• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evalusai Pengembangan Ekowisata Mangrove: Studi kasus di Bedul, Resort Grajagan, Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi, Jawa Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evalusai Pengembangan Ekowisata Mangrove: Studi kasus di Bedul, Resort Grajagan, Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi, Jawa Timur"

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI PENGEMBANGAN EKOWISATA MANGROVE:

STUDI KASUS DI BEDUL, RESORT GRAJAGAN,

TAMAN NASIONAL ALAS PURWO, JAWA TIMUR

IKA SATYASARI

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

(2)

BEDUL, GRAJAGAN RESORT, ALAS PURWO

Haryanto R. Putro and Nyoto Santoso

INTRODUCTION. Mangrove forest is a very unique tropical forest ecosystem. Alas Purwo National Park (APNP) possesses some natural mangrove forest. The development of mangrove ecotourism in APNP has occurred before 2007 by APNP and Desa Sumberasri. However, it is not easy to establish ecotourism which contributes to the satisfaction of the visitors, well-being of the

local people and ecological sustainability. It is worrying when the term “ecotourism’ is just used for

marketing of certain tourism products with a lack of stakeholders’ understanding of ecotourism principles. Therefore, evaluating mangrove ecotourism development in APNP should be conducted. The objectives of this research are to identify mangrove ecotourism potentials at APNP, evaluate the current tourism activity at Bedul APNP and its development into mangrove ecotourism by cross checking it to principles of ecotourism, and finally, arrange recommendations to APNP regarding mangrove ecotourism implementation.

METHODS. The data that were collected consist of ecotourism potentials, current tourism activity at Bedul, local people activity-related ecotourism and process of mangrove ecotourism development (goal and function of APNP, stakeholders, policy on ecotourism, ecotourism development planning agenda). Data on ecotourism potentials were collected through a literature and document review, discussion, observation and interviews. Data were analyzed based on their types and functions. Each problem analysis is related to others that can be used to cross check between realities to principles of ecotourism.

RESULT & DISCUSSION. The density of mangrove trees at Bedul TNAP with 1.507 individual/ha is very good. Nine water-birds are protected by Indonesian Governmental Law No. 7, 1999; one of which, Lesser Adjutant (Leptotilos javanicus), is also categorized as a vulnerable species based on the IUCN Red List. Physical potentials such as traditional boats, bridges, track, sign and interpretation boards still need much improvement. Local tradition appropriate for ecotourism, includes traditional fishing methods. Regarding tourism activities at Bedul APNP, most visitors showed unfriendly environmental behavior during their visit. They preferred visiting at beach rather than exploring the mangroves. The respondents of visitors (n=40) did not want to spend more than Rp 400.000,- for their group visit. Twenty eight percent of the local interviewees (n=46) received a direct benefit from mangrove ecotourism development at Bedul APNP. Even though more local people have not felt a direct benefit, they agree with the development of mangrove ecotourism at Bedul APNP. The management of mangrove ecotourism at Bedul is in poor condition. The managers do not consider maximum visits or the creation of a conservation fund from the entry fees.

CONCLUSION. This evaluation shows that: (1) Biological potentials of ecotourism at Bedul APNP are in good condition. Traditional local activities in using mangrove ecosystem also have good ecotourism potential. However, the local infrastructure needs to be considered as in a poor condition. Facilities that need to be developed consist of boats, river port, track, and prohibition and direction signs. While facilities that need to be provided are wooden bridges and interpretation boards; (2) The implementation of tourism at Bedul is still far from the seven principals of ecotourism. Mangrove ecotourism activity at APNP has good possibility giving benefit to local people. Some recommendation to mangrove ecotourism development: (1) The ecotourism facilities have to be developed and provided; (2) The concept of mangrove ecotourism should insist education and awareness to the visitors and local people and (3) Review to the zone of APNP should be conducted.

(3)
(4)

RINGKASAN

IKA SATYASARI. Evaluasi Pengembangan Ekowisata Mangrove: Studi Kasus di Bedul, Resort Grajagan, Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi, Jawa Timur. Dibimbing oleh HARYANTO R. PUTRO dan NYOTO SANTOSO.

Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan tropik yang unik. Taman Nasional Alas Purwo (TNAP) memiliki ekosistem mangrove yang masih alami. Pengembangan ekowisata mangrove di TNAP sudah dipikirkan sejak sebelum tahun 2007 oleh pihak TNAP dan Desa Sumberasri. Bagaimanapun juga, mewujudkan ekowisata yang meberikan kontribusi terhadap kepuasan pengunjung, kesejahteraan penduduk lokal dan keberlanjutan ekologi bukanlah

hal yang mudah. Kekhawatiran timbul ketika istilah “ekowisata” hanya digunakan

untuk memasarkan suatu produk wisata tertentu karena minimnya pengetahuan

stakeholder terhadap prinsip-prinsip ekowisata. Oleh karena itu, evaluasi pengembangan ekowisata mangrove di TNAP perlu dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi potensi ekowisata mangrove di TNAP, mengevaluasi kegiatan wisata yang sudah berjalan di bedul dan pengembangannya sebagai ekowisata mangrove dan merumuskan rekomendasi terhadap penyelenggaraan ekowisata mangrove di TNAP.

Data yang dikumpulkan meliputi: potensi ekowisata, kegiatan wisata yang sudah ada saat ini di Bedul, kegiatan masyarakat lokal terkait ekowisata dan proses-proses pengembangan ekowisata mangrove (tujuan dan fungsi TNAP,

stakeholder dan kebijakan terkait ekowisata). Data dikumpulkan berdasarkan studi literatur, penyelusuran dokumen, diskusi, observasi dan wawancara. Data dianalisis berdasarkan jenis dan fungsinya. Setiap analisis permasalahan saling berhubungan sehingga dapat digunakan sebagai bahan cross chek antara realitas dan prinsip-prinsip ekowisata.

Kerapatan pohon mangrove di Bedul TNAP sebesar 1.507 individu/ha tergolong sangat baik. Sembilan burung air dilindungi oleh Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999; salah satu diantaranya adalah Bangau Tong-tong

(5)

keuntungan secara langsung, tetapi mereka setuju terhadap pengembangan ekowisata mangrove di Bedul TNAP. Pengelola belum memikirkan kunjungan maksimum dan alokasi dana konservasi yang didapat dari tiket masuk.

Evaluasi menunjukkan: (1) Potensi biologi ekowisata mangrove di Bedul TNAP dalam keadaan baik. Kegiatan penduduk lokal dalam memanfaatkan ekosistem mangrove secara tradisional memiliki potensi yang untuk ekowisata. Akan tetapi, Potensi fisik khususnya fasilitas ekowisata perlu diperhatikan lagi. Fasilitas yang perlu diperbaiki antara lain perahu, darmaga, track menuju kawasan papan larangan dan papan petunjuk arah. Sementara fasilitas yang perlu segera diadakan antara lain jembatan dari kayu dan papan interpretasi; (2) Pelaksanaan wisata di Bedul masih jauh dari prinsip-prinsip ekowisata. Kegiatan ekowisata mangrove di TNAP diperkirakan dapat memberikan peluang keuntungan ekonomi bagi masyarakat lokal. Beberapa rekomendasi diantaranya: (1) Pengadaan dan perbaikan terhadap fasilitas ekowisata; (2) Pengembangan konsep ekowisata perlu menekankan proses edukasi dan penyadaran terhadap masyarakat dan pengunjung dan (3) Perlunya review terhadap zonasi.

Kata kunci: Evaluasi, Ekowisata Mangrove, Taman Nasional Alas Purwo

(6)

SUMMARY

IKA SATYASARI. The Evaluation of Mangrove Ecotourism Development:

A Case Study from Bedul, Grajagan Resort, Alas Purwo National Park, Banyuwangi, East Java. Under supervision of HARYANTO R. PUTRO and NYOTO SANTOSO.

Mangrove forest is a very unique tropical forest ecosystem. Alas Purwo National Park (APNP) possesses some natural mangrove forest. The development of mangrove ecotourism in APNP has occurred before 2007 by APNP and Desa Sumberasri. However, it is not easy to establish ecotourism which contributes to the satisfaction of the visitors, well-being of the local people and ecological

sustainability. It is worrying when the term “ecotourism’ is just used for

marketing of certain tourism products with a lack of stakeholders’ understanding

of ecotourism principles. Therefore, evaluating mangrove ecotourism development in APNP should be conducted. The objectives of this research are to identify mangrove ecotourism potentials at APNP, evaluate the current tourism activity at Bedul APNP and its development into mangrove ecotourism by cross checking it to principles of ecotourism, and finally, arrange recommendations to APNP regarding mangrove ecotourism implementation.

The data that were collected consist of ecotourism potentials, current tourism activity at Bedul, local people activity-related ecotourism and process of mangrove ecotourism development (goal and function of APNP, stakeholders, policy on ecotourism, ecotourism development planning agenda). Data on ecotourism potentials were collected through a literature and document review, discussion, observation and interviews. Data were analyzed based on their types and functions. Each problem analysis is related to others that can be used to cross check between realities to principles of ecotourism.

The density of mangrove trees at Bedul TNAP with 1.507 individual/ha is very good. Nine water-birds are protected by Indonesian Governmental Law No. 7, 1999; one of which, Lesser Adjutant (Leptotilos javanicus), is also categorized as a vulnerable species based on the IUCN Red List. Physical potentials such as traditional boats, bridges, track, sign and interpretation boards still need much improvement. Local tradition appropriate for ecotourism, includes traditional fishing methods. Regarding tourism activities at Bedul APNP, most visitors showed unfriendly environmental behavior during their visit. They preferred visiting at beach rather than exploring the mangroves. The respondents of visitors (n=40) did not want to spend more than Rp 400.000,- for their group visit. Twenty eight percent of the local interviewees (n=46) received a direct benefit from mangrove ecotourism development at Bedul APNP. Even though more local people have not felt a direct benefit, they agree with the development of mangrove ecotourism at Bedul APNP. The management of mangrove ecotourism at Bedul is in poor condition. The managers do not consider maximum visits or the creation of a conservation fund from the entry fees.

(7)

This evaluation shows that: (1) Biological potentials of ecotourism at Bedul APNP are in good condition. Traditional local activities in using mangrove ecosystem also have good ecotourism potential. However, the local infrastructure needs to be considered as in a poor condition. Facilities that need to be developed consist of boats, river port, track, and prohibition and direction signs. While facilities that need to be provided are wooden bridges and interpretation boards; (2) The implementation of tourism at Bedul is still far from the seven principals of ecotourism. Mangrove ecotourism activity at APNP has good possibility giving benefit to local people. Some recommendation to mangrove ecotourism development: (1) The ecotourism facilities have to be developed and provided; (2) The concept of mangrove ecotourism should insist education and awareness to the visitors and local people and (3) Review to the zone of APNP should be conducted.

(8)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi Pengembangan Ekowisata Mangrove: Studi Kasus di Bedul, Resort

Grajagan, Taman Nasional Alas Purwo, Jawa Timur adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tunggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Desember 2010

(9)

EVALUASI PENGEMBANGAN EKOWISATA MANGROVE: STUDI

KASUS DI BEDUL, RESORT GRAJAGAN,

TAMAN NASIONAL ALAS PURWO, JAWA TIMUR

IKA SATYASARI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada

Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Judul Skripsi : Evaluasi Pengembangan Ekowisata Mangrove: Studi Kasus di Bedul, Resort Grajagan, Taman Nasional Alas Purwo, Jawa Timur

Nama : Ika Satyasari

NIM : E34052746

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Ketua, Anggota,

Ir. Haryanto R. Putro, MS Ir. Nyoto Santoso, MS NIP. 196009281985031004 NIP.196203151986031002

Mengetahui,

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Ketua,

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS NIP. 195809151984031003

(11)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Evaluasi Pengembangan Ekowisata Mangrove: Studi Kasus di Bedul, Resort

Grajagan, Taman Nasional Alas Purwo, Provinsi Jawa Timur”. Penelitian skripsi ini dilakukan pada bulan Februari sampai April 2010 di Taman Nasonal Alas Purwo Kabupaten Banyuwangi.

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: (a) mengidentifikasi potensi ekowisata mangrove di TNAP; (b) mengevaluasi kegiatan wisata mangrove yang sudah ada di TNAP dan pengembangannya sebagai ekowisata mangrove dan (c) selanjutnya merumuskan rekmendasi terhadap penyelenggaraan ekowisata mangrove di TNAP.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis merasa senang dan terima kasih jika ada saran dan kritik yang membangun. Semoga skripsi hasil penelitian ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2010

Penulis

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Klaten, Jawa Tengah pada tanggal 13 April 1987 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan L. Purwasanjaya dan Sandinah.

Pada tahun 2005 penulis lulus dari SMA N 1 Klaten dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Pada tahun kedua di IPB, penulis memilih Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan sebagai mayornya.

Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan, yakni OMDA KMK (Organisasi Daerah Keluarga Mahasiswa Klaten), HIMAKOVA (Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan & Ekowisata), DKM (Dewan Keluarga Mushola) Ibaadurrahmaan FAHUTAN dan IFSA (International Forestry Students Association). Kegiatan besar organisasi yang pernah diikuti oleh penulis antara lain SURILI (Studi Konservasi Lingkungan) di TN. Bantimurung Bulusaraung, Sulawesi Selatan tahun 2007; UNFCCC (United Nation Framework on Climate Change Conference) COP-13 di Bali sebagai observer mahasiswa tahun 2007; IFSS (International Forestry Students Symposium) ke-36 di Bulgaria tahun 2008; IFSS ke-37 di Indonesia tahun 2009 dan Kongres Dunia IUFRO (International Union on Forest Research Organization) ke-23 tahun 2010 di Korea Selatan.

(13)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu kelancaran skripsi ini:

1. Ir. Haryanto R. Putro, M.S. dan Ir. Nyoto Santoso, M.S. selaku dosen pembimbing skripsi

2. Ir. Hartono, M.Sc, Kepala Taman Nasional Alas Purwo (TNAP) pada tahun lalu atas izin pelaksanaan penelitiannya

3. Bapak Untung selaku Kepala Resort Grajagan, Mas Gendhut, Mas Arif, beserta seluruh staf TNAP yang telah membantu selama penelitian

4. Dr. Hendrayanto dan Dr. Supriyanto atas segala nasehat dan dukungannya

5. Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda, M.Sc., Soni Trison, S. Hut, M.Si dan Istie Sekartining Rahayu, S. Hut, M.Si selaku dosen penguji

6. Ibunda, ayahanda dan kedua adik tercinta atas dukungan dan doanya 7. Keluarga Wiku Suharyoto yang telah banyak membantu selama di

Banyuwangi

8. Prof. EKS Harini Muntasib atas nasehat penulisan karya ilmiah yang pernah diberikan kepada saya. Latipah Hendarti, M.Sc dan Eva Rachmawati, M.Si atas masukannya.

9. Mbak Salwa, Kak Sebastian, Wani, Darren, Ronald, Mas Adi

“Gudang Buku”, Kak Fahmi, Afwan, Ibet, Rofiq dan Ajeng atas bantuan dan masukannya

10. Febriansyah, Rista, Angga, Nida, Mas Momo dan teman-teman Tim PKLP TNAP 2010 (Gilang, Marolop, Pande, Des, Dian, Diah dan Erlin) atas bantuannya selama di lapang

11. Teman-teman Tim PKLP TNAP 2009 (Teh Lin, Bono, Iwan, Muti, Farikhin dan Itha), teman-teman KSHE’42, teman-teman IFSA LC-IPB dan alumni IFSA LC-LC-IPB (Mas Langlang, Mbak Galuh, Mas Dinda, Mas Buret, dsb.), teman-teman KMK (Keluarga Mahasiswa Klaten) dan Wisma Nuradi (Rina, Tiwi, Bu Sita, Bu Irvi, Bu Emi, Nazla, dll.) atas dukungannya.

(14)

DAFTAR ISI

2.1.1 Pengertian hutan mangrove ...5

2.1.2 Struktur vegetasi mangrove ...6

2.1.3 Keragaman hayati di hutan mangrove ...8

2.1.4 Fungsi mangrove ...9

2.2 Ekowisata ...10

2.2.1 Pengertian ekowisata ...10

2.2.2 Ekowisata dan beberapa bentuk wisata khusus ...14

2.2.3 Prinsip-prinsip ekowisata ...15

2.2.4 Karakteristik ekowisatawan ...20

2.3 Evaluasi Pengembangan Ekowisata ...21

2.4 Taman Nasional ...25

III. METODE PENELITIAN ...27

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ...27

3.2 Alat dan Bahan ...27

3.3 Orientasi Lapang ...28

3.4 Jenis Data yang Dikumpulkan ...28

3.4.1 Potensi ekowisata ...28

3.4.2 Kegiatan wisata yang sudah ada dan aktivitas masyarakat lokal terkait penyelenggaraan wisata: ...28

3.5 Metode Pengumpulan Data ...29

3.5.1 Studi literatur dan diskusi ...29

3.5.2 Observasi ...29

3.5.3 Wawancara (Interview) ...32

3.6 Pengolahan dan Analisis Data ...33

3.6.1 Analisis potensi ekowisata ...33

3.6.2 Analisis kegiatan wisata ...33

3.6.3 Analisis pengembangan ekowisata mangrove ...34

IV. KONDISI UMUM ...35

4.1 Letak dan Luas ...35

4.2 Topografi ...35

4.3 Geologi ...36

(15)

4.5 Iklim ...36

4.6 Hidrologi ...37

4.7 Potensi Sumberdaya Alam ...37

4.7.1 Potensi flora ...37

4.7.2 Potensi fauna ...39

4.8 Aksesibilitas ...40

4.9 Sosial - Ekonomi dan Budaya Masyarakat Desa Penyangga ...40

V. HASIL...42

5.2.1 Paket wisata yang ditawarkan ...52

5.2.2 Pengunjung ...55

5.3 Masyarakat Lokal di Sekitar Kawasan ...58

5.3.1 Karakteristik responden masyarakat lokal ...58

5.3.2 Keterkaitan mata pencaharian masyarakat lokal terhadap pemanfaatan kawasan ...59

5.3.3 Matapencaharian masyarakat lokal yang berkaitan dengan wisata ...60

5.4 Pengembangan Ekowisata Mangrove di TNAP ...61

5.4.1 Fungsi dan tujuan TNAP ...61

5.3.2 Stakeholder ...62

6.2 Kegiatan Wisata yang Sudah Ada ...85

6.3 Aktivitas Ekonomi Masyarakat Lokal terkait Penyelenggaraan Wisata ...87

6.4 Pengembangan Ekowisata Mangrove ...88

6.4.1 Kesesuaian pengembangan ekowisata mangrove dengan fungsi dan tujuan TNAP ...88

6.4.2 Proses pengembangan ekowisata mangrove ...90

6.4.3 Kesesuaian realitas dengan kebijakan ...92

6.5 Kesesuaian Pengembangan Ekowisata Mangrove dengan Prinsip-Prinsip Ekowisata ...96

6.5.1 Prinsip ekologi berkelanjutan ...96

6.5.2 Prinsip berbasiskan alam/budaya ...103

6.5.3 Prinsip edukasi ...105

6.5.4 Prinsip keuntungan bagi masyarakat lokal ...107

6.5.5 Prinsip mendukung upaya konservasi ...109

6.5.6 Prinsip sesuai dengan peraturan pemerintah ...109

6.5.7 Prinsip kepuasan pengunjung ...110

VII. KESIMPULAN & REKOMENDASI ...113

7.1 Kesimpulan ...113

(16)
(17)

DAFTAR TABEL

No. Hal

1. Jenis-jenis Burung Air di TNAP ...9

2. Prinsip-prinsip ekowisata dan pengertiannya ...17

3. Jenis spesies mangrove sejati di Bedul ...42

4. Kerapatan Jenis Mangrove ...43

5. Sebaran kekayaan jenis dan jumlah individu...44

6. Jenis burung air yang dijumpai pada lokasi pengamatan ...46

7. Jenis fauna selain burung air ...48

8. Fasilitas ekowisata mangrove Bedul ...49

9. Aksesibilitas menuju TNAP (Wisata Bedul) ...51

10. Perbandingan realitas pengembangan ekowisata mangrove dengan fungsi dan tujuan TNAP ...63

11. Stakeholder yang terlibat dalam pengembangan ekowisata mangrove ...65

12. Perbandingan antara peraturan dan realitas terkait pengembangan ekowisata mangrove di TNAP ...69

13. Perbandingan antara MoU dan Realitas ...73

(18)

DAFTAR GAMBAR

No. Hal

1. Diagram Kerangka Kerja Penelitian ...4

2. Peta lokasi penelitian. ...27

3. Plot Petak untuk Mengetahui Komposisi Mangrove ...30

4. Fasilitas ekowisata mangrove Bedul. ...51

5. Rute paket wisata yang ditawarkan di Bedul ...54

6. Grafik jumlah pengunjung wisata Bedul bulan Juli-Desember 2009 ...55

7. Karakteristik responden pengunjung ...57

8. Motivasi para pengunjung wisata di Bedul ...57

9. Karakteristik responden penduduk lokal ...58

10. Spesies mangrove langka secara global tetapi masih umum ditemukan di daerah74 11. Burung air. ...76

12. Fauna selain burung air. ...77

13. Aktivitas tradisional masyarakat. ...84

(19)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sektor pariwisata dipercaya sebagai salah satu penyumbang devisa yang tinggi bagi Negara Indonesia. Sejak tahun 2008, pemerintah Indonesia lebih menggalakkan promosi tentang pariwisata di Indonesia melalui program Visit Indonesia. Indonesia memiliki kekayaan dan keindahan alam yang tidak ternilai harganya. Keanekaragaman dan keunikan lingkungan alam serta kebudayaan Indonesia telah diakui secara internasional. Hal ini menjadikan promosi untuk pengembangan pariwisata di Indonesia tidak terbatas.

Minat wisatawan baik dari dalam maupun luar negeri, tidak terbatas di objek-objek wisata yang terkenal dan ramai saja. Beberapa khalayak justru memandang objek wisata yang terlalu ramai kurang memberikan kesan yang berarti. Seiring dengan kecenderungan back to nature dan pergesaran paradigma dari produk kayu ke non kayu, maka usaha ekowisata pada masa yang akan datang memiliki kecenderungan permintaan yang semakin meningkat. Tidak sekedar berwisata alam saja, dalam ekowisata selain memberikan kepuasan pribadi juga dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran, pemahaman dan dukungan terhadap usaha-usaha konservasi alam.

(20)

mangrove di TNAP yang selalu pasti dapat ditemukan di daerah atau di negara lain ini, berpotensi besar untuk dikembangkan sebagai tempat ekowisata.

Gagasan dan kerjasama untuk mengembangkan ekowisata mangrove dilakukan sejak sebelum tahun 2007 antara Balai TNAP dengan Desa Sumberasri. Tidak dapat dipungkiri bahwa mewujudkan ekowisata yang dapat memberikan kepuasan kepada pelaku ekowisata, meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar dan memperhatikan keberlangsungan ekologi, bukanlah hal yang mudah. Oleh karena itu evaluasi mengenai pengembangan ekowisata di TNAP perlu dilakukan. Melalui evaluasi ini, dapat diketahui sudah sesuai atau belumnya antara implementasi ekowisata mangrove di TNAP dengan prinsip-prinsip ekowisata. Hasil dari analisis ini diharapkan dapat memberikan saran terhadap penyelenggaraan ekowisata mangrove di TNAP agar integrated sustainable ecotourism (ekowisata yang terintegrasi berkelanjutan) dapat tercapai.

1.2 Perumusan Masalah

Hutan mangrove di TNAP termasuk ekosistem hutan tropika yang sangat unik dan memiliki kealamian yang masih baik. Keunikan yang tidak selalu dapat ditemukan di daerah atau di negara lain ini, perlu dikonservasi dengan sebaik-baiknya. Melakukan konservasi bukan berarti melarang untuk memanfaatkan. Pengelolaan hutan mangrove bertujuan agar sumberdaya yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan, dalam arti kesejahteraan rakyat dapat meningkat tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan yang merugikan kepentingan generasi yang akan datang.

(21)

sesuai dengan kriteria–kriteria yang diusulkan. Pelaksanaan ekowisata masih memungkinkan untuk terjadinya kesalahan dalam memahami dan memanfaatkan gagasan ini. Banyak orang menyederhanakan bahwa ekowisata adalah akivitas wisata alam terbuka semacam gunung, hutan, pedesaan dan sebagainya (Rahardjo 2004) Kekhawatiran baru timbul ketika istilah ekowisata digunakan hanya sebagai label pemasaran produk wisata yang berbasis alam dengan memanfaatkan peluang emas dan kecenderungan pasar. Bertolak dari hal tersebut, maka permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut:

1. Apakah realitas yang ada di lapangan (meliputi: potensi, kegiatan, pengelolaan dan pengunjung wisata Mangrove di TNAP) sudah sesuai dengan tolok ukur ekowisata?

2. Jika terdapat ketidaksesuaian (gap) antara realitas wisata yang ada dengan tolok ukur ekowisata, apa yang menjadi penyebabnya?

3. Bagaimana seharusnya penyelenggaraan ekowisata mangrove di TNAP?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kesesuaian pengembangan ekowisata mangrove di Sub Resort Bedul TNAP dengan prinsip-prinsip (tolok ukur) ekowisata serta mencari permasalahan yang menyebabkan ketidaksesuaian antara realitas dan tolok ukur ekowisata. Secara lebih rinci tujuan penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Mengidentifikasi potensi ekowisata mangrove di TNAP

b. Mengevaluasi kegiatan wisata mangrove yang sudah ada di TNAP dan pengembangannya sebagai ekowisata mangrove

c. Merumuskan rekomendasi terhadap penyelenggaraan ekowisata mangrove di TNAP.

1.4 Kerangka Pemikiran

(22)

1996; Björk 1997 dalam Higham 2007; Sirakaya et al. 1999 dalam Higham 2007; Weaver 2001 dalam Higham 2007; Fennell 2003 dalam Higham 2007; dll.). Prinsip-prinsip ekowisata yang diusulkan oleh para ahli tersebut, jika disimpulkan adalah ekologi berkelanjutan, berbasiskan alam, bersifat edukasi, memberikan keuntungan bagi masyarakat lokal, mendukung upaya konservasi, sesuai dengan peraturan pemerintah dan memberikan kepuasan kepada pengunjung. Sementara hal yang dievaluasi adalah realitas yang sesungguhnya di lapangan yang meliputi: potensi ekowisata, wisata yang sudah diselenggarakan di TNAP, kesesuaian kegiatan wisata dengan kebijakan yang sudah ada serta kegiatan ekonomi masyarakat terkait penyelenggaraan wisata. Secara sistematis kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan Mangrove

2.1.1 Pengertian hutan mangrove

Hutan mangrove seringkali disebut dengan hutan bakau. Akan tetapi sebenarnya istilah bakau hanya merupakan nama dari salah satu jenis tumbuhan penyusun hutan mangrove, yaitu Rhizopora spp. Oleh karena itu, istilah hutan mangrove sudah ditetapkan sebagai nama baku untuk mangrove forest (Dahuri 1996).

Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Kata mangrove dalam bahasa Inggris digunakan baik untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang surut maupun untuk individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut. Sedangkan dalam bahasa Portugis, kata mangrove digunakan untuk menyatakan individu spesies tumbuhan, dan kata mangal untuk mengatakan komunitas tumbuhan tersebut (Macnae 1968 diacu dalam Kusmana et al. 2005).

Mangrove merupakan pohon yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut

(intertidal trees), ditemukan di sepanjang pantai tropis di seluruh dunia. Pohon mangrove biasanya dipengaruhi oleh pasang sehingga mangrove memiliki adaptasi fisiologis secara khusus untuk menyesuaikan diri dengan garam yang ada di dalam jaringannya. Mangrove juga memiliki adaptasi melalui sistem perakaran untuk menyokong dirinya di sedimen lumpur yang halus dan mentransportasikan oksigen dari atmosfer ke akar. Sebagian besar mangrove memiliki benih terapung yang diproduksi setiap tahun dalam jumlah besar dan terapung hingga berpindah ke tempat baru untuk berkelompok (Lewis 2004).

(24)

lumpur. Sedangkan di wilayah pessisir yang tidak terdapat muara sungai, hutan mangrove pertumbuhannya tidak optimal. Mangrove tidak atau sulit tumbuh di wilayah yang terjal dan berombak besar dengan arus pasang surut kuat karena kondisi ini tidak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur, substrat yang diperlukan untuk pertumbuhannya. Hal ini terbukti dari daerah persebaran mangrove di Indonesia yang umumnya terdapat di Pantai Timur Sumatera, Kalimantan, Pantai Utara Jawa dan Irian Jaya. Penyebaran hutan mangrove juga dibatasi oleh letak lintang karena mangrove sangat sensitif terhadap suhu dingin (Dahuri 1996).

Bangen (2001) menyebutkan karakteristik hutan mangrove sebagai berikut:

a. Umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir

b. Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove

c. Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat

d. Terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Air bersalinitas payau (2-22 permil) hingga asin (mencapai 38 permil).

2.1.2 Struktur vegetasi mangrove

(25)

Secara sederhana, mangrove umumnya tumbuh dalam 4 zona (Noor et al. 1999), yaitu:

a. Mangrove terbuka

Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zonasi ini, biasanya berasosiasi dengan Sonneratia spp. yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik (Bengen 2001).

b. Mangrove Tengah

Mangrove di zona ini terletak di belakang mangrove zona terbuka. Di zona ini umumnya didominasi oleh Rhizopora spp. Selain itu sering juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp. (Noor et al. 1999 dan Bengen 2001).

c. Mangrove payau

Zona ini berada di sepanjang sungai berair payau sampai tawar. Zona ini biasanya didominasi oleh komunitas Nypa dan Sonneratia (Noor et al.

1999).

d. Mangrove daratan

Mangrove berada di zona perairan payau atau hampir tawar di belakang jalur hijau mangrove yang sebenarnya. Jenis-jenis yang utama ditemukan pada zona ini termasuk Ficus microcarpus, Intsia bijuga, N. fruticans, Lumnitzera racemosa, Pandanus sp. dan Xylocarpus moluccensis. Zona ini memiliki kekayaan jenis tinggi daripada zona lainnya (Noor et al.

1999).

Tomlinson (1984) diacu oleh Kusmana et al. (2005) membagi flora mangrove menjadi 3 kelompok, yaitu:

(26)

fisiologis dalam mengkontrol garam. Contoh: jenis-jenis dari genus

Avicennia, Rhizopora, Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Sonneratia,

Lumnitzera dan Nypa.

b. Flora mangrove penunjang (minor), yaitu flora mangrove yang tidak mampu membentuk tegakan murni, sehingga secara morfologis tidak berperan dominan dalam struktur komunitas. Contoh: Excoecaria,

Xylocarpus, Heritiera, Aegiceras, Aegialitis, Acrostichum,

Camptostermon, Scyphiphora, Pemphis, Excoecaria, Ombomia dan

Pelliciera.

c. Tumbuhan asosiasi mangrove, yaitu flora yang berasosiasi dengan tumbuhan mangrove sejati dan penunjang. Flora jenis ini ditemukan sebagai vegetasi transisi. Jalurnya belum bisa dipastikan. Contoh: jenis-jenis dari genus Cerbera, Acanthus, Derris, Hibiscus, Calamus dan lain-lain.

Zona vegetasi mangrove berkaitan erat dengan pasang surut. Pada umumnya lebar zona mangrove jarang melebihi 4 kilometer, kecuali pada beberapa estuari serta teluk yang dangkal dan terutup. Pada daerah seperti ini lebar zona mangrove dapat mencapai 18 kilometer (Noor et al. 1999).

2.1.3 Keragaman hayati di hutan mangrove

Indonesia terdapat perbedaan dalam hal keanekaragaman jenis mangrove antara satu pulau dengan pulau yang lainnya. Dari 202 jenis yang telah diketahui, 166 jenis terdapat di Jawa, 157 jenis di Sumatera, 150 jenis di Kalimantan, 142 jenis di Irian Jaya, 135 jenis di Sulawesi, 133 jenis di Maluku dan 120 jenis di Kepulauan Sunda Kecil. Pengecualian untuk di Pulau Jawa, meskipun memiliki keragaman jenis yang paling tinggi akan tetapi sebagian besar dari jenis-jenis yang tercatat berupa jenis gulma (seperti Chenopdiaceae, Cyperaceae, Poaceae).

Dalam hal kelangkaan, terdapat 14 macam tumbuhan mangrove langka di Indonesia (Noor et al. 1999), yaitu:

(27)

Jenis-jenisnya adalah: Ceriops decandra, Scyphiphora hydrophyllacea, Quasia indica, Sonneratia ovate, Rhododendron brookeanum.

b. Lima jenis yang langka di Indonesia tetapi umum di tempat lain, sehingga secara global tidak memiliki pengelolaan secara khusus. Jenis-jenis tersebut adalah Eleocharis parvula, Fibristylis sieberiana, Sporobolus virginicus, E. spitalis dan Scirpus litoralis.

c. Empat jenis sisanya berstatus langka secara global, sehingga memerlukan pengelolaan khusus untuk menjamin hidupnya. Jenis-jenisnya adalah

Amyema anisomere, Oberonia rhizophoreti, Kandelia candel dan

Nephrolepsis acutifolia.

Selain memiliki vegetasi yang khas, mangrove merupakan habitat bagi berbagai jenis satwa liar seperti primata, reptil dan burung. Mangrove biasanya digunakan sebagai tempat berlindung, mencari makan dan tempat berkembang biak bagi burung air. Berdasarkan penelitian Priambodo (2007) di Taman Nasional Alas Purwo ditemukan 13 jenis burung air (Tabel 1).

Tabel 1 Jenis-jenis Burung Air di TNAP

No. Nama Lokal Nama Latin Famili

1. Cangak laut Ardea sumatrana Ardeidae 2. Kuntul kecil Agretta garzetta Ardeidae 3. Bangau tongtong Leptootilos javanicus Ciconiidae 4. Cerek pasir besar Charadrius leschenaultia Charadriidae 5. Gajahan besar Numenius arquata Scolopacidae 6. Biru laut ekor blorok Limosa lapponica Scolopacidae 7. Gajahan penggala Numenius phaeopus Scolopacidae 8. Trinil kaki merah Tringa tetanus Scolopacidae 9. Trinil kaki hijau Tringia nebularia Scolopacidae 10. Trinil bedaran Tringia cinereus Scolopacidae 11. Trinil pantai Tringia hypoleucos Scolopacidae 12. Dara laut jambul Sterna bergii Sternidae 13. Dara laut benggala Sterna bengalensis Sternidae

Sumber: Priambodo (2007)

2.1.4 Fungsi mangrove

(28)

pendukung populasi satwaliar meliputi burung penyeberang maupun burung air (Lewis 2004).

Bengen (2001) menyebutkan fungsi dan manfaat mangrove sebagai berikut:

a. Sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung dari abrasi, penahan lumpur dan penagkap sedimen.

b. Penghasil sejumlah besar detritus dari daun dan dahan pohon mangrove c. Daerah asuhan (nursery grounds), daerah mencari makanan (feeding

grounds) dan daerah pemijahan (spamming grounds) berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lainnya.

d. Penghasil kayu untuk bahan konstruksi, kayu bakar, bahan baku arang dan bahan kertas (pulp).

e. Pemasok larva ikan, udang dan biota laut lainnya. f. Sebagai tempat pariwisata.

2.2 Ekowisata

2.2.1 Pengertian ekowisata

Sejarah tentang ekowisata dapat dikilas balik pada tahun 1960-an ketika kaum ekologis dan lingkungan sangat prihatin terhadap penggunaan sumberdaya alam yang tidak sesuai. Pengawetan terhadap keanekaragaman hayati sangat terancam karena kepentingan ekonomi dan eksplorasi terhadap sumberdaya alam (Higham 2007). Definisi tentang ekowisata terus berkembang. Semula definisi ekowisata sangat general dan sukar dipahami, seperti, bertanggungjawab, konservasi, perlindungan dan berkelanjutan. Seperti yang diungkapkan oleh WWF 1995 dalam Higham 2007 misalnya, ekowisata merupakan perjalanan bertanggungjawab ke tempat alami yang memberikan kontribusi kepada perlindungan kawasan alami dan kesejahteraan masyarakat setempat. Pengertian yang general dan membingungkan seperti itu telah dikritik oleh beberapa ahli karena pengertian tersebut mengundang arti yang luas dalam hal interpretasi.

(29)

ekowisata. Kepentingan yang egois dari masing-masing stakeholder dapat membahayakan semua sistem dalam ekowisata.

Kekhawatiran baru timbul ketika istilah ekowisata digunakan hanya sebagai label pemasaran produk wisata yang berbasis alam dengan memanfaatkan peluang emas dan kecenderungan pasar. Beberapa definisi ekowisata yang lebih jelas kemudian diusulkan. Seperti yang diusulkan oleh Ziffer (1989) diacu dalam Higham (2007) memberikan penjelasan ekowisata dari berbagai dimensi

(multidimensial comprehensive). Ekowisata merupakan bentuk dari wisata yang awalnya terinspirasi oleh sejarah alami dari suatu kawasan termasuk keaslian budayanya. Kunjungan ekowisata biasanya di kawasan-kawasan yang belum berkembang (underdeveloped area) dengan tujuan mendorong rasa apresiasi, partisipasi dan sensitivitas. Dalam prakteknya ekowisata bukanlah penggunaan secara konsumtif (non-consumptive) terhadap hidupan liar dan sumberdaya alam.

Ekowisata memberikan kontribusi terhadap lokasi setempat dalam bentuk tenaga ataupun finansial yang dimaksudkan untuk mendukung konservasi area dan memberikan keuntungan secara langsung kepada masyarakat lokal. Kunjungan ekowisata harus menanamkan apresiasi pelaku ekowisata dan dedikasi pelaku ekowisata tentang isu konservasi secara global dan terhadap kebutuhan spesifik lokasi setempat. Ekowisata berkomitmen terhadap perawatan lokasi dengan melibatkan masyarkat setempat, pemasaran yang sesuai, regulasi yang berlaku, serta menggunakan pendapatan usaha untuk keperluan biaya manajemen kawasan sebagaimana juga untuk pembangunan masyarakat.

(30)

negatif dari pengunjung dan memberikan keterlibatan aktif yang menguntungkan secara sosial dan ekonomi bagi penduduk lokal.

Beberapa ahli lain mengartikan ekowisata menggunakan pendekatan yang lebih deskriptif untuk mengidentifikasikan prinsip-prinsip dasar dalam ekowisata. Björk (1997) diacu dalam Higham (2007) mendefisinisikan ekowisata merupakan aktivitas di mana pemerintah setempat, industri wisata, wisatawan dan masyarakat lokal bekerjasama membuat aktivitas tersebut menjadi perjalanan ke tempat yang masih asli agar wisatawan mengagumi, mempelajari dan menikmati alam dan kebudayaan namun tidak mengeksploitasi sumberdaya, melainkan memberi kontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan.

Menurut Sirakaya et al. (1999) diacu dalam Higham (2007), ekowisata merupakan bentuk baru wisata yang bersifat tidak konsumtif (non-consumptive), mendidik (educational) dan romantic (romatic), ke tempat-tempat yang relatif tidak terganggu, tidak ramai dikunjungi, memiliki keindahan alam yang luar biasa atau memiliki nilai budaya dan sejarah dengan tujuan memahami dan mengapresiasikan alam dan sejarah sosial budaya dari tempat tujuan tersebut.

Weaver (2001) diacu dalam Higham (2007) memberikan definisi, ekowisata adalah bentuk dari wisata yang mengangkat pengalaman belajar dan apresiasi terhadap lingkungan alami atau beberapa komponen daripadanya termasuk konteks kebudayaan. Wisata ini memiliki praktek yang berwawasan lingkungan dan sosial budaya berkelanjutan serta mengutamakan cara untuk menghargai sumberdaya dan budaya dari lokasi tujuan, juga mendukung keberlangsungan dari penjagaannya.

(31)

Wearing dan Neil (2009) mengatakan ekowisata terdiri dari 4 elemen fundamental. Pertama, ekowisata merupakan perjalanan dari suatu lokasi ke lokasi lain. Perjalanan tersebut harus dibatasi ke tempat-tempat yang relatif tidak diganggu atau daerah alami yang dilindungi karena ekowisata berfokus pada mencari pengalaman di tempat alami. Kedua, ekowisata merupakan wisata berbasiskan alam (nature-based). Aktivitas seperti perjalanan bisnis, perjalanan ke luar kota, wisata pantai konvensional dan wisata olahraga tidak dapat disebut ekowisata. Ketiga, ekowisata mendukung konservasi (conservation-led). Sebagai

salah satu segmen pada industri wisata, ekowisata menonjolkan “ peningkatan

kepedulian global terhadap budaya dan ekosistem” (Kutay 1990 diacu dalam Wearing dan Neil 2009). Ceballos-Lascurain (1990) diacu oleh Wearing dan Neil (2009) mengatakan pengembangan ekowisata yang tidak benar dapat menurunkan area yang dilindungi dan tidak mengantisipasi dampak ekonomi, sosial atau lingkungan. Keempat, ekowisata memiliki fungsi edukasi.

Menurut Chafe (2007) diacu dalam Wearing dan Neil (2009) mengatakan ekowisata meliputi keasadaran terhadap lingkungan, konservasi lingkungan dan pelibatan masyarakat lokal. Ekowisata bertujuan untuk membawa sekelompok kecil manusia ke tempat alami atau area dilindungi dengan dampak minimum terhadap lingkungan fisik, sosial dan budaya. Selanjutnya ide konservasi merupakan ide dari ekowisata tersebut dengan tujuan memberikan kontribusi kepada perkembangan masa depan (O’Neill 1991 diacu dalam Wearing dan Neil 2009).

Menurut Honey (2006) diacu dalam (Blangy dan Mehta 2006), ekowisata yang berjalan baik, jika kegiatan tersebut dapat (1) menjaga lingkungan; (2) menghargai budaya setempat dan memberi keuntungan nyata kepada masyarakat setempat dan (3) mendidik dan juga menghibur pelaku ekowisata.

(32)

(www.ecotourism.org). Definisi lain mengenai ekowisata diperoleh dari The Quebec Declaration on Ecotourism (2002) yang dipresentasikan dalam The World Ecotoursm Summit dikutip oleh Higham (2007), bahwa ekowisata harus mencakup prinsip memberikan kontribusi secara aktif terhadap konservasi alam dan warisan budaya, memasukkan masyarakat lokal pada perencanaan, pengembangan dan operasinya, berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat setempat, menginterpretasikan alam dan warisan budaya yang menjadi kunjungan, memberikan layanan yang lebih baik kepada pelaku ekowisata dengan cara mengorganisasi perjalanan menjadi kelompok ukuran kecil.

Kode ekowisata yang pernah dipresentasikan oleh WWF sekarang telah direvisi, yang terdiri dari: integrasi dari pengembangan ekowisata dan konservasi lingkungan, mendorong pengawetan dan konservasi terhadap hidupan liar dan keanekaragaman hayati, meminimalkan konsumsi hidupan liar, sampah dan polusi, menghormati kebudayaan lokal, menghormati situs budaya, masyarakat lokal harus mendapat keuntungan, memilih perjalanan dengan staf yang terlatih dan professional, membuat perjalanan yang memberikan pembelajaran terhadap area, mematuhi regulasi dan mengikuti peraturan sebagai pelindung (Higham 2007).

2.2.2 Ekowisata dan beberapa bentuk wisata khusus

Ekowisata telah dibandingkan dengan beberapa bentuk ekowisata. Ada beberapa terminologi wisata yang menggunakan pendekatan mirip dengan ekowisata. Beberapa terminologi wisata yang seringkali dianggap atau dikecohkan sebagai ekowisata antara lain wisata alam, wisata budaya, wisata petualangan, wisata hidupan liar dan wisata berkelanjutan.

(33)

lingkungan (Goodwin 1996 diacu dalam Page dan Dowling 2002). Menurut Rahardjo (2004) wisata alam tidak terlalu melibatkan kegiatan-kegiatan atau misi-misi konservasi dan pelestarian.

Wisata budaya merupakan jenis perjalanan ke suatu daerah untuk mempelajari dan berpartisipasi terkait budaya daerah tersebut (Higham 2008). Rahardjo (2004) menambahkan bahwa wisata budaya hanya berfokus pada objek tradisi lokal dan masyarakat sebagai atraksi pokok. Wisata petualangan adalah jenis wisata yang memiliki resiko, bahaya dan memacu adrenalin. Dalam wisata petualangan, wisatawan dituntut memiliki stamina fisik yang mantap (Kane dan Zink 2004 diacu dalam Higham 2008). Wisata hidupan liar (wildlife tourism)

merupakan perjalanan ke daerah yang dapat dijumpai hidupan liar. Pada jenis wisata ini, wisatawan rela tinggal agak lama demi untuk mendapatkan pengalaman menyaksikan hidupan liar (Page dan Dowling 2002).

Jika dibandingkan dengan ekowisata, jenis-jenis wisata di atas (wisata alam, petualangan, budaya dan hidupan liar) hanya berfokus pada satu hal tertentu. Sedangkan ekowisata memiliki prinsip-prinsip yang saling berkaitan satu dengan lainnya. Wisata berkelanjutan sering juga disamakan dengan ekowisata. Wisata berkelanjutan memang sangat dekat dengan ekowisata tetapi tidak semua hal dalam wisata ini sesuai dengan kriteria ekowisata. Salah satu hal yang membedakan misalnya, di kawasan yang banyak dikunjungi orang, wisata berkelanjutan masih dapat terjadi (Rahardjo 2004).

2.2.3 Prinsip-prinsip ekowisata

(34)
(35)
(36)
(37)
(38)

2.2.4 Karakteristik ekowisatawan

Beeton (2000) menyebutkan karakteristik ekowisatawan pada umumnya antara lain:

a. Sebagian besar pelaku ekowisata berusia 20-40 tahun

Pada selang usia ini, sebagian besar orang cenderung tertarik untuk berpetualang. Sedangkan pada usia 40-54, sebagian besar orang berkonsentrasi untuk meningkatkan karirnya dan membiayai anak-anaknya. Sedangkan pada usia 55 tahun ke atas merupakan usia mid-lifers (pertengahan hidup), orang-orang pada usia ini cenderung menyukai liburan yang santai.

b. Ekowisatawan cenderung lebih terpelajar daripada wisatawan yang lain Pelaku ekowisata memperlihatkan ketertarikannya terhadap lingkungan. Mereka sanggup mengeluarkan uang lebih banyak dan pro terhadap konservasi.

c. Ekowisatawan lebih menyukai tinggal di akomodasi khusus yang diset secara natural.

d. Ekowisatawan kurang memperhatikan musim kunjungan seperti layaknya wisatawan lain yang menunggu saat musim kunjungan ramai. Kusler (1991) diacu dalam Fennel (1999), menggolongkan ekowisatawan ke dalam 3 grup utama, yaitu:

a. Do-it-yourself ecotorists

Tipe ekowisatawan ini melakukan ekowisata dengan keinginannya sendiri tanpa terikat oleh program. Grup ekowisatawan seperti ini biasanya tinggal/menginap di berbagai macam akomodasi dan melakukan perpindahan di berbagai tempat.

b. Ecotourists on tours

(39)

c. School groups/scientific groups

Sekelompok ekowisatawan yang tergabung dalam research ilmiah. Biasanya tinggal di daerah yang sama dengan satu grupnya selama periode waktu tertentu. Tipe ekowisatawan ini lebih memperhatikan kondisi dan menjaga agar tidak terjadi kerusakan tempat ekowisata. 2.2.5 Ekowisata mangrove

Potensi lain dari hutan mangrove yang belum dikembangkan secara optimal adalah untuk keperluan wisata alam atau ekowisata. Padahal di negara lain, seperti Malaysia dan Australia, kegiatan wisata di kawasan hutan mangrove sudah berkembang lama dan menguntungkan (Dahuri 1996).

Berdasarkan penelitian Yuniake (2003) tentang wisata mangrove di Nusa Lembongan Bali, motivasi wisatawan yang berkunjung ke Nusa Lembongan karena ingin menikmati pulau yang indah dan tidak banyak dikunjungi orang. Sebagian besar wisatawan yang datang di tempat tersebut memilih wisata mangrove. Pilihan terhadap wisata mangrove didukung oleh keinginan wisatawan untuk mengamati hidupan liar dan memancing bersama nelayan.

2.3 Evaluasi Pengembangan Ekowisata

Ekowisata masih dianggap sebagai istilah yang “simpang siur” dalam dunia kepariwisataan karena ekowisata dipercayai sebagai segmen pasar wisata yang berkembang dengan cepat dan karena banyak para kelompok konservasi melihat ekowisata sebagai upaya untuk menjamin pembangunan ekologis berkelanjutan atau lebih umum lagi ekowisata merupakan cara untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan. Untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan, wisata yang dimaksud harus dapat menjaga keberlanjutan dari ekonomi, politik, sosial dan sudut pandang lingkungan. Oleh karena itu antara tujuan ekonomi, politik, sosial dan lingkungan harus selaras (Tisdell 1998).

(40)

Pengembangan ekowisata secara praktek sering menemui berbagai masalah, seperti keuntungan yang dijanjikan tidak realistis, perkembangannya yang lemah atau bahkan tidak ada dan manajemen kurang bagus yang disebabkan kurangnya koordinasi antara para stakeholder yang terlibat dalam ekowisata. Alasan lain timbulnya berbagai masalah dalam ekowisata dapat karena konsep ekowisata sendiri atau bagaimana ekowisata dioperasikan (Higham 2007).

Suatu evaluasi tentang realitas implementasi ekowisata perlu dilakukan untuk menilai kenyataan di lapangan sudah sesuai belum terhadap prinsip-prinsip ekowisata yang sesungguhnya. Menurut Casley dan Kumar (1991) evaluasi menuntut suatu analisis yang sistematis, objektif terhadap prestasi, efisiensi dan dampak proyek dalam kaitannya dengan tujuan-tujuannya. Evaluasi mencoba untuk:

a. Secara kritis menguji kembali; dilihat dari sudut pembangunan berikutnya, rasioanalisasi proyek yang dinyatakan dalam dokumen persiapan dan penilaian.

b. Membandingkan hasil-hasil nyata yang dicapai dengan target yang ditentukan dan mengidentifikasi alasan-alasan terjadinya kekurangan dan kelebihan.

c. Menilai efisiensi tata cara pelaksanaan proyek dan mutu presetasi manajemen.

d. Menentukan efisiensi proyek.

e. Menentukan pengaruh dan dampak proyek.

f. Menyajikan pelajaran berharga dan rekomendasi yang diambil dari pelajaran tersebut.

(41)

evaluasi seharusnya dilakukan pada tahapan-tahapan yang dianggap penting. Evaluasi memang mungkin dilakukan pada akhir program tetapi juga pada saat-saat tertentu selama pengembangan dan pelaksanaan program.

Evaluasi yang dilakukan selama perencanaan dan pelaksanaan program disebut dengan evaluasi formatif (formative evaluation). Pada evaluasi ini mengandung upaya-upaya untuk membantu programer untuk memonitor kemajuan menuju kelancaran dan penyelasaian program (identifikasi terhadap masalah-masalah yang memungkinkan dapat dipecahkan sebagai upaya meningkatkan program). Sebagai contohnya, evaluasi untuk mencegah dampak negatif dari program yang kurang bagus terhadap masyarakat atau sumberdaya (Fennell 2002).

Evaluasi yang dilakukan di akhir program disebut evaluasi sumatif

(summative evaluation). Maksud dari evaluasi sumatif adalah untuk meminta pengambil keputusan program dan konsumen untuk memberikan pendapat terhadap nilai dan kebaikan program sesuai dengan kriteria-kriteria yang dianggap penting. Evaluasi sumatif lebih menuju keputusan-keputusan tentang keberlanjutan, ketetapan, perluasan dan pengadopsian program (Worthen et al. 1997 diacu dalam Fennell 2002).

Menurut Fennell (2002) terdapat berbagai model evaluasi, diantaranya adalah:

a. Evaluasi intuitif (intuitive evaluation).

(42)

b. Evaluasi dengan standar (evaluation by standards).

Merupakan pendekatan yang menggunakan serangkaian standar yang ditetapkan secara lokal maupun nasional. Standar-standar tersebut biasanya dikembangkan oleh pihak-pihak professional yang berkaitan dengan bidang.

c. Evaluasi berdasarkan sasaran dan tujuan (evaluation by goals and objectives).

Pendekatan ini terdiri dari identifikasi terhadap sasaran dan tujuan serta penilaian terhadap ketidaksesuaian antara hasil yang diharapkan dan hasil yang nyata atau yang dicapai.

d. Evaluasi dengan pertimbangan profesional (evaluation by professional judgement).

Evaluasi ini dilakukan oleh penilai dari luar (external evaluators). Penilai dalam evaluasi ini biasanya menggunakan seperangkat penilaian eksternal untuk mengukur keefektivan program yang mereka tinjau. Seperti halnya pada metode evaluasi dengan standar, evaluasi ini juga menggunakan checklist. Akan tetapi juga berdasarkan observasi, wawancara dan tinjauan terhadap dokumen-dokumen.

e. Metode transaksi dan observasi (transaction-observation method).

Metode evaluasi ini murni diisi oleh para peserta program. Penilaian ini berdasarkan pengukuran terhadap kepuasan/ketidakpuasan peserta, sikap, perbuatan, keuntungan dan variabel lainnya.

f. Metode pendekatan secara komunikatif dan interaktif (communicative and interactive approach).

Pendekatan penilaian ini berdasarkan keterlibatan seseorang, kelompok masyarakat, kelompok yang memiliki kepentingan khusus dan kelompok tertentu untuk mengumpulkan informasi sebelum perencanaan program. g. Evaluasi berdasarkan tingkat kepentingan dan prestasi

(importance-performance evaluation).

Langkah awal dari evaluasi ini adalah menilai tingkat penting dari

(43)

penting” sampai “sangat penting”. Langkah kedua adalah menilai tingkat

prestasi dari program dengan menggunakan skala dari tingkat “buruk sekali” sampai “sangat bagus”. Kemudian hasil dari masing-masing penilaian dirata-ratakan dan plotkan ke dalam quadrant. Sumbu x merupakan tingkat presatasi dan sumbu y merupakan tingkat kepentingan.

h. Evaluasi terhadap etika operator (Evaluation of operator ethics).

Evaluasi ini mempersilakan konsumen untuk mengapresiasikan/menilai etika dari penyedia jasa terhadap alam.

2.4 Taman Nasional

Taman nasional merupakan kawasan dilindungi yang memiliki area yang luas secara alami atau mendekati alami, ditetapkan tidak lain untuk melindungi proses-proses ekologi dalam skala luas beserta komplemen spesies dan karakteristik ekosistem dalam kawasan, yang juga menyediakan kebutuhan spiritual, ilmu pengetahuan, pendidikan, rekreasi dan kesempatan pengunjung yang selaras dengan lingkungan dan budaya (IUCN 2008). Menurut UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Alam Hayati dan Ekosistemnya, taman nasional diartikan sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.

(44)

Zonasi taman nasional adalah suatu proses pengaturan ruang dalam taman nasional menjadi zona-zona, yang mencakup kegiatan tahap persiapan, pengumpulan dan analisis data, penyusunan draft rancangan zonasi, konsultasi publik, perancangan, tata batas dan penetapan, dengan mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek-aspek ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Zona taman nasional adalah wilayah di dalam kawasan taman nasional yang dibedakan menurut fungsi dan kondisi ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat (Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional). Taman nasional oleh IUCN digolongkan dalam kawasan dilindungi sebagai kategori II dan memiliki keunikan yang tersendiri dibandingkan dengan kategori lainnya (IUCN 2008).

Sebagian besar kekayaan keanekaragaman hayati terdapat di hutan alami Indonesia, khususnya di kawasan konservasi yang terdiri dari kawasan suaka alam (cagar alam dan suaka margasatwa), kawasan pelestarian alam (taman nasional, taman wisata alam dan taman hutan raya) dan taman buru. Di antara semua tipe kawasan konservasi tersebut, taman nasional memberikan kesempatan paling besar untuk menikmati keanekaragaman, keunikan dan berbagai keindahan flora dan fauna endemik, langka dan dilindungi (Direktorat Jenderal PHKA 2003).

(45)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian tentang evaluasi pengembangan ekowisata mangrove ini dilakukan di Sub Resort Bedul Taman Nasional Alas Purwo (TNAP) Banyuwangi, Jawa Timur pada bulan Febuari-April 2010. Sebelum melakukan penelitian pada tahun 2010, penulis telah melakukan kunjungan awal di Bedul sebanyak 2 kali pada tahun 2009 yaitu pada bulan Februari dan Agustus.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah peta kawasan, binokuler, kompas, kamera digital, meteran, tali tambang, pengukur waktu, tally sheet dan panduan wawancara. Bahan yang digunakan sebagai objek penelitian adalah vegetasi mangrove, satwaliar, stakeholder (pihak TNAP, masyarakat lokal dan kepala desa, pemerintah daerah yang diwakili oleh Dinas Kebudayaan Pariwisata Banyuwangi, Balai Pengelola Hutan Mangrove Wilayah I Denpasar), sarana dan prasarana pendukung ekowisata dan pengunjung.

(46)

3.3 Orientasi Lapang

Orientasi lapang dilakukan sebelum penelitian bertujuan untuk mengetahui secara pasti medan tempat akan dilakukannya penelitian, yang terdiri blok tempat diselenggarakannya ekowisata, desa Sumberasri dan site-site lain di Blok Bedul lain yang menarik. Kegiatan orientasi ini dilakukan selama 2-3 hari.

3.4 Jenis Data yang Dikumpulkan

Jenis data yang dikumpulkan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan sesuai dengan tujuan penelitian terdiri dari:

3.4.1 Potensi ekowisata

Objek dapat berupa objek yang berasal dari alam atau berupa hasil budaya. Objek ekowisata (point interest) yang perlu didata terdiri dari potensi sumberdaya alam dan potensi sumberdaya masyarakat (Susanto dan Suprapto 2004). Dalam penelitian ini, data potensi wisata yang akan diambil meliputi:

a. potensi biologi (flora dan fauna)

b. potensi fisik (aksesibilitas, bangunan infrastruktur beserta sarana dan prasarana pendukung) dan

c. budaya masyarakat setempat

3.4.2 Kegiatan wisata yang sudah ada dan aktivitas masyarakat lokal terkait penyelenggaraan wisata:

a. paket wisata yang ditawarkan

b. pengunjung (data sekunder jumlah pengunjung, usia, asal, jumlah orang dalam satu rombongan, motivasi, uang yang sanggup dikeluarkan untuk melakukan wisata mangrove)

c. aktivitas masyarakat lokal terkait dengan wisata (pemanfaatan masyarakat lokal terhadap kawasan terkait penyelenggaraan wisata) 3.4.3 Informasi dan data terkait proses pengembangan ekowisata mangrove di

TNAP:

a. fungsi dan tujuan TNAP

(47)

c. kebijakan

Data mengenai kebijakan diperoleh dari peraturan perundang-undangan, peraturan pemerintah terkait penyelenggaraan wisata di daerah konservasi, acuan yang digunakan TNAP dalam mengembangkan ekowisata mangrove, kebijakan-kebijakan tertentu yang ditetapkan oleh Balai TNAP terkait dengan pemanfaatan Bedul serta Memorandum of Understanding (MoU) antara Balai TNAP dengan stakeholder-stakeholder lainnya.

3.5 Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan ada 2 macam yaitu data primer dan data sekunder. Beberapa tahap yang dilakukan dalam pengumpulan data meliputi: (1) melakukan studi literatur dan diskusi, (2) pengumpulan data dan pengamatan di lapangan (observasi) dan (3) wawancara.

3.5.1 Studi literatur dan diskusi

Studi literatur (pengumpulan data sekunder) dari berbagai sumber buku, laporan, jurnal dan sebagainya dilakukan di kantor Balai TNAP dan institusi terkait. Data sekunder meliputi kebijakan ekowisata mangrove, jumlah pengunjung dan informasi lain yang relevan dengan topik penelitian. Diskusi secara intensif dilakukan dengan dosen pembimbing. Selain itu diskusi juga dilakukan dengan contact person dari Balai Pengelola Hutan Mangrove Wilayah I Denpasar dan Direktorat Jasa Lingkungan dan Wisata Alam, PHKA, Departemen Kehutanan Republik Indonesia untuk memperkuat informasi. 3.5.2 Observasi

3.5.2.1Potensi wisata

a. Potensi sumberdaya alam biologi (i) vegetasi mangrove

(48)

dengan menarik garis lurus menuju ke arah daratan sepanjang 100 meter. Plot sampel ketiga dibuat dengan cara menarik garis tegak lurus dari bibir sungai seperti pada pembuatan plot sampel pertama, tetapi pemilihan plot dimulai dari arah daratan menuju sungai. Setiap plot sampel dibagi menjadi subplot dengan ukuran 10 m x 10 m. Subplot berukuran 10 m x 10 m ini digunakan untuk menghitung tingkat pohon. Menurut Kusmana (1997), tingkat pohon pada tumbuhan mangrove memiliki diameter 10 cm atau lebih. Subplot 10 m x 10 m kemudian dibagi lagi menjadi subplot yang lebih kecil yaitu 5 m x 5 m, gunanya untuk menghitung tingkat pancang. Pada tumbuhan mangrove, disebut tingkat pancang jika memiliki diameter 2-10 cm dan tinggi lebih dari 2 m. Sedangkan subplot terkecil berukuran 2 m x 2 m, digunakan untuk menghitung anakan (semai). Adapaun ukuran tinggi tingkat semai yaitu kurang dari 2 meter.

Gambar 3 Plot Petak untuk Mengetahui Komposisi Mangrove

(ii) fauna

(49)

Khusus untuk data burung air, pengamatan dilakukan dengan 2 metode yaitu metode perjalanan dengan perahu dan metode concentration count. Metode perjalanan dengan perahu dilakukan dengan cara pengamatan di atas perahu dengan menggunakan bantuan binokuler. Metode ini merupakan tahap pengamatan secara awal dengan tujuan untuk mengamati jenis-jenis burung yang terdapat di paparan lumpur di sepanjang tepi sungai dan mengetahui lokasi mana saja yang sering digunakan oleh burung air untuk hinggap.

Metode Concentration Count ini dipilih untuk mengetahui populasi jenis-jenis burung berkoloni (berkumpul) di suatu tempat pada saat tertentu. Cara kerja dengan metode ini adalah dengan memilih tempat atau titik pengamatan strategis agar peneliti mudah mengamati dan mengidentifikasi burung.

b. Potensi fisik

Pengumpulan potensi fisik selain menggunakan data sekunder juga dengan pengamatan/observasi. Potensi fisik yang dikumpulkan secara observasi meliputi: aksesibilitas, bangunan infrastruktur dan sarana prasarana pendukung lainnya.

c. Kebudayaan masyarakat

Kebudayaan masyarakat merupakan salah satu potensi ekowisata. Data mengenai atraksi kebudayaan masyarakat didapatkan melalui wawancara terhadap pengelola dan masyarakat setempat serta jika memungkinkan melalui pengamatan secara langsung.

3.5.2.2 Aktivitas Masyarakat dan Pengunjung

(50)

3.5.3 Wawancara (Interview)

Wawancara adalah bentuk komunikasi langsung antara peneliti dengan responden. Bentuk wawancara yang diterapkan adalah gabungan antara wawancara terstruktur (menggunakan panduan wawancara yang telah disiapkan) serta wawancara tidak terstruktur secara mendalam (in depth-interview). Adapun pemilihan responden adalah sebagai berikut:

a. Pihak Balai TNAP

Wawancara terhadap pihak Balai TNAP dimaksudkan untuk mengetahui sistem pengelolaan ekowisata mangrove di Blok Bedul. Responden dari pihak Balai TNAP adalah Kepala TNAP, Kepala Seksi Wilayah I Tegaldlimo, Kepala Resort Grajagan dan para staf lain yang terlibat atau cukup mengerti tentang pengembangan ekowisata mangrove di Bedul. b. Pengunjung

Responden dari kalangan pengunjung, dipilih beberapa orang yang datang di Bedul untuk tujuan wisata. Pengumpulan data primer pengunjung sengaja dilakukan dengan wawancara bukan dengan menggunakan kuisioner dengan tujuan untuk meminimalkan kesalahpahaman pengunjung dalam menangkap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Total pengunjung yang berhasil diwawancarai sebanyak 40 orang.

c. Masyarakat lokal

Responden dari masyarakat lokal ditentukan secara acak dengan cara wawancara secara mendalam kepada masyarakat yang terlibat dalam pengembangan ekowisata mangrove (pengurus, tenaga kerja dan pemilik perahu), masyarakat yang beraktifitas di Bedul serta masyarakat Desa Sumberasri yang mendirikan usaha warung dan toko di sekitar Bedul. Responden penduduk lokal yang berhasil diperoleh sebanyak 46 orang. d. Stakeholder lain yang terlibat

Selain pihak Balai TNAP dan masyarakat lokal Desa Sumberasri,

(51)

antara lain: pemerintah daerah dan Balai Pengelola Hutan Mangrove Wilayah I Denpasar.

3.6 Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh diolah dengan cara mentabulasikan dan kemudian dianalisis sesuai dengan jenis dan tujuan penggunaannya. Setiap hasil analisis permasalahan akan saling berhubungan sehingga dapat digunakan untuk bahan

cross check antara hasil yang satu dengan yang lainnya. 3.6.1 Analisis potensi ekowisata

a. Vegetasi mangrove

Berdasarkan hasil pengukuran terhadap struktur vegetasi mangrove dapat dihitung:

b. Analisis fauna

Data hasil pengamatan fauna dikelompokkan berdasarkan jenisnya. Identifikasi selanjutnya adalah pengkatagorian untuk mengetahui klasifikasi satwa tersebut endemik, langka, dilindingi dan sebagainya. c. Potensi fisik

Data mengenai potensi fisik ditabulasikan kemudian dianalisis secara deskriptif tentang kelayakannya.

d. Atraksi kebudayaan masyarakat

Data mengenai atraksi kebudayaan masyarakat setempat diuraikan secara deskriptif.

3.6.2 Analisis kegiatan wisata

(52)

3.6.3 Analisis pengembangan ekowisata mangrove

Analisis pengembangan ekowisata mangrove ditinjau dari berbagai aspek seperti fungsi dan tujuan TNAP, stakeholder yang terlibat, dasar kebijakan digunakan terkait kolaborasi pengembangan ekowisata mangrove, kebijakan manajemen wisata di kawasan konservasi dan perjanjian kerjasama antara TNAP dan stakehoder. Realitas pelaksanaan pengembangan ekowisata mangrove di TNAP selanjutnya akan dibandingkan kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip ekowisata. Jika terdapat ketidaksesuaian (gap) maka akan dicari penyebabnya. Kemudian rekomendasi diusulkan berdasarkan permasalahan yang ada.

(53)

IV. KONDISI UMUM

4.1 Letak dan Luas

Berdasarkan administrasi Pemerintahan Taman Nasional Alas Purwo (TNAP) terletak di Kecamatan Tegaldlimo dan kecamatan Purwoharjo Kabupaten Daerah Tingkat II Banyuwangi. Secara geografis terletak di ujung Timur Pulau Jawa wilayah Pantai Selatan antara 8o 47’45” – 8o47’00” LS dan 114o20’16” – 114o36’00” BT.

Taman Nasional Alas Purwo sebelah barat berbatasan dengan Teluk Grajagan, kawasan hutan produksi Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan Banyuwangi Selatan, Desa Grajagan, Desa Purwoagung, Desa Sumberasri. Sebelah timur berbatasan dengan Selat Bali dan Samudera Indonesia. Sebelah utara berbatasan dengan Teluk Pangpang, Desa Sumberberas, Desa Kedungrejo, Desa Wringinputih Kecamatan Muncar, Desa Kedungsari Kecamatan Tegaldlimo dan sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia.

Kawasan TNAP meliputi daratan seluas 43.420 ha. Berdasarkan zonasi kawasan, TNAP terbagi menjadi beberapa zonasi antara lain yaitu:

a. Zona inti (Sanctuaty zone) seluas 17.150 ha. b. Zona rimba (Wilderness zone) seluas 24.207 ha. c. Zona rehabilitasi (Rehabilitation zone) seluas 620 ha. d. Zona pemanfaatan (Intensive use zone) seluas 660 ha. e. Zona tradisional (Traditional zone) seluas 783 ha. 4.2 Topografi

(54)

19.474 ha, agak curam (15-25%) seluas 11.091 ha, serta curam (25-40%) seluas 2.301 ha (Aryanto et al. 2008).

4.3 Geologi

Formasi geologi pembentukan kawasan TNAP berumur Meosen atas, terdiri dari batuan berkapur dan batuan berasam. Pada batuan berkapur terjadi proses karstifikasi yang tidak sempurna karena faktor iklim yang kurang mendukung (relative kering) serta batuan kapur yang diperkirakan terintrusi oleh batuan lain. Di dalam kawasan TNAP terdapat 44 buah gua, yang banyak dikunjungi antara lain Gua Istana, Gua Padepokan dan Gua Basori (Ariyanto et al. 2008).

4.4 Tanah

Jenis tanah di kawasan TANP terdiri dari empat kelompok, yaitu tanah kompleks Mediteran Merah-Litosol seluas 2.106 ha, tanah Regosol Kelabu seluas 6.238 ha, tanah Grumosol Kelabu seluas 379 ha dan tanah Aluvial Hidromorf seluas 34.697 ha (Ariyanto et al. 2008).

4.5 Iklim

Gambar

Tabel 2  Prinsip-prinsip ekowisata dan pengertiannya
Tabel 2  Lanjutan
Tabel 2  Lanjutan
Gambar 2  Peta lokasi penelitian.
+7

Referensi

Dokumen terkait

• Kemampuan adaptif termasuk kemampuan yang ditunjuk an dapat mengerjakan hal-hal yang berhubungan dengan dirinya tanpa mendapatkan masalah , maupun kemampu an untuk mengurus

Ampas dan daun tebu dapat digunakan untuk bahan pembuatan biobriket atau bahan bakar alternatif tanpa menambahkan perekat lain karena dari ampas tebu dapat

Agar masalah dalam proses produksi yang berhubungan dengan kerusakan mesin dapat diminimumkan Perawatan Cutter Posisi cutter kurang presisi Ketidak tepatan penyetingan yang

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pada pembelajaran pra siklus dari 30 siswa kelas V SD Negeri 02 Tawangsari Kecamatan Kerjo Kabupaten

Keterkaitan antara peran elemen penanda simbolik pada ruang simpul kota terhadap indikasi keestetikaan lingkungan perkotaan yaitu kondisi elemen penanda simbolik

Pada kolom besaran persentase beasiswa awal merupakan hasil awal pada penentuan besaran persentase beasiswa dan dibandingkan pada kolom besaran persentase

pohon; yang didorong oleh faktor ekonomi seperti kebutuhan konsumsi dan untuk persediaan kayu untuk kebutuhan di masa mendatang, perasaan puas terhadap usaha perkayuan sekarang

Berdasarkan hasil wawancara kedua ini, maka dapat diketahui bahwasannya dosen tersebut memiliki pendapat yang negatif, meskipun dosen terebut mengetahui e-learning