• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL

6.4 Pengembangan Ekowisata Mangrove

6.4.3 Kesesuaian realitas dengan kebijakan

Kesesuaian antara realitas pengembangan ekowisata mangrove Bedul dikaji berdasarkan kebijakan dari pemerintah pusat dan kebijakan internal yang dibuat oleh Balai TNAP. Akan tetapi kebijakan internal dari Balai TNAP belum ada. Sehingga pengkajian kebijakan internal terkait pengembangan ekowisata mangrove Bedul hanya pada level MoU.

6.4.3.1 Kesesuaian realitas terhadap kebijakan dari pusat

Terdapat beberapa hal yang belum/kurang sesuai antara praktek pengembangan ekowisata mangrove Bedul terhadap peraturan pemerintah yang berlaku. Berikut merupakan beberapa kekurangsesuian tersebut.

a. Zonasi untuk keperluan ekowisata

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 56/Menhut- II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, zona rimba boleh

digunakan untuk kegiatan wisata terbatas, mengingat zona ini sering digunakan untuk habitat satwa migran dan untuk keperluan budidaya yang menunjang zona inti. Akan tetapi dalam realitasnya semua kegiatan ekowisata yang ditawarkan di Bedul memanfaatkan zona rimba tanpa adanya pembatasan kunjungan dan sampai saat ini belum ada studi tentang batas pengunjung yang diperbolehkan dalam suatu area. Bahkan kegiatan wisata yang disebut ekowisata masih bercampur dengan penyelenggaraan wisata masal. Wisata masal ke Pantai Marengan seharusnya tidak diizinkan karena mengingat status zonasinya Pantai Marengan termasuk zona rimba.

b. Persetujuan kolaborasi

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 19/Menhut-II/2004 tentang Pedoman Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam merupakan dasar yang diacu oleh Balai TNAP dalam menjalin kerjasama dengan Desa Sumberasri. Berdasarkan peraturan tersebut, kesepakatan bersama yang dituangkan dalam perjanjian kolaborasi berisi materi-materi kesepakatan, antara lain berupa: kegiatan-kegiatan yang dikolaborasikan, dukungan, hak dan kewajiban para pihak, jangka waktu kolaborasi, pengaturan sarana dan prasara setelah jangka waktu kolaborasi berakhir.

Sedangkan MoU kerjasama kolaborasi antara Balai TNAP dan Pemerintah Desa Sumberasri tidak membahas secara terperinci tentang dukungan yang diberikan oleh pihak yang berkolaborasi (Desa Sumberasri) terhadap TNAP. Sehingga materi-materi yang disebutkan di MoU masih kurang sesuai dengan dasar peraturan. Alangkah lebih baik jika MoU kerjasama antara Balai TNAP dan Pemerintah Desa Sumberasri direvisi kembali.

c. Perizinan Pengusahaan Ekowisata

Sampai saat ini, peraturan tentang penyelenggaraan ekowisata di Indonesia belum ada. Kebijakan tentang penyelenggaraan ekowisata menggunakan pendekatan kebijakan tentang penyelenggaraan

pariwisata alam. Berdasarkan PP Nomor 36 Tahun 2010, pengusahaan pariwisata alam dapat dilakukan setelah ada izin pengusahaan dan izin pengusahaan bersal dari Menteri. Jika pengembangan ekowisata mangrove di Bedul mengacu pada peraturan tersebut maka harus ada perizinan terlebih dahulu sebelum kawasan diusahakan untuk ekowisata. Tetapi dasar kebijakan yang digunakan oleh Balai TNAP dengan Desa Sumberasri adalah Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 19/Menhut-II/2004 tentang Pedoman Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, dengan tujuan utama pemberdayaan masyarkat lokal.

Mengingat tujuan pengembangan ekowisata mangrove Bedul lebih ke arah pemberdayaan masyarakat lokal maka izin pengusahaannya tidak perlu menggunakan acuan PP Nomor 36 Tahun 2010. Usaha yang didirikan oleh masyarakat setempat terkait pengembangan ekowisata mangrove hanya berskala kecil jika harus ada pelaporan perizinan pengusahaan maka akan terjadi kesulitan. Atau sebaliknya jika pengembangan ekowisata mangrove Bedul dikelola dengan mengacu PP Nomor 36 Tahun 2010 maka stakeholder

yang melakukan usaha di kawasan Bedul bukan dari masyarakat kecil setempat. Kemungkinan pengusahaan akan dilakukan oleh instansi swasta yang memiliki modal banyak. Jika hal ini terjadi maka pengusahaan di areal ekowisata mangrove Bedul hanya akan dikuasai oleh pengusaha swasta besar sehingga tidak memberikan keuntungan bagi masyarakat kecil di sekitar kawasan. Oleh karena itu menggunakan acuan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 19/Menhut-II/2004 lebih tepat dalam pengusahaan ekowisata mangrove bedul daripada menggunakan acuan PP Nomor 36 Tahun 2010.

d. Penggunaan bahan bangunan untuk sarana prasarana dan fasilitas pelengkap

Menurut Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 167/Kpts-II/1994, Penggunaan bahan bangunan untuk pembangunan sarana, prasarana dan fasilitas pelengkap diutamakan bahan-bahan dari daerah setempat yang memiliki adaptasi tinggi dengan kondisi lingkungan. Jika tidak terdapat bahan bangunan sebagaimana dimaksud, maka dipergunakan bahan bangunan dari luar yang tidak merusak kelestarian lingkungan. Kekurang sesuaian terjadi pada pembangunan darmaga dan jembatan yang sebagian dibangun dengan menggunakan beton.

Walaupun semen lebih tahan terhadap kondisi lingkungan (terutama saat air pasang), tetapi pembangunan konstruksi bagian bawah jembatan dan darmaga menggunakan semen dengan cara mengecor bagian bawah secara keseluruhan tentu mengganggu komponen kehidupan di bawahnya. Selain itu bahan dasar dari semen untuk jembatan kurang memiliki nilai estetika/keindahan.

6.4.3.2 Kesesuaian antara realitas dengan isi MoU

Perjanjian (MoU) yang sudah disepakati seharusnya dijadikan juga sebagai acuan pelaksanaan pengembangan ekowisata mangrove agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai. Pada kenyataannya ada beberapa ketentuan dalam MoU yang sampai saat ini belum dilaksanakan.

a. Jenis wisata yang dikembangkan

Berdasarkan MoU antara Balai TNAP dan Desa Sumberasri, jenis wisata yang dikembangkan adalah wisata alam terbatas. Akan tetapi pada kenyataannya pengelola sampai saat ini belum membatasi jumlah pengunjung maupun kegiatan pengunjung. Jenis wisata yang ada justru cenderung wisata masal tanpa adanya batasan apapun.

b. Pembuatan Rencana Karya Lima Tahun (RKL) dan Rencana Karya Tahunan (RKT) terkait pengembangan ekowisata mangrove Bedul Hal yang terpenting yang belum terlaksana adalah penyusunan Rencana Karya Lima Tahun (RKL) dan Rencana Karya Tahunan

(RKT). Padahal penyusunan RKL seharusnya sudah dilaksanakan sebelum pelaksanaan kegiatan pengembangan ekowisata mangrove dimulai. Rencana Karya Tahunan (RKT) seharusnya disusun sebagai acuan dalam menyelenggarakan kegiatan dalam satu tahun tetapi sampai sekarang menginjak tahun ke-3 (tahun 2010) pengembangan ekowisata mangrove Bedul belum pernah ada RKT yang jelas.

c. Kegiatan pembinaan habitat di wilayah kerjasama

Berdasarkan isi MoU disebutkan bahwa kedua pihak bersama-sama melakukan pembinaan habitat di wilayah kerjasama. Akan tetapi sampai sekarang Desa Sumberasri belum memperhatikan sampai ke arah kerjasama pembinaan habitat. Jadi pembinaan habitat di wilayah kerjasama masih menjadi tanggungjawab staf TNAP saja.

d. Pemberian sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat

Kerjasama lain adalah bersama-sama memberikan sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat di sekitar TNAP. Akan tetapi saat ini kegiatan sosialisasi dan penyuluhan masih menjadi tugas staf TNAP saja.

Dokumen terkait