, dan jadi. Penggunaan kata fatis deh mengungkapkan ekspresi penutur secara lisan yang menyampaikan kekesalannya karena mitra tutur masih memberikan penekanan materi-materi yang dianggap penting menjelang ujian sekolah. Penggunaan kata tidak baku bosen, banget, aja, dan jadi tidak santun karena penutur seperti tidak menghargai mitra tutur yang notabene adalah seorang guru. Diksi yang digunakan dalam tuturan (D14) menggunakan kata populer yang ditunjukkan dengan penggunaan kata olahraga. Kata-kata populer adalah kata yang dipakai dalam komunikasi sehari-hari baik mereka yang berada di lapisan atas maupun antara mereka yang di lapisan bawah atau antara lapisan atas dan lapisan masyarakat maka kata-kata ini dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat (Keraf, 1985).

Penanda ketidaksantunan berikutnya dilihat dari pragmatik. Ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks yang menyertai tuturan tersebut. Konteks tuturan (D2) terjadi di kelas tanggal 13 November 2012 ketika remedial berlangsung. Suasana di kelas tersebut sedang tegang dan serius karena adanya remedial. Tiba-tiba terdengar bunyi HP dari dalam tas mitra tutur. Penutur berusaha mencari tahu tas yang di dalamnya terdapat HP yang aktif tersebut. Saat diketahui ternyata pemilik HP tersebut adalah mitra tutur yang mengikuti remedial. Penutur segera meminta mitra tutur untuk mematikan ponselnya. Penutur dalam tuturan (D2) ialah guru perempuan berumur 30 tahun dan mitra tuturnya ialah siswa kelas X SMA berumur 15 tahun. Penutur dalam tuturan (D2) seharusnya sudah memiliki

kepribadian yang cukup matang, tetapi melalui tuturan yang disampaikan, tuturan tersebut cenderung tidak santun karena sebagai guru yang diteladani oleh siswa- siswanya, seharusnya ketika menegur menggunakan cara yang lebih halus dan sopan. Selain dari dimensi kpribadian, dimensi yang berhubungan dengan aspek mental ialah dimensi warna emosi. Warna emosi penutur sebenarnya tergolong guru yang sabar, tetapi ketika menemukan kejadian seperti konteks yang telah disebutkan, guru tersebut menjadi marah. Tuturan yang disampaikan penutur juga sangat mengancam muka mitra tuturnya, hal tersebut dapat dilihat berdasarkan tuturan yang disampaikan bersifat mengancam muka secara sepihak kepada mitra tutur yang mengaktifkan ponsel saat proses pembelajaran di kelas. Mitra tutur merasa terancam oleh tuturan penutur.

Tuturan (D2) menunjukkan tindak verbal direktif yang berupa suruhan. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan intonasinya yang berupa perintah untuk mematikan ponselnya. Tindak perlokusinya ialah penutur mengharapkan supaya mitra tutur mematikan ponsel genggamnya. Berdasarkan konteks tersebut, tuturan yang disampaikan penutur lebih mengarah ke perilaku berbahasa yang mengancam muka sepihak mitra tuturnya. Mitra tutur seperti dipermalukan karena ketahuan mengaktifkan ponselnya dan terus berbunyi. Tuturan (D2) bermakna peringatan yang bersifat memojokkan bagi mitra tutur terkait alat komunikasinya yang berbunyi saat remedial berlangsung di kelas dan memintanya untuk segera mematikan. Tuturan (D2) disampaikan secara langsung dan terus terang di depan mitra tutur dengan penekanan suara tinggi sehingga menimbulkan kerugian bagi mitra tutur. Kerugian

tersebut ialah mitra tutur merasa dipojokkan oleh penutur karena ketahuan mengaktifkan ponsel ketika waktu pembelajaran berlangsung.

Selanjutnya, konteks tuturan (D7) terjadi di kelas tanggal 13 November 2012 ketika penutur sedang menjelaskan materi. Mitra tutur terlihat ribut sendiri di belakang dan tidak memerhatikan pelajaran yang dijelaskan penutur. Penutur kemudian memberikan pertanyaan kepada mitra tutur terkait materi yang baru saja diberikan. Penutur meminta mitra tutur untuk segera menjawab pertanyaannya. Penutur dalam tuturan (D7) ialah guru perempuan berumur 30 tahun dan mitra tuturnya ialah siswa kelas XII SMA berumur 18 tahun. Hal ini berupa tindak verbal direktif karena penutur meminta mitra tutur untuk segera menjawab pertanyaan. Tuturan yang disampaikan penutur (D7) terkesan memojokkan mitra tutur, seolah- olah penutur menguji pemahaman mitra tutur tentang materi yang disampaikan oleh penutur. Tindak perlokusinya ialah penutur mengharapkan supaya mitra tutur segera menjawab pertanyaan kemudian memerhatikan penjelasan materi dari penutur.

Tuturan (D7) bermakna menyuruh mitra tutur untuk menjawab pertanyaan dari penutur tanpa membaca buku sehingga mitra tutur merasa mendapatkan ancaman dari tuturan yang disampaikan penutur. Berdasarkan konteks tersebut, tuturan yang disampaikan penutur lebih mengarah ke perilaku berbahasa yang mengancam muka sepihak mitra tuturnya. Mitra tutur seperti dipermalukan dan seolah dianggap tidak akan bisa menjawab pertanyaan dari penutur. Tuturan tersebut disampaikan secara langsung dan terus terang di depan mitra tutur dengan cara yang memaksa dan nada tinggi sehingga menimbulkan kerugian bagi mitra tutur. Kerugian tersebut berupa

sebuah ancaman bagi mitra tutur karena seolah dianggap tidak bisa menjawab pertanyaan dari penutur. Penutur terkesan memojokkan mitra tutur dengan tuturan (D7). Penutur tidak menyadari bahwa tuturannya telah membuat sakit hati dan menyinggung perasaan mitra tutur. Bahkan, mitra tutur bisa saja dendam kepada penutur akibat tuturannya dan malas mengikuti pelajaran penutur pada pertemuan selanjutnya.

Konteks tuturan berikutnya ialah konteks tuturan (D14). Konteks tuturan (D14) terjadi di lapangan olahraga tanggal 14 November 2012 ketika penutur sedang menjelaskan materi pelajaran. Mitra tutur sibuk berbicara dengan teman sebelahnya di belakang. Penutur masih sambil menjelaskan materi, penutur tiba-tiba mendatangi mitra tutur untuk menegur. Penutur dalam tuturan (D14) ialah guru perempuan berumur 43 tahun dan mitra tuturnya ialah siswa kelas XI berumur 16 tahun. Tuturan yang disampaikan penutur (D14) merupakan tindak verbal direktif karena penutur menginginkan agar mitra tutur memerhatikan penutur ketika sedang menjelaskan. Apabila mitra tutur memang tidak mau mengikuti pelajaran, penutur meminta untuk keluar dari lapangan saja. Tindak perlokusinya ialah penutur mengharapkan supaya mitra tutur menghargai penutur ketika sedang menjelaskan dengan cara diam, tidak berbicara dengan teman di sebelahnya. Tuturan (D14) memiliki makna teguran yang bersifat memojokkan kepada mitra tutur karena sibuk berbicara dengan teman dan tidak memerhatikan penjelasan materi dari penutur.

Berdasarkan konteks tersebut, tuturan yang disampaikan penutur lebih mengarah ke perilaku berbahasa yang mengancam muka sepihak mitra tuturnya.

Mitra tutur seperti dipermalukan dan seolah tidak mau mengikuti pelajaran olahraga. Tuturan tersebut disampaikan secara langsung dan terus terang di depan mitra tutur dengan penekanan suara tinggi sehingga menimbulkan kerugian bagi mitra tutur. Kerugian tersebut berupa sebuah ancaman bagi mitra tutur karena sebenarnya penutur tidak secara sengaja mengabaikan penutur ketika menjelaskan tetapi hanya sedikit bercanda. Penutur terkesan memojokkan mitra tutur dengan tuturan (D14), sedangkan mitra tutur sebenarnya sedang membicarakan hal yang berkaitan juga dengan penjelasan penutur. Penutur tidak menyadari bahwa perilakunya telah membuat sakit hati mitra tutur.

Tuturan (D1), (D2), (D7), dan (D14) merupakan tuturan yang cenderung tidak santun karena tuturan tersebut dituturkan oleh seorang guru kepada siswanya. Tuturan tersebut berupa ancaman muka terhadap mitra tutur karena menimbulkan kerugian bagi mitra tutur. Kerugian tersebut berupa ancaman malu atau keterpojokan dari penutur tetapi penutur tidak menyadarinya. Berdasarkan keempat tuturan tersebut, seharusnya dari dimensi mental penutur sudah matang karena guru telah memiliki usia yang cukup dewasa terhadap murid-muridnya dan dapat berperilaku dan bertutur kata secara sopan. Selain dimensi mental, dimensi budaya guru sebagai masyarakat terdidik seharusnya dapat menempatkan diri di hadapan siswanya dengan lebih baik. Guru seharusnya memberikan teladan yang baik tetapi dalam keempat tuturan di atas, tuturan guru cenderung memojokkan siswanya. Dari dimensi sosialnya, guru memiliki jabatan yang lebih tinggi daripada siswa, sehingga seharusnya guru dapat memberikan teguran bagi siswa secara lebih terarah dan mendidik.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tuturan yang mengancam muka secara sepihak ialah tuturan yang dihasilkan tersebut lebih menunjuk pada mengancam muka mitra tuturnya, di mana penutur tidak menyadari bahwa mitra tutur telah mendapat ancaman dari keterpojokan atau malu karena tuturan dari penutur. Hal ini sejalan pula dengan teori Terkourafi (2008:3—4) yang memandang ketidaksantunan berbahasa sebagai, ‘impoliteness occurs when the expression used is not conventionalized relative to the context of occurrence; it threatens the addressee’s face (and, through that, the speaker’s face) but no face- threatening intention is attributed to the speaker by the hearer.’ Jadi, perilaku berbahasa dalam pandangannya akan dikatakan tidak santun bilamana mitra tutur (addressee) merasakan ancaman terhadap kehilangan muka (face threaten), dan penutur (speaker) tidak mendapatkan maksud ancaman muka itu dari mitra tuturnya. Atau dengan kata lain, tuturan yang mengancam muka mitra tuturnya ialah tuturan yang sama sekali tidak berbalas, sehingga yang merasakan hanya sepihak, yakni mitra tutur.

Tuturan yang berupa ketidaksantunan berbahasa yang mengancam muka mitra tuturnya dapat dilihat berdasarkan penanda ketidaksantunan linguistik, penanda ketidaksantunan pragmatik, dan informasi indeksal. Tuturan (D1), (D2), (D7), (D12), dan (D14) memiliki tujuan tutur yang sama yaitu untuk mengancam muka mitra tuturnya. Penanda ketidaksantunan linguistik dapat dilihat berdasarkan nada, tekanan, intonasi, dan diksi. Penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks yang menyertai tuturan. Sedangkan implikatur tambahan atau informasi

indeksal dapat dilihat berdasarkan tindak verbal dan tindak perlokusi (Leech, 1993:19). Tuturan (D1), (D2), (D7), (D12), dan (D14) merupakan tindak verbal direktif yang mengungkapkan ekspresi penutur yang meminta mitra tutur untuk melakukan sesuatu. Hal ini sejalan dengan Searle (1983 melalui Rahardi, 2009:17) yang menyatakan bahwa tindak tutur direktif (directives) yakni bentuk tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk membuat pengaruh agar si mitra tutur melakukan tindakan. Tindak perlokusi dari tuturan (D1), (D2), (D7), (D12), dan (D14) ialah penutur mengharapkan supaya mitra tutur melakukan apa yang diminta penutur.

Jadi, ketidaksantunan berbahasa yang berupa mengancam muka sepihak memiliki penanda linguistik dan pragmatik. Penanda linguistik dapat dilihat berdasarkan nada, tekanan, intonasi, dan diksi. Nada yang digunakan berupa nada tinggi yang mengungkapkan kemarahan dan kekecewaan penutur kepada mitra tutur. Tekanan dalam tuturan yang mengancam muka sepihak mitra tuturnya dituturkan dengan tekanan keras dan sedang. Tekanan tersebut diberikan dalam kata yang dianggap penting dan ditekankan oleh penutur. Intonasi yang digunakan dalam tuturan-tuturan berbahasa yang mengancam muka sepihak mitra tuturnya menggunakan intonasi berita dan intonasi perintah atau seruan. Diksi yang digunakan ialah bahasa standar, nonstandar, dan populer. Penanda pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks yang menyertai tuturan. Situasi tuturan yang terjadi dapat terjadi di mana saja dan suasana tuturan dalam keadaan tegang dan serius. Implikatur tambahannya berupa tindak verbal dan tindak perlokusi. Tindak verbal dari tuturan berbahasa yang mengancam muka sepihak mitra tuturnya ialah tindak verbal direktif

sedangkan tindak perlokusinya umumnya penutur mengharapkan supaya mitra tutur melakukan apa yang diminta penutur walaupun merasa terpojokkan. Makna dari tuturan yang berupa jenis ketidaksantunan berbahasa yang mengancam muka mitra tuturnya ialah berupa ancaman atau tekanan kepada mitra tutur yang menyebabkan mitra tutur merasa terpojokkan.

4.3.5 Menghilangkan muka

Berdasarkan hasil temuan peneliti, dari sebanyak 65 tuturan, 10 tuturan diantaranya merupakan jenis ketidaksantunan berbahasa yang menghilangkan muka mitra tuturnya. Ketidaksantunan berbahasa yang menghilangkan muka mitra tuturnya merupakan tuturan yang ditemukan dan telah ditranskrip dalam komunikasi antara guru dan siswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun Ajaran 2012/2013 selama bulan November 2012.

Ketidaksantunan berbahasa yang menghilangkan muka menurut pemahaman Jonathan Culpeper (2008: 3) tentang ketidaksantunan berbahasa diberikan penekanan pada fakta ‘face loss’ atau ‘kehilangan muka’— kalau dalam bahasa Jawa mungkin konsep itu dekat dengan konsep ‘ilang raine’ (hilang mukanya). Berikut ini adalah contoh tuturannya.

(E1) Ehhh, kamu gimana malah mau keluar! Gimana penilaianmu terhadap temanmu? Siapa yang mau menggantikan?

(Konteks tuturan: Ada siswa yang maju ke depan untuk membacakan teks berita. Setiap siswa harus memberikan penilaian terhadap teman lain yang maju ke depan.

Di sisi lain, mitra tutur meminta izin kepada penutur untuk keluar ke kamar mandi. Penutur merasa siswa tersebut kurang bisa menghargai temannya saat maju ke depan).

(E2) Ayo! Kamu ini buang-buang waktu saja! Mana rambut berantakan! Gimana kamu ini, inikan ulangan!

(Konteks tuturan: Mitra tutur diminta maju ke depan kelas untuk membacakan teks berita. Mitra tutur tidak segera membacakan tetapi malah sembrono di depan kelas. Penutur merasa bahwa mitra tutur tersebut terlalu membuang-buang waktu di depan kelas).

(E3) Saya ambil yaaa? Asiikk, lumayan punya HP bagus satu atau dua minggu. Saya ganti sim card biar saya pakai.

(Konteks tuturan: Suasana ketika remedial berlangsung di kelas.Tiba-tiba terdengar bunyi HP dari dalam tas mitra tutur. Penutur berusaha mencari tahu tas yang di dalamnya terdapat HP yang aktif saat proses remedial tersebut ).

(E6) Kenapa buk emangnya? Nggak punya bahan lagi po?

(Konteks tuturan: Mitra tutur sedang menjelaskan materi tentang seksualitas. Mitra tutur mengatakan kepada penutur untuk materi aborsi di kelas dua saja).

(E10) Sebenarnya dari tadi kamu itu ngomong apa? Bisa nggak 15 menit aja diam untuk mencatat? Sudah selesai? Kalau sudah latihan saja!

(Konteks tuturan: Penutur sedang menjelaskan materi di kelas. Mitra tutur terlihat sibuk sendiri dengan teman sebangku sehingga mengganggu penutur. Penutur segera menegur mitra tutur).

Tuturan tersebut di atas termasuk ke dalam jenis ketidaksantunan berbahasa yang menghilangkan muka mitra tuturnya karena tuturan yang disampaikan dapat membuat malu mitra tuturnya di depan umum. Hal tersebut dapat dikatakan demikian karena dilihat berdasarkan penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik serta informasi indeksalnya. Penanda ketidaksantunan linguistik dapat dilihat berdasarkan nada, tekanan, intonasi, dan diksi. Penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks yang meyertai tuturan tersebut. Tuturan (E1), (E2), (E3), dan

Dokumen terkait