• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL

6.5 Kesesuaian Pengembangan Ekowisata Mangrove dengan Prinsip-Prinsip

6.5.1 Prinsip ekologi berkelanjutan

Prinsip ekologi berkelanjutan dapat mempunyai arti ekowisata dikelola secara etis sehingga memiliki dampak negatif yang minim (Ceballos-Lascuarain 1996; Fennel 2003, diacu dalam Higham 2007; TIES 2010) dan tidak bersifat konsumtif terhadap sumberdaya (Ziffer 1987, Sirakaya et al. 1999; Fennel 2003, diacu dalam Higham 2007). Pelaksanaan ekowisata harus memperhatikan daya dukung area ekowisata agar tidak melebihi kemampuan tampung area tersebut dan tidak mengubah keanekaragaman hayati secara signifikan. Ekowisata merupakan kegiatan wisata yang meminimumkan dampak terhadap lingkungan sehingga diharapkan proses-proses ekologis di area tersebut tetap terus terjaga. Jumlah kelompok pengunjung sebaiknya dalam jumlah kecil untuk menjaga dampak

minimum kelompok terhadap area yang dituju (Lindberg dan Hawkins 1993, diacu dalam Blamey 2001). Definisi “ekologi berkelanjutan” juga berarti menjaga keberlangsungan lingkungan dan kebudayaan (Weaver 2001, diacu dalam Higham 2007; National Ecotourism Strategy of Australia diacu dalam Blamey 2001; TIES 2010). Mengingat objek utama yang ditawarkan di Bedul TNAP adalah menonjolkan sumberdaya alam maka pembahasan terhadap prinsip ekologi berkelanjutan ditekankan pada aspek lingkungan di dalam kawasan ekowisata.

Kenyataan yang terjadi di Bedul, jenis wisata yang terjadi cenderung wisata masal. Jika dilihat dari motivasi pengunjung, sebagian besar pengunjung bukan tertarik terhadap mangrove tetapi sebagian besar mereka hanya ingin menyeberang sungai dengan perahu lalu pergi ke Pantai Marengan. Pembatasan terhadap pengunjung tidak pernah dilakukan sehingga pengontrolan terhadap aktivitas pengunjung di dalam kawasan TNAP menjadi sulit. Berdasarkan hasil obervasi selama penelitian, tidak semua pengunjung memiliki kesadaran terhadap lingkungan. Contoh hal yang kecil yaitu dalam membuang sampah, masih banyak pengunjung yang membuang sampah sembarangan.

Selain membuang sampah sembarangan, perilaku pengunjung yang kurang baik adalah pemberian makanan terhadap satwaliar. Berdasarkan observasi, banyak pengunjung yang memberikan makanan terhadap monyet ekor panjang yang ada di kawasan Bedul. Padahal pemberian makanan secara sembarangan terhadap satwaliar di kawasan konservasi tidak dibenarkan. Hal ini dapat mengubah perilaku satwa yang seharusnya dibiarkan liar menjadi tidak liar lagi karena terlalu sering berinteraksi dengan pengunjung.

Sementara itu, perilaku pengunjung lainnya yang tidak sesuai dengan etika ekowisata dimungkinkan masih banyak lagi di dalam kawasan. Terutama pengunjung lokal (dari Indonesia) masih banyak yang memiliki kesadaran tentang lingkungan. Selain itu pengelola belum menyediakan papan himbauan dan interpretasi untuk meningkatkan kesadaran pengunjung. Selama mobilisasi pengunjung ke Pantai Marengan, pengelola tidak pernah mengetahui apa saja yang diperbuat pengunjung selama melewati hutan alam.

Berdasarkan status zonasinya hutan alam sebelum Pantai Marengan dan Pantai Marengan termasuk zona rimba. Sepanjang garis Pantai Marengan termasuk daerah pendaratan penyu laut di TNAP. Pada bulan-bulan tertentu, penyu laut mendarat di dalam kawasan TNAP untuk bertelur. Walaupun saat ini kegiatan lalar (pencarian telur untuk dibantu penetasannya secara semi alami) rutin dilakukan pada malam atau pagi hari ketika musim-musim pendaratan penyu, tetapi penyu laut termasuk satwa yang rentan terhadap gangguan manusia (Hartono 2008). Terlalu banyak aktivitas pengunjung di daerah pendaratan penyu, sekalipun kegiatan tersebut terjadi pada siang hari, memicu kerusakan/gangguan terhadap habitat tempat penyu laut bertelur. Kerusakan/gangguan terhadap habitat peneluran penyu laut antara lain berupa pembukaan jalur/akses jalan di dalam hutan pantai (Hartono 2008). Hal ini dapat mengakibatkan penyu laut tidak lagi bertelur pada area tersebut. Kegiatan wisata di Pantai Marengan jelas tidak sesuai degan konsep awal yang ingin dikembangkan di Bedul dan tidak sesuai dengan

prinsip “ekologi berkelanjutan”.

Terlepas dari wisata masal, paket ekowisata yang ditawarkan baru membatasi jumlah pengunjung dalam satu kelompok saja. Jarak minimum antara kelompok satu dan dengan yang lain dalam mengunjungi sebuah site belum dipikirkan. Jika jarak minimum antar kelompok pengunjung tidak diperhatikan, hal ini berpotensi terhadap gangguan terhadap site dan hidupan liar di dalam site

karena adanya penumpukan jumlah pengunjung. Penumpukan jumlah pengunjung di area Cungur dapat mengganggu keberadaan burung air dan burung pantai migran yang singgah di area tersebut. Site yang digunakan untuk wisata pengenalan ekosostem mangrove terletak di sebelah utara sungai. Site tersebut merupakan daerah mangrove daratan sampai mangrove tengah, di mana spesies

Scyphiphora hydrophyllacea dan Ceriops decandara dapat ditemukan. Walaupun kedua spesies tersebut tergolong spesies mangrove yang langka secara global- umum secara lokal, tetapi pengelolaannya perlu hati-hati karena keduanya termasuk spesies yang rentan.

Blok Kere merupakan daerah antara mangrove terbuka dan mangrove tengah. Walaupun tidak ditemukan spesies mangrove yang rentan, penumpukan

jumlah pengunjung berpotensi menyebabkan kerusakan yang lebih besar terhadap anakan/semai. Apalagi sampai saat ini belum tersedia jembatan/track khusus untuk menikmati mangrove di Blok Kere.

Track ekowisata menuju ke Ngagelan lebih didominasi hutan alam dataran rendah. Jika terjadi penumpukan pengunjung berpotensi menggaggu keberadaan flora dan fauna di hutan alam tersebut. Akan tetapi kunjungan ke site ini masih dalam kewajaran. Biasanya pengunjung yang memilih paket ke Ngagelan sangat jarang.

Oleh karena itu, perkiraan jumlah kunjungan di masing-masing site

ekowisata perlu dipikirkan. Pendekatan yang dapat digunakan untuk memperkirakan jumlah maksimum kunjungan adalah dengan cara menghitung kapasitas perahu gondang-gandung serta menggunakan faktor-faktor hambatan sebagai faktor koreksi. Sedangkan untuk memperkirakan jumlah kunjungan paket Wisata Pendidikan Mangrove di Bedul digunakan pendekatan dengan lama waktu kunjungan.

Menurut Cifuentes (1992) dalam IUCN (1996), faktor-faktor koreksi diperhitungkan dengan mempertimbangkan biofisik, lingkungan, ekologi, sosial dan variabel manajemen. Faktor-faktor koreksi ini berfungsi mengurangi daya dukung yang diperhitungkan secara kasar sehingga digunakan untuk menentukan daya dukung secara nyata. Daya dukung nyata (RCC) ditentukan sebagai berikut.

RCC = PCC x (100-Cf1)/100 x (100-Cf2)/100 x … (100-Cfn)/100 Faktor koreksi dapat dirumuskan sebagai berikut:

Cf = (Ml/Mt) x 100 PCC = daya dukung fisik secara kasar Cf = faktor koreksi

M1 = variabel pembatas (limiting magnitude of the variable) Mt = variabel total (limiting magnitude of the variable)

Perkiraan jumlah kunjungan dan pengunjung untuk masing-masing site

oleh Cifuentes (1992) diatas. Maksimum kunjungan belum dapat diperkirakan untuk site Ngagelan karena untuk site ini belum terdapat informasi pengukuran waktu tempuh, lama kunjungan dan jarak secara pasti.

a. Wisata pendidikan mangrove di Bedul

Paket wisata yang diperuntukkan untuk anak-anak Sekolah Dasar ini, maksimal diikuti oleh 30 orang siswa yang dibagi menjadi 3 kelompok masing- masing kelompok 10 orang siswa. Sedangkan jarak minimum antar kelompok yang satu dengan yang lain belum ditentukan. Total track yang dilalui sepanjang 300 meter. Area Bedul dibuka dari pukul 08.00 – 17.00, sehingga total pembuakaan area adalah sembilan jam. Paket ekowisata ini biasanya membutuhkan waktu satu jam tanpa menggunakan perahu gondang-gandung

untuk menuju site. Oleh karena kunjungan untuk paket ini sebanyak 9 kali (9 jam/1 jam).

Beberapa hambatan pelaksanaan paket wisata ini terdiri dari faktor pelaku ekowisata dan faktor alam. Jika dilihat dari peserta ekowisata yang terdiri dari anak-anak usia SD, perlu diadakan jarak antara kelompok satu dengan kelompok lain. Hal ini bertujuan agar peserta dapat dipantau dan mereka dapat menerima dengan baik interpretasi yang diberikan oleh petugas. Pengadaan jarak antar kelompok membutuhkan selang waktu antar kelompok. Sedangkan faktor alam antara lain berupa keadaan air pasang dan keadaan hujan turun. Masing-masing hambatan ini digunakan untuk menentukan faktor koreksi.

(i) Selang waktu setiap kelompok

Track total yang dilalui adalah 300 meter, alangkah lebih baik jika jarak antar kelompok adalah 100 meter. Sehingga track yang dilalui dibagi menjadi tiga pos dengan jarak masing-masing 100 meter. Jadi selang waktu antar kelompok adalah 20 menit (100 meter/300 meter x 60 menit). Oleh karena itu faktor koreksi terhadap waktu adalah sebagai berikut:

Cf1 = 20 menit/(9x60 menit) x 100% = 3, 70% (ii) Keadaan air pasang

Berdasarkan pembacaan data perkiraan pasang surut, setiap harinya air pasang yang terjadi antara pukul 08.00 – 17.00 terjadi selama 4,5 jam. Oleh karena itu faktor koreksi yang pertama (Cf2) dapat dihitung sebagai berikut:

Cf2 = 4,5/9 x 100% = 50% (iii) Keadaan turun hujan

Musim hujan biasanya terjadi selama 6 bulan setiap tahun. Begitu pula untuk musim kemarau. Hujan turun biasanya pada pagi hari atau menjelang sore hari. Ketika hujan turun deras tidak memungkinkan melakukan aktivitas, biasanya hal ini terjadi selama 2 jam setiap harinya di area Bedul. Sehingga lamanya hujan dalam satu tahun pada jam buka kawasan adalah 360 jam (6 bulan x 30 hari x 2 jam). Sedangkan waktu total pembukaan kawasan dalam satu tahun adalah 3.240 jam (12 bulan x 30 hari x 9 jam). Jadi faktor koreksi kedua (Cf3) untuk paket ekowisata ini adalah:

Cf3 = 360 jam/3.240 jam x 100% = 11, 11%

Oleh karena itu jumlah kunjungan yang dapat dilakukan pada site ini adalah 9 kali kunjungan/hari x (100-3, 70)/100 x (100-50)/100 x (100-11, 11)/100 = 3 kali kunjungan/hari. Jika setiap kunjungan terdiri dari 30 siswa maka jumlah maksimum peserta untuk paket Wisata Pendidikan Mangrove ini adalah 90 orang dalam satu hari.

b. Ekowisata mangrove di Blok Kere

Jumlah perahu gondang-gandung yang tersedia adalah delapan buah. Jika pembukaan area dalam satu hari adalah 9 jam dan lama pelaksanaan kunjungan adalah satu jam. Berdasarkan jumlah perahu yang tersedia, jumlah kunjungan secara kasar yang dapat dilakukan di blok ini adalah 72 kali (9 jam/1 jam x 8 perahu).

Sebuah perahu gondang-gandung memiliki daya muat 20 orang. Jumlah 20 orang pengunjung sudah cukup banyak untuk satu kali kunjungan di Blok

Kere. Tidak memungkinkan jika delapan buah perahu dengan masing-masing muatan membawa 20 orang tiba bersamaan di Blok Kere. Jika lama kunjungan satu kelompok biasanya satu jam maka kelompok berikutnya harus menunggu selama 1 jam untuk melakukan tracking di Blok Kere. Jumlah kunjungan yang mungkin dalam satu hari adalah 9 kali kunjungan (72 kunjungan/ 8 perahu). Selain itu terdapat faktor-faktor koreksi sebagai berikut:

(i) Aksesibilitas saat di sungai

Jarak Bedul menuju Kere adalah 3 km. Perjalanan dari Bedul ke Kere biasanya 15 menit menggunakan perahu gondang-gandung. Perjalanan bolak-balik Bedul-Kere-Bedul melalui sungai membutuhkan waktu 30 menit. Sedangkan jam buka total tiap harinya adalah 9 jam. Jadi faktor koreksi aksesibilitas saat di sungai adalah:

Cf1 = 0, 5 jam/9 jam x 100% = 5, 56 % (ii) Keadaan air pasang

Cf2 = 4, 5/9 x 100% = 50% (iii) Keadaan turun hujan

Cf3 = 360 jam/3.240 jam x 100% = 11, 11%

Jumlah kunjungan ke Blok Kere seharusnya adalah 9 kali kunjungan/hari x (100-5, 56)/100 x (100-50)/100 x (100-11, 11)/100 = 3 kali kunjungan/hari. Jika setiap kunjungan terdiri dari 20 orang maka jumlah maksimum peserta untuk paket Ekowisata di Blok Kere adalah 60 orang dalam satu hari.

c. Ekowisata mangrove di Blok Cungur

Pelaksanaan ekowisata birdwatching di Cungur biasanya saat pagi hari atau sore hari saat burung-burung air mencari makan. Pengamatan terhadap burung dilakukan di luar jam pembukaan area, dapat lebih pagi ataupun lebih sore daripada jam buka normal. Pada pagi hari biasanya dapat dimulai pada pukul 06.00 sedangkan pada sore hari dapat diakhiri pada pukul 17.30. Jam buka area khusus paket ini dihitung dari pukul 05.30 – 18.30 (13 jam). Akan tetapi dalam pelaksanaannya, pengamatan terhadap burung air biasanya dilakukan maksimal

selama dua jam. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Priambodo (2007) jumlah burung air terbanyak di Blok Cungur dijumpai pada selang waktu antara pukul 06.30-07.30 dan pukul 15.30-16.30. Oleh karena itu waktu pengamatan dalam paket ekowisata ini disarankan pada selang waktu tersebut.

Jarak Cungur dari Bedul kurang lebih 5 km. Perjalanan dari Bedul ke Cungur biasanya 30 menit menggunakan perahu gondang-gandung. Perjalanan bolak-balik Bedul-Cungur-Bedul melalui sungai membutuhkan waktu 60 menit. Jadi waktu yang diperlukan untuk pengamatan dan perjalanan paket ekowisata ini adalah dua jam. Seperti halnya di Blok Kere jumlah 20 orang pengunjung sudah cukup banyak untuk satu kali kunjungan di Blok Cungur. Jika dalam satu hari dibuka untuk dua kali kunjungan maka jumlah maksimum pengunjung dalam satu hari di Blok Cungur adalah 40 orang (2 x 20 orang).

Dokumen terkait