• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keberadaan PPK yang nampaknya cukup potensial namun pada dasarnya memiliki banyak keterbatasan, sudah mulai banyak dilirik untuk dimanfaatkan seoptimalmungkin. Kondisi keterpencilan, terbatasnya luasan lahan, terbatasnya sumberdaya manusia dan keterbatasan lainnya bukanlah halangan bagi kita untuk dapat memanfaatkan potensi-potensi yang cukup dapat diharapkan, minimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat penghuninya. Kebijakan pulau-pulau kecil yang tidak seimbang akan menghasilkan dampak negatif. Di satu pihak, tidak berkembangnya kawasan PPK akibat kebijakan yang terlalu protektif. Di pihak lain, rusaknya kawasan PPK akibat tekanan pemanfaatan berlebihan. Untuk itu perlu kebijakan yang berimbang, dimana usaha pemanfaatan PPK ditingkatkan, sementara keseimbangan ekologis kawasan masih terjaga (Bengen 2002).

Terkait dengan konteks arahan pengelolaan PPK, kegiatan pemanfaatannya hanya diperuntukkan bagi kegiatan berbasis konservasi. Artinya, pemanfaatan untuk berbagai kegiatan yang bersifat eksploratif-destruktif tidak disarankan untuk dilaksanakan. Hal ini mengingat bahwa PPK memiliki sejumlah kendala dan karakteristik yang sangat berbeda dengan pengelolaan pulau besar (mainland). Atas dasar karakteristiknya, maka arahan peruntukkan dan pemanfaatan pariwisata memiliki kriteria sebagai berikut (Bengen 2002):

1. Berjarak aman dari kawasan perikanan, sehingga dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan tersebut tidak menyebar/mencapai kawasan wisata. 2. Berjarak aman dengan kawasan lindung, sehingga dampak negatif yang

ditimbulkan oleh kegiatan di kawasan pariwisata tidak menyebar dan mencapai kawasan lindung.

3. Sirkulasi massa air di kawasan pariwisata harus lancar.

4. Pembangunan sarana dan prasarana wisata tidak mengubah kondisi pantai dan daya dukung PPK, sehingga proses erosi atau sedimentasi dapat dihindari.

Lebih jauh Fauzi dan Anna (2005) menyatakan bahwa kebijakan menyangkut PPK pada dasarnya haruslah berbasiskan kondisi dan karakteristik bio-geo-fisik serta sosial ekonomi masyarakatnya, mengingat peran dan fungsi kawasan tersebut sangat penting baik bagi kehidupan ekosistem perairan laut

maupun bagi kehidupan ekosistem daratan (mainland). Maksudnya agar sumberdaya tersebut dapat dimanfaatkan secara terus-menerus. Salah satu cara yang diterapkan adalah menetapkan Daerah Perlindungan Laut (DPL), dengan maksud: perlindungan sumberdaya perikanan, pelestarian genetik dan plasma nutfah serta mencegah rusaknya bentang alam.

Kriteria wilayah yang diperlukan untuk menentukan zona kegiatan pariwisata:

1. Mempunyai keindahan alam yang menarik untuk dilihat dan dinikmati sehingga membawa kepuasan dan kenangan manis serta memberikan rasa rileksasi dan memulihkan semangat daya produktifnya;

2. Keaslian panorama alam dan keaslian budaya; 3. Keunikan ekosistemnya;

4. Di dalam lokasi wisata tidak ada gangguan binatang buas, arus berbahaya, angin kencang, dan topografi dasar laut yang curam; dan

5. Tersedia sarana dan prasarana yang mudah dijangkau, baik melalui darat maupun laut (dekat restoran, penjualan cinderamata, penginapan dan air bersih).

Pendekatan lain bahwa wisata bahari harus dapat menjamin kelestarian lingkungan. Maksud dari menjamin kelestarian ini seperti halnya tujuan konservasi (UNEP, 1980) sebagai berikut:

1) Menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis yang tetap mendukung sistem kehidupan;

2) Melindungi keanekaragaman hayati;

3) Menjamin kelestarian dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya;

Di dalam pemanfaatan areal alam untuk wisata mempergunakan pendekatan pelestarian dan pemanfaatan. Kedua pendekatan ini dilaksanakan dengan menitikberatkan pelestarian dibanding pemanfaatan. Pendekatan ini jangan justru dibalik. Kemudian pendekatan lainnya adalah pendekatan pada keberpihakan kepada masyarakat setempat agar mampu mempertahankan budaya lokal dan sekaligus meningkatkan kesejahteraannya. Bahkan Eplerwood (1999) yang diacu dalam Fandeli dan Mukhlison (2000) memberikan konsep bahwa salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan mengatur conservation tax untuk

membiayai secara langsung kebutuhan kawasan dan masyarakat lokal. Konsep ini lebih mudah dilaksanakan karena tidak perlu melalui mekanisme seperti layaknya sebagai suatu proyek pemerintah serta dalam keadaan tertentu segera dapat dilaksanakan upaya-upaya konservasi.

Pelaku konservasi alam melihat ekowisata sebagai kegiatan yang dapat meningkatkan kemampuan finansial dalam kegiatan konservasi serta meningkatkan kepedulian masyarakat akan pentingnya upaya-upaya konservasi alam, sementara ilmuwan melihat ekowisata dapat mendukung dan melindungi lingkungan alami pada suatu kawasan konservasi, serta diharapkan dapat menjaga kelestarian lingkungan flora dan fauna (Adhikerana, 2001).

Ekowisata tidak setara dengan wisata alam. Tidak semua wisata alam akan dapat memberikan sumbangan positif kepada upaya pelestarian dan berwawasan lingkungan, jenis pariwisata tersebut yang memerlukan persyaratan-persyaratan tertentu untuk menjadi ekowisata dan memiliki pasar khusus.

Secara keseluruhan ekowisata merupakan perjalanan menikmati alam berbasiskan lingkungan sehingga membuat orang memiliki ketertarikan untuk mempelajari tentang sejarah dan kultur dari wilayah yang dikunjungi, serta memberikan manfaat ekonomi dan sosial pada masyarakat setempat sehingga meningkatkan taraf hidup masyarakat, dan mendukung konservasi sumber daya alam melalui interpretasi dan pendidikan lingkungan.

Untuk itu, ada beberapa aspek teknis yang perlu diperhitungkan demi keberhasilan ekowisata menurut Adhikerana (2001), meliputi :

1) Adanya konservasi sumber daya alam yang sedang berlangsung;

2) Tersedianya semua informasi yang diperoleh dari berbagai kegiatan penelitian di kawasan, serta penerapan hasil-hasil penelitian dalam pengelolaan kawasan; 3) Tersedianya pemandu wisata yang benar-benar memahami seluk beluk

ekosistem kawasan;

4) Tersedianya panduan yang membatasi penggunaan kawasan sebagai arena ekowisata, misalnya panduan tentang kegiatan yang dapat dilakukan, tentang zonasi kawasan sesuai dengan ekosistemnya, jalur-jalur yang dapat dilalui dalam kawasan, dan daya tampung kawasan;

5) Tersedianya program-program kegiatan ekowisata yang sesuai kondisi sumber daya alam di dalam kawasan; dan tersedianya fasilitas pendukung yang memadai, terutama sarana dan prasarana wisata.

2.5.2. Parameter Kesesuaian Pemanfaatan untuk Wisata Bahari

Kesesuaian pemanfaatan wisata bahari berbeda untuk setiap kategori wisata. Kegiatan wisata yang dapat dikembangkan dengan konsep ekowisata bahari dapat dikelompokkan atas wisata bahari dan wisata pantai. Wisata bahari merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan potensi sumberdaya laut dan dinamika air laut. Sedangkan wisata pantai merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan potensi sumberdaya pantai dan budaya masyarakat pantai (Hutabarat dkk. 2009). Berdasarkan kondisi daerah kajian penelitian, setiap kegiatan wisata bahari dibagi dua kategori yakni kategori wisata selam dan wisata snorkeling (kegiatan wisata bahari), dan kategori wisata mangrove dan rekreasi pantai (kegiatan wisata pantai).

Potensi utama untuk menunjang kegiatan pariwisata di wilayah pesisir dan laut adalah kawasan terumbu karang, pantai berpasir putih atau bersih, dan lokasi- lokasi perairan pantai yang baik untuk berselancar. Keragaman spesies pada terumbu karang dan ikan hias merupakan obyek utama yang menciptakan keindahan panorama alam bawah laut yang luar biasa bagi para penyelam dan para wisatawan yang melakukan snorkeling (Dahuri 2003).

Secara umum, jenis dan nilai setiap parameter kesesuaian untuk kegiatan wisata bahari kategori wisata selam dan wisata snorkeling hampir sama. Parameter yang dipertimbangkan dalam menilai tingkat kesesuaian pemanfaatan kedua kategori kegiatan wisata bahari tersebut adalah:

1. Kondisi kawasan penyelaman yakni menyangkut keadaan permukaan air (gelombang) dan arus. Gelombang besar dan arus yang kuat dapat membawa para penyelam ke luar kawasan wisata. Kekuatan arus yang aman bagi wisatawan maksimum 1 knot (0.51 m/detik), sesuai sampai sangat sesuai yakni di bawah 0.34 m/detik (Davis and Tisdell 1995).

2. “Kualitas” daerah penyelaman yakni menyangkut jarak pandang yang layak (sesuai) di bawah permukaan air (underwater visibility), dalam hal ini tergantung tingkat kecerahan dan kedalaman perairan, dan tutupan komunitas

karang dan life form (marine life) (Davis and Tisdell 1995; Davis Tisdell 1996). Jarak pandang yang layak untuk wisata bahari >10-20 m. Hal ini terkait dengan penetrasi matahari terhadap biota dasar permukaan air maksimum 25 m. Marine National Park Division (2001) menyatakan bahwa kedalaman 2-5 m sangat sesuai untuk melakukan wisata snorkeling, sementara wisata selam biasanya dilakukan pada kedalaman 5-10 m. Di atas kedalaman air tersebut, pengaruh gelombang juga semakin besar dan kemungkinan keberadaan hewan berbahaya sangat besar sehingga dapat mengancam para penyelam dan snorkeler.

Davis and Tisdell (1995), alasan orang berpartisipasi dalam melakukan kegiatan Scuba (Self Contained Underwater Breathing Apparatus)-Diving adalah karena hasrat untuk mencari “pengalaman di belantara laut”, ketertarikan terhadap ekologi perairan laut, sebagai sarana olahraga yang ‘berbeda dan spesial’ dengan olahraga lainnya, pesona bawah laut (formasi geologi) dan kehidupan laut (terumbu karang, hiu, dan spesies ikan lainnya), untuk tujuan hobi fotografi bawah laut, dan petualang dengan resiko tertentu. Dahuri (2003), sumberdaya hayati pesisir dan lautan seperti populasi ikan hias, terumbu karang, padang lamun, hutan mangrove, dan berbagai benteng alam pesisir (coastal landscape) unik lainnya, membentuk suatu pemandangan alamiah yang begitu menakjubkan untuk kegiatan wisata bahari. Luas kawasan terumbu karang di Indonesia diperkirakan mencapai 85 000 km2

Selain kawasan terumbu karang, Indonesia merupakan tempat komunitas mangrove terluas di dunia (4.25 juta ha) yang mewakili 25 % dari luas mangrove dunia (75 % dari luas mangrove di Asia Tenggara). Diperkirakan dalam ekosistem ini dijumpai 202 jenis vegetasi mangrove. Areal mangrove yang luas tidak hanya berperan dalam menyediakan habitat untuk berbagai macam biota, tetapi juga menciptakan keindahan, kenyamanan, dan kesegaran lingkungan atmosfir di wilayah pesisir dan laut. Hutan mangrove sering dijadikan hutan wisata yang dapat berfungsi sebagai tempat rekreasi memancing, lintas alam, dan koleksi flora

dengan keanekaragaman spesies terumbu karang mencapai 335-362 spesies karang scleractinian (kepulauan Togean 262 spesies) dan 263 spesies ikan hias, umumnya berada di Kawasan Timur Indonesia.

maupun fauna untuk ilmu pengetahuan (Dahuri 2003). Parameter yang digunakan untuk menilai kesesuaian pemanfaatan wisata bahari kategori wisata mangrove, meliputi (Ayob 2004):

1. Apa yang diharapkan seseorang dengan berkunjung ke kawasan hutan mangrove, tergantung kepentingan dan tingkat pendidikannya. Ada yang ber- kepentingan melihat sejumlah dan jenis burung (migrasi dan atau menetap), melihat lebih dekat mangrove, dan bagaimana nira diambil langsung dari nipah.

2. Selain itu, beberapa pengunjung lebih suka melakukan ‘trekking’ di jembatan bakau sambil mendengarkan burung berkicau, dan menggunakan boat untuk menjelajahi setiap bagian hutan mangrove, serta menikmati makanan laut yang diperoleh dari kawasan mangrove (Marine National Park Division 2001).

3. Ketebalan dan kerapatan mangrove dapat mempengaruhi sistem ekologi pada kawasan tersebut, termasuk keberadaan hewan lain seperti burung, kadal, ular, monyet, kepiting, udang dan beberapa moluska (Hutabarat dkk. 2009). Bengen dan Retraubun (2006), jenis dan pertumbuhan hutan mangrove di PPK dibatasi oleh ketersediaan air tawar, pasokan sedimen (bahan organik) dari daratan dan jenis substrat pasir, sehingga jenis mangrove yang dominan adalah dari genus Avicennia (api-api) dan Sonneratia.

Obyek wisata bahari lain yang berpotensi besar adalah wilayah pantai. Wilayah pantai menawarkan jasa dalam bentuk panorama pantai yang indah, tempat permandian yang bersih, serta tempat melakukan kegiatan berselancar air (Dahuri 2003). Parameter yang digunakan untuk menilai kesesuaian pemanfaatan wisata bahari kategori rekreasi pantai, meliputi (Hutabarat dkk. 2009):

1. Kondisi geologi pantai menyangkut tipe (substrat pasir), lebih lebar, kemiringan pantai (idealnya <25o

2. Kondisi fisik menyangkut kedalaman perairan, kecepatan arus dan gelombang, kecerahan perairan dan ketersediaan air tawar (maksimum 2 km) (Wong 1991).

) dan material dasar perairan pantai (idealnya berpasir) (Wong 1991).

3. Kondisi biota menyangkut tutupan lahan pantai oleh tumbuhan dan keberadaan biota berbahaya (menyangkut kenyamanan dan keselamatan wisatawan).

Dokumen terkait