• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 12. Lokasi Wisata Pantai di Kabupaten Karawang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1.3. Aspek Wisata

5.1.3.4. Kesesuaian Tapak untuk Wisata

Variabel yang dianalisis pada aspek wisata yaitu kecerahan perairan, kecepatan arus, kedalaman dasar perairan, tipe pantai, penutupan lahan, dan variasi kegiatan. Variabel yang dianalisis secara deskriptif dan spasial (skoring) adalah tipe pantai, penutupan lahan, dan variasi kegiatan. Variabel kecerahan perairan, kecepatan arus, dan kedalaman dasar perairan hanya dianalisis secara deskriptif.

a. Kecerahan Perairan

Sebaran sedimen dasar laut di PTB merupakan endapan lumpur, sehingga kecerahan perairan termasuk kategori buruk (kurang dari 5 m) berdasarkan standar kesesuaian wisata pantai (Hardhowigeno dan Widiatmaka, 2001).

Walaupun kualitas air berwarna cokelat, tetapi wisatawan masih dapat melakukan aktivitas wisata (berenang) walaupun kurang sesuai dari aspek visual air. Tingkat

pencemaran air laut hanya terbatas dari sisa/residu zat kimia dari tambak atau sawah.

b. Kecepatan Arus

Kecepatan arus di PTB relatif kecil dan termasuk kategori baik (0-017 m/detik) berdasarkan standar kesesuaian wisata pantai (Hardhowigeno dan Widiatmaka, 2001). Kecepatannya relatif kecil turut dipengaruhi keberadaan sisa terumbu karang. Keberadaan mangrove akan turut mempengaruhi kecepatan arus, karena mangrove, terumbu karang, dan padang lamun merupakan salah satu buffer alami pantai dalam mereduksi kecepatan arus laut.

c. Kedalaman Dasar Perairan

Kedalaman dasar perairan di PTB termasuk kategori baik (0-3 m) berdasarkan standar kesesuaian wisata pantai (Hardhowigeno dan Widiatmaka, 2001). Hal ini terkait batimetri (topografi laut) Pantai Utara umumnya (termasuk PTB) yang landai.

d. Tipe Pantai

Secara umum tipe pantai di kawasan PTB dapat dikategorikan menjadi dua macam, yaitu pantai berpasir (Gambar 36a) dan pantai berlumpur (Gambar 36b).

Keberadaanya terbagi di bagian barat yang memiliki tipe pantai berpasir cokelat keputihan dan di bagian timur merupakan pantai berlumpur (Gambar 37). Tipe pantai ini akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan dan atraksi/kegiatan wisata yang dapat dilakukan oleh wisatawan.

Pantai tipe berlumpur memiliki sedimen dasar laut berupa lumpur yang cocok bagi pertumbuhan dan perkembangan habitat mangrove. Selain sebagai green belt pantai, mangrove juga dapat menjadi atraksi wisata edukasi bagi pengunjung. Sehingga keberadaannya sangat penting dan akan berpengaruh terhadap kelangsungan pantai serta bahaya alami dari gerusan lahan pantai oleh arus pantai. Sedangkan bagian pantai berpasir tentu pula membutuhkan vegetasi yang mampu mempertahankan keberadaan pasir pantai. Pasir pantai rawan untuk tergerus oleh arus laut dan terbawa ke laut. Untuk melindunginya tentu harus terdapat pelindung yang dapat meminimalisir kecepatan arus laut baik berupa mangrove, bangunan pemecah gelombang, maupun vegetasi pes-caprae yang

akarnya dapat mengikat pasir pantai sehingga dapat mengurangi gerusan pasir oleh arus laut.

(a) (b) Keterangan:

(a) Tipe Pantai Berpasir (b) Tipe Pantai Berlumpur

Kondisi pantai yang berpasir dan berlumpur terkait dengan rencana pengembangan vegetasi pantai yang sesuai pada zona-zona tersebut sebagai area sempadan pantai. Rencana rehabilitasi vegetasi mangrove atau non-mangrove selain berfungsi sebagai buffer pantai dan objek wisata yang dapat dinikmati oleh wisatawan.

Gambar 36. Tipe Pantai di PTB

68

Gambar 37. Peta Analisis Tipe Pantai

e. Penutupan Lahan

Variabel penutupan lahan (aspek wisata) PTB terbagi menjadi tiga, yaitu berupa lahan terbuka/mangrove, belukar rendah (formasi pes-caprae dan lainnya), dan lahan terbangun (permukiman dan fasilitas wisata). Letaknya masing-masing dapat terlihat pada Gambar 38. Lahan terbuka berupa sungai, tambak, sawah, pasir pantai, dan areal kosong belum termanfaatkan. Penutupan lahan didominasi oleh lahan terbuka. Keberadaan sawah dan tambak hampir mendekati garis pantai, seharusnya berada di zona pemanfaatan (di belakang sempadan pantai), sehingga diperlukan relokasi pada beberapa titik areal tambak dan sawah yang tidak sesuai dengan kriteria tersebut. Sistem silvofishery (penanaman mangrove di sekitar tambak) dapat diterapkan dalam tambak karena dapat memaksimalkan produksi di lahan tambak tersebut. Hal tersebut sependapat dengan Saparinto (2007) yang menyatakan bahwa keanekaragaman plankton yang lebih tinggi (11 jenis) akan lebih tinggi pada tambak yang ditanami mangrove dibandingkan dengan yang tidak ditanami mangrove (5 jenis) seperti hasil survai di Pemalang, Jawa Tengah.

Dalam perkembangan selanjutnya tambak silvofishery dapat didiversifikasi menjadi agrosilvofishery dengan mengkombinasikan tanaman pertanian di pematang tambak. Tanaman yang dapat ditanam tentu tanaman produktif yang dapat hidup dalam kondisi tambak.

Penutupan lahan oleh permukiman dan fasilitas wisata terbangun (warung makan dan jalan) letaknya pun tidak sesuai dengan aturan batasan minimal sempadan pantai berdasarkan Undang-undang Nomor 27 tahun 2007, yaitu minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi. Relokasi harus dilaksanakan karena selain berbahaya bagi lingkungan pantai itu sendiri, terjangan arus pantai dapat merusak bangunan pantai yang berada di dekat garis pantai. Keberadaan bangunan tersebut dapat direlokasi ke zona pemanfaatan pantai dibelakang zona perlindungan pantai (sempadan pantai).

f. Variasi Kegiatan

Analisis spasial pada variabel variasi kegiatan wisata di PTB berdasarkan jumlah atraksi yang dapat dilakukan oleh wisatawan di area-area tertentu, seperti berenang, bermain pasir pantai, duduk-duduk, jalan-jalan dan fotografi, viewing/menikmati pemandangan alam pantai dan sekitarnya, serta

makan-makan/wisata kuliner. Analisis kategori persebaran kegiatan wisata dapat dilihat pada Gambar 39. Intensitas pengunjung umumnya ramai pada siang-sore hari, sedangkan pada pagi dan malam jumlahnya sangat jarang. Hal ini terkait dengan fasilitas penerangan dan jalan yang buruk sehingga keamanan kurang terjamin bagi pengunjung. Konsentrasi pengunjung berada di area yang terdapat warung makan, karena di area tersebut selain tersedia tempat berteduh untuk melihat pemandangan laut (viewing) pengunjung juga dapat berenang dan menikmati kuliner laut setelahnya. Di area tersebut juga tersedia fasilitas toilet/WC untuk membilas badan setelah berenang di tepi pantai.

Konsentrasi pengunjung di titik-titik yang sebenarnya sebagai area sempadan pantai terkait dengan fasilitas wisata yang ada di area ini. Oleh karena itu, pengembangan objek yang menyebar dan fasilitas wisata dialokasikan di luar zona sempadan pantai.

71

Gambar 38. Peta Analisis Penutupan Lahan Pantai (Aspek Wisata)

72

Gambar 39. Peta Analisis Sebaran Variasi Kegiatan

d. Kualitas Aspek Wisata

Analisis spasial pada 3 variabel kualitas wisata, yaitu tipe pantai, penutupan lahan, dan variasi kegiatan akan didapatkan peta kualitas wisata.

Kualitas wisata tersebut memiliki 4 kriteria yaitu kualitas wisata baik, sedang, kurang, dan buruk (dispasialkan pada Gambar 40). Selang yang akan menunjukkan kualitas wisata dapat dihitung sebagai berikut:

160 40

4 30

Klasifikasi:

40 ≤ x < 70 : Kualitas Wisata Buruk 70 ≤ x < 100 : Kualitas Wisata Kurang 100 ≤ x < 130 : Kualitas Wisata Sedang 130 ≤ x ≤ 160 : Kualitas Wisata Baik

Berdasarkan hasil overlay tersebut dapat dilihat bahwa secara umum bagian timur tapak memiliki kualitas aspek wisata kurang. Hal ini karena atraksi dan kegiatan wisata yang dapat dilakukan di area tersebut masih terbatas dibandingkan dengan bagian barat tapak yang memiliki bentangan pasir pantai (tipe pantai) dan kegiatan lainnya di air laut (seperti berenang) serta wisata kuliner. Pada bagian barat juga terdapat permukiman penduduk PTB yang kurang tertata dengan baik. Hal tersebut kurang mendukung untuk pengembangan wisata sehingga memiliki kualitas aspek wisata yang sama dengan bagian timur tapak.

74

Gambar 40. Peta Overlay Kesesuaian Aspek Wisata

Dokumen terkait